Analisis Data Metode Penelitian .1 Pengumpulan Sampel

11 1991 terhadap sampel tinja kerbau lumpur di Kalimantan Selatan menemukan infeksi cacing hati Fasciola sp. dan trematoda rumen Paramphistomum sp., serta tidak ditemukan infeksi cacing nematoda dalam saluran pencernaan Suhardono 2000. Menurut Rohaeni et al. 2008, kejadian infeksi pada Kalimantan Selatan bahkan menjadi salah satu penyebab tingginya mortalitas ternak kerbau. Penelitian Estuningsih 2006 dengan uji capture-ELISA untuk deteksi antigen dalam tinja menyimpulkan bahwa sebanyak 60,28 dari 141 sampel tinja sapi di RPH Jakarta yang diteliti positif Fasciola sp. Ukuran telur genus Fasciola pada penelitian ini yaitu 126.60-179.0 µm × 89-106.70 µm dengan rataan 155.60 ± 15.68 µm × 97.03 ± 6.03 µm Tabel 1. Ukuran telur genus Fasciola di Indonesia umumnya yaitu 118.80-158.40 µm × 66-105 µm Mukhlis 1985. Ukuran ini lebih mirip telur F.hepatica yang berukuran 130-150 µm × 63-90 µm Levine 1994. Hasil ini juga sejalan dengan pendapat Chen 1990 dalam Abdel-Nasser et al. 2010 yang menyatakan bahwa ukuran telur genus Fasciola di Asia tidak jauh berbeda dari F. hepatica yaitu 130-150 µm × 63-90 µm. Namun, ukuran telur genus Fasciola penelitian ini lebih kecil daripada ukuran telur genus Fasciola asal Afrika. Menurut Lapage 1962 ukuran telur genus Fasciola asal Afrika berkisar 156-197 µm × 90-104 µm. Ukuran telur genus Paramphistomum pada penelitian ini adalah 135.30 -152.20 µm × 72.90-100 µm dengan rataan 145.34 ± 6.38 µm × 83.08 ± 9.49 µm Tabel 1. Hasil ini mendukung keterangan Foreyt 2001 yang mengutarakan bahwa telur genus Paramphistomum memiliki ukuran 150 µm × 75 µm. Hasil ini juga menguatkan penelitian Burgu 1981 yang mengemukakan bahwa ukuran telur genus Paramphistomum 121-169 µm × 68-95 µm. Hasil rataan perhitungan Faecal Egg Counts FEC genus Fasciola dengan teknik filtrasi adalah 2.07 ± 4.30 per gram tinja sedangkan rataan FEC genus Paramphistomum adalah 1.76 ± 2.24 per gram tinja. Berdasarkan standar infeksi, infestasi telur trematoda pada kerbau atau sapi tergolong patogenik apabila terdapat 100-200 telur per gram tinja Soulsby 1986. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau yang diteliti mengalami infeksi Fasciola dan Paramphistomum yang tergolong tidak patogenik. Tabel 1 Hasil pengukuran rataan panjang dan lebar telur cacing genus Fasciola dan genus Paramphistomum pada tinja kerbau Jenis telur genus Ukuran rataan µm Panjang Lebar Fasciola 155.60 ± 15.68 97.03 ± 6.03 Paramphistomum 145.34 ± 6.38 83.08 ± 9.49 12 Gambar 2 dan 3 menunjukkan perbandingan infestasi kedua jenis telur cacing pada keempat kerbau. Data tersebut menggambarkan bahwa masing- masing kerbau memiliki derajat infeksi cacing yang berbeda. Secara umum infeksi Paramphistomum hampir merata pada semua kerbau. Rataan telur genus Paramphistomum pada kerbau 1, 2 dan 4 lebih tinggi dibandingkan telur genus Fasciola . Namun, kerbau 3 mengalami hal yang sebaliknya, rataan telur genus Fasciola yang ditemukan lebih tinggi daripada telur genus Paramphistomum. Perbedaan derajat infeksi dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri atas umur, jenis kelamin dan Gambar 8 Grafik perbandingan infestasi telur cacing genus Fasciola pada kerbau 1-4 K1-K4 selama 4 minggu M1-M4 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 M1 M2 M3 M4 J u m l a h t e l u r Waktu K1 K2 K3 K4 Gambar 9 Grafik perbandingan infestasi telur cacing genus Paramphistomum pada kerbau 1- 4 K1-K4 selama 4 minggu M1-M4 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 M1 M2 M3 M4 J u m l a h t e l u r Waktu K1 K2 K3 K4 13 breed Putri 2008; Sayuti 2007. Zhang et al. 2006 menyatakan bahwa salah satu faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap derajat infeksi adalah imunitas individu kerbau. Menurut Tuasikal Suhardono 2006, peningkatan daya tahan tubuh ternak dapat menurunkan patogenisitas cacing. Faktor intrinsik yang diduga mempengaruhi derajat infeksi pada penelitian ini adalah imunitas individu kerbau. Dugaan ini didasarkan pada asumsi bahwa pengaruh faktor intrinsik lain dapat diabaikan karena dianggap sama pada semua kerbau. Kerbau yang memiliki imunitas yang baik maka akan dapat menghambat aktivitas parasitik cacing Zhang et al. 2006. Hal ini akan menurunkan fekunditas cacing. Penurunan fekunditas ini akan mengurangi produksi telur cacing. Sebaliknya, kerbau yang memiliki imunitas yang rendah terhadap cacing tertentu akan mengalami infeksi yang tinggi. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi derajat infeksi meliputi iklim, karakteristik geografis dan manajemen pemeliharaan Putri 2008. Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap derajat infeksi pada penelitian ini adalah pemberian anthelmintika albendazol. Obat yang diberikan diduga memberikan efektivitas yang berbeda terhadap keempat kerbau. Sebagaimana yang dijelaskan Alvarez et al. 2009, albendazol hanya peka terhadap jenis–jenis cacing tertentu saja diantaranya Fasciola namun tidak peka terhadap Paramphistomum. Infestasi telur cacing dari M1-M4 mengalami fluktuasi dan tidak sama antar kerbau. Terjadinya fluktuasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, banyaknya tinja yang dikeluarkan setiap hari oleh hewan seringkali berbeda. Kedua , produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda. Ketiga, produksi telur cacing tua dan muda berbeda Kusumamihardja 1995 dalam Chrisnawaty 2008. Keempat , konsistensi tinja yang lembek lebih berat dibandingkan dengan tinja yang padat Soulsby 1986. Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan rataan produksi harian telur cacing pada berbagai titik. Berdasarkan data tersebut, jumlah telur tidak berbeda nyata antar titik p0.05. Hal ini membuktikan pada titik manapun dapat dilakukan pengambilan sampel karena hasilnya tidak berbeda nyata. Tabel 2 Hasil perhitungan FEC pada beberapa titik dari sampel tinja Titik Kode kerbau K1 K2 K3 K4 Nilai rataan FEC TTGT A 1,97 ± 2.37a 0,94 ± 1.02a 3,62 ± 3.77a 0,86 ± 0.85a B 2,26 ± 2.36a 0,67 ± 0.86a 3,94 ± 3.10a 0,78 ± 0.76a T 2,31 ± 2.64a 0,49 ± 0.78a 2,94 ± 2.80a 0,96 ± 1.19a Ka 2,36 ± 2.55a 0,27 ± 0.39a 4,15 ± 4.57a 0,85 ± 1.02a Ki 2,10 ± 2.12a 0,49 ± 0.53a 5,13 ± 5.62a 1,10 ± 1.60a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 p0.05. A : Titik pada bagian atas tinja Ka: Titik pada bagian kanan tinja B : Titik pada bagian bawah tinja Ki: Titik pada bagian kiri tinja T : Titik pada bagian tengah tinja 14 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Jenis telur cacing yang ditemukan dalam penelitian ini adalah telur trematoda genus Fasciola dan genus Paramphistomum. Berdasarkan nilai FEC yang diperoleh tingkat infeksi kedua spesies cacing masih tergolong tidak patogenik. Infeksi Paramphistomum lebih tinggi dibandingkan infeksi Fasciola pada ketiga kerbau. Sebaliknya, infeksi Fasciola lebih menonjol dibandingkan infeksi Paramphistomum pada satu kerbau. Jumlah telur cacing pada kelima titik pengambilan tinja tidak berbeda nyata.

5.2 Saran

Saran penulis untuk penelitian selanjutnya yaitu perlu dilakukannya penelitian dengan menggunakan beberapa anthelmintik untuk mengamati khasiat obat terhadap cacing parasit. 6 DAFTAR PUSTAKA Abdel-Nasser AH, Ismael MH, Refaat MAK. 2010. Development and hatching mechanism of Fasciola eggs, light and scanning electron microscopic studies. Saud J Biol Sci 17: 247-251. doi: 10.1016j.sjbs.2010.04.010. Alvarez L, G Moreno, L Moreno, L Ceballos, L Shaw, I Fairweather, C Lanusse. 2009. Comparative assessment of albendazole and triclabendazole ovicidal activity on Fasciola hepatica eggs. Vet Parasitol 164:211–216. doi: 10.1016j.vetpar.2009.05.014. Bamualim AM, Muhammad Z. 2007. Situasi dan Keberadaan Ternak Kerbau di Indonesia. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau 2007. Bogor. hlm 32-39. Burgu A. 1981. Studies on the Biology of Paramphistomum Schrank, 1970 in the Sheepin the District of Eskisehir Ciftelerstrate Farm. A O Vet Fak Derg 281-4: 50-71. Bustami, E Susilawati. 2007. Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Hal 90-94. Cheng TC. 1973. General Parasitology. Florida: Academy Press. Chrisnawaty D. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor: Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. De Waal. 2008. Paramphistomum, a brief review. Irish Vet J 63 5: 313-315. Dorny P, Valérie S, Johannes C, Sothy M, San S, Bunthon C, Davun H, Dirk Van A, Jozef V. 2011. Infections with gastrointestinal nematodes, Fasciola and Paramphistomum in cattle in Cambodia and their association with morbidity parameters. Res Vet Sci 175: 293-299. doi: 10.1016j.vetpar.2010.10.023 15 Estuningsih SE. 2006. Diagnosis of Fasciola gigantica infection in cattle using capture-ELISA assay for detecting antigen in faeces. JITV 113: 229-234. Fahimuddin M. 1975. Domestic Water Buffalo. New Delhi: Oxford IBH Publishing Co. Foreyt WJ. 2001. Veterinay Parasitology: Reference Manual. Fifth Ed. Iowa: Iowa State University Press. Goral V, Senem S, Omer M, Mutallib C, Berat E, Besir K . 2011. Biliary Fasciola gigantica case report from Turkey. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 423: 509-512. Herianti I, Pawarti MDM. 2009. Penampilan reproduksi kerbau pada kondisi peternakan rakyat di Pringsurat, Kabupaten Temanggung. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009 . Temanggung: BPTP Jawa Tengah. [Kementan-BPS]. Kementerian Pertanian-Badan Pusat Statistik. 2011. Hasil Rilis Akhir Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau PSPK 2011. [internet] [diacu 2012Desember 4]. Tersedia pada: http:ditjennak.deptan.go.id. Khan MK, MS Sajid, MN Khan, Z Iqbal and MU Iqbal. 2008. Bovine fasciolosis: Prevalence, effects of treatment on productivity and cost benefit analysis in five districts of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci 87: 70–75. doi: 10.1016j.rvsc.2008.12.013 Krejci KG, Fried B.1994. Light and scanning electron microscopic observations of the eggs, rediae, cercariae, and encysted metacercariae of Echinostoma trivolvis and E. caproni. Parasitol. Res. 80: 42–47. Kremer M, Chaker E. 1983. Operculated eggs of plathelminths: description of a typical forms and attempt of explanation. Ann.Parasitol. Hum. Comp. 58: 337– 345. Lapage G. 1962. Veterinary Helminthology and Entomology. 5 th Ed. London: Balliere, Tindal ancox, Inc. Lendhanie UU. 2005. Karakteristik reproduksi kerbau lumpur dalam kondisi lingkungan peternakan rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1.Januari:43-48. Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology . USA: Burgess Publishing Company. Lloyd J, Joe B, Stephen L. 2007. Stomach fluke paramphistomes in ruminants. Primefact 452: 1-4. Miller D, T Gipson. 2003. Results of a Dewormer Resistance Survey in Oklahoma Goat Herds. Proc. 18th Ann. Goat Field Day. Langston University: Langston, OK. Hlm 34-41. Mukhlis A. 1985. Identitas Cacing Hati Fasciola sp dan Daur Hidupnya di Indonesia. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Murtidjo BA. 1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta: Kanisius. Palmer D, Lyon J. 2011. Detection of Trematode Eggs and Eimeria Leuck – Sedimentation Methode – Faecal Sample. PAM-26: 1-10. Peebles K. 2008. Understanding The Life Cycle of Ruminant Parasites. Moredun Research Institut: United Kingdom. Hlm 1-30.