dan hukum adat berlaku bagi orang Islam apabila tidak bertentangan dengan agama Isalam dan hukum Islam.
5. Teori Eksistensi Ichtijanto
Teori ini mengatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan karena dorongan kesadaran hukum sewaktu dalam masa penjajahan dan masa revolusi,
maka hukum Islam adalah agama yang paling eksis didalam hukum nasional. Teori-teori tersebut muncul sesuai zamannya masing-masing, bila
dirumuskan Teori Receptie in complexu dan Teori receptie lahir pada zaman penjajahan, sedangkan Teori Receptie Exit dan Teori Receptio A Contrario lahir
setelah kemerdekaan, begitupun dengan Teori Eksistensi.
B. Tokoh-tokoh Pembaharu Hukum Islam
Periode kelima pada abad ke-19 M, merupakan kebangkitan kembali umat Islam, dan merupakan sebagai jawaban dari periode-periode sebelumnya. Periode
kebangkitan ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran Islam. Gerakan pembaharuan pada intinya menyerukan
untuk kembali kepada sumber utama ajaran Islam yaitu al-Quran dan al-Sunah. Pintu ijtihad dibuka kembali, sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh para
Mujtahid pada periode ketiga. Resonansi gerakan pembaharuan yang merupaka era kebangkitan umat
Islam menggema sampai kebelahan dunia, termasuk ke Indonesia Hindia- Belanda. Gerakan kebangkitan umat Islam Indonesia ditandai dengan munculnya
organisasi keagamaan seperti Jami’at al-Khair di Jakarta pada tahun 1905, Sarekat
Dagang Islam di Solo tahun 1905 yang kemudian menjadi partai politik dengan nama Sakerat Islam pada tahun 1912, Muhammadiyah di Jogjakarta tahun 1912,
al-Irsyad di Jakarta tahun 1914, Nahdatul Ulama di Surabaya tahun 1926, Persatuan Islam di Bandung tahun 1930.
27
Dan berikut adalah tokoh pembaharu Islam berikut dalam bidang pembaharunya yang muncul di Indonesia sesuai dengan zamannya masing-
masing. 1.
MUNAWIR SADZALI Munawir dikenal sebagai pemuda yang aktif, pada tahun 1945 setelah
dibacakannya proklamasi kemerdekaan, ia dipilih menjadi ketua angkatan Muda Gunungpati, Dari Gunung Pati inilah keterlibatan Munawir dengan kegiatan-
kegiatan umat Islam dalam skala nasional dimulai, dan di Gunung Pati inilah untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karno. Pada tahun 1953 ia
melanjutkan belajarnya dengan berangkat ke Inggris di Ilmu Politik Universitas College of South West of England, Exerter. Hanya butuh satu tahun ia bisa
menyelesaikan studinya hingga pada tahun 1954 ia kembali ketanah air. Dan pada tahun 1955 ia meneruskan studinya ke Universitas Geogetown sampai tahun
1959. Dalam semasa karirnya ia pernah menjadi bagian dari kementerian Luar Negeri, Duta Besar RI, Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV.
27
Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa. Jakarta : Jayamurni, Cet. Pertama. 1964, h., 62.
Salah satu pemikiran pembaharu Munawir adalah Bidang waris
28
, ia berargumen perlunya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam hal
pembagian waris. Karena bagi Munawir jika mempertimbangkan realitas kehidupan keseharian, maka ketentuan tentang bagian harta warisan apabila laki-
laki masih mendapatkan dua kali lebih besar dari pada perempuan maka ini sangat berseberangan dengan makna keadilan, sementara perempuan masa sekarang
sudah dapat melakukan berbagai aktivitas sosial. Memang pada dasarnya hukum semacam ini barangkali akan dibenarkan pada saat kaum laki-laki memang
menjadi tumpuhan segala-galanya bagi kaum wanita, namun itu dahulu.
29
Munawir selalu menyandarkan argumennya
30
pada beberapa ulama seperti Ibn Katsir, Musthafa al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha, dll.
2. HAZAIRIN
31
Salah satu pemikiran Hazairin adalah ia berpendapat bahwa pada hakikatnya sistem kewarisan yang terkandung dalam Al-
Qur’an adalah sistem
28
Munawir Sadzali, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Jalaluddin Rahmat,
Ijtihad dalam Sorotan, Jakarta: Mizan, Cet. keempat, 1996, h., 125.
29
Munawir Sadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdur Rauf. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, h., 2.
30
Ia berkesimpulan bahwa hukum Islam memang fleksibel dan dengan demikian perlu adanya reaktualisasi, ketika hukum tersebut dirasa tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat
saat ini.
31
Seorang tokoh pembaharu dalam hukum Islam di Indonesia dan ia lah bapak dari teori receptie exit.
kewarisan yang bercorak bilateral orang tua, seperti dzawul fara’idh
32
, dzawul qarabat
33
, dan mawali
34
.
35
Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: dzawul faraid, dzawul qarabat, dan mawali. Yang dimaksud mawali ahli
waris pengganti di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan
digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan
penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris yang meninggalkan harta warisan. Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris,
keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian misalnya dalam bentuk wasiat dengan si pewaris.
36
Berlainan dengan rumusan ahli fikih khusunya Madzhab Syafi’i dan Syi’ah yang menjelaskan bahwa sistem kewarisannya bersifat patrilinial yaitu
dzawul fara’idh, ashabah
37
dan dzawul arham
38
. Madzhab Syafii membagi ahli
32
Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al- Qur’an.
Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan. untuk wasiat, hutang,
dan biaya kematian.
33
Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang,
ongkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid.
34
Mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di istinbatkan dari Q.S. al-Nisa 4: 33. Adanya mawali ahli waris pengganti ini merupakan konsep yang benar-
benar baru dalam ilmu faraid waris.
35
Hazairin, Hukum Kewaris an Bilateral menurut al Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta,
1994, h., 72.
36
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h., 80.
37
Ashabah adalah ahli waris yang memperoleh bagian sisa atau bagian terbuka atau bagian tidak tertentu.
waris itu kedalam tiga kelompok, yaitu dzul faraid
39
, ashabah
40
dan dzul arham
41
. Tiga landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin dalam perkara
tersebut, yaitu bahwa sistem kekeluargaan yang diinginkan al-Quran adalah sistem bilateral. Landasan pertama, apabila surat an-Nisa ayat 23 dan 24
diperhatikan, akan ditemukan adanya keizinan untuk saling kawin antara orang- orang yang bersaudara sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa al-Quran cenderung
kepada sistem kekeluargaan yang bilateral. Landasan kedua, surat an-Nisa ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua anak baik laki-laki maupun perempuan menjadi
ahli waris bagi orang tuanya. Ini merupakan sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak laki- laki yang berhak mewarisi begitu
juga pada sistem matrilineal, hanya anak perempuan yang berhak. Landasan ketiga, surat an-Nisa ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi semua jenis
saudara seayah dan seibu sebagai ahli waris.
42
C. Peran DPR dalam Melegislasi Hukum Islam