Analisis Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat dalam Perspektif Peranan Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan

(1)

ANALISIS ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KARET RAKYAT DALAM

PERSPEKTIF PERANAN KELEMBAGAAN DAN EKONOMI

WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

YELDA RUGESTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat dalam Perspektif Peranan Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Yelda Rugesty

NRP A156100021

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.


(4)

(5)

RINGKASAN

YELDA RUGESTY. Analisis Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat dalam Perspektif Peranan Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kebutuhan karet alam dunia akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatnya standar hidup manusia. Karet memiliki banyak keunggulan dalam menggerakkan pengembangan ekonomi wilayah. Tujuan penelitian ini adalah menelaah potensi karet rakyat di Sumatera Selatan, menelaah faktor-faktor penyebab produktivitas karet rakyat rendah, mutu bokar rendah, industri hilir karet belum berkembang, yang berkaitan dengan aspek peranan kelembagaan, sehingga dapat disusun strategi yang diperlukan untuk meningkatkan peranan kelembagaan dalam pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Selatan. Jenis penelitian ini naturalistik (deskriptif) dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan di Sumatera Selatan, dengan sampel Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten OKU, Kota Palembang, dan dilaksanakan mulai September 2012 sampai September 2013.

Penelitian ini menghasilkan temuan yaitu ditinjau dari perspektif pengembangan ekonomi wilayah, Sumatera Selatan memiliki potensi karet rakyat yang cukup besar karena sebagian besar wilayahnya merupakan basis produksi karet dan kompetitif untuk karet, memiliki peringkat paling atas dalam penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan, sepertiga jumlah petani karet Indonesia berada di Sumatera Selatan dan karet telah berkontribusi sebesar 9,8% terhadap industri pengolahan di Sumatera Selatan, namun belum ada kabupaten/kota yang berspesialisasi pada pengembangan agribisnis karet untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas yang tinggi, sehingga kontribusi karet rakyat dalam pengembangan ekonomi wilayah di Sumatera Selatan relatif masih rendah, dibandingkan apabila Sumatera Selatan memiliki kabupaten/kota yang berspesialisasi pada pengembangan agribisnis karet rakyat.

Faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat produktivitas karet rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan adalah faktor kondisional yang melekat pada petani diantaranya: luas kebun karet per petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, umur produktif tanaman karet, tingkat penghasilan; selain itu juga disebabkan oleh faktor kurangnya peranan kelembagaan dalam pengembangan industri bibit unggul, penyadaran kebiasaan petani ke arah yang kondusif, dan pengelolaan kebijakan/program di kabupaten/kota.

Faktor-faktor penyebab rendahnya mutu bahan olah karet (bokar) di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan adalah faktor tidak adanya peranan kelembagaan petani dalam melakukan sistem pemasaran bersama (KUD) yang berperan aktif memantau dan mengawasi mutu bokar dan meningkatkan posisi tawar petani terhadap pedagang pengumpul. Dengan adanya peranan lembaga KUD, kelompok tani mampu


(6)

menghasilkan harga jual bokar yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan minat petani untuk memproduksi bokar yang bermutu tinggi. Hal tersebut terjadi di wilayah yang kelompok taninya memiliki kegiatan rutin membangun kelompok pemasaran bersama terorganisir dalam bentuk KUD.

Faktor-faktor penyebab belum berkembangnya industri hilir karet di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan adalah adanya sudut pandang organisasi/lembaga pelaku usaha di Sumatera Selatan yang relatif “cukup puas” sampai memproduksi jenis industri bahan baku (crumb rubber) sebagai pengaruh dari situasi yang belum mendukung pengembangan industri hilir yaitu masih rendahnya tingkat produktivitas, rendahnya mutu bokar, belum dikuasainya teknologi industri hilir, belum ada penelitian jaminan pasar, belum adanya ketersediaan komponen bahan kimia pendukung; kurangnya dukungan kebijakan pemerintah pusat yang mengakibatkan belum adanya kebijakan terintegrasi lintas sektor di pusat, provinsi dan kabupaten/kota, sehingga melemahkan dukungan kebijakan dan anggaran untuk fasilitasi pembinaan, koordinasi dan pengawasan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk pengembangan industri hilir karet di Sumatera Selatan. Secara keseluruhan dalam perspektif peranan kelembagaan dan ekonomi wilayah, belum optimalnya pengembangan agribisnis karet rakyat dipengaruhi faktor : jumlah organisasi/lembaga yang berperan, keseimbangan posisi peranan organisasi/lembaga pada kelompok subsistem agribisnis di tingkat pusat-provinsi-kabupaten/kota, kompleksitas kendala yang dihadapi organisasi/lembaga, pola hubungan/relasi antar organisasi/lembaga, kondisi karakteristik kelembagaan, model kemampuan serta struktur hirarkhi kelembagaan.

Untuk meningkatkan pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Selatan, perlu arahan kebijakan berupa pertama peningkatan pengelolaan ekonomi wilayah ke arah pengembangan spesialisasi dan pemusatan aktifitas agribisnis karet rakyat pada wilayah basis produksi karet dan wilayah kompetitif yakni di enam wilayah (Kabupaten Musi Rawas, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten OKU Timur, Kabupaten OKI), dengan strategi pengembangan diantaranya: peningkatan kinerja lembaga yang mengkoordinasikan pengelolaan dan pelaksanaan rencana pengembangan agribisnis karet dalam jangka panjang, menengah dan pendek (membentuk dan memperkuat leader dalam kelembagaan yang ada) di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota; menciptakan arah dan kepastian kebijakan/peraturan untuk pengembangan agribisnis karet (hulu-hilir) dalam jangka panjang, menengah dan pendek; menegakkan konsistensi kebijakan/peraturan pada tataran implementasi membangun kelembagaan yang berkarakteristik memadai, berdaya dorong tinggi dan mandiri; dan arahan kebijakan kedua berupa mewujudkan optimalisasi peningkatan produktivitas tanaman karet rata-rata di atas 1,6 ton/ha/tahun, peningkatan mutu bokar dan pengembangan industri hilir karet di Sumatera Selatan, dengan strategi pengembangan diantaranya: menumbuhkan inisiatif kelompok tani dan memperkuat peranan kelembagaan petani melalui pemberdayaan guna meningkatkan kegiatan peremajaan tanaman karet, pengetahuan/keterampilan petani tentang intnsifikasi, peningkatan skala usaha (luas) kebun karet, peningkatan status kepemilikan


(7)

lahan dari sewa atau warisan menjadi milik sendiri, peningkatan penggunaan bibit unggul bersertifikat; memperkuat peranan kelembagaan petani dalam meningkatkan penghasilan petani melalui pendampingan pembinaan ataupun pembentukan kelembagaan pemasaran bersama (KUD) dengan sistem lelang bokar, memantau dan menegakkan aturan bokar bersih di tingkat petani; meningkatkan peranan kelembagaan pemerintah terutama di kabupaten/kota dalam pembinaan dan pengawasan untuk meningkatkan produktivitas, mutu bokar di tingkat petani, dan mendorong kebijakan implementasi yang mendukung pengembangan industri hilir karet; mengoptimalkan peranan organisasi/lembaga baik dari sisi jumlah maupun kualitas dan efektifitasnya dalam penyusunan arah kebijakan/peraturan dan anggaran, mengkoordinasikan, mensinkronkan kebijakan dalam jangka panjang, mulai dari perencanaan sampai implementasi secara terintegrasi lintas sektoral pusat-provinsi-kabupaten/kota dan lintas pelaku usaha baik secara horizontal maupun vertikal guna mengoptimalkan pengelolaan potensi agribisnis karet; mengoptimalkan peranan kelembagaan dalam penyediaan sarana produksi berupa pengembangan industri bibit unggul yang efisien, industri pupuk, industri pembeku lateks anjuran, industri alsintan, industri hilir, dan penguatan kelembagaan pemasaran produk olahan karet, serta menciptakan kebijakan yang mendorong terwujudnya iklim kondusif bagi pelaku usaha (kepastian kebijakan/peraturan dan insentif) dalam pengembangan investasi di sektor agribisnis karet; memperbaiki kondisi model karakter, kemampuan dan struktur kelembagaan yang ada mulai dari pusat-provinsi sampai kabupaten/kota menuju kelembagaan yang memadai untuk melakukan pengembangan agribisnis karet; dan memprioritaskan dukungan kebijakan untuk peningkatan peranan kelembagaan dalam menyelesaikan kendala kunci yang menghambat pengembangan agribisnis karet.


(8)

(9)

SUMMARY

YELDA RUGESTY. The Policy Aim Analysis and the Smallholder Rubber Agribusiness Development Strategy in The Institutional Role and Regional Economic Perspective in South Sumatera Province. Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and FREDIAN TONNY NASDIAN.

Needs of the world's natural rubber will continue to increase in line with world economic growth and rising standards of living humans. Rubber has many advantages in moving the economic development of the region. The purpose of this study is to examine the potential of rubber in South Sumatra, examines the factors that cause low productivity of smallholder rubber, low quality, undeveloped downstream rubber industry, which is related to the institutional role aspects, so it can be compiled strategies needed to improve the institutional role in agribusiness development of rubber in South Sumatra. This type of naturalistic study (descriptive) using quantitative and qualitative approaches. The study was conducted in South Sumatra, with a sample of Musi Rawas District, Muara Enim regency, regency OKU, Palembang, and was conducted from September 2012 until September 2013.

This research resulted in findings is reviewed from the perspective of regional economic development, South Sumatra has the potential of smallholder rubber large enough for most of the region is the basis for the competitive production of smallholder rubber, have the top rank in employment in the plantation sub-sector, 33,3% amount of rubber farmers Indonesia is located in South Sumatra and rubber have been contributed amount 9.8% for the manufacturing industry in South Sumatra, but there’s no district/city that specializes in the development of agribusiness rubber for increased efficiency and high productivity, so that the contribution of smallholder rubber in the economic development of the region in South Sumatra has still relatively low, compared to when the South Sumatra has the district/city that specializes in the development of smallholder rubber agribusiness.

Factors that cause low levels of productivity of smallholder rubber in South Sumatra viewed from the perspective of institutional roles is conditional factor attached to farmers include: Area of rubber each farmer, level of education, tenure, age productive rubber plant, the level of income; but it is also caused by a lack of role of the institutional factors in the development of superior seed industry, farmers' awareness habits conducive to the direction and management of policies/programs at the district/city. The factors that cause the low quality rubber material in South Sumatra viewed from the perspective of the institutional role is because there’s not have role of institutional factors in the farmers do with the marketing system (KUD) that actively monitor and control the quality rubber and improve the bargaining position of farmers against traders collector. With the role of institutions cooperatives, farmer groups have able to generate sales price rubber higher, thus increasing the interest of farmers to produce high quality


(10)

rubber. This occurs in regions that have a farming group routines build joint marketing group organized in the form of cooperatives.

Causative factors undeveloped downstream rubber industry in South Sumatra viewed from the perspective of the institutional role is the viewpoint of the organization/agency businesses in South Sumatra has relatively "fairly satisfied" to produce the kind of industrial raw materials (crumb rubber) as the influence of the situation has not support the development of downstream industries that low levels of productivity, low quality of rubber, there’s not mastered the technology downstream industries, there’s no guarantee of market product, the lack of availability of supporting a chemical component; lack of central government support policies that lead to the absence of an integrated policy across sectors at the central, provincial and district/city, thus weakening support for the facilitation of policy and budget development, coordination and supervision of the provincial government and district/city for the development of downstream rubber industry in South Sumatra. Overall in agribusiness development viewed from the institutional role and economic regions perspective has not optimal rubber agribusiness development is influenced by: the number of organizations/institutions that play a role, the role of the balance position of the organization/nstitution in agribusiness subsystem group in the central-provincial-district/city level, the complexity of the obstacles faced by organizations/institutions, patterns of relationships between organizations/institutions, the condition of the institutional characteristics, the condition of ability and structure model of the institutional hierarchy.

To enhance the development of agribusiness rubber in South Sumatra, should be the first policy directives for improved management of the region's economic development towards specialization and concentration of agribusiness activities in the area of smallholder rubber production base rubber and competitive region that is in the six regions (Musi Rawas, Lubuk Linggau, Muara Enim, Ogan Ilir, East OKU, OKI), with the some strategies of rubber agribusiness development include: increased performance of institutions that coordinate the management and implementation of development plans rubber agribusiness in the long term, medium and short (shaping and strengthening the existing institutional leader) at the central, provincial and district/city; create direction and assurance policies/regulations for the development of agribusiness rubber (upstream-downstream) in the long term, medium and short; enforce consistent policies/regulations on the level of implementation to build adequate institutional characteristics, and independent high-power thrust; and policy direction both in the form of increased rubber productivity realize the optimization of rubber trees above the average of 1.6 tonnes/ha/year, rubber quality improvement and development of downstream rubber industry in South Sumatra, with the development strategy include: fosters initiative farmer groups and strengthen institutional role through the empowerment of farmers groups to improve rubber replanting activities, knowledge/skills of farmers, increased business scale of area (large) rubber plantation, the increase in tenure of lease or own heritage belongs, increased use of certified seeds; strengthening the institutional role of farmers groups in increasing the income of farmers


(11)

through development assistance or institutional establishment of joint marketing (KUD) with rubber auction system, monitoring and enforcing rules clean rubber at the farmer level; increase the role of government institutions, especially in the districts/cities in coaching and supervision to improve the productivity, quality of rubber at the farmer level, and encourage the implementation of policies that support the development of downstream rubber industry; optimizing the role of the organization/institution both in terms of quantity and quality and effectiveness in the preparation of the policy/legislation and budgets, coordinate, synchronize policies in the long term, from planning to the implementation of an integrated cross-sectoral central-provincial-district/city level and across businesses both horizontally and vertically in order to optimize the management of agribusiness potential rubber; optimizing the role of institutions in the provision of inputs such as seeds of industrial development that is efficient, fertilizer industry, industrial freezers latex recommendation, alsintan industry, downstream industries, and strengthening institutional marketing of processed rubber products, as well as creating policies that encourage the creation of a conducive climate for businesses (certainty policies /regulations and incentives) in the development of the rubber agribusiness sector investment; improve the condition of the character institutional models existing, and the ability of institutional structures ranging from the center-provincial and district/city towards institutional sufficient to perform the development of agribusiness rubber; and policy support to prioritize the improvement of the institutional role in resolving key constraints that hinder the development of agribusiness rubber. Keywords: agribusiness development, institutional, smallholder rubber


(12)

(13)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(14)

(15)

ANALISIS ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KARET RAKYAT DALAM

PERSPEKTIF PERANAN KELEMBAGAAN DAN EKONOMI

WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

YELDA RUGESTY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(16)

(17)

Judul Tesis : Analisis Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat dalam Perspektif Peranan

Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan.

Nama : Yelda Rugesty NIM : A156100021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc Ketua

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 24 Juli 2014


(18)

(19)

PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini adalah mengenai peranan kelembagaan, dengan judul Analisis Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat dalam Perspektif Peranan Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Bapak Ir Fredian Tonny Nasdian, MS selaku pembimbing, Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku penguji luar komisi dan Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberi saran, Ibu Dr Ir Kursatul Munibah M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberi saran. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Suprayoga Hadi, M.SP di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Bapak Ir Azwir Malaon, M.Sc di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atas perkenan izin belajar dan dukungan moril, Bapak Dr Ir Rahman Kurniawan di Makassar yang telah membantu alat analisis, Bapak Dr Mirza di Universitas Sriwijaya Palembang dan Bapak Dr Ir Syahyuti, M.Si di PSEKP Kementerian Pertanian sebagai nara sumber sebelum penelitian ini dilakukan, dan terima kasih kepada semua pihak pemberi data dan informasi dari 60 organisasi/lembaga pemerintah dan non-pemerintah (pelaku usaha agribisnis karet) di tingkat pusat, Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten OKU, Kabupaten Muara Enim, dan Kota Palembang. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Rasyidin Naim (alm), ibunda Tapsilah, suami Ir Khairul, ananda Restu Kandela dan Rafif Kusuma atas pengertian dan doanya, serta kebersamaan sahabat di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB Bogor 2010-2012.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Bogor, Agustus 2014


(20)

(21)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Permasalahan 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah 6

Konsep Agribisnis 8

Konsep Kelembagaan 10

Pohon Industri Karet Alam 14

Kebijakan Pengembangan Agribisnis Karet 15

3 METODE PENELITIAN 18

Kerangka Pemikiran 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis Data dan Sumber Data 21

Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data 26

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 35

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 38

Analisis Potensi Karet Rakyat di Sumatera Selatan 38

Wilayah Basis Produksi 38

Wilayah Pemusatan 40

Wilayah Spesialisasi 40

Wilayah Kompetitif 41

Peranan Karet Rakyat dalam Perekonomian Sumatera

Selatan 43

Analisis Faktor-faktor Penyebab Produktivitas Rendah, Mutu Bokar Rendah dan Industri Hilir Belum Berkembang, Ditinjau

dari Peranan Kelembagaan 45

Faktor Penyebab Rendahnya Produktivitas Karet Rakyat 45 Faktor Penyebab Rendahnya Mutu Bokar Rakyat 47 Faktor Penyebab Belum Berkembangnya Industri Hilir

Karet 53

Analisis Peranan Kelembagaan dalam Pengembangan

Agribisnis Karet Rakyat 54

Jumlah Organisasi/Lembaga yang Berperan 54

Peranan Organisasi/Lembaga 56

Kendala dalam Organisasi/Lembaga 58


(22)

Kondisi Kelembagaan 73 Model Struktur dan Hirarkhi Kelembagaan 75 Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet

Rakyat

79

6 SIMPULAN DAN SARAN 89

Simpulan 89

Saran 91

DAFTAR PUSTAKA 92

LAMPIRAN 97


(23)

DAFTAR TABEL

1 Penarikan Sampel Kelompok Tani di Tiga Kabupaten Sampel

Penelitian 21

2 Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan dan Analisis Data,

serta Output yang Diharapkan 22

3 Contoh Bentuk Structural Self Interaction Matrix (Matriks

Interaksi Tunggal Terstuktur) 30

4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan 36 5 Pengelompokkan Nilai LQ Berdasarkan Luas Tanaman

Perkebunan Karet Rakyat Sumatera Selatan Tahun 2010 (ha) 38 6 Rekapitulasi Hasil Analisis Potensi Perkebunan Karet Rakyat

Sumatera Selatan Menurut Luas Areal Tanam Tahun 2006-2010 42 7 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Provinsi

Sumatera Selatan (USD) 44

8 Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang Triwulan IV Tahun 2011 di Sumatera Selatan 44 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel

mengenai Sumber Permodalan Usaha Budidaya dan Penanganan

Pasca Panen Karet 59

10 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Jenis Penggunaan Kredit Perbankan oleh Kelompok Tani 60 11 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel

tentang Ketersediaan Skim Kredit Lunak untuk Modal Usaha Petani Karet dari Pemerintah (10 tahun terakhir) 60 12 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel

tentang Hubungan KUD dengan Kelompok Tani dalam

Pelayanan Agribisnis Karet 61

13 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang tentang Perlu atau Tidaknya Membangun KUD yang

Melayani Agribisnis Karet bagi Petani 62

14 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Peranan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan

terhadap Kelompok Tani 64

15 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Peranan Dinas Perkebunan Kabupaten Setempat terhadap

Kelompok Tani 64

16 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Jumlah Kunjungan Dinas Perkebunan Kabupaten

Setempat terhadap Kelompok Tani 65

17 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Bantuan Fisik dari Dinas Perkebunan Kabupaten


(24)

18 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Organisasi/Lembaga yang Berperan selain Dinas Perkebunan dan PPL di Kabupaten terhadap Kelompok Tani 66 19 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel

tentang Jumlah Frekwensi Kunjungan Tenaga PPL di Tingkat

Kelompok Tani 66

20 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Lingkup Materi Penyuluhan oleh Tenaga PPL 67 21 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel

tentang Kepuasan Petani Karet tentang Kualitas Pelayanan

Penyuluhan oleh PPL 67

22 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel tentang Saran Perbaikan Kualitas Pelayanan Penyuluhan PPL 68 23 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kabupaten Sampel

tentang Organisasi/Lembaga yang Paling Berpengaruh bagi

Petani Karet 69

24 Analisis Karakteristik Kelembagaan dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat Sumatera Selatan Berdasarkan Pandangan Schmid (1972), Woolcock (2001), Syahyuti (2003) 74 25 Matriks Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Agribisnis

Karet Rakyat di Sumatera Selatan dalam Perspektif Peranan

Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah 80

DAFTAR GAMBAR

1 Agribisnis Sebagai Suatu Kesatuan Subsistem 9

2 Pohon Industri Karet Alam 15

3 Kerangka Pemikiran Pengembangan Agribisnis Karet dalam

Perspektif Kelembagaan dan Ekonomi Wilayah 18 4 Peta Lokasi Sampel Penelitian dan Sebaran Perkebunan Karet

Rakyat di Sumatera Selatan Tahun 2010 19

5 Contoh Bentuk Grafik Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk

Suatu Elemen dalam Analisis ISM 32

6 Peta Wilayah Administrasi Provinsi Sumatera Selatan 35 7 Peta Lokasi Sentra Produksi dan Luas Areal Karet Rakyat di

Provinsi Sumatera Selatan 37

8 Peta Analisis LQ Berdasarkan Luas Tanaman Perkebunan Karet Rakyat Sumatera Selatan Tahun 2010 (Ha) 39 9 Peta Analisis Specialization Index (SI) Perkebunan Rakyat di

Sumatera Selatan 41

10 Peta Analisis Overlay Wilayah LQ > 1 dan SSA Differential Shift Positif untuk Karet Rakyat Sumatera Selatan 43 11 Grafik Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perkebunan di

Sumatera Selatan Tahun 2006-2010 44

12 Analisis Tingkat Produktivitas Karet Rakyat Berdasarkan Pendapat Kelompok Tani di Wilayah Sampel 45


(25)

13 Analisis Faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Produktivitas Karet Rakyat yang Melekat dengan Kondisi Riel Petani 46 14 Analisis Kendala Petani Karet dalam Melakukan Peremajaan

Berdasarkan Pendapat Kelompok Tani 47

15 Analisis Tingkat Mutu Bokar Berdasarkan Pendapat Kelompok

Tani 48

16 Analisis Faktor Penyebab Rendahnya Mutu Bokar Berdasarkan

Pendapat Kelompok Tani 49

17 Analisis Tingkat Harga Bokar Berdasarkan Pendapat Kelompok

Tani 50

18 Analisis Persepsi Kelompok Tani tentang Kegiatan Rutinitas Kelompok Tani dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat 51 19 Bagan Alir Kaitan antar Faktor-faktor Penyebab Rendahnya

Tingkat Produktivitas dan Mutu Bokar Ditinjau dari Peranan

Kelembagaan 53

20 Analisis Jumlah Organisasi/Lembaga yang Berperan dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat di Sumatera Selatan 54 21 Analisis Posisi Organisasi/lembaga yang Berperan pada Berbagai

Tingkatan Wilayah Menurut Kelompok Subsistem Agribisnis

Karet 57

22 Analisis Pola Hubungan Antar Organisasi/Lembaga dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat di Sumatera Selatan 72

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nama Kecamatan dan Desa Sampel Penelitian 97 2 Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kabupaten/Kota di

Sumatera Selatan Tahun 2010 (ha) 98

3 Analisis Location Quotient (LQ) Berdasarkan Luas Tanaman

Perkebunan Rakyat di Sumatera Selatan Tahun 2010 (Ha) 99 4 Analisis Location Index (LI) Berdasarkan Luas Tanaman

Perkebunan Rakyat di Sumatera Selatan Tahun 2010 100 5 Analisis Specialization Index (SI) Berdasarkan Luas Perkebunan

Rakyat di Sumatera Selatan Tahun 2010 101 6 Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kabupaten/Kota di

Sumatera Selatan Tahun 2006 (ha) 102

7 Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kabupaten/Kota di di

Sumatera Selatan Tahun 2010 (ha) 103

8 Analisis Komponen SSA Berdasarkan Luas Tanaman Perkebunan

Rakyat di Sumatera Selatan Tahun 2006 dan 2010 104 9 Analisis Jumlah Nilai SSA Berdasarkan Luas Tanaman

Perkebunan Rakyat Tahun 2006 dan 2010 di Sumatera Selatan 105 10 Analisis Pendapat Nara Sumber dari Organisasi/Lembaga terkait

Agribisnis Karet tentang Faktor Penyebab Rendahnya


(26)

11 Analisis Pendapat Nara Sumber dari Organisasi/Lembaga terkait Agribisnis Karet tentang Faktor Penyebab Belum Berkembangnya Industri Hilir Karet di Sumatera Selatan 110 12 Analisis Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Matrix Structural

Self Interaction Matrix/SSIM) Elemen Organisasi/Lembaga Terkait dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat di

Sumatera Selatan 112

13 Analisis Reachability Matrix Elemen Organisasi/Lembaga Terkait dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat di Sumatera

Selatan 113

14 Analisis Reachability Matrix Revisi Elemen Organisasi/Lembaga Terkait dalam Pengembangan Agribisnis Karet di Sumatera

Selatan 114

15 Analisis Interpretative Structural Modelling mengenai (a) Model Struktur Elemen Lembaga, dan (b) Model Hirakhri Lembaga dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat Sumatera Selatan 115 16 Analisis Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Matrix Structural

Self Interaction Matrix/SSIM) Elemen Kendala dalam Pengembangan Agribisnis Karet di Sumatera Selatan 117 17 Analisis Reachability Matrix Elemen Kendala dalam

Pengembangan Agribisnis Karet di Sumatera Selatan 118 18 Analisis Reachability Matrix Revisi Elemen Kendala dalam

Pengembangan Agribisnis Karet di Sumatera Selatan 119 19 Analisis Interpretative Structural Modelling mengenai (a) Model

Struktur Elemen Kendala, dan (b) Model Hirakhri Kendala dalam Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat di Sumatera Selatan 120


(27)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prospek karet alam dunia semakin cerah sejalan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatnya standar hidup manusia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat seperti di China, India, Korea Selatan dan Brazil, telah memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam Indonesia yang cukup tinggi di pasar internasional, yakni tahun 2012mencapai 2,79 juta ton, atau naik 6,1% dibandingkan tahun 2011 sebesar 2,63 juta ton. Menurut Dewan Karet Indonesia tahun 2011, dalam 30 tahun terakhir penawaran karet alam dunia meningkat 0,5% yang berasal dari negara-negara produsen karet terbesar yaitu Thailand (35%), Indonesia (29%), Malaysia (10%), sisanya adalah India, Vietnam dan China. Menurut perkiraan IRSG, akan terjadi kekurangan pasokan karet alam ke depan dan akan menjadi kekhawatiran pihak konsumen diantaranya pabrik-pabrik ban seperti Bridgestone, Goodyear, Michelin. Terbukti pada tahun 2010 sudah terjadi defisit produksi karet alam dunia sebesar 263.000 ton, tahun 2011 terjadi defisit sebesar 159.000 ton, dan diperkirakan tahun 2015 angka defisit mencapai 3.003.000 ton, dan tahun 2020 sebesar 4.401.000 ton. Meningkatnya permintaan karet alam di pasar dunia tersebut terjadi karena beberapa pabrik ban terkemuka di dunia sudah memperkenalkan jenis ban “green tyres” yang kandungan karet alamnya lebih banyak. Beberapa industri tertentu memiliki ketergantungan yang besar terhadap pasokan karet alam seperti industri militer dan otomotif. Adanya masalah ketersediaan minyak bumi sebagai bahan baku karet sintetis yang semakin berkurang, menyebabkan biaya produksi karet sintetis menjadi semakin mahal (IRSG, 2011), menyebabkan pabrik beralih menggunakan karet alam.

Keunggulan karet alam dilihat dari sifatnya yang tidak dimiliki oleh karet sintetis yaitu: 1) memiliki daya elastis atau daya lenting yang sempurna; 2) memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah; 3) mempunyai daya aus yang tinggi; 4) tidak mudah panas (low heat build up); 5) memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking resistance). Karet alam telah menjadi pendorong dalam pengembangan ekonomi di wilayah perdesaan. Dari total luas kebun karet Indonesia, 85 persen dikelola oleh rakyat sehingga usaha rakyat di perkebunan karet menjadi sumber penghasilan masyarakat perdesaan, seperti yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Sumatera Selatan. Karet memberikan lapangan kerja bagi industri pengolahan di perkotaan dan memiliki pangsa pasar yang relatif besar. Industri pengolahan karet mampu menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Kuncoro (2007) menyebutkan agroindustri karet merupakan salah satu agroindustri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang tinggi, disamping agroindustri kertas, pupuk dan pestisida. Industri karet mengutamakan komponen lokal atau berbasis kompetensi sumberdaya lokal sehingga memberikan prospek cukup baik ke arah pengembangan industri hilir. Karet tergolong industri yang memiliki komponen impor lebih rendah dibandingkan dengan industri-industri manufaktur lainnya di Indonesia


(28)

2

(Kementerian Perindustrian, 2011). Oleh karenanya, industri karet atau barang dari karet menjadi salah satu kluster industri prioritas yang dikembangkan pemerintah dalam pembangunan industri manufaktur (Perpres Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional).

Banyaknya keunggulan karet alam dan tingginya permintaan pasar dunia seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan industri hilir di dalam negeri, namun ada masalah industri hilir karet di dalam negeri yang belum dikembangkan secara optimal. Realisasi pengembangan industri hilir karet baru sampai pada industri setengah jadi jenis crumb rubber. Diketahui 90% crumb rubber diekspor dan hanya 10% yang diolah lebih lanjut di dalam negeri (Litbang Deptan, 1992; LRPI, 2008). Saat ini umumnya ekspor karet alam sebagian besar masih berbentuk bahan baku (setengah jadi) dengan mutu lebih rendah dibanding di negara lain (Litbang Deptan, 1992; LRPI, 2008). Artinya, nilai tambah karet belum optimal dinikmati oleh pelaku usaha di dalam negeri, termasuk kontribusinya dalam pengembangan perekonomian wilayah.

Tidak hanya industri hilir yang belum berkembang, di dalam negeri juga dihadapkan pada masalah produktivitas dan mutu karet rakyat yang masih rendah. Tingkat produktivitas karet rakyat rendah disebabkan karena sebagian besar petani karet masih menggunakan bibit asalan, banyak tanaman yang sudah tua dan rusak (Litbang Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2009), padahal dari sisi luas areal perkebunan karet rakyat, Indonesia memiliki areal perkebunan karet terbesar di dunia, namun tingkat produktivitasnya hanya rata-rata mencapai 700-900 kg/ha/tahun, sedangkan tingkat produktivitas kebun karet rakyat di Thailand sudah mencapai 1.600 kg/ha/tahun, Vietnam 1.358 kg/ha/tahun, India 1.334 kg/ha/tahun, Malaysia 1.100 kg/ha/tahun dalam bentuk karet kering (Litbang Deptan, 2007).

Rendahnya tingkat produktivitas karet rakyat berkaitan erat dengan kurangnya dukungan subsistem penunjang diantaranya aspek kelembagaan (Litbang Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007) meliputi masalah: (a) rendahnya akses petani karet terhadap lembaga perkreditan; (b) kurangnya skim kredit murah untuk peremajaan kebun rakyat; (c) keterbatasan kualitas SDM petani; (d) kurangnya jumlah dan kualitas PPL perkebunan karet; (e) kurangnya fasilitasi dan pendampingan oleh pemerintah daerah, akibat kurangnya jumlah SDM dan terbatasnya infrastruktur di desa-desa sentra produksi; (f) lemahnya kelembagaan petani karet dalam manajemen agribisnis karet (Litbang Deptan, 1992; Agustian et al, 2003); (g) penanganan agribisnistidak holistik (Dormon et al, 2004); (h) kemitraan belum berkembang (Supriyati dan Suryani, 2006); (i) terbatasnya sarana produksi akibat kurangnya keberadaan lembaga-lembaga pendukung (Litbang Deptan, 1992; Agustian et al, 2003).

Rendahnya mutu bahan olah karet (bokar) disebabkan karena pengelolaan pasca panen oleh petani yang tidak menuruti anjuran pemerintah. Dampak yang ditimbulkan adalah rendahnya mutu produk yang dihasilkan oleh industri hilir yang menggunakan bokar yang bermutu rendah tersebut, sehingga industri hilir kurang mampu bersaing dan kurang berkembang. Hal itu terlihat dari kapasitas total pabrik pengolahan karet alam sekitar 4,4 juta ton, kapasitas terpasangnya hanya 2,9 juta ton, artinya terdapat kapasitas


(29)

3 pabrik yang tidak terpakai sekitar 1,5 juta ton (Gapkindo, 2012). Nilai tambah agroindustri karet dalam kelompok agroindustri tahun 2001-2010 juga masih rendah dibandingkan nilai tambah produk makanan minuman, tembakau, tekstil, kayu dan kertas (BPS, 2011).

Adanya berbagai masalah dalam pengembangan sistem agribisnis karet (rendahnya tingkat produktivitas, rendahnya mutu bahan olah karet, dan belum berkembangnya industri hilir karet) menunjukkan terdapat masalah kelembagaan, karena menurut Haris (2006), kelembagaan merupakan faktor kunci keberhasilan serangkaian kegiatan; Syam (2006) menyebutkan untuk mengembangkan suatu agroindustri perlu diteliti model kelembagaan yang sesuai; Arturo (1990) menyatakan aspek kelembagaan sangat terkait dengan perihal manajemen, sumberdaya manusia, keuangan, sistem kerja, dan hubungan antar lembaga.

Oleh karena belum ada hasil-hasil penelitian terdahulu yang menelaah pengembangan agribisnis karet rakyat dari perspektif peranan kelembagaan dan pengembangan ekonomi wilayah secara komprehensif mulai dari pusat sampai ke tingkat desa, maka penelitian ini perlu dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan masukan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ditemukan dalam pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Selatan, ditinjau dari perspektif peningkatan peranan kelembagaan, agar lebih memadai dan memiliki kemampuan yang optimal untuk meningkatkan pengembangan agribisnis karet rakyat dalam mendorong pengembangan ekonomi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan.

Rumusan Permasalahan

Permasalahan pengembangan agribisnis karet rakyat secara nasional yang diduga juga terjadi di Sumatera Selatan sebagai provinsi sentra produksi karet rakyat terbesar di Indonesia adalah belum dikembangkannya komoditas karet rakyat secara optimal, yaitu masalah:

1) Tingkat produktivitas karet rakyat masih rendah. Produktifitas karet rakyat hanya mencapai 700-900 kg/ha/tahun, sedangkan produktifitas karet rakyat di negara lain diantaranya Thailand adalah 1.600 kg/ha/tahun, Vietnam 1.358 kg/ha/tahun, India 1.334 kg/ha/tahun, Malaysia 1.100 kg/ha/tahun (Deptan, 2007), padahal dari sisi luas areal, Indonesia memiliki areal perkebunan karet terbesar di dunia. Menurut hasil penelitian sebelumnya, masalah rendahnya produktivitas karet rakyat disebabkan oleh banyaknya tanaman karet yang tua dan rusak (Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007). 2) Mutu bahan olah karet rakyat masih rendah. Masalah ini menyebabkan

harga yang diterima petani relatif rendah yaitu sekitar 60-70% dari harga

fee on board (Deptan, 2007). Hal ini menunjukkan masih rendahnya komitmen pemerintah dalam peningkatan mutu karet rakyat (Agustian et al, 2003; LRPI, 2008).

3) Industri hilir karet rakyat belum dikembangkan. Di Sumatera Selatan, realisasi pengembangan industri hilir karet baru sampai pada tahap industri hulu yaitu berupa crumb rubber atau bahan setengah jadi yang 90% sudah merupakan pesanan negara lain (ekspor), sedangkan sisanya 10% untuk industri dalam negeri (Litbang Deptan, 1992; LRPI, 2008). Hal itu


(30)

4

menunjukkan ada kendala dalam pengembangan industri hilir karet di Sumatera Selatan.

4) Kurangnya dukungan subsistem penunjang yaitu kurangnya peranan organisasi/lembaga dalam mendukung pengembangan agribisnis karet, meliputi: kendala akses petani karet terhadap lembaga perkreditan (Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007); kurangnya dukungan kebijakan pemerintah tentang skim-skim kredit murah atau berbunga rendah dalam mendukung peremajaan perkebunan rakyat jika dibandingkan dengan di Malaysia, Thailand, dan India yang memberikan dukungan dana pengembangan tanaman karet dan promosi peremajaan kebun karet rakyat yang diambil dari dana pungutan ekspor karet, yang mana kebijakan pungutan ekspor karet di Indonesia yang digunakan untuk peremajaan karet telah dihentikan sejak tahun 1970 (Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007); adanya keterbatasan kualitas SDM petani karet karena kurangnya jumlah dan kualitas tenaga PPL khususnya di bidang perkebunan karet (Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007); lemahnya sistem manajemen organisasi petani karet (Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007); kurangnya fasilitasi dan pendampingan oleh pemerintah daerah (Deptan, 2007; Balit Sembawa, 2007); lemahnya kelembagaan petani karet dalam penguasaan teknologi budidaya dan teknologi pengolahan atau industri hilir (Litbang Deptan, 1992; Agustian et al, 2003), dan kurangnya penerapan teknologi tersebut disebabkan karena penanganan terpisah tidak holistik, para peneliti dan penyuluh mengabaikan permasalahan di lapangan (Dormon et al, 2004); belum berkembang kemitraan antara agroindustri skala besar atau sedang dan skala kecil adalah bentuk permasalahan yang dihadapi oleh organisasi petani karet (Supriyati dan Suryani, 2006); adanya keterbatasan infrastruktur pendukung untuk mendukung kelancaran pelaku usaha karet dari lokasi perkebunan ke lokasi pabrik pengolahan, atau ke lokasi pemasaran dan kurangnya keberadaan lembaga-lembaga pendukung kegiatan agribisnis karet di kawasan sentra produksi karet, menyebabkan terbatasnya ketersediaan sarana produksi (Litbang Deptan, 1992; Agustian

et al, 2003; Gapkindo, 2012).

Berdasarkan rumusan permasalahan maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi karet rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif pengembangan ekonomi wilayah?

2. Apa faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya tingkat produktivitas karet rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan?

3. Apa faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya mutu bahan olah karet rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan?

4. Apa faktor-faktor yang menjadi penyebab belum berkembangnya industri hilir karet di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan?

5. Bagaimana arahan kebijakan dan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Selatan,


(31)

5 ditinjau dari perspektif pengembangan ekonomi wilayah dan peningkatan peranan kelembagaan yang ada?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis kondisi karet rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif pengembangan ekonomi wilayah.

2. Menganalisis faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat produktivitas karet rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan. 3. Menganalisis faktor-faktor penyebab rendahnya mutu bahan olah karet

rakyat di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan. 4. Menganalisis faktor-faktor penyebab belum berkembangnya industri hilir

karet di Sumatera Selatan ditinjau dari perspektif peranan kelembagaan. 5. Menyusun arahan kebijakan dan strategi yang diperlukan untuk

meningkatkan pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Selatan, ditinjau dari perspektif pengembangan ekonomi wilayah dan peningkatan peranan kelembagaan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi organisasi/lembaga pemerintah dan pelaku usaha karet rakyat yang terkait di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, agar dapat meningkatkan peranannya dalam mengoptimalkan pengelolaan pengembangan agribisnis karet rakyat di Sumatera Selatan, sehingga diharapkan dapat mendorong pengembangan perekonomian wilayah Sumatera Selatan di masa mendatang.


(32)

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah

Ilmu ekonomi wilayah menganalisis suatu wilayah atau bagian wilayah secara keseluruhan atau melihat potensinya yang beragam dan mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah. Pengembangan ekonomi wilayah adalah suatu proses untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat, yang dilakukan melalui pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dana dan teknologi untuk menciptakan berbagai peluang dalam rangka menghasilkan barang dan jasa yang bernilai ekonomi, serta melalui pengembangan pola kemitraan antara pemerintah daerah, masyarakat dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru guna merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Pengembangan ekonomi wilayah bisa mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru (Arsyad, 1999). Tujuan ilmu ekonomi wilayah adalah mengupayakan: 1) full employment atau penurunan tingkat pengangguran; 2) pertumbuhan ekonomi yaitu menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan dan memperbaiki kualitas kehidupan; 3) stabilitas harga; 4) terjaganya kelestarian lingkungan hidup; 5) pemerataan pembangunan dalam wilayah; 6) penetapan sektor unggulan wilayah; 7) membuat keterkaitan antar sektor yang lebih serasi dalam wilayah sehingga bersinergi dan berkesinambungan; 8) pemenuhan kebutuhan pangan wilayah. Tujuan pemerintah merencanakan pengembangan ekonomi suatu wilayah adalah untuk membantu sektor swasta dan masyarakat di dalam wilayah tersebut dalam memanfaatkan peluang-peluang bisnis lokal, sehingga pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama mengambil inisiatif menggunakan sumberdaya yang ada, serta memperkirakan potensi sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian wilayahnya (Arsyad, 1999).

Urgensi dari analisis basis ekonomi berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan dari luar wilayah terhadap produk-produk yang dihasilkannya (Bendavid, 1991). Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhanan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005). Oleh karena itu, perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Sektor unggulan yaitu mampu memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional dan regional. Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal,


(33)

7 pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Bank Indonesia, 2005).

Permasalahan pengembangan ekonomi wilayah pada umumnya membahas bagaimana upaya yang harus dilakukan, agar kebijakan-kebijakan pembangunan dapat dibuat dan ditekankan berdasarkan kekhasan potensi daerah yang bersangkutan (endogenous development), melalui pengelolaan potensi wilayah termasuk sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal atau daerah. Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut, dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi. Perencanaan wilayah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang dapat dilakukan, dan bagaimana cara menggunakan sumberdaya pembangunan sebaik mungkin, dan dapat diwujudkan (Arsyad, 1999).

Setelah otonomi daerah, masing-masing daerah bebas menetapkan komoditi yang diprioritaskan pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat komoditi yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya, menjadi semakin penting. Komoditas yang memiliki keunggulan, akan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan menjadi pendorong berkembangnya perekonomian wilayah. Keunggulan komparatif suatu komoditi maksudnya adalah unggul secara relatif dibanding komoditi lain di suatu wilayah, dalam hal ini unggul dalam bentuk perbandingan bukan dalam bentuk nilai tambah riel.

Beberapa alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan potensi relatif perekonomian di suatu wilayah antara lain keunggulan komparatif,

Location Quotion (LQ), Shift Share Analysis (SSA) (Tarigan, 2005). Menurut Hendayana (2003), analisis LQ digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan yang diakomodasi berdasarkan pandangan Miller dan Wright (1991), Isserman (1997), dan Hood (1998). LQ sering digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor atau aktifitas yang menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi. Analisis Shift Share (SSA) digunakan untuk mengetahui kemampuan berkompetisi sektor/aktifitas, mengukur pergeseran struktur sektor/aktifitas di suatu wilayah, mengetahui kinerja aktifitas di suatu wilayah, mengetahui sebab-sebab terjadinya pertumbuhan aktivitas di sub wilayah seperti: 1) dinamika lokal atau unit wilayah tertentu; 2) dinamika sektor/aktifitas; 3) dinamika wilayah. Dalam kaitannya dengan keunggulan berkompetisi (competitiveness) yangdiukur dari tingkat pertumbuhan, jika dilihat dari penyebabnya maka koefisien pertumbuhan didekomposisikan menjadi tiga yaitu sebab yang bersumber dari dinamika keragaan wilayah secara agregat, keragaan sektor atau suatu aktifitas secara agregat, dan keragaan unit bagian wilayah terkecil dalam analisis secara sektoral/aktifitas (Panuju dan Rustiadi, 2011). SSA merupakan penjumlahan dari seluruh komponen. Komponen dengan nilai terbesar (Regional Share, Proporsional Shift, Differensial Shift) menunjukkan komponen yang berperan paling besar dalam pertumbuhan aktifitas tertentu. Tiga komponen pertumbuhan dalam SSA yaitu: 1) komponen Regional Share yaitu


(34)

8

pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; 2) komponen Proportional Shift yaitu pertumbuhan total sektor/aktifitas tertentu dibandingkan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah, atau menunjukkan dinamika sektor atau aktifitas total dalam total wilayah; 3) komponen Differential Shift yaitu tingkat kompetisi

(competitiveness) suatu sektor/aktifitas tertentu dibandingkan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut di dalam total wilayah, atau menggambarkan kondisi dinamika unggul atau tidaknya suatu sektor/aktifitas tertentu di suatu unit bagian wilayah tertentu terhadap sektor/aktifitas tersebut di unit bagian wilayah yang lain. Kusreni (2009) berpendapat bahwa spesialisasi regional dapat juga dianalisis dengan menggunakan indikator differential shift.

Selain itu juga ada analisis Localization Index (LI), yaitu analisis yang digunakan untuk menentukan wilayah mana yang potensial untuk mengembangkan aktivitas tertentu, dan analisis Specialization Index (SI) yang digunakan untuk melihat kespesialan/kekhasan suatu sub-wilayah tertentu (Panuju dan Rustiadi, 2011). Agustina (2010) menjelaskan bahwa spesialisasi didefinisikan sebagai keunggulan yang dimiliki suatu wilayah dalam mengoptimalkan sumberdaya lokal. Spesialisasi adalah distribusi share

aktivitas di suatu wilayah, sedangkan konsentrasi adalah share wilayah yang menunjukkan distribusi lokasional dari suatu aktivitas. Dengan adanya spesialisasi, share wilayah dengan lokasi industri non-spesialis lebih rendah daripada share wilayah dengan lokasi industri spesialis. Dengan kata lain kontribusi industri utama pada suatu wilayah yang berspesialisasi akan lebih besar daripada kontribusi industri yang sama di wilayah yang lain.

Konsep Agribisnis

Definisi tentang agribisnis yang disampaikan oleh para ahli dari berbagai negara (Drillon, 1974; David dan Erickson, 1987; Mubyarto, 1994; Soekartawi, 1993 dalam Saragih, 1998) adalah semua kegiatan yang menghasilkan keuntungan di sektor pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, hutan tanaman industri) mulai dari kegiatan bisnis di subsistem hulu (penyediaan sarana produksi), subsistem budidaya, subsistem industri pengolahan baik industri hulu maupun industri hilir, distribusi dan pemasaran, sampai pada subsistem kelembagaan penunjang.

Gambar 1 menjelaskan agribisnis terdiri atas empat subsistem yaitu: (1) subsistem pemasok input pertanian, yaitu sektor yang memberikan pasokan bahan dan peralatan pertanian untuk beroperasinya produksi pertanian atau budidaya. Kegiatan subsistem ini berhubungan dengan pengadaan sarana produksi pertanian; (2) subsistem budidaya pertanian, yaitu subsistem yang mengubah input pertanian menjadi output atau komoditas primer hasil pertanian meliputi budidaya tanaman, peternakan, perikanan, dan kehutanan, yang menghasilkan berbagai macam komoditas primer atau bahan mentah: (3) subsistem agribisnis hilir terdiri atas dua macam kegiatan yaitu: a) pengolahan dan b) pemasaran; (4) subsistem penunjang atau supporting institution, yakni semua jenis kegiatan yang berfungsi mendukung dan melayani kegiatan ketiga subsistem agribisnis di atas. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan


(35)

9 ini adalah penyuluhan, konsultan, keuangan, dan penelitian. Lembaga penyuluhan dan konsultan memberikan layanan informasi dan pembinaan teknik produksi, budidaya, dan manajemen. Lembaga keuangan seperti perbankan, modal ventura, dan asuransi memberikan layanan keuangan berupa pinjaman dan penanggungan risiko usaha (khusus asuransi). Lembaga penelitian baik yang dilakukan oleh balai-balai penelitian atau perguruan tinggi memberikan layanan informasi teknologi produksi, budidaya, atau teknik manajemen mutakhir hasil penelitian dan pengembangan (Saragih, 1998).

Sumber: Diolah dari Saragih (1998)

Gambar 1 Agribisnis Sebagai Suatu Kesatuan Subsistem

Dalam pengembangan ekonomi nasional, peranan agribisnis cukup besar, karena memberikan kontribusi dalam PDB dan kesempatan kerja serta merupakan sumber pertumbuhan baru di daerah yang signifikan (Saragih, 2002). Peranan agribisnis dalam pembangunan nasional adalah sebagai pembentuk GDP atau penyumbang nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, penghasil devisa, pembangunan ekonomi daerah, ketahanan pangan nasional, dan lingkungan hidup. Dalam meningkatkan pembangunan perekonomian daerah, agribisnis mampu menjadi sektor penyumbang terbesar terhadap

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), andalan ekspor daerah, penyerapan tenaga kerja, sehingga pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah (Gie, 2002). Kontribusi sektor pertanian dalam produk domestik bruto (PDB) 2011 mencapai 14,7 persen, menempati posisi kedua setelah sektor industri, dan dari 109,7 juta jiwa penduduk bekerja sekitar 39,33 persen bekerja di sektor pertanian (Suara Merdeka, 04 April 2012). Syahza (2003) menyebutkan perkembangan agribisnis juga akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya diharapkan mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.

Permasalahan mendasar dalam pengembangan agribisnis adalah: 1) produk pertanian umumnya memiliki kelemahan pada struktur produksi yang langsung dikonsumsi sebagai barang konsumsi akhir, sehingga hasil produk kurang memiliki keterkaitan dengan sektor lain baik kaitan input maupun kaitan output; 2) meningkatnya produktivitas pertanian yang tidak

Subsistem Hulu

•Industri pupuk

•Industri mesin pertanian

•Industri alat alat pertanian

•Industri benih

Subsistem budidaya (On Farm)

•Usahatani

•Perkebunan rakyat

•Perkebunan besar milik pemerintah

•Perkebunan besar milik swasta

Subsistem Hilir (Off Farm)

•Industri pengolah produk

perkebunan

•Pedagang Besar

•Pedagang pengecer

Lembaga keuangan: bank, asuransi, lembaga penelitian, balai penelitian, lembaga pnyuluhan, lembaga informasi dan komunikasi


(36)

10

otomatis meningkatkan pendapatan petani, karena harga komoditas banyak berubah; b) nilai tukar komoditas terhadap sarana produksinya sangat kecil; c) nilai tukar komoditas terhadap barang konsumsi dari produk-produk olahan dan manufaktur yang semakin rendah; d) nilai tambah terakumulasi di luar usahatani yang tidak dikuasai oleh petani produsen (Anwar, 1995). Kendala tersebut disebabkan oleh lemahnya hubungan sistem kelembagaan yang terlibat di dalam sistem agribisnis. Salah satunya adalah masalah kendala dalam sistem kelembagaan pemasaran. Sistem kelembagaan pemasaran yang ada pada umumnya tidak memberi insentif kepada petani produsen, sehingga dalam jangka panjang komoditas yang potensial tersebut menjadi kurang prospektif. Hal ini dialami oleh banyak negara sedang berkembang. Kelembagaan pemasaran modern yang umumnya telah dicoba diintroduksikan ke dalam sistem pemasaran hasil pertanian namun tidak berjalan. Fungsi-fungsi pemasaran seperti pembelian, sortasi (sorting), penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan, sering tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efisiensi pemasaran menjadi lemah. Intervensi langsung oleh pemerintah seringkali menimbulkan banyak distorsi di tingkat mikro yang pengaruhnya juga terasa di tingkat makro (Anwar, 1995).

Pengembangan sistem agribisnis, memerlukan perhatian untuk dua aspek penting yaitu memusatkan perhatian pada peningkatan produksi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi untuk peningkatan pendapatan sehingga terjadi permintaan barang dan jasa, serta memberikan fokus kebijakan untuk meningkatan daya tarik pasar melalui intervensi atau fasilitasi pengembangan sistem produksi, pemasaran, perdagangan hasil produk pertanian (agribisnis), pengembangan infrastruktur dan sistem informasi, karena sektor swasta belum mampu menangani hal tersebut, sehingga harus disediakan oleh pemerintah (Anwar, 1995).

Jenis pola pengembangan unit usaha dalam agribisnis sangat tergantung pada beberapa prinsip, diantaranya: a) mengacu kepada adat budaya setempat; b) saling menguntungkan; c) efisien. Untuk jenis pola kemitraan, kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak (win-win alliance) dapat dilakukan melalui: a) kerjasama operasi (joint of operation); b) kerjasama transfer manajemen (joint of management); c) kerjasama transfer teknologi (joint of technology); d) penyertaan modal (equity); e) membangun usaha patungan (joint venture); f) membangun informasi yang sistematis (Wibowo, 1995).

Konsep Kelembagaan

Berdasarkan pandangan ahli (Schmid, 1972; Uphoff, 1986; Scott, 2001; Arifin, 2002; Syahyuti, 2003; Haris, 2006;) tentang defenisi kelembagaan, peneliti berpendapat bahwa defenisi kelembagaan adalah suatu himpunan yang di dalamnya terdapat: 1) adanya anggota yang teridentifikasi dengan jelas; 2) adanya kepentingan yang membuat anggota harus saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan (keberhasilan serangkaian kegiatan atau aktivitas pengembangan agribisnis karet Sumatera Selatan); 3) adanya aturan atau kesepakatan yang dipegang bersama-sama sehingga anggota dapat mengetahui peranan anggota lainnya; 4) ada struktur tentang


(37)

11 posisi, hak dan peranan (kewajiban) yang harus ditegakkan oleh masing-masing anggota, baik penegakkan secara formal maupun informal, sehingga anggota tidak bisa merubah-rubah posisi dan peranannya dengan kemauannya sendiri.

Ada tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan:

1. Batas kewenangan (yurisdiksi), yaitu menyangkut masalah kewenangan setiap anggota di dalam kerjasama. Kewenangan itu mempunyai arti penting dan cukup besar pengaruhnya dalam keberhasilan produksi.

2. Hak kepemilikan, yaitu mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Hak pemilikan property right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap sumberdaya seperti lahan, hasil produksi, dan lain-lain, akan menentukan besarnya bargaining power atau kekuatan tawar terhadap suatu persoalan.

3. Aturan representasi, yaitu masalah sistem atau prosedur mengenai suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat/keuntungan terhadap anggota yang terlibat (Schmid, 1972).

Kelembagaan memiliki berbagai dimensi atau ruang lingkup, yaitu: 1. Kelembagaan memiliki dimensi waktu, yaitu dapat dilakukan pada situasi

yang berulang dalam suatu dimensi waktu, jadi bukan hanya untuk suatu waktu tertentu saja.

2. Kelembagaan memiliki dimensi tempat, yaitu sebagai determinan dalam mengatur kelembagaan dan pembentukan suatu struktur kelembagaan. 3. Kelembagaan memiliki aturan main dan norma, dimana anggota kelompok

masyarakat harus mengerti rumusan aturan yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianutnya.

4. Kelembagaan memiliki pemantauan dan penegakan aturan agar aturan main tidak hanya sekedar aturan, tetapi harus dipantau dan ditegakkan oleh suatu badan yang kompeten dari masyarakat secara internal.

5. Kelembagaan memiliki hirarkhi dan jaringan, artinya kelembagaan bukanlah suatu sistem yang tertutup, tetapi merupakan bagian dari jaringan sistem kelembagaan yang lebih kompleks, sehingga terbentuk hirarkhi keteraturan pola hubungan yang dapat mewarnai proses evolusi dari setiap kelembagaan (Schluter, et al., 2008).

Kelembagaan memiliki konsekuensi, yang terdiri dari: a) kelembagaan akan meningkatkan rutinitas dan keteraturan, meskipun tidak memerlukan pilihan yang sempurna, namun kelembagaan dapat mempengaruhi tingkah laku anggotanya melalui sistem insentif dan disinsentif; b) kelembagaan mempunyai pengaruh untuk menciptakan pola interaksi yang stabil bagi setiap individu atau anggota, yang dapat menimbulkan harapan adanya keteraturan di masa mendatang, sehingga mengurangi ketidakpastian dan mengurangi biaya transaksi dalam aktivitas perekonomian. Peranan kelembagaan dalam pengembangan agribisnis meliputi: kelembagaan memiliki aturan operasional untuk mengatur pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum, merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Schluter, et al., 2008). Dalam mengatur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input kearah efisiensi yang tinggi, lebih merata dan aktifitas ekonomi yang berkelanjutan, guna mencapai efisiensi dalam


(38)

12

alokasi sumberdaya secara optimal, diperlukan pembagian pekerjaan antar lembaga agar profesional, dan dapat mencapai produktifitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan mengarah pada spesialisasi ekonomi. Pengembangan spesialisasi ekonomi tersebut akan mengarah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi (Anwar, 2002).

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani perlu dibangun kemitraan usaha yang berbasis agribisnis. Kelembagaan dapat berperan dalam peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak baik pemerintah, swasta, petani, perbankan, agar sektor agribisnis mampu memberikan sumbangan terhadap devisa negara. Kemitraan usaha harus melibatkan lembaga ekonomi masyarakat atau koperasi, lembaga perkreditan, petani dan pengusaha. Koperasi berbasis agribisnis misalnya, harus menunjang berkembangnya subsistem agribisnis, seperti: perdagangan sarana produksi pertanian, kegiatan usaha tani, pengolahan hasil pertanian, jasa layanan pendukung, penyedia informasi pasar bagi anggota, penyedia teknologi pertanian dan pelaku utama kegiatan agroindustri (Syahza, 2007). Manfaat dari adanya keikutsertaan petani dalam kontrak kemitraan adalah terjadinya pengembangan akses pasar, akses kredit dan teknologi, manajemen resiko yang lebih baik, memberikan kesempatan kerja yang lebih baik bagi anggota keluarga dan secara tidak langsung, pendayagunaan perempuan serta pengembangan dari budaya berniaga yang berhasil (Daryanto, 2007). Kelembagaan juga berperan dalam menciptakan iklim investasi Indonesia yang kondusif bagi pengembangan agribisnis. Kebijakan dalam hal peningkatan investasi harus didukung oleh birokrasi termasuk dalam memfasilitasi kemudahan akses kredit, akses teknologi, serta peninjauan peraturan perpajakan dan tarif pajak untuk mendukung perkembangan sektor agribisnis (Gumbira dan Febriyanti, 2005).

Kelembagaan dalam agribisnis berperan dalam melaksanakan tugas dan fungsi-fungsi pada setiap subsistem agribisnis. Beberapa lembaga terkait dengan kegiatan pengembangan agribisnis meliputi: pemerintah, lembaga pembiayaan, lembaga pemasaran dan distribusi, koperasi, lembaga pendidikan formal dan nonformal, lembaga penyuluhan pertanian lapangan, dan lembaga penjamin dan penanggung resiko (Said, 2001). Salah satu contoh adalah lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran berperan dalam melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk memperlancar aliran produk pertanian dari produsen awal ke tangan konsumen akhir. Begitu pula sebaliknya memperlancar aliran uang, nilai produk yang tercipta oleh kegiatan produktif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran (Said, 2001).

Penentu keberhasilan dalam suatu kelembagaan adalah: 1) adanya keterbukaan, 2) transparansi, 3) nilai akuntabilitas di setiap manajemen. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan beberapa syarat yaitu: 1) aturan main, 2) sistem penyampaian aspirasi dan sosialisasi aturan, 3) dan kejelasan mekanisme internal lembaga. Dalam hubungan antar lembaga, harus terdapat terdapat dua aturan yang mendefenisikan suatu organisasi versus organisasi lainnya, dan yang mempertegas struktur internal dari organisasi tersebut, yaitu; 1) aturan menyangkut ketegasan terhadap aturan-aturan yang harus diikuti agar organisasi tetap hidup; 2) aturan yang menekankan prosedur pemilihan atau pengangkatan pejabat atau pengurus organisasi tersebut, pembuatan dan


(39)

13 sosialisasi laporan keuangan, pembuatan dan penegakkan aturan atas keputusan administratif. Kedua aturan itu disebut sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga suatu lembaga. Agar kelembagaan dapat bertahan lama, diperlukan pengembangan jaringan kelembagaan (Schluter, et al., 2008).

Indikator adanya masalah kelembagaan dapat ditunjukkan oleh beberapa kendala yang berkaitan dengan peranan kelembagaan: (a) lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan; (b) ketersediaan lahan dan masalah kesuburan tanah; (c) pengadaan dan penyaluran sarana produksi; (d) terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi; (e) lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani; (f) kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis; (g) petani kesulitan memasarkan produk pertanian, karena masalah: (1) kesinambungan produksi; (2) panjangnya saluran pemasaran; (3) kurang memadainya pasar; (4) kurang tersedianya informasi pasar; (5) rendahnya kemampuan tawar-menawar; (6) berfluktuasinya harga; (7) rendahnya kualitas produksi; (8) kurang jelasnya jaringan pemasaran; (9) rendahnya kualitas sumberdaya manusia (Anwar, 2002). Pengembangan agribisnis di daerah pada umumnya ditentukan oleh akses pemasaran. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurangnya fasilitas pelatihan yang memadai, menyebabkan penanganan produk mulai dari pra panen sampai ke pasca panen dan pemasaran tidak dilakukan dengan baik. Pembinaan petani lebih banyak kepada praktek budidaya dan kurang mengarah kepada praktek pemasaran. Hal ini menyebabkan pengetahuan petani tentang pemasaran tetap saja kurang (Syahza, 2004).

Faktor-faktor penentu keberhasilan lembaga koperasi adalah: (1) koperasi eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara umum; (2) koperasi akan berkembang jika ada kebebasan dan otonomi dalam berorganisasi; (3) keberadaan koperasi ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi; (4) peran dan manfaat koperasi akan semakin dirasakan bagi anggota dan masyarakat jika terdapat kesadaran serta keanggotaan yang jelas; (5) koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang: (a) luwes atau sesuai dengan kepentingan anggota; (b) berorentasi pada pemberian pelayanan bagi anggota; (c) berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota; (d) efisien, atau biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non koperasi; (e) mampu mengembangkan modal yang ada dalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri; (6) keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut sesuai dengan karateristik masyarakat atau anggotanya (Krisnamurti, 1998).

Peranan kelembagaan meliputi organisasi/lembaga, hubungan antar organisasi/lembaga, dan aturan main atau kebijakan yang terkait dengan kelembagaan tersebut. Salah satu metode analisis yang berkaitan dengan analisis kebijakan adalah menggunakan metode analisis Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah suatu metodologi dengan menggunakan soft ware dapat membantu mengidentifikasi hubungan antara elemen/sub elemen yang menjadi variable pengamatan dan dapat menentukan struktur elemen/sub elemen kunci yang menentukan dalam sebuah masalah yang kompleks. ISM dapat digunakan sebagai metodologi interaktif dan sebuah implementasi dalam suatu pengaturan kelompok. ISM dapat digunakan


(1)

khususnya di Musi Rawas relatif kurang mau mengikuti apa yang disampaikan oleh tenaga PPL, sehingga kondisi pengelolaan kebun karet di Musi Rawas relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan di Muara Enim dan OKU.

Monitoring: terbatasnya anggaran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi faktor penyebab belum terjangkaunya semua lokasi sentra produksi sehingga masih banyak petani yang tidak mampu dibina dan dimonitor perkembangannya.

Hasil wawancara dengan kelompok tani menyebutkan bahwa di Musi Rawas, monitoring yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan sangat jarang,dalam satu tahun belum tentu ada dinas yang datang ke desa mereka. Sementara itu hanya tenaga PPL yang masih mereka kenal, meskipun tenaga PPL tersebut tidak mendampingi semua desa-desa di Musi Rawas secara rutin, tapi paling tidak petani relatif mengenal tenaga PPL yang ada dibandingkan dengan dinas terkait lainnya. Hal ini dibenarkan oleh tenaga PPL yang ada di wilayah kecamatan sampel, bahwa memang ada keterbatasan dinas terkait untuk melakukan pembinaan dan pendampingan teknis serta monitoring secara teratur di tingkat petani karet di Musi Rawas. Kurangnya pembinaan dan monitoring dari dinas terkait merupakan urusan internal dinas tersebut yang tidak dapat dicampuri oleh dinas yang membawahi tenaga PPL. Hal ini mencerminkan bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi di tingkat aparatur pemerintah kabupaten terkait sehingga berimplikasi pada kurangnya pelayanan fasilitasi pembinaan serta monitoring terhadap perkembangan petani dalam meningkatkan produktivitas tanaman karet rakyat, peningkatan mutu bokar dan peningkatan kelembagaan petani dalam pemasaran agar harga bokar yang diterima petani dapat ditingkatkan.

Sanksi-sanksi atau penegakkan aturan: berdasarkan hasil wawancara dengan kementerian pertanian yang terkait dengan urusan peningkatan produktivitas dan mutu bokar rakyat, diketahui bahwa hampir tidak ada aturan yang diberikan berupa sanksi terhadap petani. Pemerintah pusat bersifat memberikan pedoman dan himbauan bukan sanksi di dalam upaya peningkatan produksi atau produktivitas dan mutu bokar petani. Sanksi tidak sapat diberikan kepada petani karet di daerah, karena memang tidak ada aturan yang dibuat untuk hal tersebut. Sanksi di tingkat pedagang pengumpul dan pabrik pengolahan crumb rubber berdasarkan hasil wawancara, peraturan pemerintah pusat belum ada yang mengatur pedagang pengumpul agar dapat memastikan harga dasar bokar di tingkat petani, yang mana harga bokar diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah pusat belum sampai pada pembuatan aturan tentang harga dasar bokar. Oleh karena itu, bagi daerah sampel yang petaninya telah mengembangkan sistem pemasaran yang terkoordinir melalui lembaga koperasi, maka harga bokar lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sampel yang petaninya tidak mau atau masih enggan membentuk kelompok pemasaran bersama. Dengan tidak adanya aturan berupa sanksi terhadap pedagang atau pihak pabrik yang membeli bokar dengan harga relatif rendah maka menyebabkan harga yang diterima oleh petani seperti di Musi Rawas menjadi lebih rendah. Pedagang tidak dapat dipersalahkan dalam hal ini, karena


(2)

pedagang mengatakan bahwa faktor lokasi yang jauh ke pusat pabrik menyebabkan pedagang harus menekan harga bokar supaya ada marjin keuntungan bagi pedagang. Tidak adanya aturan yang jelas tentang harga dasar bokar di tingkat petani, menyebabkan masalah perbedaan harga bokar ini terus terjadi dan relatif merugikan petani, yang terlihat dari kurangnya pemupukan modal di tingkat petani sehingga kemampuan petani dalam melakukan peremajaan dan peningkatan mutu bokar menjadi rendah. Oleh karena tidak adanya sanksi-sanksi terhadap petani, maka payung hukum atau pedoman teknis yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota yang terkait dengan sentra produksi karet rakyat, hanya bersifat himbauan yang mencerminkan bahwa kelembagaan agribisnis karet rakyat belum berkembang sebagaimana kriteria kelembagaan yang seharusnya menurut teori yang ada, sehingga aturan main yang dibuat tidak terlaksana secara efektif di kelompok sasaran seperti petani karet dan pedagang pengumpul yang menentukan harga bokar petani.

3. Aspek kultural-kognitif. Inti dari objek kultural-kognitif ini adalah pada makna (meaning). Fokus dalam kultural-kognitif adalah pada bagaimana kehidupan sosial menggunakan kerangka makna dan bagaimana makna-makna diproduksi dan direproduksi. Dalam konteks ini diperhatikan proses sedimentasi dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif melalui proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal. Misalnya melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain, penciptaan realitas sosial memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku untuk mencapai kebutuhan.

Hasil analisis:

makna yang terkandung dalam pola budaya atau kebiasaan petani di tiga wilayah sampel, lebih banyak tumbuh atau dibentuk oleh kebiasaan yang turun temurun dari orang tua atau pendahulu. Di Kabupaten Musi Rawas, pola budaya berkebun karet terbentuk sudah sejak lama yang pada awalnya umumnya orang tua petani merupakan petani kopi, namun karena perubahan permintaan pasar luar negeri dan harga karet yang relatif cukup menguntungkan, maka petani kopi beralih menanam karet. Pola kebiasaan atau budaya berkebun karet di Kabupaten Musi Rawas masih sangat tradisional, yang dicirikan dengan kurangnya pemeliharaan kebun secara intensif, bibit yang digunakan umumnya berasal dari kebun sendiri bukan bibit unggul yang bersertifikat, pola penyadapan yang belum memenuhi aturan, penggunaan alat pembeku lateks yang tidak sesuai anjuran, bokar yang direndam di sungai dan di bak-bak penampung, yang semuanya dilatarbelakangi oleh pola kebiasaan turun temurun di kalangan petani, meskipun sudah banyak diberikan penyuluhan, namun penyuluhan belum efektif merubah pola kebiasaan petani. Sedikit berbeda dengan pola kebiasaan petani di OKU yang relatif sedikir lebih maju dalam melakukan pemeliharaan dan produksi bokar, namun di OKU kondisi mutu bokarnya sebagian besar masih berada di bawah mutu bokar yang ada di Muara Enim. Pola kebiasaan petani di Kabupaten OKU yang relatif sedikit lebih naju


(3)

dalam pemeliharaan tanaman karet dan produksi mutu bokar, terbentuk dari adanya proyek pemerintah yang disebut dengan Proyek Pengembangan Karet Rakyat (PPKR) pada tahun 1980-an di sejumlah wilayah eks tarnsmigrasi. Di luar wilayah eks transmigrasi, kondisi pola kebiasaan petani dalam memelihara tanaman karet dan produksi bokar relatif masih terbentuk oleh kebiasaan secara turun temurun (tradisional). Di Kabupaten Muara Enim, pola kebiasaan petani terlihat relatif lebih maju dalam memelihara tanaman karet dan produksi mutu bokar yang lebih baik, yang mana terbentuk dari adanya proyek PPKR yang kemudian diteruskan sampai saat ini, meskipun belum semua desa memiliki pola kebiasaaan yang baik dalam berproduksi. Adanya perbedaan pola kebiasaan yang tumbuh dan berkembang di tiga wilayah sampel tersebut, mengindikasikan bahwa pola kebiasaan petani yang tradisional yang sulit menerima pembaharuan atau penyuluhan dari pemerintah, kondisi produktivitas tanaman karet dan mutu bokar yang dihasilkan petani relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang petaninya terbuka terhadap pembaharuan atau penyuluhan. Nilai-nilai tradisional yang berkembang di Musi Rawas dan sebagian OKU, relatif sulit untuk dirubah dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas dan mutu bokar, namun petani tidak merasakan bahwa nilai-nilai kebiasaan yang ada saat ini yang kurang mendukung peningkatan produktivitas dan mutu bokar adalah sesuatu yang merugikan mereka. Hal itu terjadi karena petani memiliki nilai-nilai lain yang berkembang di dalam kehidupan mereka, yakni hidup apa adanya, tidak perlu menguras perhatian untuk memelihara kebun karet, kebun karet dipandang bisa tumbuh dengan sendirinya tanpa harus dipelihara, dan jika kebun karet belum menghasilkan, petani tidak merasa gelisah karena masih bisa meminjam uang kepada tengkulak di desa mereka, atau masih ada kebun lainnya yang bisa diharapkan atau bisa melakukan usaha sampingan seperti bekerja sebagai buruh, tukang bangunan, berdagang buah, bisnis tanah, dan sebagainya. Berdasarkan pandangan Syahyuti (2003), kelembagaan adalah social form (bentukan sosial), seperti layaknya organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup di dalam masyarakat, yaitu merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola, berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu di dalam masyarakat, ditemukan dalam sistem sosial tradisional maupun modern, untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Hubungan sosial dapat disebut sebagai suatu kelembagaan apabila memiliki empat komponen: 1) ada orang-orang, yakni yang terlibat di dalam suatu kelembagaan dapat teridentifikasi dengan jelas;

1) ada kepentingan, yakni orang-orang diikat oleh satu kepentingan atau suatu tujuan sehingga di antara mereka terpaksa harus saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan;

2) ada aturan, yakni setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama-sama, sehingga seseorang dapat mengetahui perilaku atau peranan orang lain yang berada di dalam lembaga tersebut;

3) ada struktur, yakni setiap orang memiliki posisi dan peran yang harus dijalankannya secara benar, sehingga setiap orang tidak bisa merubah-rubah posisi dan peranannya dengan kemauannya sendiri. Organisasi formal dan non-formal, atau lembaga formal dan non-formal, termasuk asosiasi, bisa disebut sebagai suatu


(4)

“kelembagaan”. Dua aspek yang dimaksud adalah ”aspek kultural” dan ”aspek struktural”. Aspek kultural terdiri dari hal-hal yang lebih abstrak yang menentukan “jiwa” suatu kelembagaan, yaitu: nilai, norma, dan aturan, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain.

III. Hasil Analisis berdasarkan pandangan Woolcock (2001)

Woolcock (2001) menyebutkan ada tiga tipe modal sosial yang berkaitan dengan kelembagaan yaitu:

1. Social bounding, yang bekerja pada kelompok-kelompok sosial dan komunitas;

2. Social bridging, yang muncul dan berkembang dalam hubungan antar kelompok-kelompok sosial pada satu komunitas;

3. Social creating/linking, yang muncul dan berkembang dalam hubungan antara kelompok-kelompok sosial atau komunitas dengan pemerintah.

Woolcock (2001) membedakan tiga tipe kapital sosial, yaitu (1) bonding social capital, (2) bridging social capital, dan (3) linking social capital. Ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung keadaannya. Tiga tipe kapital sosial dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Tiga tipe kapital sosial juga dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam ikatan sosial sehingga tergantung bagaimana individu dan masyarakat memaknainya.

Woolcock (2001) berpendapat bahwa social bounding diketahui dari nilai-nilai budaya, tradisi, dan persepsi. Adapun pengertian Social bounding adalah tipe modal sosial dengan karakteristik yakni adanya ikatan yang kuat dalam sistem sosial yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelompok yang masih dalam satu suku atau etnik (kelompok yang sama). Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati, simpati, kebersamaan, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya.

Selain itu, pengertian social bridging adalah dapat berupa institusi atau mekanisme, yaitu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya, yang muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada di dalam kelompok sehingga memutuskan untuk membangun kekuatan dari luar kelompok.

Wilayah jaringan social bridging ini lebih luas daripada wilayah jaringan social bounding karena dapat bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok kepentingan. Social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam melalui interaksi sosial. Ketiga adalah social linking bisa berupa hubungan atau jaringan sosial.

Hubungan sosial dikarakteristikan dengan adanya hubungan di antara beberapa tingkatan dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam


(5)

masyarakat (kelompok petani karet). Misalnya hubungan antara kelompok petani karet dengan lembaga perbankan, dengan lembaga pemerintah, dan sebagainya, yang dianggap memiliki modal ekonomi yang dapat mendukung kegiatan produksi dan memfasilitasi kegiatan pengolahan dan pemasaran produk bokar (bahan olah karet) dari petani secara proporsional.

Adanya perbedaan perkembangan unsur-unsur karakteristik kelembagaan di tiga wilayah sampel, menyebabkan adanya perbedaan tipe relasi sosial antara kelompok tani di Muara Enim dibandingkan dengan kelompok tani di Musi Rawas dan sebagian OKU. Diketahui ada perbedaan kondisi pengelolaan agribisnis karet oleh petani di Muara Enim relatif lebih maju dibandingkan Musi Rawas dan sebagian OKU. Sebagian besar petani karet di Musi Rawas terlihat relatif tertinggal dalam penerapan teknologi budidaya maupun teknologi pembekuan lateks menjadi bokar, termasuk dalam pengembangan sistem pemasaran bokar di Musi Rawas dan OKU masih tradisional sementara di Muara Enim sudah menerapkan sistem lelang melalui KUD. Kondisi pengelolaan karet di OKU relatif sedikit lebih maju dibandingkan petani karet di Musi Rawas.

Berdasarkan pandangan Woolcock (2001), maka posisi kelompok petani karet di wilayah penelitian dapat dikatakan bahwa daya dukung kelompok tani terutama umumnya di Kabupaten Musi Rawas dan sebagian OKU untuk upaya peningkatan produktivitas tanaman karet, peningkatan mutu bokar, dan pemasaran melalui sistem kolektif (lelang di KUD) masih relatif rendah. Dukungan kelompok tani relatif masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan subsisten keluarga petani, dan belum berkembang ke arah penguasaan teknologi budidaya dan penanaganan pasca panen (produksi bokar yang bermutu). Cara mengelola tanaman karet, penyadapan, pembekuan sampai pemasaran bokar di tingkat petani masih terlihat tradisional, yang terlihat dari pola hubungan sosial kelompok tani masih relatif tertutup dalam sesama internal kelompok tani, sehingga pola pengembangan jejaring sosial antar organisasi/lembaga lainnya terkait dengan upaya peningkatan kegiatan agribisnis karet rakyat, masih belum dikembangkan.

Sungguhpun demikian social bridging yang muncul antara kelompok tani dengan pedagang pengumpul atau tengkulak yang cukup mendominasi dalam kehidupan petani karet terutama di Musi rawas dan sebagian OKU, ternyata berjalan dan berkembang sudah sejak lama, dan telah membentuk suatu relasi sosial yang tidak saja terkait dengan urusan dagang, tetapi lebih dari itu. Pola relasi antara petani dengan pedagang pengumpul umumnya merupakan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, karena hampir sebagai besar aktifitas petani karet terutama terkait kebutuhan permodalan usaha budidaya, pemasaran bokar, dan keterdesakan kebutuhan biaya hidup sehari-hari petani karet, didapat dari pedagang pengumpul tersebut. Pedagang pengumpul merupakan tumpuan harapan bagi petani karet, karena tidak banyak proses dan mekanisme yang harus dilalui jika petani mengalami keterdesakan kebutuhan biaya hidup sehari-hari, meskipun beberapa kalangan di luar pelaku usaha agribisnis karet masih memandang bahwa relasi petani karet dengan pedagang pengumpul mencerminkan pola relasi yang tidak menguntungkan petani atau merugikan petani dan menguntungkan pedagang sebagai pemilik modal, menguasai alat produksi, menguasai jaringan pemasaran bokar.


(6)

Dalam situasi relasi sosial seperti itu maka dibutuhkan social linking yang mampu memfasilitasi kedua kepentingan tersebut antara petani dengan pedagang pengumpul untuk menciptakan relasi sosial atau kerjasama ekonomi produksi yang saling menguntungkan (mutual symbiosis).

Berbeda halnya dengan di kabupaten Muara Enim, sebagian petani yang diwawancara menunjukkan kondisi tipe pengembangan jaringan kerjasama antar petani dengan di luar kelompok petani karet relatif sudah lebih berkembang atau disebut sudah mengarah pada tipe relasi social bridging dan social creating/linking, karena sebagian besar kelompok petani karet di Muara Enim sudah menjalin hubungan dengan pedagang besar tidak hanya dari Muara Enim tetapi juga yang berasal dari Kota Palembang.

Selain itu kelompok petani karet juga menjalin kerjasama dengan KUD agribisnis karet yang pernah berkembang sejak tahun 1990-an, dan saat ini masih bertahan meskipun masih berperan sebagai perantara saja antara petani dengan pedagang besar dari pihak pabrik crumb rubber. KUD agribisnis karet belum mampu menjadi pedagang besar yang langsung berhubungan dengan pabrik crumb rubber, karena keterbatasan dana dan kemampuan manajerial pengurus KUD yang sangat lemah. Kelompok tani di Muara Enim juga menjalin relasi dengan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan dalam mengakses pemasaran melalui sistem lelang di KUD, Dinas BP4K atau PPL, dan perbankan. Social linking ini relatif terlihat masih relatif terbatas jangkauannya sampai tingkat di provinsi, namun social creating/ linking antara kelompok petani dengan organisasi/lembaga di tingkat pusat belum terlihat.