Presentase Parasitemia HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Presentase Parasitemia

Penentuan tingkat infeksi masing-masing parasit berdasarkan persentase parasitemia selama 8 minggu. Hasil dari perhitungan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Presentase parasitemia Babesia, Theileria dan Anaplasma selama 8 minggu Waktu pengamatan minggu ke- Persentase Parasitemia Babesia Theileria Anaplasma Minggu 1 0 ± 0 0.063 ± 0.025 0.287 ± 0.075 Minggu 2 0.0125 ± 0.025 0.038 ± 0.075 0.213 ± 0.075 Minggu 3 0 ± 0 0.067±0.061 0.217 ± 0.104 Minggu 4 ± 0 0.038±0.048 0.163 ± 0.048 Minggu 5 0.025 ± 0.05 0.025 ± 0.05 0.250 ± 0.191 Minggu 6 0 ± 0 0.125±0.05 0.263 ± 0.025 Minggu 7 0 ± 0 0.075±0.096 0.275 ± 0.096 Minggu 8 0.013 ± 0.025 0.038 ± 0.075 0.175 ± 0.202 Rata rata 0.00625 ± 0.009 0.058 ± 0.032 0.230 ± 0.045 Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata hasil parasitemia de ngan uji Duncan dan α 0.05. Pengambilan darah pada minggu 1 dilakukan pada hari yang sama sesaat setelah translokasi kerbau dari Tenjolaya ke URR. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui asal infeksi parasit. Hasil pemeriksaan ulas darah menunjukkan terdapatnya infeksi Theileria dan Anaplasma berasal dari Tenjolaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya darah yang terinfeksi Theileria dan Anaplasma pada minggu 1. Infeksi Babesia juga diduga berasal dari Tenjolaya sebab dalam waktu 2 minggu, telah ditemukan darah yang terinfeksi oleh parasit umumnya Babesia membutuhkan waktu 2-3 minggu dari awal infeksi sporozoit hingga hewan mengalami parasitemia. Penelitian ini menunjukkan adanya infeksi campuran antara protozoa dan ricketsia. Hal ini bisa disebabkan oleh kesamaan karakteristik agen yang merupakan parasit intraseluler obligat dan berperantara vektor serangga. Vektor yang berperan dalam penyebaran ketiga infeksi ini adalah caplak Ixodidae Gubbels et al. 2000, Bock et al. 2004, Uilenberg 2006, Rodriguez et al. 2009. Oleh karena itu di alam sering kali ditemukan infeksi campuran di dalam darah yang terdiri atas Protozoa dan Rickettsiae Rodriguez 2007. Pengamatan persentase parasitemia Babesia pada minggu 1,3,4,6,7 menunjukkan hasil negatif. Hal ini disebabkan oleh infeksi Babesia yang sangat rendah, sehingga agen kerap kali tidak ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopis. Selain itu tidak terdeteksinya Babesia dalam ulas darah juga bisa disebabkan oleh terdapatnya fase ekstraseluler dalam perkembangan Babesia. Infeksi Babesia selama 8 minggu memang menunjukkan fluktuasi persentase parasitemia, tetapi fluktuasi tersebut tidak berbeda nyata secara statistik. Oleh karena itu, terdapat indikasi adanya infeksi yang bersifat peresisten dan stabil. Rata-rata persentase infeksi Babesia selama 8 minggu sebesar 0.00625 ± 0.009 . Persentase parasitemia menunjukkan bahwa hewan mengalami parasitemia yang ringan karena nilainya 1 Ndungu et al. 2005. Persentase parasitemia ini bisa dikaitkan dengan siklus hidup Babesia di dalam kerbau. Kerbau tertular Babesia melalui gigitan vektor dari famili Ixodidae yang membawa sporozoit di dalam salivanya Bock et al. 2005. Sporozoit ini akan mengalami periode prepaten di dalam tubuh selama 1- 2 minggu Urquhart et al. 2003. Di dalam tubuh kerbau sporozoit menyerang sel darah merah dan akan mengalami perkembangan menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi merozoit. Pembelahan aseksual ini menyebabkan desakan mekanis sehingga sel darah merah ruptur dan merozoit keluar dari sel. Merozoit yang keluar akan menginfasi sel darah merah lainnya untuk kembali melakukan pembelahan aseksual dan sebagian akan menjadi gametosit yang siap menuju perkembangan seksual yang terjadi di tubuh caplak Uilenberg 2006. Selama periode prepaten berlangsung, hewan tidak mengalami gejala klinis dan tingkat parasitemia akan meningkat hingga 1. Tingkat