pihak pembeli maka pihak pembeli secara mengangsur berhak untuk menuntut asuransi tersebut.
C. Upaya Hukum Tertanggung jika Perusahaan Asuransi Menolak Klaim
Bahaya kecelakaan kendaraan bermotor tersebut sifatnya tidak terduga dan tidak dapat diperhitungkan terlebih dahulu.Karena itu pihak tertanggung mencari
usaha yang dapat mengatasi kemungkinan timbul kerugian akibat kecelakaan lalu lintas jalan, yaitu dengan mengadakan perjanjian asuransi.Sesuai dengan
diadakannya perjanjian asuransi yaitu mengalihkan risiko kerugian, dengan membayar sejumlah premi. Risiko adalah beban kerugian yang mengancam benda
pertanggungan yang diakibat kan karena suatu peristiwa diluar kesalahan.
48
Penanggung berkewajiban mengganti kerugian apabila terjadi kerugian yang tidak diharapkan oleh tertanggung akibat kecelakaan lalu lintas jalan,
sedangkan kewajiban dari pihak tertanggung adalah membayar premi pada pihak penanggung.Premi merupakan syarat mutlak dalam suatu perjanjian
asuransi.Setelah tertanggung membayar premi, maka sejak itu pula risiko kerugian beralih kepada penanggung. Hal ini sesuai dengan UU Perasuransian, yang
ketentuannya terdapat pada Pasal 246 KUHD yang dinyatakan bahwa : ”pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada nya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
48
http:rowchie.blogspot.com diakses tanggal 13 Maret 2015.
diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen ”.
49
Sengketa di dalam industri asuransi antara tertanggung dengan penanggung, penanggung dengan penanggung ulang reassuradur dapat
diselesaikan melalui forum sebagai berikut : Sesuai
Pasal 246 KUHD tersebut bahwa penanggung berkewajiban mengganti kerugian terhadap tertanggung apabila tertanggung mengalami risiko yang mengakibatkan
kerugian yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 dua proses. Proses
penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama
kooperatif di luar pengadilan. Proses litigasi mengahasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama,
cenderung menimbulkanmasalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan
di antara pihak yang bersengketa. Semua polis asuransi sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri
Keuangan KMK 422KMK.062003 diwajibkan mencantumkan klausula penyelesaian sengketa Disputes Clause.Klausula penyelesaian sengketa pada
umumnya dicantumkan dua 2 pilihan forum penyelesaian sengketa yaitu Pengadilan dan Arbitrase.
50
49
Purwosutjip, Op.cit, hlm. 88.
50
Variasuransi.blogspot.com201205forum-penyelesaian-sengketa-asuransi.html
1. Pengadilan
Pengadilan terdiri dari Pengadilan Negeri PN, Pengadilan Tinggi PT, Mahkamah Agung.Forum ini yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat umum
untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa yang terjadi tidak hanya sengketa bisnis tetapi juga sengketa-sengketa perdata lainnya.
Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa, karena upaya hukum tersebut dilakukan atas putusan pengadilan yang belum mempunyai
kekuatan hukum tetap inkracht van gewisjde.Sedangkan untuk upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah Peninjauan Kembali PK. Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa dan hanya dapat dilakukan dengan alasan antara lain
sebagai berikut : a.
Putusan yang jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang mencolok.
b. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi dari apa
yang dituntut. c.
Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- sebabnya.
d. Putusan didasarkan atas kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan
yang diketahui setelah perkara diputus, atau keterangan saksi atau surat- surat bukti kemudian oleh hakim dinyatakan palsu.
e. Adanya novum bukti baru yaitu bukti yang benar-benar baru tidak
pernah diungkap di dalam persidangan sebelumnya. Sedangkan bukti ini sangat menentukan.
2. Arbitrase
Arbitrase ada 2 dua yaitu arbitrase Ad Hoc dan Arbitrase institusi contohnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia selanjutnya disebut BANI.
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang sifatnya sementara dan dibentuk oleh para pihak yang bersengketa sedangkan arbitrase institusi memang merupakan
badan arbitrase yang mempunyai jasa khusus untuk penyelesaian sengketa yaitu BANI. BANI mempunyai list dari arbiter-arbiter yang dapat ditunjuk oleh siapa
saja dan juga mempunyai Peraturan Prosedur Arbitrase Rules of Arbitral Procedure.
Baik arbitrase ad hoc maupun BANI kedua-duanya mengacu kepada Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak final and binding, dan agar putusan arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial maka
putusan tersebut dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari setelah dibacakan harus segera didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Badan Mediasi Asuransi Indonesia BMAI
Badan Mediasi Asuransi Indonesia BMAI merupakan badan yang dibentuk oleh pelaku asuransi yaitu perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi
baik jiwa maupun umum. Sengketa yang diselesaikan melalui BMAI hanyalah sengketa yang mempunyai nilai maksimum Rp. 750 juta untuk asuransi umum
dan Rp. 500 juta untuk asuransi jiwa. Putusan BMAI hanya mengikat kepada Penanggung tidak tertanggung.
Penyelesaian sengketa melalui BMAI diselesaikan melalui dua 2 tahap yaitu tahap mediasi dan tahap ajudikasi. Pada tahap mediasi, Case Manager BMAI
akan mengusahakan perdamaian para pihak yang bersengketa. Bilamana tercapai kata sepakat, maka dapat dilakukan perdamaian dan kasus sengketa selesai. Tetapi
bilamana pada tahap mediasi tidak tercapai kata sepakat, sengketa akan ditangani oleh Ajudikator atau Penal Ajudikator yang ditunjuk oleh BMAI
4. Mediasi
Mediasi yaitu penyelesaian sengketa dengan cara meminta bantuan lembaga arbitrase atau lembaga altenatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk
seorang mediator. Setelah mediator ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang mereka hubungi, maka dalam waktu paling
lama 7 tujuh hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. Mediator yang ditunjuk ini, harus sudah dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu paling lama
30 tiga puluh hari, artinya harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak terkait. Kesepakatan tertulis yang sudah
ditandatangani tersebut bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 tiga puluh hari sejak penandatanganan. Selanjutnya kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat harus sudah dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 tiga puluh hari sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri.
5. Arbitrase
Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh apabila usaha perdamaian sesuai dengan tahap-tahap tersebut di atas tidak dapat dicapai. Dalam
hal ini, harus ada kesepakatan para pihak secara tertulis, bahwa mereka sepakat untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapatnya melalui lembaga arbitrase
atau arbitrase ad-hoc. Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
selanjutnya disebut UUPK mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
ke badan peradilan. Kemudian, menurut Pasal 52 UUPK, salah satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya disebut BPSK adalah
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian
sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Berkaitan hal di atas, Pasal 45 UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah disetujui dahulu oleh para pihak.Menurut
penjelasan Pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang
bersengketa.Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.Jadi, pengajuan gugatannya tidak
harus atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian sengketanya.
Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut Pasal 52 huruf a UUPK, BPSK
berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan
konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350MppKep122001 Tahun
2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen “Kepmen Perindag 3502001”. Menurut pasal 4 ayat 1Kepmen
Perindag 350MppKep122001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dilakukan dengan cara
mediasikonsiliasiarbitrase. Konsumen dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan
peradilan.Namun, dalam hal sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK dapat menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen Pasal 17Kepmen
Perindag 3502001.Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para
pihak tunduk pada klausula tersebut.Ini mengacu pada Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai undang-
undang.Oleh karena itu, seharusnya penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
Pasal 52 huruf g UUPK memang memberikan kewenangan pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.Akan tetapi, BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap pelaku usaha tersebut.Meski
demikian, BPSK bisa meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen lihat pasal 52 huruf i UUPK.Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, tetapi BPSK bisa meminta bantuan pada
penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha.Penyidik di sini mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen Pasal 59 ayat [1] UUPK.
Pelaku usaha tetap tidak memenuhi panggilan BPSK, maka BPSK dapat mengadili sengketa konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu
pada Pasal 36Kepmen Perindag 3502001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir pada hari persidangan I pertama,majelis hakim BPSK akan memberikan
kesempatan terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II kedua dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Jika pada persidangan II kedua
pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak menghadiri
persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan konsumen. Adapun
putusan BPSK sendiri adalah putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap Pasal 54 UUPK jo pasal 42 ayat [1]Kepmen Perindag
3502001. Final artinya dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi penjelasan Pasal 54 ayat [3] UUPK.Putusan BPSK
kemudian dapat dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan Pasal 42 ayat [2]Kepmen Perindag
3502001.
51
51
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4cc7facb76176kompetensi-badan- penyelesaian-sengketa-konsumen
80
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR