Kecernaan Kualitas Air TINJAUAN PUSTAK

Penggunaan jagung dalam pakan dibatasi oleh adanya kandungan afla toksin pada jagung. Afla toksin merupakan komponen metabolit sekunder kapang Aspergillus sp. Umumnya efek yang ditimbulkan karena mengkonsumsi afla toksin pada hewan ternak adalah rendahnya pertumbuhan, kerusakan hati, gangguan pembekuan darah, menurunkan respon terhadap imun, dan meningkatkan kematian Lovell, 1989. Negara beriklim tropis seperti Indonesia merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan jamur. Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban, sangat berperan dalam munculnya kontaminasi aflatoksin. Kandungan afla toksin dalam jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb Tangendjaja dan Rachmawati, 2006. Pada ikan channel catfish, dosis yang mematikan LD 50 berkisar antara 15 – 30 ppm.

2.5. Kecernaan

Kecernaan dapat menggambarkan fraksi nutrien atau energi dalam pakan yang dicerna dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses NRC, 1993. Melalui pengukuran kecernaan, maka akan dapat dievaluasi potensi cocok atau tidaknya suatu bahan jika diberikan pada ikan tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Watanabe 1988 bahwa hal pertama yang harus dilakukan untuk mengevaluasi potensi sebuah bahan baku untuk digunakan pada pakan adalah mengukur kecernaannya. Hal ini dilakukan karena setiap jenis bahan memiliki tingkat kecernaan yang berbeda-beda pada setiap jenis ikan. Pada umumnya, bahan pakan nabati lebih sukar dicerna daripada bahan hewani. Hal ini dikarenakan adanya kandungan serat kasar dalam bahan nabati, dimana serat kasar ini sulit dicerna dan memiliki dinding sel yang kuat sehingga sulit dipecahkan Hepher, 1988. Untuk mengukur nilai kecernaan, dapat digunakan bahan indikator yang dapat bertahan untuk tidak rusak atau tercerna oleh saluran pencernaan ikan. Salah satu bahan yang umumnya digunakan sebagai indikator adalah Cr 2 O 3. bahan ini akan dikonsumsi ikan akan melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses NRC, 1993. Banyaknya kandungan Cr 2 O 3 yang digunakan dalam formulasi pakan adalah sebesar 0.5-1 Watanabe 1988 dan NRC 1993. Keunggulan dari penggunaan metode ini adalah mengurangi jumlah feses yang harus dikumpulkan NRC, 1993. Metode ini dapat diaplikasikan untuk menentukan nilai kecernaan energi, protein kasar, karbohidrat, lemak dan bahan kering pada berbagai jenis ikan Cho, 1982 dalam NRC, 1993 Selain dari jenis bahan yang berbeda, nilai kecernaan suatu bahan juga dipengaruhi oleh proses pengolahan bahan-bahan tersebut. Proses pengolahan yang terlalu ekstrim seperti pemanasan yang berlebih, dapat menyebabkan kerusakan dalam bahan pakan yang akhirnya mengurangi nilai nutrisi Finley, 1989 dalam NRC, 1993.

2.6. Kualitas Air

Walaupun ikan nila termasuk ikan air tawar, ikan ini bersifat euryhaline dan dapat bertahan, tumbuh, dan beberapa spesies dapat memijah pada perairan yang bersalinitas 40 mgl. Beberapa jenis nila yang telah dibudidayakan mampu bertahan pada kadar oksigen 0.1 mgl Lovell, 1988. Aktifitas makan ikan akan berkurang pada suhu di bawah 20 o C dan berhenti makan pada suhu 16 o C Lovell, 1989. Sebagai hewan yang bersifat poikilothermal, suhu sangat memperngaruhi laju metabolisme ikan. Suhu yang tinggi akan mempercepat metabolisme dan sebaliknya, suhu yang rendah akan menurunkan metabolisme. Umumnya ikan tropis dan sub tropis tidak dapat tumbuh baik di bawah suhu 25 o C, dan suhu mematikan pada suhu dibawah 10 atau 15 o C. Spesies periaran hangat akan tumbuh baik pada suhu 20-28 o C Boyd, 1998 . Kadar oksigen sangat penting untuk kelangsungan metabolisme pada tubuh ikan. Pescod et al. 1973 dalam Merantica 2007 menyatakan bahwa kadar oksigen yang baik untuk budidaya adalah lebih besar dari 2 ppm. pH merupakan logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen Boyd, 1998. Organisme akuatik mengeluarkan buangan atau ekresi utama berupa nitrogen. Hal yang sama dikemukakan oleh Lovell 1998 bahwa ikan teleostei air tawar mengeluarkan 60-90 buangan nitrogen dalam bentuk amoniak yang dikeluarkan melalui insang. Kadar pH yang cocok bagi kelangsungan hidup organisme akuatik seperti ikan berkisar antara 7-8.5 Effendi, 2003 Meade 1985 dalam Boyd 1990 menyatakan bahwa secara umum baik NH3 ataupun NH4 dapat bersifat toksik, tetapi NH3 memiliki sifat yang lebih toksik dari NH4 . Ikan nila memiiki toleransi terhadap amoniak hingga 2.4 mgL Lovell, 1989. Toksisitas amoniak pada ikan nila mulai terlihat pada kisaran 0.07- 0.14 mgL dimana mulai terjadi efek negatif terhadap pertumbuhan ikan nila, sehingga direkomendasikan konsentrasi amoiak dipertahankan di bawah 0.1 mgL El Shafai et. al. 2004 dalam El Sayed, 2006 III. BAHAN DAN METODE

3.1. Pakan Uji