parasitemia yang 1 ini bisa menyebabkan gejala babesiosis akut dengan gejala klinis berupa demam hingga 41 o C, penurunan nafsu makan, lemas, tremor, anemia, jaundice, penurunan berat badan, hemoglobinuria hingga peningkatan respirasi Urquhart et al. 2003. Hewan yang sembuh dari gejala akut ini akan menunjukkan infeksi yang tanpa menunjukkan gejala klinis dengan tingkat parasitemia yang rendah Urquhart et al. 2003. Penelitian ini dilakukan lebih lama dari periode prepaten. Oleh karena itu kerbau dengan persentase parasitemia yang rendah dan tidak menunjukkan gejala klinis ini bukan berada pada periode prepaten. Kerbau diduga telah melewati masa infeksi akut, sehingga terjadi infeksi subklinis. Kerbau dengan infeksi Babesia yang ringan umumnya akan bertindak sebagai karier bagi hewan peka lainnya Hommer et al. 2000. Presentase parasitemia Theileria juga menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata selama 8 minggu. Rata-rata presentase parasitemia sebesar 0.058 ± 0.032 tergolong dalam tingkatan ringan. Ndungu et al. 2005 menyebutkan pada tingat parasitemia yang ringan umumnya hewan tidak menunjukkan gejala klinis. Hal sesuai dengan kondisi kerbau pada penilitian ini. Presentase parasitemia bisa dikaitkan terkait dengan status infeksi hewan. Periode prepaten Theileria berlangsung selama 1-3 minggu Urquhart et al. 2003. Selama periode prepaten hewan tidak akan menunjukkan gejala klinis, pada periode tersebut Theileria akan berkembang biak hingga mencapai titik yang mampu menunjukkan gejala klinis yang ditandai dengan munculnya demam pada tingkat parasitemia 1 Ndungu et al. 2005. Fase kedua diikuti dengan lymfeadenopathy meliputi pembengkakan limpa, deplesi sel limfoid diikuti beberapa gejala klinis berupa kelemahan setelah beberapa hari, anoreksia, lakrimasi, konstipasi, diare, anemia, ikterus, bahkan menyebabkan komplikasi akhir berupa gejala gangguan pernafasan yang ditandai dispnoe dan berakibat fatal Osman Al-Gaabary 2007, Mahmmod et al. 2011. Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu, dimana telah melewati periode prepaten dari parasit. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kerbau dengan infeksi subklinis ini tidak sedang berada dalam periode prepaten. Infeksi subklinis Theileriosis bisa disebabkan oleh adanya infeksi Theileria dengan patogenitas rendah seperti T. buffeliorientalissergenti Gubbels et al. 2000. Kerbau dengan persentase parasitemia yang rendah ini bisa bertindak sebagai karier dari Theileriosis Islam et al. 2011. Presentase parasitemia Anaplasma pada kerbau ini sebesar 0.230±0.045. Pengamatan presentase parasitemia Anaplasma menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata secara statistik dari awal hingga akhir pengamatan. Nilai persatase paristemia tersebut tergolong rendah. Terdapat dua kemungkinan terkait rendahnya persentase parasitemia yaitu hewan berada dalam stadium inkubasi atau hewan berada dalam stadium karier. Masa inkubasi Anaplasma beragam dari 2- 12 minggu Quinn et al. 2008. Stadium inkubasi berlangsung saat awal infeksi . Pada stadium ini hewan terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. PCV akan terlihat normal dan terjadi produksi sel darah merah bersamaan dengan lisisnya sel darah merah akibat perkembangbiakan Anaplasma Rodostits et al. 2006. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian pada kerbau yang sama menunjukkan nilai nilai PCV 25.49±3.05 dan 5.32±1.13 juta sel darah merah mm 3 yang tergolong normal Salam 2012.Oleh karena itu, tingkat parasitemia yang rendah ini bisa disebabkan oleh masa inkubasi yang sedang berlangsung di tubuh hewan. Stadium inkubasi dapat berlanjut menjadi stadium perkembangan yang ditandai dengan munculnya beberapa gejala klinis meliputi demam hingga 40.5- 41.5 o C, letargi, penurunan produksi susu, anemia, penurunan berat badan, konstipasi, penurunan aktifitas respirasi, aborsi pada hewan bunting hingga kematian akibat hipoksia. Persen parasitemia yang mencapai 1.5 dilaporkan mampu menyebabkan timbulnya gejala klinis Rodostits et al. 2006. Temuan patologi klinis pada stadium ini di antaranya menurunnya jumlah sel darah merah, PCV dan hemoglobin, serta terjadi peningkatan level parasitemia Kocan et al. 2010. Parasitemia pada stadium ini bisa mencapai 50 dan menyebabkan persen anemia yang bervariasi Rodostits et al. 2006, Quinn et al. 2008. Pada stadium perkembangan terjadi destruksi sel darah merah akibat sistem imun. Makrofag akan mengeliminasi sel darah merah yang mengandung Anaplasma, dampaknya hewan akan mengalami anemia hemolitik Foley Biberstein 2004, Kocan et al. 2010. Stadium inkubasi dan perkembangan merupakan masa yang tepat untuk pengobatan infeksi. Infeksi ini bisa sembuh dengan sendirinya, bergantung terhadap perawatan dan status imun. Hewan yang sembuh dari infeksi akan masuk ke dalam stadium penyembuhan. Dugaan kedua terkait rendahnya tingkat parasitemia pada kerbau lumpur ini adalah hewan berada pada masa penyembuhan. Hewan berada pada masa penyembuhan menunjukkan parameter patologis klinis berupa kembalinya nilai parameter darah PCV, jumlah sel darah merah dan hemoglobin ke rentang nilai normal. Hewan yang sembuh ini umumnya akan menjadi karier dan bertindak sebagai sumber Anaplasmosis bagi hewan sehat lainnya. Hasil penelitian menunjukkan persentase parasitemia yang rendah, jika hal ini berlangsung lama tanpa menimbulkan gejala klinis maka bisa dipastikan hewan merupakan karier dari agen Anaplasma Kocan et al. 2010. Pada penelitian ini kerbau tidak menunjukkan gejala klinis. Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan Himawan 2009 terkait infeksi Theileriosis dan Anaplasmosis pada kerbau belang tedong bonga dan kerbau lumpur. Hal ini terkait dengan tingkat parasitemia yang rendah dibawah 1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya indikasi kerbau merupakan karier dari infeksi Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis. Rajput et al. 2005 menambahkan bahwa kerbau karier bisa bertindak sebagai sumber infeksi bagi hewan peka lainnya. Jika hewan peka lainnya terinfeksi maka akan timbul beberapa gejala klinis seperti yang dipaparkan pada stadium perkembangan. Penanganan infeksi umumnya dengan melakukan pengobatan menggunakan sediaan protozoa. Namun menurut Akhter et al. 2010, pengobatan dengan sediaan antiprotozoa tidak efektif untuk infeksi yang ringan seperti studi kasus kali ini. Kontrol vektor adalah salah satu penanganan infeksi yang tepat Gubler 1998. Bock et al 2004 menyatakan bahwa membiarkan populasi dalam keadaan endemik stabil juga merupakan langkah penanganan infeksi yang tepat. Infeksi yang rendah pada kasus ini juga berpotensi memberi imunitas bagi hewan. Imunitas yang didapat akibat infeksi yang rendah disebut dengan preimunitas. Preimunitas akan mempertahankan hewan dari infeksi ulang Zintl et al. 2003.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Pada 4 ekor kerbau lumpur betina yang berasal dari Tenjolaya, Bogor, Jawa Barat ditemukan infeksi parasit dari genus Babesia, Theileria dan Anaplasma. 2. Seluruh kerbau tidak menunjukkan gejala klinis karena tingkat parasitemia relatif rendah 1 dan stabil. 3. Kerbau dengan tingkat infeksi rendah tersebut berpontesi menjadi karier dan sumber Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis bagi populasi naif di sekitarnya.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan studi lanjutan berupa identifikasi dengan menggunakan metode seperti IFAT, ELISA, PCR, untuk mengetahui spesies serta karakteristik patogenitas yang bisa disebabkan oleh parasit. 2. Perlu dilakukan survei di kawasan ini dan sekitarnya untuk mengetahui kondisi infeksi di lapang serta menentukan penanganan, penyembuhan, dan pengendalian infeksi yang tepat.