Islam dan politik dalam pemikiran politik Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA

(1)

i

Rohman dan Rahim. Salawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir zaman, Muhammad SAW, berikut keluarga, sahabat dan umatnya.

Rahmat ilahi memancar kesemesta alam, turun merayap memeluk setiap insan. Semburat pengampunan dan pahala membuncah dengan hadirnya Ramadhan, saat dimana syaitan di”cuti”kan, saat dimana tidur dihargai ibadah, saat ibadah berpahala berlipat, saat pintu pengampunan dan rahmat terbuka lebar menyambut kita umat Muhammad. Ramadhan bulan penuh berkah. Berkah Ramadhan akhirnya menetes dengan terselesaikannya skripsi ini, setelah melewati masa-masa sulit dan terkatung-katung sekian tahun lamanya.

Terselesaikannya skripsi dan study ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih:

Kepada Bapak Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan segenap jajarannya. Serta kepada kepala perpustakaan UIN dan jajarannya yang sangat membantu dalam proses perkuliahan kami.

Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada Ibu Sri Hidayati selaku Sekjur, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya. Ibu adalah Sekjur terbaik sepanjang masa.


(2)

ii

Kepada kedua orang tua ku tercinta, yang telah memberikan pengorbanan tanpa mengenal kata lelah, yang telah mengajari tentang hidup dan arti kehidupan, yang telah mengajari penulis menjadi seorang lelaki. Kepada Mama’ku H. Abdur Rauf Syahid Hamim dan Umiku tercinta Hj. Annisatur Rormah, skripsi ini aku persembahkan. Hanya surgalah tempat yang layak untuk membalas semua pengorbanan kalian selama ini. Amien.

Kepada kakak-kakakku, abang-abangku & ade-ade: Ka Opah & Bang Sadeli, Ka Ikoh & Pak Supriyono, Ka Ulfah & Ka Isa Anshori, Ka Farhah & Mas Haidar, Ka Ida & Ka Hadi Ali, Bang Aji & Umi Rina, Bang Ijul & Umi Indah, Ropi-U, Riri, Dede, Apit dan Imah, yang tak henti-hentinya memberi suport dan terus menerus nanyain ”Pegimana skiripsi ?” ”kapan Wisuda ?”. Serta semua saudara-saudara ku, kalian adalah lentera hidup tempat merujuk, tempat menggali sepirit, jika lentera diri meredup dan spirit mengendur. Semoga kita tetap bisa terus saling mengisi.

Kepada kawan-kawan seperjuangan di BEM Siyasah - ; Iyan, Takin, Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Hadi, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan , Lukman, Muda, Eky, Fathur, Kompor, Simon, Manzoy dll, kepada kalianlah aku belajar banyak hal. Kepada kawan-kawan HMI dan PMII yang tidak kesebut, percayalah kalian selalu lekat di hati ku, Trust Me. dan terima kasih, telah menjadi


(3)

iii

Kepada kawan-kawan seperjuangan di PON-PES Al-Muhajirin: Om Said, Om Acep, Wawan Ch, Inop, Asep M, Joko, Hapy, Azhar, kang Mul, bang Uce, bang Acong, Najum, Sangaji serta kawan-kawan lainnya, Ingat perjuangan masih panjang, masih banyak yang harus kita lakukan, semoga kita tetap bisa berjuang bersama, meski kita kadang kala berbeda.

Terima kasih juga dihaturkan kepada Mas Moro N dan keluarga, banyak hal yang Inu dapat dari diskusi dan silaturrahmi kita selama ini. Kepada Om Rauf (Said), Bakhtiar (BT), Iqbal, Wahyu, Ratu, dan temen KKN Pandeglang. serta kepada Faticha, Julimah, Agun, Mudin, Edy, Intan terima kasih suport dan bantuannya, tanpa peran kalian mungkin aku tidak akan pernah wisuda. Kepada seorang perempuan yang telah tiada letih dan lelah memberi dorongan dan doa, terimakasih...terimakasih, semoga terbentang jalan yang indah untuk bisa kita lalui berdua.

Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kalangan civitas akademika dalam pengkayaan intelektual.


(4)

iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….…… B. Pebatasan dan Perumusan Masalah……… C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……….. D. Metode Penelitian………...

E. Landasan Teoritis………

F. Review Studi Terdahulu………. G. Sistematika Penulisan……….

BAB II ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA

A. Pengertian Islam Politik……….. B. Islam politik di Indonesia……… . Pada Zaman Kolonial…..……….. . Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal Kemerdekaan………

. Orde Lama………

. Orde Baru………..


(5)

v

C. Posisi Munawir Sjadzali diantara Para Pemikir Islam pada Masanya ………. D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia………. E. Karya-karya Munawir Sjadzali………

BAB IV ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI

A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik……….. B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan………... C. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia Dewasa ini………...

BAB V PENUTUP

Kesimpulan………..………..


(6)

A. Latar Belakang Masalah

Di sejumlah negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Aljazair, pada pertengahan abad ke- an, tepatnya sejak keruntuhan kolonialisme Barat, banyak mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memugkinkan (viable) antara Islam dan negara. Tak jarang di negara-negara itu hubungan Islam dan negara mengalami ketegangan, bahkan permusuhan. Padahal disaat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah di kalangan pengamat kemudian muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana ide tentang negara-bangsa (nation-state) merupakan unsur terpentingnya.1

Dalam konteks Indonesia, bersitegang antara Islam dan negara tidak hanya telah berlangsung lama. Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik diantara kedunya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi

1

Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial – Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta, ), h.


(7)

juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara meskipun pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi, aspirasi demikian itu tak kunjung padam, setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi demikian kembali muncul kepermukaan.

Paling sedikit terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan kaum muslim Indonesia untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada . Pada kesempatan ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama negara. Kedua, pada dekade -an dalam sidang konstituante yang memberi peluang pada setiap kelompok untuk mendiskusikan ideologi dan undang-undang dasar. Pada kesempatan ini, melalui tokoh-tokoh Masyumi, aspirasi ideologi Islam kembali muncul. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada kesempatan pertama, kesempatan ini menyajikan perdebatan lebih luas dan mendalam mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik dalam negara Indonesia. Akan tetapi, disamping peluang-peluang resmi tadi, kaum muslim juga terus menerus menyuarakan aspirasinya dalam berbagai forum dan kesempatan.2

Setelah jaman revolusi berakhir, tuntutan trasformasi Islam kedalam bentuk ideologi politik semakin keras. Ini terjadi dalam dua konteks yang saling

2

Lepas dari berbagai analisis yang muncul, gerakan-geraka Islam DI/TII pada dekade -an dan PRRI / Permesta pada dekade -an sering diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk perjuangan Islam ideologis melalui kekuatan bersenjata. Bahkan higga dekade -an, aspirasi Islam ideologis ini masih kental disebagian kaum Muslim. Lihat Dr. Azyumardi Azra, saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama, h.


(8)

berhubungan. Pertama, formasi kekuatan-kekuatan ideologis semakin mengkristal dengan munculnya partai-partai yang memang mendapatkan keabsahannya berdasarkan sistem demokrasi yang diperkenalkan pada masa itu. Dalam konteks ini, Islam dituntut untuk menunjukkan keunggulannya sebagai ideologi politik untuk menyelesaikan masalah-masalah Indonesia. Kedua, pencoretan kalimat-kalimat Piagam Jakarta pada tanggal Agustus — padahal sebelumnya telah tercapai konsensus dengan susah payah dalam sidang-sidang PPKI—dan berlakunya konsistensi yang masih bersifat sementara, membuka peluang untuk meningkatkan persaingan kelompok-kelompok ideologis. Pembubaran konstituante melalui dekrit juli mengakhiri perdebatan yang keras dan melelahkan.3

Jika di masa kolonial, Islam menjadi kekuatan pembebasan dan simbol perjuangan melawan penjajahan yang kafir, maka di masa revolusi, Islam dijadikan semangat perjuangan, dan di masa dua dasawarsa pertama kemerdekaan Islam telah mengambil bentuk "ideologi politik", maka di masa Orde Baru, Islam mengambil bentuk sebagai "kekuatan spiritual" untuk menghadapi arus modernisasi, dan nilai-nilai tuntunan berprilaku dalam kehidupan berpolitik.

Islam sebagai kekuatan sejarah tidak berubah. Bahkan di tengah memudarnya penampilan Islam dalam wajah politik kepartaian saat itu, justru diimbangi dengan tuntutan makin meluasnya wilayah pengaruh dimensi-dimensi spiritual

3

Yusril Ihza Mahendra, “Makna dan Peranan Islam dalam Proses Sosio-Politik di Indonesia” Kontekstualisasi Ajaran Islam: Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA. (ed.) M. Wahyuni Nafis, dkk. (Jakarta: IPHI dan Paramadina, ), cet. Ke- , h.


(9)

-dan intelektual Islam. Tuntutan agar segala sesuatu berkembang ditengah masyarakat disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang semakin luas. sementara kekuatanya juga dipertegas. Ini semua mendorong kaum Muslimin beramai-ramai kembali kepada agamaya, dengan peningkatan yang luar biasa minat untuk mengamalkan ibadah-ibadah yang diajarkan Islam.

Kenyataan ini penting bagi Munawir, sebab ia berpandangan bahwa menempatkan suatu agama sebagai agama negara merupakan salah satu prasarat penting. Untuk itu, dalam pandangannya, kenyataan bahwa Konstitusi Madinah tidak menyebut Islam sebagai agama negara, hal ini menujukkan bahwa Nabi Muhammd SAW, tidak menganjurkan berdirinya sebuah negara teokratis dimana Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya.

Pada era awal -an Munawir pernah melontarkan gagasan tentang reaktualisasi ajaran Islam yang ditanggapi beragam oleh berbagai lapisan masyarakat. Titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir itu adalah untuk menegaskan kembali gagasan tentang ijtihad. Ide-ide Munawir sebenarnya diarahkan untuk mendorong para pemikir atau aktifis politik Islam agar ( ) merumuskan kembali dasar-dasar ideologi baru politik Islam; ( ) mendefinisi ulang cita-cita politik Islam; dan ( ) menilai kembali pendekatan politik Islam yang pada dasarnya lebih berorientasi pada masalah-masalah keagamaan dan teologis.4

4

Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis, (ed.) Kontekstualisasi Ajaran


(10)

Gagasan Munawir di atas, sejatinya hendak meninjau kembali sejarah para pemimpin dan aktifis politik Islam Indonesia. Pijakan-pijakan dari semangat politik saat itu menggunakan pandangan holistik Islam—Islam dianggap melulu memberikan pandagan terhadap setiap aspek kehidupan. Dalam konteks tersebut dapat dimengerti jika Islam senantiasa dijadikan sebagai patokan sebuah konsepsi yang final dan konvrehensif tentang negara atau sistem pemerintahan. Lebih dari itu, sebagian bahkan beranggapan bahwa negara merupakan bagian integral, atau perpanjangan dari Islam. Hal ini merupakan suatu posisi politik-keagamaan, yang disejumlah belahan dunia dikemas dalam jargon inn Islam din wa al-dawlah—bahwa Islam adalah agama negara.5 Tetapi pada kenyataanya keinginan tersebut gagal.

Saat partai-partai Islam sudah tidak hadir lagi di panggung percaturan politik nasional (pada masa Orde Baru), ternyata ada capaian-capaian yang diharapkan kalangan umat Islam dapat terwujud, seperti penetapan Undang-undang Peradilan Agama. Hal ini adalah jasa-jasa Munawir saat beliau menjadi Menteri Agama RI.

Kiranya aspirasi politik semacam itu pulalah yang diingikan oleh Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan, "tanpa partai politik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan".

Untuk itulah dalam skripsi ini, kami akan mengkaji pemikiran Munawir Sjadzali tentang Islam dan Politik khususnya dalam kaca mata keIndonesiaan. Islam: Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA (Jakarta: IPHI dan Paramadina, ), cet. Ke- , h.

5


(11)

Dan studi ini dilakukan selain karena ketertarikan penulis terhadap pemikiran juga atas pertimbangan posisi dan sosok Munawir sebagai cendikiawan, intelektual, diplomat, dan juga sebagai menteri Agama RI selama dua periode berturut-turut ( - dan - ). Beliau telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupan keagamaan dan lembaga-lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada dibawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara.6 Penulis berharap bahwa hasil skripsi ini dapat bermanfaat dalam upaya membangun hubungan Islam dan Politik di negeri yang demokratis ini.

Berdasarkan latar belakang ini penulis sangat tertarik dan optimis untuk melakukan penelitian dengan judul “Islam dan Politik dalam Pemikiran Politik Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah . Pembatasan Masalah

Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh kesempatan untuk melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar Indonesia yaitu Prof. Dr. H Munawir Sjadzali, MA. Selain sebagai cendikiawan beliau juga berpengalaman sebagai diplomat, Menteri Agama, dan sebagai pengajar. Tak

6

Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, Pencairan Ketegangan Ideologis”, dalam Azyumardi Azra, (ed.) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik. (Jakarta: PPIM, ), h.


(12)

diragukan lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan pemikiran-pemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak dari pemikiran Munawir Sjadzali. Penulis ingin memfokuskan kajian penelitiannya terhadap Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali semasa beliau menjabat sebagai Menteri Agama RI selama dua periode berturut-turut ( - dan - ).

. Perumusan Masalah

Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah yang diteliti sebagai berikut:

. Bagaimana hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir Sjadzali ? . Bagaimana relevansi pemikiran Munawir Sjadzali, bagi Indonesia dewasa ini?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian . Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir Sjadzali.

b. Menjelaskan relevansi pemikiran Munawir Sjadzali ini, bagi Indonesia dewasa ini.

. Manfaat Akademis

a. sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi yang akan datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan akan menambah jumlah studi mengenai politik Islam.


(13)

b. secara akademis untuk mendapatkan jawaban terhadap berbagai persoalan yang terkait dengan perpolitikan Islam dan hubungannya antara Islam dan politik.

. Manfaat Praktis.

a. sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang ilmu politik

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan . Jenis dan Pendekatan penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan ( labrery research ) dengan pendekatan kualitatif. Penulis mencoba mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subyek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini juga menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-data.7

7


(14)

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan dua pendekatan. Pertama pendekatan sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik objek penelitian secara kronologis. Dengan mengungkap perkembangan politik Islam secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah perihal sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada masa itu. Pada akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti dari pemikiran Munawir tersebut.

Kedua, pendekatan penafsiran (hermeneutical approach), yakni sebuah metode yang dengan mudah didefinisikan sebagai filsafat penafsiran makna. Dengan pendekatan ini penulis membahas inti atau pokok bahasan berupa eksplorasi gagasan-gagasan atau ide Munawir Sjadzali. Kemudian, dari hasil eksplorasi tersebut penulis mencoba memahaminya dengan penafsiran kritis terhadap ide dan gagasan Munawir Sjadzali tersebut. Penafsiran dilakukan dengan mengamati hasil eksplorasi terhadap perkembangan Islam politik secara kronologis. Hasil yang diharapkan kemudian bisa menjawab seluruh pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas dan memberikan kesimpulan yang akurat dan bermanfaat.

. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data

Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif,


(15)

dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari sumber tulisan yang terkait, baik dari sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber data yang bersifat primer adalah dokumen atau karya tulis yang merupakan karya asli dari Munawir Sjazdali, diantaranya adalah: ( ) Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna, . ( ) Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Humas, . ( ) Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila, . ( ) Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa, . ( ) Reaktualisasi Ajaran Islam, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, . ( ) AspirasiUmat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam, . ( ) Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, . ( ) Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, . ( ) Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini, . ( ) “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam: Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, . ( ) Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan, .

Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen atau karya tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang sosok objek yang sedang dikaji. Dengan memberikan kategorisasi dan pengelompokan kualitas pada data yang diperoleh, baik yang berasal dari dokumen pustaka ataupun dari data lainnya (internet), kemudian data-data tersebut dianalisis dengan


(16)

kritis secara akademis. Oleh karena itu, penulis akan merujuk pada pengkajian pustaka, baik karya asli maupun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai atau mendukung dengan tema bahasan.

b. Pengolahan data

Metode pengolahan data yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data primer dan skunder. Kemudian dianalisa dengan cara menginterpretasikan dari hasi-hasil data yang telah didapatkan.

Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-sub bab yang akan dibahas oleh penulis, kemudian penulis mendeskripsikannya dengan memeparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan penulis adalah analisis hubungan, yaitu memberikan analisis dengan menghubungkan uraian dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya diakhir pembahasan.

c. Teknik analisis data

Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan melakukan analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah didata, kemudian akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap permasalahan yang diangkat. Metode ini dilakukan penulis dengan berbagai langkah, yaitu dengan cara menghimpun seluruh data-data tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab, setelah semunya terdata dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut


(17)

dianalisa oleh penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai dengan informasi dan data-data yang didapatkan.

d. Teknik penulisan skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta tahun .

E. Landasan Teoritis

Dalam sub bab ini, akan dibahas mengenai landasan teoritis mengenai kajian yang akan diteliti. Teori yang akan digunakan dalam kajian ini adalah agama dan negara, seperti yang dijelaskan dalam buku “Fikih Mazhab Negara”. LKIS, .

Menurut buku ini, dalam hubungan agama dan negara terdapat tiga paradigma; Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm), yaitu dimana agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Dimana negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Paradigma ini kemudian melahirkan paham negara-agama, di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam agama dan [sekaligus] negara). Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum agama.


(18)

Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dimana agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.

Ketiga, paradigma sekularistik (secularistic paradigm), paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (dis-paritas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Konsep ad-dunya al-akhirah, ad-din ad dawlah atau umur ad-dunya umur ad-din didikhotomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.8

F. Review Studi Terdahulu

Ma'mur, TB Agus, pembaharuan pemikiran di Indonesia tahun -an; Studi Pemikiran Munawir Sjadzali. SPI, Adab IAIN Jakarta,

Abdila, Reaktualisasi Ajaran Islam Analisis Pemikiran Muawir Sjadzali Tentang Waris, SJAS, Syari'ah IAIN Jakarta .

8

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, ), h. - .


(19)

Nilayatul Maula, Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep pembagian Waris laki-laki dan perempuan menurut Prof. Dr. Munawir Sjadzali. MA. PMH Syari'ah. UIN Syahid Jakarta, . Pembahasan skripsi lebih pada konsep waris Munawir.

Oktari Liyus, Kontibusi Muawir Sjadzali dalam Peranan Islam dan Kaitanya dengan Politik di Indonesia. PPI, Ushuludin . Didalam skripsi ini dibahas mengenai titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir Sjadzali. Yaitu gagasan tentang konsep ijtihad. Serta lebih fokus pada keterlibatan Munawir Sjadzali dalam upaya mengembangkan misi untuk meyakinkan lembaga kemasyarakatan dan keagamaan untuk menjadikan pancasila sebagai Ideologinya.

Dari paparan skripsi yang membahas tentang sosok Munawir Sjadzali di atas, penulis melihat belum ada yang menggali mengenai Islam dan politik dalam pemikiran politik Munawir Sjadzali.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Merupakan bab Pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pemabatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Landasan Teoritis, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

Bab II Pada bagian ini akan dibahas mengenai Pengertian Islam Politik, serta pergulatan sejarah Islam politik di Indonesia dimulai dari zaman


(20)

kolonial, menjelang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan juga era Reformasi.

Bab III Membahas mengenai Riwayat Hidup, Pendidikan, Karya-karya Munawir Sjadzali, Corak dan Posisi Munawir Sjadzali diantara para Pemikir Islam pada masanya, serta Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia.

Bab IV Membahas dan menjelaskan Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik, Pandangan Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan yang ideal, serta Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan, serta Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia dewasa ini. Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.


(21)

16 A. Pengetian Islam Politik

Pengertian Islam politik, menurut M. Rusli Karim dengan mengutip pendapat dari Syamsuddin1 bahwa yang dimaksud dengan Islam Politik adalah sebuah pencerminan dari ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan kekuasaan yang yang diilhami oleh adanya petunjuk dari tuhan, yang tentunya disini telah tercampuri dengan adanya kepentingan manusia.

Dengan kata lain, bahwa antara agama, syariah dengan negara menurut paham ini bisa dikatakan nyaris tidak boleh dipisahkan. Bahkan seorang seperti Imam Syafi’i-pun mengatakan, “…tidak ada politik kecuali ia sesuai syara’— undang-undang Islam”.2 Tentu saja pandangan serta pemahaman tentang Islam politik dari banyak pakar Islam banyak yang berbeda, akan tetapi penulis pikir pada intinya sama. Yaitu, mencoba untuk menghubungkan antara kekuasaan negara dengan agama.

Intisari dari al-Qur’an sendiri setidaknya ada dua ajaran yang terkandung didalamnya yaitu, Akidah dan Syari’ah. Yang antara keduanya berhubungan.

1

M. Rusli Karim dalam Bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era

-an s/d -an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, ), h. 2

Shafi L. Dalam, Al-Aqidah wal Siyasah. (harndon: The International Institut of Islamic Thought, ), h.


(22)

Artinya, tidak ada akidah kalau tidak ada syariah, begitupun sebaliknya. Dari pemaham syariah disini, banyak para pemikir Islam pada akhirnya memperoleh satu instrumen yang melatar belakangi kenapa misalkan antara kekuasaan yang ada di dunia harus tidak boleh terpisahkan.3 Demikianlah kira-kira secara umum apa yang dimaksud dengan pengertian Islam Politik itu.

B. Islam Politik di Indonesia

Indonesia sebagai mana menurut Ahmad Syafii Ma’arif4 dikenal sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar persen rakyat Indonesia beragama Islam5, namun walupun agama ini tidak resmi menjadi agama negara seperti yang terjadi di negara Malaysia. Namun terlepas dari kurangnya sofistikasi intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami ajaran Islam. Baik karena faktor sejarah maupun kultural. Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan begitu vital, yang kini sedang terlibat dalam proses transformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.

3

Menurut Musa, M.Y. dalam bukunya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, (Khairah: Dar al-Katib al-Arabi Littaba’ah wa al-Nasyr, ). Sebagai mana yang dikutib oleh M. Rusli karim dalam bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu kajian mengenai Implikasi kebijakan pembangunan bagi keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era -an sam -an. Mengatakan, bahwa akidah-lah yang menghubungkan antara seorang hamba dengan tuhannya. Ia tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan syari’at juga menghubungkan manusia dengan tuhannya. Yang biasa di sebut dengan Ibadah. Hubungan antara sesama manusia di sebut Mu’amalah, sedangkan hubungannya antara yang di perintah dengan yang memerintah disebut dengan Siyasah.

4

Ahmad Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan, (Jakarta; LP ES, ), h.

5

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern - , (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, ), h.


(23)

Dengan kata lain, Islam di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang telah rampung, namun merupakan suatu proses yang akan terus berjalan. Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat bagaimana sesungguhnya Islam Politik dalam sejarahnya di Indonesia, di mulai dari zaman Kolonial sampai zaman Reformasi.

. Zaman Kolonial

Bahtiar Effendy6 pernah mengatakan bahwa sebenarnya sejarah politik Islam Indonesia modern merupakan salah satu khasanah perbandingan yang cukup lumayan untuk di perbandingkan dengan pemikiran-pemikiran politik keIslaman yang pernah dikembangkan dikawasan Timur Tengah atau dunia Islam lainya.

Sepanjang sejarahnya yang telah berumur kira-kira setengah abad lamanya tersebut, pemikiran politik Islam telah mengalami perkembangan kedalam batas-batas tiga mazhab, dan pada dasawarsa antara tahun -an sampai pada awal -an, eksperimen, artikulasi dan detik pemikirannya tampak lebih kurang telah bersifat absolutis dan atagonistik antara pemikir yang berada di kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis”

Selanjutnya sebagai mana yang di ungkap oleh Ahmad Syafii Ma’arif juga mengatakan kalau sesungguhnya sebuah penilaian yang pantas terhadap

6

Bahtiar Effendy, dalam Pengantar Gagalnya Islam Politik, Karya Oliver Roy, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, ), h.


(24)

berbagai pengalaman dan kegiatan politik Islam pada masa muta’akhir Indonesia terutama tergantung terhadap pengertian yang cukup terhadap Islam sebagai kekuatan pembebas didalam berhadapan dengan politik kolonial belanda terhadap umat Islam pada empat dekade pertama abad ini.

Masih menurut Ahmad Syafii Ma’arif semenjak kedatangan Kompeni India Timur Belanda ke Nusantara yang diperkirakan datang pada permulaan abad ke- , tak dapat tersangkalkan bila saat itu umat Islam sudah melakukan perlawanan yang cukup keras terhadap mereka dan pada tahun , melalui wawancara dengan koresponden Deli Courent, Gubernur Jenderal B.C de Jonge nampaknya masih berharap agar kekuasaan kolonial Belanda akan berlangsung lama di Indonesia.7

Akan tetapi enam tahun kemudian tepatnya pada bulan maret . Kekuasaan kolonial Belanda di usir dari Indonesia oleh pasukan Jepang tanpa adanya perlawanan yang berarti dari pihak penjajah Belanda. Kedatangan Jepang pada mulanya disambut dengan sangat antusias bukan saja oleh umat Islam melainkan juga oleh seluruh bangsa Indonesia.

Lantaran kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan Islam, maka

7

Bahkan dengan sangat pongahnya ia berucap, “Kami sudah berkuasa di sini selama kurang lebih tiga ratus tahun dengan Cambuk dan Cemeti, dan kami akan berbuat begitu lagi untuk tiga ratus tahun kedepan” dikutip dari Sutan Sjahrir, Out of Exile, terjemahan dari bahasa belanda oleh Charles Wolf Jr. (New York: The John Day Company, ), h. Lihat A Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan, (Jakarta; LP ES, ), h.


(25)

KH. Mansur (Muhamdiyah), KH. Achmad Wahab Hasbullah (NU) dan pemimpin-pemimpin Islam lainya dari SI, Al-Irsyad, Al-Islam (organisasi Islam di Solo), Persyerikatan Ulama (Majalengka Jawa Barat) dan lain-lain telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) di Surabaya pada tanggal Septermber .8 Inisiatif kearah persatuan dan saling pengertian ini juga di dorong oleh dua kenyataan.

Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada saat itu masih sangat berserakan dan karena itu persatuan amat perlu dilakukan dalam kerangka perjuangan melawan Belanda. Pentingnya persatuan dikalangan umat juga sangat dituntut secara tegas oleh al-Qur’an di dalam QS. Ali-‘Imron ( ):

#

θϑ

ÁGã#

ρ

7t2

!#

‹ϑ

_

ωρ

#

θ%

 ?

#

ρ



.

Œ#

ρ

M

ϑ

è

Ρ

!#

Ν3‹=

æ

Œ)

ΛΖ.

#‰ã&

#9



/

Ν3

/

θ=%

Λ

s7¹'ù

F

Κ

è

Ζ

/

$

Ρ≡θ

z)

ΛΖ.ρ

’?

ã

$ ©

ο

 m

Β

‘$

Ζ9

#

Ν.

$

κ]Β

79≡

.



6

ƒ

!#

Ν39

G

≈ƒ

#

3=

è

9

βρ

‰G

κ

E

)

نا

ل

/

٣

:

١٠٣

(

Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah

8

KH. Mas Mansyur, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah,

“Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu & Ikhsan, ), h.


(26)

menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”

Ayat ini telah membimbing pemimpin-pemimpin Islam pada waktu mereka membentuk MIAI, adanya faksi-faksi dibidang politik dan perbedaan-perbedaan paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar semangat persaudaraan dalam MIAI.

Kedua, adanya contoh yang kompotitif dari golongan nasionalis sekuler yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Kenyataan ini telah makin mendorong pemimpin umat untuk menatap posisi politik mereka secara lebih kritis, dan persatuan lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu itu. Dengan persatuan diharapkan dapat memobilisasi seluruh gerakan-gerakan Islam untuk menghadapi pihak penjajah. Belum lima tahun setelah kehadiran MIAI, pasukan Belanda mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat diusir kembali.

Dari penjelasan sejarah tersebut bisa kita ambil pemahaman, bahwa umat Islam di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini sangat kuat sekali, terbukti dengan banyaknya inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan seperti pembentukan MIAI dan lain sebagainya.

. Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal Kemerdekaan

Seperti yang telah penulis katakan diatas, dua hari setelah pasukan Jepang menyerah kepada pasukan sekutu, pada tanggal Agustus bangsa Indonesia dibawah pimpinan Soekarno dan Mohammad Hata menyatakan


(27)

kemerdekaannya. Tetapi negara yang baru lahir ini harus melalui jalan terjal dalam mempertahankan kemerdekaannya, karena Belanda masih belum puas dengan masa penjajahannya. Kolonialisme ingin dilanjutkan setelah perang dunia ke dua. Belanda terlalu sedih meninggalkan Nusantara yang cantik ini.

Sebagaimana Kemal Attatruk, Bung Karno sebagai pejuang pemersatu bangsa, pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama juga mempunyai agenda utama dalam membangun Indonesia modern. Karena itu yang menjadi agenda utama adalah tentang sistem politik Indonesia. Di awal-awal kemerdekaan bukanlah hal yang sangat mudah untuk merumuskan hal tersebut.9

Seperti diketahui, semenjak Soekarno menjabat sebagai presiden Indonesia modern, yang segera menjadi persoalan utama ketika itu adalah tarik menariknya ideologi negara antara proyek sekularisasi dan Islamisasi.10 Terlebih lagi jika tarik menarik itu dilihat dari persfektif religio-politik, maka akan semakin nampak bahwa sejarah Indonesia modern memang merupakan perseteruan abadi antara dua kutub yang saling berlawanan tersebut.

Akibat perseteruan abadi tersebut muncul dua kelompok dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut

9

Herbet Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia - , (Jakarta: LP ES, ), h. xvii-xxxviii

10

Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Neagara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, ), h.


(28)

kelompok teokratis, suatu kelompok yang menginginkan prinsip-prinsip agama dijadikan ideologi negara. Kelompok kedua disebut kelompok sekuler, suatu kelompok yang menolak prinsip-prinsip agama dimasukkan dalam ideologi negara. Dalam hal ini, Soekarno yang memiliki otoritas untuk menentukan ideologi negara bisa dimasukkan kedalam kelompok yang kedua. Sebab, secara eksplisit ia selalu menolak formalisasi agama terhadap negara.

Hal ini tercermin dalam perdebatan Bung Karno dengan para petinggi-petinggi negara dalam pengaturan ideologi dan konstitusional negara. Seperti dijelaskan, dari perdebatan-perdebatan tersebut memunculkan polarisasi ideilogi-ideologi kelompok besar, Golongan Nasionalis dan Golongan Agama.11

. Masa Orde Lama

Sejak proklamasi kemerdekaan Agustus bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI September sampai lahirlah Supersemar sebagai

11


(29)

titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.12

Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.

Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.

Presiden Soekarno pada tanggal Juli mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam

12


(30)

Lembaran Negara tahun No. , Berita Negara No. berintikan penetapan berlakunya kembali UUD dan tidak berlakunya lagi UUDS , dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden Juli adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.13 Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal Juli dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit.

Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan

13

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun , (Yogyakarta: penerbit UII, ), h.


(31)

-kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun - , maupun suatu kediktatoran terselubung

(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi

(gekwalificeerde democratie).14

Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental ( - ) dan kemudian Pemilu melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:

( ). Gerakan separatis pada tahun ;

( ). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun .

Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila

14


(32)

Agustus , maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal Juli dengan tujuan kembali ke UUD yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden Juli kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun - , yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun , telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.15

. Masa Orde Baru

Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta G /S/PKI pada tahun .16 Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem

15

Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta merupakan skenario hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA

16

Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru - , (Jakarta: LP ES, h. - .


(33)

politik dan pemulihan keamanan negara.17 Puncaknya terjadi pada tahun , di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertiban nasional, konsolidasi semua aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah tersebut.18

Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli . Ketetapan MPRS No, TX/MPRS/ rnenjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun berhasil menggusur Soekarno dari kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/ . Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi

17

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, ), Ke-, h. .

18

Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, Bab. VII.


(34)

presiden kedua yang ditetapkan dalam ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/ .19

Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung jawab yang merupakan warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat. Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.20

Adapun format politik yang tercipta antara lain21: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial

19

Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto,

(Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, ), h. - . 20

Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, ), h. . 21

Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ), h. .


(35)

politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru.

Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa,

seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security

Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam

pembagunan sosial politik; kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.

Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amerika. Serta banyaknya kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual yang mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan


(36)

kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.22

Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.

Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi Islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya

22

M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:


(37)

umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun

-an.23

Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif.

Hubungan antagonistik ( - ) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.24

Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis ( - ) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya

23

M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, ), hlm. - ; Lihat juga Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, ), h. - .

24

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, ), h. .


(38)

untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu - sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif ( - ) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD .25

Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No. tahun , aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P- ), isu ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No. yang disusul dengan PP No. , dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk

25 Ibid


(39)

menggeser Hukum Islam dari akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia.26

Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya ideologi Islam politik yang menguat kembali.

Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU Perkawinan No. yang kemudian disusul dengan PP No. . Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No. . Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama

26

Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ), h. - .


(40)

(RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.27 Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islamharus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru.28 Melalui pendekatan struktural-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan militer.

Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, Desember , diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No. sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. , disusul dengan UU Perbankan No. (pengganti UU No. ), UU Zakat No. / ,

27

Ahmad Sukarja, ‚Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, ), h. - .

28


(41)

KHI Inpres No. .29 Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia.

. Masa Reformasi

Transisi demokrasi Indonesia pasca reformasi mengubah wajah perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga ikut mewarnai. Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan

29

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam Cik Hasan Bisri. h. -.


(42)

terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru. Salah satunya adalah munculnya berbagai pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi di tingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat, negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.

Selama Orde Baru (Orba), kekuatan politik Islam mengalami pasang surut. Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam merasa kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik karena rezim Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat masuk masa pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih banyak dikooptasi negara.30

Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini memunculkan tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas politik Islam dalam sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok simbolis, yakni berpegang pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua,

30

Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ) Cet Ke-I h.


(43)

-kelompok yang menolak masuknya sistem Islam dalam negara, namun merasa perlu memasukan etos atau spirit Islam dalam mendasari sistem negara. Kalangan ini dikenal dengan kelompk subtansialis. Ketiga, adalah kelompok yang membedakan antara kawasan pribadi dan publik dalam kenegaraan. Agama adalah wilayah pribadi yang tidak dapat dicampurkan dalam sistem publik, negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok liberal.

Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia membangun negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem negara sekuler. Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan, ekonomi, relasi sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia perlu mengambil pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik kenegaraan Islam masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak model gerakan Islam di Indonesia saat ini.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.

Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu


(44)

keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah sendiri runtuh pada , masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan kekuatan kapitalisme Barat.31

Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia. Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam.

Bagi MMI, siapa pun yang menentang penegakan syariat harus ditentang dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal. Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini. Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan

31Ibid , h.


(45)

ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta ( ) merupakan fakta atas hal ini.


(46)

A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali

Dilahirkan di sebuah desa bernama Karanganom sekitar delapan kilometer dari ibu kota Klaten, Jawa Tengah. Ibunya bernama Tas`iyah sedangkan ayahnya bernama Abu Aswad Hasan Sjadzali yang biasa dipanggil Mughaffir.1

Keluarganya merupakan keluarga yang tergolong miskin, sehingga tidak jarang ketika masih di Sekolah Rakyat, Munawir kecil berangkat sekolah pada pagi hari tanpa sarapan terlebih dahulu, kecuali setelah satu hari sebelumnya ibunya menjual kelapa dan dengan hasil menjual kelapa itu dibelikan bahan makanan untuk sarapan keesokan paginya. Pengiriman uang saku yang tertunda bahkan sering kali dikurangi serta biaya sekolah (SPP) yang selalu menunggak saat menimba ilmu di Manba`ul `Ulum, serta mungkin yang tidak pernah dia lupakan adalah ketika ibunya harus menjual jarit (kain panjang) bekas yang masih lumayan bagus untuk menebus ijazah aliyahnya.

Meskipun secara ekonomi keluarganya sangat kekurangan, namun secara agama keluarganya tergolong baik, dikarenakan ayahnya yang pernah mondok di berbagai pesantren tradisional yang cukup terkenal saat itu, seperti Pesantren

1

Nama Tua, yaitu nama yang diberikan karena tradisi masyarakat Desa Karanganom kepada setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang baru menikah, dengan nama tua itulah pasangan itu dipanggil baik oleh keluarga maupun oleh kawan dekat.


(47)

Jamsaren (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Tebu Ireng (Jombang, Jawa Timur), dan Pesantren Termas (Pacitan, Jawa Timur).

Selain itu, ayahnya juga seorang yang aktif di organisasi Muhammadiyah. Bahkan ayahnya pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Ranting Muhammadiyah di kampungnya. Selain itu, ayahnya juga termasuk pengamal atau pengikut tarekat Sjadzaliyah yang merupakan salah satu ordo mistik dalam mistisisme Islam.

Di lingkungan masyarakat Desa Karanganom, ayahnya juga mendapatkan panggilan Kyai, sebuah panggilan kehormatan untuk seseorang yang dianggap memiliki wawasan ilmu-ilmu agama yang luas sekaligus pengakuan sebagai pemimpin informal bagi masyarakatnya.

Munawir Sjadzali adalah anak sulung dari delapan bersaudara, lahir pada pukul pagi hari Sabtu Pon, tanggal Bakdo Mulud (Robi`ul Akhir) tahun Be, menurut ibunya yang buta aksara latin. Ketika Munawir Sjadzali duduk di bangku Madrasah Aliyah Manba`ul Ulum, ia mendapatkan pelajaran Ilmu Falak, dengan ilmu itu ia menemukan bahwa tanggal kelahirannya adalah November .2

Karir Munawir dimulai sebagai guru SD Islam di Unggaran, Semarang ( - ) selepas dari Manba`ul `Ulum. Proklamasi kemerdekaan di bulan Agustus , membawa perubahan besar di Gunungpati yang perbatasannya

2

Konversi ini sesuai dengan yang terdapat dalam buku Almanak Tahun, , terbitan PT. Citra Jaya Murti. Lihat M. Wahyuni Nafis, et.al., Kontekstualisasi Ajaran Islam Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: IPHI dan Paramadina, ), Cet. I, h. .


(48)

dengan Kota Semarang hanya dibatasi oleh aliran Kali Garang yang dangkal. Sehingga Gunungpati, secara langsung atau tidak langsung menerima dampak pertama dari apa yang terjadi di Kota Semarang, terlebih ketika terjadi “Pertempuran Lima Hari” yang dengan sendirinya menimbulkan masalah-masalah politik, keamanan, ekonomi, dan sosial.

Dan seperti yang terjadi di banyak daerah di republik yang masih sangat muda saat itu, di Gunungpati juga segera terbentuk Gerakan Angkatan Muda guna mempertahankan kemerdekaan. Munawir segera bergabung di dalamnya dan terpilih sebagai ketuanya. Inilah kiprah politik yang pertama kali digelutinya.

Selama masa mempertahankan kemerdekaan, Munawir menjadi penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah dengan Badan-badan Kelaskaran Islam yang ada saat itu ( - ). Pada hal tugasnya sebagai penghubung berawal dari ketidaksengajaan, hal ini bermula ketika diselenggarakan Kongres Pemuda di Yogyakarta. Seusai kongres Munawir dan kawan-kawannya kembali ke Gunungpati, namun truk yang mereka tumpangi terhenti di Ambarawa lantaran jalannya terhalang oleh potongan-potongan pohon yang ditebang oleh para pejuang. Saat itulah muncul keinginan dari kawan-kawannya untuk bergabung dengan kesatuan-kesatuan para pejuang. Akhirnya, Gerakan Angkatan Muda yang dipimpinnya membubarkan diri. Dan


(49)

Munawir sendiri, memilih untuk bergabung dengan kesatuan pejuang Islam Hizbullah.3

Selain Hizbullah, organisasi lain yang juga memilki peran yang sama dalam mempertahankan kemerdekaan dan sama besar pengaruhnya di Jawa adalah Sabilillah, namun antara keduanya tidak ada koordinasi sehingga sering terjadi misskomunikasi. Maka untuk menjembatani keduanya, dibentuklah Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan koordinasi. Ternyata, MPHS tidak hanya menjadi jembatan bagi komunikasi dan koordinasi antara Hizbullah dan Sabillah, tetapi juga dengan sesama badan-badan kelaskaran lainnya. Dan Munawir sebagai orang yang dianggap piawai dalam berdiplomasi diikutsertakan dalam tugas ini.

Pada Mei , Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi tentang peleburan semua badan kelaskaran, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena menyadari tidak memiliki memiliki bakat dalam dunia militer, memilih kembali ke Solo dan kemudian aktif dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Ketika meletus Peristiwa Madiun, saat itu Munawir tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Surakarta mewakili GPII. Dan ketika Belanda menduduki Solo dalam Agresi Militer II, Munawir kembali ke medan

3

Hizbullah adalah semacam unit militer bagi pemuda Islam yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada akhir tahun . Lihat Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP ES, ), h.


(50)

pertempuran bergabung dengan kesatuan-kesatuan yang memilih tetap beroperasi di daerah pendudukan.

Tahun setelah perang mempertahankan kemerdekaan dan terlaksananya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, Munawir kembali ke Kota Semarang, di kota itu ia sering keluar-masuk perpustakaan pribadi milik KH. Munawar Cholil guna mencari pemuas dahaganya terhadap ilmu pengetahuan, dengan latar belakang madrasah ia merasa memiliki akses terhadap kitab-kitab klasik Islam4 dan di tahun dia menulis sebuah buku yang berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam ?. Bukunya kemudian menarik perhatian Bung Hatta, sehingga akhirnya Munawir di panggil Bung Hatta. Menurut Bung Hatta, secara kualitas buku tersebut perlu dikembangkan dan berani menentang klise.

Lewat Bung Hatta pulalah, pada itu Munawir memperoleh pekerjaan di seksi Arab / Timur Tengah Departemen Luar Negeri dengan tugas pokok menulis ringkasan surat kabar-surat kabar yang berasal negera-negara timur tengah. Pekerjaan itu semakin menambah pemahaman globalnya terutama segala hal yang berkaitan dengan timur tengah.

Setelah satu tahun berada di Inggris dalam rangka melanjutkan studi ilmu politiknya, maka pada tahun dia kembali ke tanah air dan segera ditempatkan di Direktorat Eropa.

4

Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial – Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta, ), h.


(51)

Awal tahun dia ditarik ke Sekretariat Bersama Konferensi Asia-Afrika yang membuatnya terlibat penuh dalam urusan kesekretariatan pada konferensi bersejarah itu.

Pertengahan tahun untuk pertama kalinya Munawir ditugaskan ke luar negeri, yakni diperbantukan di Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat.

Tahun - , Munawir diangkat menjadi Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu RI. Kemudian tahun - , dipindahtugaskan menjadi Sekretaris I KBRI di Colombo, Sri Lanka. Tahun - diangkat menjadi Kuasa Usaha KBRI di Colombo. Selama lima tahun kurang dua bulan dia di Colombo, sehingga ketika di tanah air terjadi peristiwa G S / PKI, Munawir sedang bertugas di sana.

Kemudian tahun - , dia menjabat Kabiro Tata Usaha Sekjen Deplu, lalu antara tahun - menjabat sebagai Minster / Wakil Kepala Perwakilan RI di London.

Karir Munawir semakin meningkat, sehingga pada - dia diangkat menjadi Duta Besar Reoublik Indonesia untuk Emirat Arab, yang meliputi Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab. Tahun , dia menjabat Staf Ahli Mentri Luar Negeri Republik Indonesia, lalu tahun

dia menjabat sebagai Dirjen Politik Deplu. Dan di puncak karirnya, Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia


(52)

pada Kabinet Pembangunan IV ( - ), dan pada Kabinet Pembangunan V

( - ).

Prof. Dr. Munawir Sjadzali M.A yang dikenal sebagai seorang diplomat, birokrat, pendidik, dan sekaligus sebagai pemikir, telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jum`at, Juli di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, akibat serangan penyakit stroke dan kompilasi dari beberapa penyakit lainnya.

B. Pendidikan Munawir Sjadzali

Munawir Sjadzali kecil menerima pengajaran dan pendidikan dari ayahnya sendiri, kemudian ia juga mendapatkan pengajaran dan pendidikan dari Sekolah Rakyat (selama tiga tahun), kemudian dari Pondok Pesantren dan Madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasatul Islam, dan Madrasah Manba`ul Ulum5 yang terletak di Solo.

Ketika di Madrasah yang juga Pondok Pesantren Manbaul `Ulum inilah dia mulai belajar Bahasa Arab yang meliputi mata pelajaran Nahwu (Imrithi, Mutammimah, dan Alfiyah), Shorof, Bayan, Ma`ani, Badi’, dan Arudl. Serta Theologis, Hadits, Tafsir (Al Jalalain), Fiqih (Fathul Qarib, Safinatunnajjah, Fathul Mu`in, Fathul Wahhab, dan Al Muhadzab), Ushul Fiqh (Irsyadul Fuhul,

5

Manbaul Ulum dikenal sebagai perintis dan pelopor pembaharu pendidikan Islam modern secara selektif mempergunakan sistam pendidikan barat. Didirikan tahun oleh R. Adipati Sosrodiningrat dan R. Penghulu Tafsirul Anam. Pada mulanya, lembaga pendidikan ini hanya berbentuk pesantren tradisional, kemudian pada diadakan modernisasi dengan sistem kelas, dari kelas I sampai XI. Lihat Mahmud Yunus, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, ), h. .


(53)

dan Waroqot), Falaq, Balaghah, dan Ilmu Hitung.6 Intelektualitas Munawir semakin teguh ketika pada masa berkarir dia tidak hanya menguasai bahasa Jawa, Melayu, dan Arab. Tetapi juga menguasai bahasa Inggris, dan Prancis.

Pada tahun , Munawir berangkat ke Inggris untuk belajar ilmu politik di Universitas College of Sout West Of England, Exter. Dan sekembalinya dari Inggris, dia sempat ditempatkan di Direktorat Eropa, kemudian terlibat penuh dalam urusan kesekretariatan pada Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di kota Bandung pada awal tahun .

Setelah konferensi Asia-Afrika selesai, dia diperbantukan di Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat. Kesempatan ini dia manfaatkan untuk melanjutkan studinya sambil meniti karir, sehingga pada Munawir menyandang gelar Master of Arts dalam Bidang Ilmu Politik di Universitas Goergetown dengan tesis “Indonesia’s Moslem Pasties and Their Political Concept”.

Setelah mendapatkan gelar M.A, karirnya terus meroket, berpindah dari satu tugas ke tugas yang lain, sampai akhirnya oleh Presiden Soeharto dia diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode, yakni pada Kabinet Pembangunan IV ( - ), dan pada Kabinet Pembangunan V

( - ).

6

Munawir Sjadzali, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, ), h.


(54)

Di sela-sela kesibukannya dalam melaksanakan tugas negara, dia juga dipercaya sebagai Guru Besar pada Program Pascasarjana IAIN, Jakarta.7

C. Posisi Munawir Sjadzali Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya Sekembalinya dari luar negri, dan menjabat sebagai Menteri Agama, ketika itu pula, ia mulai melancarkan pemikiran-pamikirannya mengenai Islam. Agaknya Munawir tidak mengetahui perkembangan pemikiran Islam di tanah airnya sendiri. Ia kurang menyadari bahwa pembaharuan atau penyegaran pemikiran tentang Islam telah dimulai oleh orang-orang muda, seperti Nurcholis Madjid pada tahun , Ahmad Wahid dan Djohan Effendi yang diikuti oleh Abdurrahman Wahid dari sayap tradisional. Serta dari kalangan yang lebih senior yaitu Harun Nasution, yang menyebarkan paham pembaharuan pemikiran Islam Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di IAIN.8

Sejak aktif dalam pemikiran di Indonesia, Munawir boleh dikatakan menjadi fenomena “Kembalinya Si Anak Hilang” ia memilih jalan kritik, bahkan kritik tajam dan langsung, dari pada jalan persuasif. Ini disebabkan karena ia merasa memiliki penguasaan literatur keagamaan langsung dari bahasa Arab yang dijalin dengan pendekatan ilmu politik Barat yang tidak

7

Munawir Sjadzali; “Dari Lembah Keminskinan; Meniti Karir Merangkap Belajar”, M. Wahyuni Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A., (Jakarta: IPHI dan Paramadina, ), cet. I. h. - .

8

M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, ), Cet. Ke-I, h.


(55)

kentara, yang ia pelajari secara akademis di AS, namun ia lebih menampilkan diri dan percaya diri sebagai seorang ahli fikih lulusan Manba’ul Ulum, Solo.

Pendekatannya yang konfrontatif, antara lain karena ia mendapat dukungan politik yang kuat dari rezim Orde Baru yang berkuasa dan merasa sangat kuat otoritas politiknya itu, menyebabkan ia mendapatkan perlawanan yang sangat sengit sebagaimana dialami oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Wahid dan Harun Nasution. Namun Munawir merasa sama sekali tegar untuk terus menerus mengemukakan pendapatnya yang “kontroversial” itu.

Dalam menjalankan misinya, Munawir telah menulis berbagai artikel, ceramah dan pidato resmi sebagai Menteri Agama. Dalam setiap pidato, ceramah dan artikelnya, ia selalu bersikap polemis, buktiya telah mengundang komentar lisan maupun tulisan terutama dari tokoh-tokoh Islam. Jika dibandingkan dengan Nurcholis Madjid yang dikenal Kritis dan juga polemis itu, tokoh yang lebih muda itu jauh lebih santun. Disamping kritik, Nurcholis Madjid masih membawa dakwah yang memberikan semangat, yaitu semangat peradaban Islam. Tapi Munawir lebih mengarah kepada kritik dan perubahan.9

D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia

Munawir Sjadzali adalah seorang pemikir yang lebih maju dari kebanyakan orang dimasanya, terbukti pada tahun -an seusai mengikuti Muktamar GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia) di Semarang. Munawir

9Ibid , h.


(1)

birokrat pada saat ini, karena formalisasi Islam sudah menjadi keharusan. Karena kurangnya kemampuan untuk menterjemahkan ruh atau sepirit Islam kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya, tidak hadir di panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dengan Orde Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai Undang-Undang Pendidikan Nasional ( ), Undang-Undang Peradilan Agama ( ), dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia ( ), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat ( ), dan surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi Pelajar Putri. Hal ini merupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali saat beliau menjadi Menteri Agama RI.

Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai poltik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.”

Untuk itulah diperlukan pemikiran-pemikiran dan eksen konkrit seperti sosok Munawir Sjadzali yang mampu membaca fenomena dan menterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan bermodalkan kejujuran akan ilmu dan Islam sera politik yang mampu menjembatani umat secara keseluruhan tanpa ada


(2)

yang merasa terasingkan, terlebih lagi merasa kehilangan identitas dirinya. Semoga kita bisa meneladaninya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam : Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Perkembangan Dari Zaman Kezaman. Jakarta : Bulan Bintang

, Cet Ke-

Ali, Fahri dan Bakhtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan

Anwar, M. Syafi`i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, , Cety Ke-

Effendy, Bakhtiar. Islam Dan Negara. Transpormasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, , Cet Ke-

_____ , Re-Politisasi Islam : Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung : Mizan, , Cet Ke-

Gaffar Affan, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Hasan, Fuad, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada,


(4)

IAIN syarif Hidayatullah. Penganugrahan Gelar Doktor Kehormatan ( Doctor Honoris Causa) dalam Ilmu Agama Islam Kepada H. Munawir Sjadzali, Jakarta, IAIN.

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di

Indonesia Era -an s/d -an. (Yogyakarta: Tiara Wacana,

Ma`arif, Ahmad Syafi`I, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP ES,

Mansyur, KH. Mas, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah, “Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu & Ikhsan, ), h.

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam

di Indonesia. Yogyakarta: LKIS, , Cet. Ke-

Masoed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru - , (Jakarta: LP ES,

Natsir, M. Agama dan Negara: Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah, , Cet Ke-

Noer, Deliar. Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta : Yayasan Perkhidmatan.


(5)

Panduan Skripsi Fakultas Syariah, UIN. Jakarta,

Proyek. Keagamaan. Badan Litbang Agama. Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Departemen Agama RI,

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan,

Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam. Jakarta: Departemen Agama RI,

______, Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press.

______, “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam : Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, . Cet Ke-

______, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan,

______, Reaktialisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas,

______, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, . Edisi


(6)

______, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press

______,Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan

Bangsa.Jakarta: Departemen Agama RI,

______, Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna,

______, Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Humas Departemen Agama RI,

______, Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI,

______, Pokok-pokok Kebijakan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan Beragama. Jakarta: Depag RI

Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, ) cet ke

Syamsudin, M. Din. “ Mengapa Pembaharuan Islam”. Jurnal Ulumul Qur`an. Jakarta: Vol IV.