Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng

Sehingga masyarakat akan lebih memilih minyak goreng yang berbahan baku dari minyak sawit. Pangsa pasar produksi minyak goreng saat ini diperebutkan oleh sekitar 120 produsen lokal dengan kapasitas produksi sebesar 8,5 juta ton. Lokasi produsen minyak goreng sawit tersebar ke beberapa propinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Kalimantan Barat. Berbagai merek dapat minyak goreng dapat ditemui diberbagai pasar di Indonesia. Merek-merek seperti Bimoli, Filma dan Kunci Mas merupakan jenis minyak goreng yang beredar luas di masyarakat.

4.2. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa perkembangan minyak goreng sawit pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan seiring dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit. Rata-rata pertumbuhan produksi minyak goreng sawit di Indonesia selama periode 2000-2005 sebesar 10,6 persen. Sedangkan konsumsi per kapita minyak goreng di Indonesia mencapai 16,5 kilogram per tahun dimana konsumsi per kapita untuk minyak goreng sebesar 14,6 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi minyak goreng yang relatif tinggi ini sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit serta tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, yaitu sebesar 1,28 persen per tahun. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Produksi dan Konsumsi per Kapita Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2000-2006 Tahun Produksi 000 Ton Pertumbuhan KonsumsiKap KgKapTahun Pertumbuhan 2000 6.950 11,2 13,76 -1,6 2001 7.660 10,2 13,97 1,5 2002 9.060 18,3 14,28 2,2 2003 10.110 11,6 14,72 3,1 2004 10.955 8,4 15,38 4,5 2005 11.938 9,0 16,03 4,2 2006 12.911 7,5 16,77 4,4 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006

4.3. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng

Minyak goreng merupakan kebutuhan pokok dan komoditi yang penting bagi masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu untuk mengatur untuk melindungi konsumen domestik. Wujud campur tangan pemerintah antara lain: 1. Kebijakan investasi Industri minyak goreng berbahan baku kelapa sawit, minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya terbuka untuk investasi karena tidak pernah tercantum dalam Daftar Negatif Investasi DNI. 2. Kebijakan bidang produksi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 329Menteri KesehatanPerXII76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan menyatakan bahwa izin dari menteri kesehatan dan sebelum diedarkan harus didaftarkan lebih dahulu untuk mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 3. Kebijakan dalam bidang ekspor impor Paket Juni 1994 mengatur tarif bea masuk minyak goreng yang berkisar antara 5 – 20 persen tergantung jenisnya. Sedangkan bea masuk tambahan telah ditiadakan sejak tahun 1991. Di dalam Paket Deregulasi Mei 1995 terjadi penurunan bea masuk beberapa jenis minyak goreng. Adanya penurunan ini menyebabkan bea masuk minyak goreng berkisar antara 0 – 5 persen tergantung jenisnya. Pemerintah menerapkan kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit dan produk turunannya. Kebijakan ini diambil dalam rangka mengamankan pasokan bahan baku minyak sawit untuk memenuhi permintaan pabrik minyak goreng. Kebijakan ini hanya berlangsung beberapa bulan, yaitu pada bulan Januari – Maret 1998. Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 pasokan minyak sawit dalam negeri mengalami kelangkaan sehingga harga minyak goreng melambung tinggi akibat pesatnya ekspor minyak sawit. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah melalui paket deregulasi Juli 1997 yang menurunkan pajak ekspor minyak sawit dari 10 – 20 persen menjadi 2 – 5 persen. Sehingga produsen minyak sawit semakin gencar melakukan kegiatan ekspor. Dengan kondisi tersebut, pemerintah mengambil langkah pengamanan pasokan minyak sawit dalam negeri dengan memberlakukan pelarangan ekspor. Ekspor minyak sawit dan produk turunannya kembali dibuka setelah pemerintah Indonesia dan IMF sepakat. Melalui SK Menperindag No.18MPPKep41998, sejak April 1998 perodusen bebas melakukan ekspor. Namun, kebijakan tersebut diikuti oleh SK Menkeu No. 242KMK.011998 tertanggal 22 April 1998 yang salah satunya menetapkan pajak ekspor minyak sawit sebesar 40 persen. Pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan pajak ekspor minyak sawit menjadi 60 persen melalui SK Menkeu 334KMK.0171998. Pada September 2000, pemerintah menurunkan pajak ekspor menjadi 5 persen. Pemerintah kembali menurunkan pajak ekspor menjadi 3 persen pada tahun 2001. Penurunan pajak ekspor tersebut dimaksudkan untuk menghadapi ketatnya persaingan ekspor minyak sawit terutama oleh Malaysia. Pada bulan Juni 2006, pemerintah menaikkan tarif pajak ekspor minyak sawit menjadi 6,5 persen. Kebijakan ini ditempuh untuk mengamankan pasokan komoditi ini di dalam negeri. Sejak harga minyak sawit di pasar dunia meningkat tajam, kalangan industri dan pedagang lebih memilih untuk mengekspor minyak sawit. Akibatnya, selain mengangu pasokan di dalam negeri, hal itu juga memicu naiknya harga minyak goreng sawit.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN