Kontroversi atas wacana revisi aturan poligami di Indonesia

(1)

KONTROVERSI ATAS WACANA REVISI ATURAN POLIGAMI

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

ARIFIN

NIM: 103044228102

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KONTROVERSI ATAS WACANA REVISI ATURAN POLIGAMI

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh

Arifin

NIM: 103044228102

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA

NIP. 150 268 783 NIP.150 326 896

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “KONTROVERSI ATAS WACANA REVISI ATURAN

POLIGAMI DI INDONESIA”, telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.

Jakarta, 30 Mei 2008 Mengesahkan

Dekan,

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

NIP 150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., (……….)

NIP.150 169 102

Sekretaris : Kamarusdiana S.Ag., MH.,

(………. ...)

NIP. 150 285 972

Pembimbing I : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. (……… …...)


(4)

Pembimbing II : Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA. (……….)

NIP. 150 326 896

Penguji I : Drs.Djawahir Hejazziey, SH., MA. (………...)

NIP. 130 789 745

Penguji II : J.M. Muslimin, MA., Ph.D (…………..………...)


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 18 Maret 2008

ARIFIN


(6)

ABSTRAK

Arifin

Kontroversi Atas Wacana Rencana Revisi

Aturan Poligami Di Indonesia

Poligami atau dalam pengertiannya beristeri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan sampai saat ini masih menjadi perdebatan panjang yang tidak menemuai titik temu. Masing-masing pihak yang berseteru mempunyai argumen yang mempunyai landasan yang kuat. Poligami merupakan tradisi dari zaman dulu sebelum Islam datang. Ketika Islam datang, Islam menyempurnakan serta mengatur praktik poligami. Banyak orang salah dalam menafsirkan kebolehan poligami.

Seperti di negara-negara muslim lainnya di Indonesia praktek poligami pun masih menjadi perdebatan panjang. Hal ini disebabkan aturan poligami diatur dalam Hukim keluarga di Indonesia, yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Revisi Atas PP No. 1983, dan Inpres No. 1 tahun 1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Permasalahan yang timbul dalam aturan poligami di Indonesia adalah UUP di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami tapi poligami diperbolehkan dengan persyaratan yang ketat. Hal ini tentunya inkonstitusi. Permasalahan lain yang timbul yaitu alasan yang digunakan untuk memperbolehkan poligami yaitu tidak adil karena menganggap perempuan sebagai obyek.

Akibat dari ketidakpuasan terhadap aturan poligami maka timbul beberapa usulan revisi aturan poligami di Indonesia. Beberapa usulan itu diantaranya: Usulan amandemen UUP dari Kowani dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan, RUU Hukum terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Amandemen UU Perkawinan LBH Apik, Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI, Rencana Memperluas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Menguji UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Sebagian besar usulan itu ingin agar praktek poligami diperketat dengan prinsip keadilan dan pemberian sanksi yang berat bagi pelaku poligami yang tidak sesuai dengan proserdur yang ada.


(7)

Bagi penulis penelitian tentang Pro Kontra atas wacana revisi aturan poligami di Indonesia penting agar masyarakat Indonesia tahu hukum keluarga di Indonesia.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan kenikmatan, terutama nikmat jasmani yang berupa kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada junjungan kita, tauladan kita, yaitu baginda nabi agung Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman ilmiah seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita semua akan menjadi salah satu bagian dari umat beliau yang akan mendapatkan syafaatnya besok di hari kiamat Amin.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis jumpai tapi syukur alhamdulillah berkat rahmat dan hidayahNya, kesungguhan kerja keras, doa, serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Oleh karena itu sudah sewajarnya, penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H M.. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana S.Ag., MH., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Ahwal

Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah. 4. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH., dan Bapak Ahmad

Tholabi Kharlie, S.Ag., MA., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.

5. Segenap jajaran staf karyawan akademik, perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Khusnadi dan ibu Khusmiati yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi dan spirit utamanya doa serta tak bosan-bosan memberikan semangat tuk terus belajar, yang pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

7. Ucapan terima kasih kepada bapak Syamsuri dan ibu Sulastri, selaku pengelola “CV INTENS” yang telah bersedia menerima penulis sebagai karyawan di perusahaan yang bapak pimpin selama menjalani masa kuliah 8. Keluarga Besar Komunitas Mahasiswa Kebumen (KOMITMEN) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, “Para pejuang yang tak kenal lelah tuk terus mencari ilmu dan pengalaman hidup demi kota kita tercinta”: Tohirin El Asry, Amin, Hanif, Surono, Dewi, Cici, Khusnul, Qorilanjutkan terus perjuangan kita


(10)

9. Sahabatku,Fitri Masruroh, SHI, Kholishotul Ilmiyyah, yang selalu menemani dan membantu penulis dalam suka dan duka serta tak pernah bosan dalam memberikan motivasi pada penulis.

10.Ulfatun Nihayah orang yang selalu memberikan semangat serta memberi pengalaman tentang “Apa Arti Hidup” semoga harapan kita kan tercapai. 11.Teman-teman KKS 2006 dan teman-teman AKI 2003 Oenk, Ulhaq, Gusdur,

Baydowi, Syamsul, Teguh, Ilyas, Mukhlis dan teman-teman yang lain, yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, semoga kebersamaan kita selama masa kuliah ada hikmahnya dan akan menjadi “Kisah Klasik Untuk Masa Depan.

12.Teman-teman HIQMA, Aang, Yandi, Rahmat, Zul, Saad, Syarif, Hafidz, Samani, Amin, dan teman-teman yang lain yang telah memberikan warna tersendiri dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas dengan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT, dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik serta saran atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...iv

DAFTAR ISI………...vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……….6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………….………..6

D. Tinjauan Pustaka……….7

E. Metode Penelitian……...………8

F. Sistematika Penulisan……….…9

BAB II : POLIGAMI DALAM FIKIH KONVENSIONAL DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Poligami Dalam Fikih Konvensional 1. Pengertian Poligami………11

2. Dasar Hukum Poligami………...12

3. Syarat syarat Poligami……….25

4. Hikmah Poligami……….29

B. Poligami Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 1. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan………...35

2. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974………...37

3. PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)……….…………...38

4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983………...…….43

5. Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)………...46


(12)

6. KUH Per (BW)……….49

BAB III : POLIGAMI DALAM REALITAS MASYARAKAT INDONESIA A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami………...50

B. Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Poligami………..64

C. Data Pelaku Poligami………..67

BAB IV: PRO KONTRA SEPUTAR ATURAN POLIGAMI A. Pandangan Para Pakar Tentang Aturan Poligami………69

B. Beberapa Usulan Perubahan………92

C. Analisa………...106

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………110

B. Saran saran……….112

DAFTAR PUSTAKA………...113


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan mahlukNya di dunia ini berpasang-pasang agar mereka bisa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, lebih khusus lagi agar mereka bisa meneruskan keturunannya. Adapun hikmah diciptakan oleh Allah segala jenis makhluk yang berlainan bentuk dan sifat yaitu agar masing-masing jenis saling membutuhkan, saling memerlukan sehingga dapat berkembang selanjutnya.1 Sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS. Al- Nisa (4): 1.

)

ءﺂ ا

/

:

(

1

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 1.


(14)

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”

Untuk menuju proses perkembangbiakan atau pelestarian keturunan maka dapat dilakukan hanya dengan melalui jalur perkawinan. Berbeda dengan makhluk yang lainnya perkawinan bagi manusia harus sesuai dengan ketentuan agama dan juga ketentuan Undang-Undang Negara dimana ia bertempat tinggal.

Dalam perkawinan ada beberapa istilah yang dipergunakan diantaranya:

monogami, poligami, poligini poliandri dan istilah lainnya. Dari sekian banyak istilah dalam perkawinan, yang paling sering kita dengar dan sering menjadi perdebatan adalah istilah poligami. Perdebatan disini bukan dalam hal istilahnya atau artinya melainkan praktik dari poligami itu sendiri.

Sebagaimana telah kita ketahui poligami adalah salah satu tradisi jahiliyah yang pertama diperangi oleh umat Islam secara berangsur-angsur. Dahulu pada umumnya orang Arab melakukan poligami tanpa batas.2 Adalah suatu hal yang

lumrah ketika itu jika seorang laki-laki memiliki istri lebih dari tiga atau empat orang. Banyak yang pro dan kontra terhadap poligami, bagi kaum perempuan yang tidak mau dimadu poligami sangat dibenci, menurut mereka poligami tidak adil, poligami mengekang hak-hak perempuan, dan yang lebih ekstrim lagi poligami merendahkan derajat kaum perempuan (perempuan hanya dijadikan alat pemuas nafsu saja). Ada yang mengatakan poligami yang dilakukan pada zaman

2

Al Thohir Al Hadad, Wanita Dalam Syari’at dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 6.


(15)

Nabi berbeda dengan poligami yang dilakukan pada zaman sekarang. Nabi melakukan poligami dengan motif untuk menyantuni perempuan-perempuan yang memang membutuhkan santunan dalam artian yang seluas-luasnya dan bisa jadi ada motif lain yang tidak hanya melulu persoalan nafsu seksual saja.3 Sedangkan bagi yang pro terhadap poligami mereka beranggapan bahwa poligami adalah suatu ketentuan agama dan suatu cara untuk mengangkat derajat kaum perempuan, menurut mereka daripada selingkuh atau berzina lebih baik dinikahi secara syah. Memang dalam ajaran Islam dan negara poligami tidak dilarang asalkan bisa memenuhi syaratnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. al- Nisa (4): 3

)

ءﺂ ا

/

:

(

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka

3

Nurbowo, Apiko dan Joko M, Indahnya Poligami Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo


(16)

(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Sedangkan dalam aturan negara poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 3, 4 dan 5, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Revisi Atas PP Nomor 10 Tahun 1983, diantaranya menjelaskan Pegawai Negeri Sipil perempuan dilarang menjadi istri kedua, ketiga atau keempat. Jika melanggarnya maka akan diberi sangsi, yang selanjutnya adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Walaupun sudah banyak peraturan yang mengatur tentang poligami tapi sangat disayangkan poligami dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang ada, poligami dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sehingga dapat dilakukan dengan mudah tanpa melalui institusi negara. Sedangkan kalau kita perhatikan prosedur untuk melakukan poligami sangat ketat apalagi bagi Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai peraturan tersendiri.

Pada dasarnya hukum keluarga di Indonesia menganut asas perkawinan monogami, tetapi peraturan tersebut tidak bersifat mutlak hanya bersifat pengarahan kepada terbentuknya perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali praktik poligami.4 Jika diteliti lebih dalam hal ini sangat membingungkan di satu sisi hukum keluarga di Indonesia menganut sistem

4

Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 77.


(17)

monogami tapi di sisi yang lain praktik poligami diperbolehkan. Sampai saat ini aturan tentang poligami di Indonesia masih menjadi perdebatan yang tak kunjung menemui titik temu, karena dalam hal ini masing-masing pihak yang berseteru mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang poligami. Baru-baru ini isu tentang poligami mencuat kembali, isu ini terkait dengan pengakuan pernikahan kedua dai kondang AA Gym, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang resah mendengar isu ini, langsung memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nasarudin Umar untuk membicarakan masalah poligami.5 Pada kesimpulannya Presiden ingin merevisi aturan poligami di Indonesia yaitu dengan memperluas aturan tentang poligami di Indonesia. Menanggapi pernyataan Presiden ada yang pro dan ada yang kontra terhadap rencana pemerintah membahas kembali regulasi poligami. Pro kontra tersebut terkait dengan masalah poligami yang dianggap sebagai masalah privat, dan negara tidak boleh ikut campur terlalu dalam.6 Sedangkan yang lain menganggap poligami berhubungan dengan masalah negara karena menyangkut kepentingan keluarga yang menjadi dasar ketahanan nasional. Hingga saat ini rencana revisi aturan poligami masih menjadi perdebatan.

Sebenarnya kalau kita lihat munculnya isu tentang poligami adalah saat yang tepat untuk kembali melihat dan merevisi hukum keluarga di Indonesia bukan hanya masalah poligami saja tetapi masalah perkawinan yang lainnya.

5

Nurhayati, “Kontroversi Poligami”, Tempo XXXV No. 42 (Desember 2006), h. 108.

6

Rumadi, Momentum Reformasi Hukum Keluarga, Koran Tempo, (Jakarta). Edisi, Rabu 13 Desember 2006, h. A10.


(18)

Karena yang sedang popular adalah masalah poligami maka penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai masalah poligami.

Tertarik dengan masalah tersebut di atas maka penulis akan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Kontroversi Atas

Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia.”

Pembatasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam karya ilmiah ini adalah munculnya kontroversi publik terhadap aturan poligami di indonesia. untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Mengapa timbul perdebatan atas wacana Revisi aturan poligami di Indonesia? Bagaimana perdebatan atas wacan revisi aturan poligami di Indonesia?

Apa saja aturan-aturan yang mengatur poligami di Indonesia bagi warga sipil? Apa upaya yang dilakukan oleh pihak yang pro dan kontra untuk menyikapi

aturan poligami di Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Mengetahui sebab timbulnya perdebatan atas wacana revisi aturan

poligami di Indonesia.

b) Mengetahui bagaimana perdebatan atas wacana revisi aturan poligami.

c) Mengetahui peraturan yang menatur praktik poligami bagai warga Negara sipil.


(19)

d) Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang pro dan kontra terhadap poligami dalam menyikapi aturan poligami di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dalam skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Secara akademik dapat menambah khazanah pengetahuan dalam bidang hukum Islam di Indonesia khususnya bidang perkawinan. b. Secara pribadi dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan yang

dimiliki juga sebagai beban moral penulis untuk dapat mengamalkan serta merealisasikan hal tersebut setidaknya dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat di sekitarnya tentang aturan poligami di Indonesia.

c. Masyarakat/Negara selain menambah pilihan hukum yang sudah ada juga sebagai motivator bagi masyarakat untuk mematuhi hukum yang ada di Indonesia.

Tinjauan Pustaka

Judul skripsi ini jika dilihat sepintas memang sebuah wacana yang bersifat kontemporer yang telah banyak dibahas, seperti skripsi yang dilakukan oleh Ismail Marzuki., SHI mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama 2006, dalam skripsinya yang berjudul “Gagasan Sayyid Qutb Tentang Keadilan Dalam Poligami” dan saudara Hasbi Ash Shidiqi., SHI dalam skripsinya yang berjudul “Perkara Cerai Gugat dengan Alasan Suami Berpoligami Menurut Hukum Islam dan Positif (Studi Kasus di PA Tangerang).”

Skripsi yang ditulis oleh saudara Marzuki lebih fokus kepada prinsip keadilan dalam poligami, serta melihatnya dari sisi fikih, tanpa melihat poligami dalam hukum positif di Indonesia. Sedangkan skripsi saudara Hasbi lebih fokus pada salah satu akibat yang ditimbulkan dari adanya poligami.

Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai pro kontra seputar aturan poligami serta upaya-upaya untuk merevisi aturan poligami di Indonesia. Penulis


(20)

akan mencoba meneliti berbagai persepsi masyarakat seputar aturan poligami serta berbagai upaya untuk merevisi aturan poligami.

Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian yang akan digunakan yaitu:

Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.

Adapun metode pembahasan yang dipakai dalam penelitian

kepustakaan ini adalah metode deskriptif analisis. Pendekatan deskriptif diperlukan untuk memaparkan masalah poligami dan Aturan Poligami di Indonesia.

Data Penelitian

a). Sumber Data

Sumber data penulisan skripsi ini berasal dari buku-buku, majalah, Surat Kabar, jurnal-jurnal ilmiah, artikel, serta karya ilmiah lainnya yang membahas tentang poligami dan aturan poligami, serta beberapa tanggapan tentang upaya Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia. b). Jenis Data

Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini. 1) Data primer: yaitu data yang berasal dari Al Qur’an, kitab

hadis, dan buku-buku yang membahas masalah poligami dan aturan poligami.


(21)

2) Data sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan artikel yang relevan dengan tema dalam skripsi ini.

c). Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang membahas tentang poligami, aturan poligami, serta kritik atas aturan poligami di Indonesia.

d) Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” tahun 2007 cet. 1

Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah memahami isi skripsi, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

Pada bab pertama akan dibahas: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan

Bab Keduamembahas Kajian poligami dari segi teori yang mencakup: Pengertian Poligami, Dasar Hukum Poligami, Syarat-syarat Poligami, Hikmah Poligami, aturan Poligami dalam: UU No 1 Tahun 1974 Tentang


(22)

Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana U U No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983, Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), KUHPer (BW).

Bab ketiga membahas tentang Poligami Dalam Realita Masyarakat Indonesia yang mencakup Sejarah terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia, Persepsi Masyarakat terhadap aturan Poligami di Indonesia, dan Data Pelaku Poligami.

Bab empat merupakan bab inti yang merupakan hasil penelitian disertai dengan analisa penulis disini akan dibahas: Pro Kontra Seputar Aturan PoligamiMembahas: Pandangan Para Pakar Tentang Aturan Poligami di Indonesia, Beberapa Usulan Perubahan, Analisa.

Bab lima merupakan bab penutup yang akan menjawab permasalah dalam penelitian ini, disini akan ditarik kesimpulan atas penelitian yang sudah dilakukan dan sebagai ahir dari penelitian ini kami cantumkan saran-saran.


(23)

BAB II

POLIGAMI DALAM FIKIH KONVENSIONAL

DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Poligami Dalam Fikih Konvensional

Pengertian Poligami

Ada banyak berbagai definisi tentang arti kata poligami baik dilihat dari definisi bahasa maupun dari definisi istilah. Pada dasarnya poligami mempunyai arti ikatan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang sama.7 Di sini pihak tersebut bisa pihak laki-laki maupun pihak perempuan, namun arti kata poligami mengalami pergeseran makna dimana yang menjadi obyek adalah pihak laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu orang. Menurut bahasa kata Poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu poly atau

polus yang berarti banyak dan gamei atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jika kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.8 Dalam bahasa Arab poligami sama dengan kata Ta’addud az-zaujat yang artinya berbilangnya isteri.9

7

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) h. 788.

8

“Poligami”dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk,ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 107.

9


(24)

Pengertian poligami secara umum yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah poligami dalam arti seorang suami mempunyai istri lebih dari satu orang. Demikian juga Sayuti Thalib memberi arti kata sama dengan poligami yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam satu waktu yang sama.10

Dasar Hukum Poligami a. Al- Qur’an

Untuk mengetahui kedudukan poligami dalam Islam maka disini penulis akan mengutarakan dalil-dalil naqli maupun aqli beserta beberapa pendapat ulama. Dalam QS. al- Nisa/4:3 Allah berfirman:

)

ءﺂ ا

/

:

(

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu

10


(25)

miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Para ahli tafsir menyatakan bahwa dalam ayat ini, Allah menunjukan firmanNya kepada para penanggung jawab atau wali anak-anak perempuan yatim, terutama wali yang mengelola harta mereka, agar berhati-hati. Sekiranya tidak mampu berbuat adil apabila mengawini mereka baik dengan memberi mas kawin kepada mereka atau tidak mengelola harta mereka dengan sejujur-jujurnya, maka beralihlah ke perempuan lain untuk dikawini. Allah tidak mempersempit bagi mereka, sekiranya ia mampu maka Allah membolehkan mengawini perempuan lebih dari seorang dua tiga, atau empat dalam waktu bersamaan, tetapi sekiranya tidak mampu maka cukup seorang saja. Bahkan apabila tidak mampu satu istri maka haram hukum baginya melakukan sampai dia mampu melakukannya.

Dapat diambil kesimpulan pada ayat tersebut bahwa poligami bukan merupakan suatu kewajiban tapi kebolehan, jadi seorang muslim itu boleh berpoligami atau membatasi hanya dengan satu istri. Kesepakatan para mujtahid dan ahli fikih dalam periode yang berbeda mengenai masalah ini tidak ada perbedaan.11

Dalam ayat 3 surat al- Nisa Allah menjelaskan apabila kamu tidak dapat berbuat adil atau tidak dapat menahan diri daripada memakan harta anak yatim, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya

11

Abdullah Nasih Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam (Jakarta: Studio Press, 1997), h. 11.


(26)

dengan tujuan untuk menghabiskan memakan hartanya melainkan kamu menikahi orang lain. Maka kamu nikahilah wanita lain yang kamu sukai dua, tiga, atau empat dengan syarat kamu harus memperlakukan semua istri-istrimu dengan adil. Maka apabila kamu merasa tidak berlaku adil maka kamu nikah hanya dengan seorang saja.12

Maksud dari “Apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua…” maksudnya jika ada perempuan yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang memadai maka beralihlah kepada wanita selainnya, sebab wanita lain juga masih banyak, dan Allah tidak mempersulitnya.13 Sedangkan dua, tiga, atau empat, nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jika kamu mau nikahilah dua, tiga atau empat, sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh selain Rasulullah SAW, menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah.14

Allah berfirman dalam QS. al- Nisa (4):129

12

Universitas Islam Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf 1995 ), h. 120.

13

Muhammad Nasib Ar Rifai , Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir (Jakarta: Gema Insani Press 1999) Cet. 1 h. 649.

14


(27)

)

ءﺂ ا

/

٩

:

(

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam Al Qur’an hanya dua ayat yang dengan tegas menerangkan tentang hukum poligami. Pada ayat pertama merupakan dalil syar’i yang menyatakan dibolehkannya poligami dalam hal ini Syekh Khalaf menyatakan dalam bukunya Nur min Al Qur’an menjelaskan tentang

keterkaitan ayat

dengan

sebagai berikut:

1) Pada waktu itu banyak para pengasuh anak yatim yang mengawini anak asuhnya. Namun mereka berbuat dzalim dalam pemberian


(28)

mahar, bahkan ada di antara mereka yang tidak membayar mahar sama sekali. Dengan demikian mereka telah melanggar kewajiban yang ditentukan oleh Allah. Setelah Allah memberikan larangan keras terhadap mereka agar tidak memakan harta anak yatim, dan Allah menjelaskan bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar. Lalu mereka takut dan khawatir akan tidak berbuat adil dalam mengawini anak-anak asuhnya. Kepada mereka Allah menegaskan: jika kamu takut tidak berbuat adil dalam mengawini wanita-wanita yang berada dalam tanggungannya, maka kawinilah olehmu wanita-wanita lain yang bukan yatim dua, tiga atau empat.

2) Banyak wali atau pengasuh anak-anak yatim yang memakan harta mereka secara sewenang-wenang. Hal demikian untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mengambil istri sebanyak-banyaknya (tanpa batas) karena harta mereka sendiri tidak mencukupinya. Kepada mereka ini Allah menegaskan : jika kamu khawatir akan tidak berbuat adil terhadap anak yatim maka hentikan saja perbuatanmu, merampas harta anak yatim untuk memperbanyak isteri. Bagimu cukup beristeri dua, tiga atau empat. Jika kamu khawatir tidak berbuat adil diantara mereka, maka cukuplah untukmu satu isteri saja, penafsiran ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

3) Ketika Allah melarang memakan harta anak yatim dan ia mencatat perbuatan itu sebagai dosa besar, maka takutlah para wali dan


(29)

pengasuh anak yatim untuk berbuat dzalim terhadap mereka yang berada dalam lindungannya. Kepada mereka ini Allah menegaskan: jika kamu takut berbuat dzalim terhadap anak-anak yatim dan isteri- istrimu yang banyak tanpa batas, maka cukuplah bagimu mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang kamu cintai. Jika kamu takut akan tidak berbuat adil diantara mereka, maka cukuplah untukmu seorang isteri saja. Sebab orang yang terjebak dalam tindakan kedzaliman harus berusaha membebaskan diri dari lingkaran kedzaliman itu. Penafsiran ini diriwayatkan dari Zaid Ibnu Zubair, Al-Sauda dan Qatadah. Menurut mufasir agung Ibnu Jarir penafsiran ini yang lebih tepat dan dapat diterima dibanding lainnya15.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi kedua ayat tersebut. Ada dua kelompok ulama yang menyikapi poligami. Yang pertama ialah kelompok yang melarang poligami dan kedua ialah kelompok yang memperbolehkan poligami.

Menurut pendapat yang pertama maksud dua ayat di atas menunjukkan dilarangnya poligami. Sebab ayat pertama

(

) memperbolehkan poligami dengan

syarat adil sedangkan ayat kedua

(

) Menerangkan

seseorang tidak akan bisa berbuat adil sekalipun ia bermaksud untuk melakukannya. Dengan demikian ibadah al- taaddud pada ayat pertama

15

Abuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV, Pedoman Ilmu Jaya, 1993) Cet. 1 h. 23.


(30)

tidak mungkin terjadi, sebab seseorang menurut ayat kedua tidak akan bisa berbuat adil. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa poligami hukumnya haram menurut nash dua ayat di atas.

Tapi pendapat ini disanggah oleh ulama yang memperbolehkan poligami, mereka menyikapi kedua ayat di atas dengan penafsiran sebagai berikut:

1) Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya Taaddud al zaujah atau berpoligami dalam ayat pertama bukanlah sifat adil yang ada dalam ayat kedua, dimana setiap orang tidak mampu untuk melakukannya. Adil dalam ayat pertama adalah adil yang dapat dilakukan (terjangkau), seperti dalam pembagian waktu menginap haruslah sama, hal ini dapat kita ketahui sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah, “setelah Rasulullah mengawiniku, beliau menetap dirumahku selama tiga hari.” Beliau bersabda: “Sekarang sudah tidak ada lagi kehinaan atas keluargaku dan dirimu.” Apabila kamu menghendaki, aku akan memberi bagian 7 hari kepadamu, aku pun akan memberi bagian tujuh hari kepada isteri-isteriku yang lain.16

2) Masalah pembagian nafkah pun harus betul-betul adil namun bukan berarti pembagian harta dilakukan secara sama kepada seluruh istri. Adil di sini sesuai dengan kebutuhan dan tempat mereka tinggal. Karena makna adil dalam hal ini bisa juga

16


(31)

diartikan meletakkan/mengerjakan sesuatu pada tempatnya yang sesuai (kebutuhan).

3) Sedangkan adil pada ayat yang kedua dimana tidak seorangpun mampu berbuat adil yang bersifat maknawi, ia hanya berkaitan dengan getaran jiwa (Kasih Sayang) dan berada di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu adil yang kedua bukanlah suatu tanggung jawab dan bukanlah suatu taklif karena hati atau jiwa bukanlah punya manusia melainkan milik Allah ia dapat menggetarkan kemana saja dimana Ia berkehendak.

4) Rasulullah SAW menjelaskan dalam Al Qur’an baik melalui perbuatan maupun perkataan, beliau adalah pesuruh Allah, yang bertugas menyampaikan barang yang halal dan haram, namun beliau berpoligami. Lalu apa komentar dari orang yang melarang poligami? Apa mereka mengatakan bahwa nabi telah menyimpang dari nash Al Qur’an khususnya dua ayat tersebut. menanggapi kenyataan itu mereka menyatakan poligami bagi Rasulullah adalah suatu hal kekhususan.

b. Hadis Nabi

ةﻮ

ﺮﺸ

و

ا

ا

ن

نا

ا

و

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﻰ ا

ﺮ ﺎﻓ

ﺎﻓ

ﺎً

را

نا

)

ﺮ و

ﺪ ا

ور

(

17

17


(32)

Artinya:Dari Salim dari ayahnya RA bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW menyuruh agar ia memilih empat orang dari istri istrinya.”

Hadis ini diklaim sebagai salah satu dasar hukum dari berlakunya praktik poligami dalam Islam. Dalam Islam poligami diperbolehkan dengan batasan empat orang isteri. Walaupun diperbolehkan poligami hanya sebagai alternatif upaya menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia.

Berdasarkan dalil kedua di atas maka dapat disimpulkan

1) Kedua nas tersebut dapat dijadikan dasar hukum dalam praktik poligami.

2) Poligami dalam ajaran Islam diperbolehkan sebagai alternatif dalam upaya menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia. 3) Jumlah batas maksimal istri yang boleh dipoligami terbatas

hanya empat orang.

c. Pendapat Ulama

Untuk melengkapi kajian tentang poligami maka penulis mencantumkan beberapa pendapat ulama baik itu pendapat ulama salaf maupun pendapat ulama kontemporer. Pendapat para ulama setidaknya bisa memperkuat dasar hukum dari poligami.

Mazhab Hanafi mengharuskan berlaku adil bagi pelaku poligami terhadap isterinya. Keharusan berlaku adil ini berdasarkan surat al- Nisa ayat 3 dan hadis dari Aisyah yang menceritakan


(33)

perlakuan yang adil dari Nabi kepada isterinya, ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil terhadap isterinya.18 Imam Malik membolehkan poligami dengan dasar kasus seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan mempunyai istri sepuluh dan ternyata Nabi menyuruh mempertahankan maksimal empat dan menceraikan yang enam.19 Dalam kitab Al Umm karangan Imam Syafii Islam memperbolehkan seseorang untuk beristri maksimal empat orang, berdasarkan Al Qur’an dan hadis nabi. Tuntutan untuk berbuat adil diantara para istri menurut Asy Syafii berhubungan dengan urusan fisik misalnya mengunjungi istri hal ini didasarkan pada prilaku Nabi dalam berbuat adil kepada istrinya. Menurut imam Syafii keadilan dalam hal hati hanya Allah yang mengetahuinya, karena mustahil seseorang dapat berbuat adil seperti yang disyaratkan dalam Al Qur’an surat al- Nisa ayat 129. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal fisik seperti yang disebutkan dalam QS. Al- Ahzab (33): 50

18

Khoerudin Nasution, Status Wanita di Asia Teggara, Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta, INIS, 2002), h.104.

19


(34)

)

بﺰ ا

/

:

(

Artinya: "Hai nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang Telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan


(35)

ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

QS. Al- Nisa (4): 19

)

ءﺂ ا

/

٩

:

(


(36)

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Ibnu Qudaimah dari mazhab Hambali berpendapat, seorang laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat, berdasarkan surat al- Nisa ayat 3, kasus Ghailan binti Salamah dan kasus Naufal bin Muawiyyah. Muhammad Abduh berpendapat kebolehan poligami merupakan suatu yang sulit, mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi. Beratnya syarat yang ditentukan membawa kepada pemahaman bahwa Tuhan melarang poligami. Poligami diharamkan bagi mereka yang mempunyai kekhawatiran tidak dapat berlaku adil.20 Sedangkan Rasyid Ridha menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, karena pada dasarnya perkawinan adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan.21

Musfir al Jahrani menyatakan bahwa poligami adalah syari’at Islam yang tak terbantahkan keabsahannya. Meskipun syari’at tidak mewajibkannya namun Al Qur’an membolehkannya, siapa saja yang menolak poligami berarti pro terhadap barat dan menolak kehujjahan Al

20

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender Perserikatan Perempuan, The Asia Foundation, 1999), Cet. 1 h. 41.

21


(37)

Qur’an. Padahal kebolehan poligami dalam Al Qur’an adalah untuk kebahagiaan dunia akhirat dan poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya.22

Syarat Poligami

Hak poligami dapat diberikan kepada laki-laki yang sanggup melaksanakannya, jika tidak hal ini akan membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum wanita. Pada dasarnya syarat poligami sama dengan syarat orang yang akan menikah perbedaanya terletak pada aspek keadilan karena dalam poligami terdiri dari banyak istri.

Secara garis besar syarat poligami adalah sebagai berikut: a. Sanggup memberi nafkah lahir.

Orang yang menikah hendaknya sudah mempunyai persiapan yang matang dalam finansial atau materi, sebab ia mempunyai tanggungan mempunyai belanja terhadap isterinya dan juga mencukupi kebutuhan rumah tangga yang meliputi sandang, pangan, dan papan sekalipun dapat dipikul bersama isteri.23 Berdasarkan syarat tersebut seorang laki-laki belum dibolehkan menikah jika belum mampu memberi nafkah. Begitu pula laki-laki

22

Musfir Al Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 38-39.

23

Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya. (Bekasi: Pustaka Al Riyadh, 2004), Cet.1 h. 7.


(38)

yang sudah punya isteri satu tapi belum mampu memberikan nafkah yang layak, maka ia tidak boleh berpoligami.24

Sanggup memberi nafkah batin.

Termasuk syarat bolehnya nikah dan juga poligami adalah mampu memberikan nafkah batin, kalau tidak maka tidak boleh poligami karena itu dapat berakibat buruk pada wanita yang dinikahi

a.

Mampu berbuat adil.

Adil memang menjadi syarat yang utama dalam poligami, karena dalam Al Qur’an dan juga pendapat semua ulama menjadikan kemampuan untuk berbuat adil sebagai syarat kebolehan berpoligami. Adil memang mudah sekali untuk diucapkan tetapi dalam praktiknya sangat sulit, adil terhadap diri sendiri saja sulit apalagi adil terhadap beberapa istri.25

ﺎﻬ

ا

ﺿر

ﺔﺸﺋ

:

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﷲا

لﻮ ر

ن

ﺎآ

ﻚ ا

ﺎ ﻓ

اﺪه

ﻬ ا

لﻮ

و

ل

ﺪ ﻓ

ﺋﺎ

و

ﻚ ا

و

.

)

آ

او

ن

ا

ﺻو

ﺔ ر ا

ور

ﻜ و

ﺎ را

ىﺪ ﺮ ا

ر

(

26

Artinya: “Dari Aisyah ra beliau berkata: Rasulullah saw, selalu membagi giliran kepada isterinya dan beliau selalu adil

24

Musfir Al Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 56.

25

Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri, (Solo: Era Intermedia, 2007), Cet. 1 h.123.

26

As Shan’ani, Subulussalam III. Penerjemah Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h.582.


(39)

seraya berdoa: Ya Allah inilah pembagianku sesuai kemampuanku, janganlah engkau mencela saya dalam sesuatu yang engkau kuasai dan engkau tidak kuasai. Diriwayatkan oleh Al-Arbaah (Perawi yang empat yaitu Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah), dan dinilai shahih oleh ibnu Hibban dan al Hakim. Akan tetapi At Tirmidzi menguatkan mursalnya. (Hadis mursal adalah hadis yang tidak disebutkan sahabat pada sanadnya ) “ Dalam hadis ini dijelaskan Nabi saja tidak bisa berlaku adil apalagi kita manusia biasa. Keadilan itu tergantung dari kemampuan kita masing-masing semampu kita, karena hanya Allah yang mengetahui keadilan kita. Jika seseorang merasa ragu bahkan tidak mampu untuk berlaku adil maka ia tidak diperbolehkan untuk berpoligami.

Sayyid Sabiq mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut:

ﻮ ا

م

ﺪ ور

ﻮ ا

ﺮ ا

فﺎ

نﺎﻓ

م

ﺎﻓ

ا

27

“ Jika suami khawatir berbuat dzalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka semua maka ia diharamkan berpoligami.”

b.

Bila isteri itu mandul (tidak dapat melahirkan anak).

c.

Maksimal empat orang.

Islam hanya membolehkan poligami maksimal empat orang.

d.

Bila seorang isteri itu sakit merana.

Bila istri sakit merana secara logika ia tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Maka pihak suami boleh kawin lagi

27


(40)

untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina yang diharamkan Allah.

e.

Jikalau bilangan kaum wanita lebih banyak dari bilangan

kaum pria.

Dengan keadaan ini maka Islam membolehkan seorang pria boleh kawin dengan beberapa orang wanita, demi kemaslahatan masyarakat.

f.

Jika istri melahirkan anak perempuan semua atau laki-laki

semua.

28

Seorang laki-laki yang ingin berpoligami harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil, setiap isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Namun bila ia merasa bahwa tidak akan mampu memperlakukan mereka dengan adil, maka ia harus menahan dirinya sendiri dengan hanya menikahi seorang istri.29 Setiap isteri berhak mendapatkan hak-haknya dari suaminya berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT

28

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya 1994), Cet. Ke-3 h. 68.

29

Abdurahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. Pertama h. 45.


(41)

kepada setiap suami. Adil kepada isteri-isteri itu wajib hukumnya berdasarkan Al Qur’an, As sunah dan ijma. 30

Hikmah Poligami

Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT, pasti ada hikmah yang dapat kita ambil demikian juga ketika Allah menurunkan ayat tentang poligami. Hikmah dari poligami diantaranya:

a. Akan munculnya bahaya jika seseorang itu hanya terbatas pada satu isteri sementara dia diberi kekuatan besar dalam seks. Seperti diketahui bahwa perempuan setiap bulannya mengalami masa haid selama 3 -10 hari. Pada saat haid tersebut laki-laki tidak mungkin menggauli isterinya padahal dia memiliki dorongan seksual yang kuat, maka poligami merupakan cara untuk melepaskan dorongan seksual dengan menggauli isteri kedua umpamanya. Dengan demikian dia terhindar dari kemungkinan berbuat zina yang merupakan dosa besar.

b. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pada ghalibnya perempuan di semua negara di dunia melebihi jumlah kaum laki-laki secara signifikan pada situasi-situasi tertentu. Misalnya akibat peperangan yang memakan waktu panjang dan membunuh banyak diantara laki-laki yang ikut berperang.31

30

Abdul Nasir Taufiq Al Atihan, Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan Perundang-Undangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 196.

31

Muhammad Bagir Habsyi Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As-sunnah dan Pendapat Para Ulama (Semarang: Al mizan, 2002), h. 94.


(42)

c. Potensi kebanyakan laki-laki untuk memberikan keturunan lebih besar dan lebih lama daripada yang dimiliki perempuan. Pada umumnya laki-laki tetap subur meski telah mencapai usia lanjut sedangkan perempuan kehilangan kesuburannya ketika mengalami menopause pada usianya yang ke-empat puluh tahun atau bahkan lebih dari itu sedangkan perempuan kehilangan gairah seksualnya jauh di atas usia tersebut.32

d. Bila isteri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular, dalam keadaan ini maka akan lebih baik bila ada isteri yang lain yang memenuhi dan melayani berbagai keperluan si suami dan anak-anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu isteri yang sakit itu.33

e. Bila isteri sakit ingatan. dalam hal ini tentu suami dan anak-anaknya akan sangat menderita. Disini sangat dibutuhkan orang yang bisa menggantikan posisi isteri yang sakit ingatan tersebut yaitu isteri yang lain.

Sayyid Sabiq dalam kitabnya mengemukakan hikmah poligami cukup panjang, dan di sini dikemukakan ringkasannya sebagai berikut:34

Sebagai karunia dan rahmat Allah, dan menjadi keperluan untuk kemakmuran dan kemaslahatan

32

Ibid., h. 95.

33

Abdurahaman I Doi, Inilah Syari’ah Islam, (Jakarata: Pustaka Panji Mas, 1991), h. 210.

34


(43)

Untuk memperbesar jumlah umat ”Karena keagungan itu hanyalah bagi yang berumat banyak.”

Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka.

Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada pria.

Mengisi tenggang waktu yang lorong berhubung secara kodrati pria itu lebih panjang masa membutuhkan hubungan seks baik dalam usia lanjut yang wanita sudah tidak membutuhkan sementara pria tetap saja atau karena tenggang waktu haid dan nifas.

Dapat mengatasi kalau isteri pertama mandul.

Sebaliknya di tempat yang menganut pemaksaan monogami terlahir banyak kefasikan yang menyebabkan banyak WTS (Wanita Tuna Susila), dan banyak anak di luar nikah.

Demikianlah beberapa hikmah dari turunnya ayat tentang poligami walaupun jika dilihat, masih melihat wanita sebagai obyeknya. Hikmah yang disebutkan diatas pada dasarnya bertujuan untuk mengangkat derajat kaum wanita bukan sebagai penghinaan terhadap wanita karena ia dianggap sebagai alat pemuas nafsu saja. Hal yang paling penting untuk kita sikapi adalah kemaslahatan bagi wanita dan juga masyarakat. Poligami merupakan pemuliaan bagi perempuan karena poligami menjaga dari zina, poligami adalah satu-satunya jalan yang syah untuk


(44)

menyalurkan libido seksual, dan poligami menjaga laki-laki dari zina.35 Walaupun banyak hikmah dari poligami namun poligami tidak mudah untuk dilakukan, poligami hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu saja atau dalam keadaan darurat.

Poligami Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan, sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis, dan ketidakadilan jender. Tapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran-sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.36

Dalam setiap negara selalu ada hukum yang mengatur tentang masalah keluarga atau lebih khususnya masalah perkawinan, karena keluarga adalah merupakan bentuk masyarakat terkecil yang secara tidak langsung keberadaannya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat suatu negara. Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami, ketentuan ini terdapat dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 3 yang pada akhir ayat tersebut”…… kalau kamu tidak akan adil diantara istri-istrimu kamu itu seyogyanyalah mengawini seorang perempuan itulah yang paling dekat bagi kamu untuk kamu tidak berbuat aniaya. Seperti

35

Arij Abdurrahman As Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: Global media, 2003), Cet 1 h.26.

36

Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h.156.


(45)

yang telah dijelaskan dalam surat al-Nisa ayat 3 poligami itu tidak dipuji tapi justru diperingatkan, akan bahayanya yaitu berupa aniaya terhadap isteri.37 Tapi yang terpenting untuk kita ketahui bahwa secara umum dunia Islam tetap memberikan kemungkinan adanya poligami, sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam undang-undang.38

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut prinsip monogami prinsip tersebut tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bunyinya:

Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.39

Walaupun dalam Undang-Undang perkawinan telah menganut prinsip monogami tapi dalam pelaksanaanya prinsip ini tidak berlaku mutlak, dalam undang - undang perkawinan di Indonesia tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya. Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan alasan sangat ketat jelaslah bahwa asas dalam Undang- Undang Perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka,

37

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press 1981), h. 60.

38

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2004), h. 179.

39

Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Kompilsi Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 2004), h. 4.


(46)

meminjam istilah Yahya Harahap.40 Poligami berstatus hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan luar biasa (Extra Ordinary Circumstance) Dalam buku “Siapa Bilang Poligami itu Sunnah” Qurais Shihab mengatakan bahwa poligami itu ibarat pintu darurat dalam suatu pesawat yang hanya bisa dibuka dalam waktu-waktu tertentu saja.41 Aturan poligami di Indonesia diatur dalam beberapa aturan diantaranya: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Revisi Atas PP No.10 Tahun 1983, dan Inpres No. 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan aturan tentang kebolehan beristri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3, 4, dan 5 yang berisikan alasan serta syarat beristri lebih dari seorang (poligami). Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan:

Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

40

Nurudin, dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h.156.

41

Pendapat Quraish Shihab Dalam: Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, (Depok: Pustaka Iman, 2007), h. 10.


(47)

Dengan ayat ini jelas sekali bahwa Undang-Undang Perkawinan telah melibatkan Peradilan Agama sebagai istitusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang.42

Dalam pasal 4 disebutkan:

‘Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah setempat.’

Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan alasan diperbolehkannya berpoligami ‘Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.’

Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ke tiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal maka alternatifnya adalah poligami. Pasal 5 Undang- Undang No 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan bagi seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang.43 Untuk lebih lengkapnya sebagai berikut:

‘Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

42

Nurudin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia. h. 156.

43

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: PT Sinar Grafika,2006), Cet.1 h. 47.


(48)

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/ isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lainnya yang perln dari hakim pengadilan Agama. ‘

Pada pasal 4 dan pasal 5 di atas adalah persyaratan tentang poligami, tapi kita harus mengetahui bahwa pasal 4 adalah persyaratan alternatif artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.

2. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang

Perkawinan

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai prosedur pengajuan permohonan untuk beristeri lebih dari seorang, yang diatur dalam Bab VIII tentang beristeri lebih dari seorang pasal 40 sampai dengan pasal 44. pasal 40 PP ini menyebutkan:

“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. “

Dengan adanya izin dari pengadilan maka poligami tidak bisa dilakukan secara liar hal ini membuktikan peran pengadilan begitu besar terhadap praktik poligami di Indonesia. Dengan adanya peran dari pengadilan diharapkan bisa mengatur praktik poligami secara benar. Berbeda dengan hukum keluarga Indonesia, dalam fikih klasik tidak diatur tentang izin dari pengadilan, poligami dapat dilakukan tanpa izin dari pengadilan.

Setelah pengadilan menerima permohonan dari seorang yang akan beristeri lebih dari seorang selanjutnya pengadilan memeriksa, seperti yang disebutkan dalam pasal 41

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi ialah:


(49)

- Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

- Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Alasan ini sama seperti dalam undang-undang perkawinan dan KHI. b. Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun

tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan maka perjanjian itu harus disebutkan didepan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan:

i. Surat mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

ii Surat keterangan pajak penghasilan; atau

ii Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42 menjelaskan tentang jangka waktu pemeriksaan yaitu selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya permohonan tersebut.44Selain menjelaskan tentang prosedur permohonan untuk beristeri lebih dari seorang dalam PP ini juga diatur tentang ketentuan pidana bagi yang melanggar pasal - pasal tersebut di atas.Pasal 45 menyebutkan:

Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 atau 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda sitinggi tingginya Rp 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah)

Jumlah hukuman denda itu tentu harus dilihat dari nilainya bukan dari jumlahnya dimana Undang-Undang ini dibuat pada tahun 1974.

44

Pasal 42 ayat 2 PP No. 9 tahun 1975: Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.


(50)

3. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga negara Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975. Selain itu khusus bagi warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian juga harus tunduk pada ketentuan lain, ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983.

Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dijelaskan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.


(51)

Sehubungan dengan contoh dan ketauladanan yang harus diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus terlebih dahulu memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil yang tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga, keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian termasuk juga pegawai bulanan disamping pegawai pensiun, pegawai Bank milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha Milik Daerah, dan Kepala Desa, perangkat desa serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan desa. Dalam PP tersebut pasal yang mengatur tentang poligami terdapat dalam pasal 4, 9, 10 dan 11. Dalam pasal 4 disebutkan:

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

(2) Pegawai negeri Sipil,Wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari pegawai negeri sipil.


(52)

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) ayat (3) diajukan secara tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang atau untuk menjadi istri kedua/ ketiga /keempat.

Pasal 9

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10

(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal ini

.

(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (1) ialah: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah: a. ada persetujuan tertulis dari isteri

b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan


(53)

c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh pejabat apabila:

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan,

b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

c. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan /atau

e. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama atau Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (PP No. 10 Tahun 1983 pasal 2)45 Sedangkan Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang

45

Ahmad Sutarmadi, Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, 2006), h. 44.


(54)

4. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No 10 Tahun 1983.

Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 terdapat beberapa alasan mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam pelaksanaanya ada beberapa peraturan yang tidak jelas, PNS tertentu yang seharusnya terkena PP No 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu ada kalanya pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan ketentuan PP No. 10 Tahun 1983.46 Dalam PP ini aturan tentang poligami diatur dalam pasal 4, 9, 12 dan 15.

Pasal 4

1. Pegawai Negeri Sipil yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

2. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.

3. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan secara tertulis.

4. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 9

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut.

Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakuakan perceraian sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dilakukan oleh pejabat secara

46

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam,, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet 1 h. 496.


(55)

tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut.

Pasal 15

(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban /ketentuan pasal 2 ayat (1) ayat (2) pasal 3 ayat (1) pasal 4 ayat (1) pasal 14 tidak melaporkan perceraiannya, dan tidak melaporkan perkawinannya, yang kedua ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan dijatuhkan salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil.

(2) Pegawai negeri sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.

Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki oleh yang bersangkutan, dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat 1, 3, 4, sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk mempunyai istri kedua/ketiga/keempat (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat 2.

Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskan kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan, mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut. Sedangkan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh pejabat


(56)

secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung dari menerima permintaan dimaksud.

Sebelum mengambil keputusan pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib mempehatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat izin. Jika alasan yang dikemukakan kurang meyakinkan maka pejabat tersebut harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak yang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan.

Untuk memberikan rasa adil maka Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan yang dimuat dalam PP No 45 Tahun 1990 akan dijatuhi salah satu disiplin berat dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tergantung faktor pelanggarannya. Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 (menjadi istri ke dua/ketiga/keempat dijatuhi disiplin pemberhentian tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

5. Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

(KHI)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah salah satu rujukan hukum Islam di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum Islam diatur tentang hukum perkawinan, hukum waris dan wakaf. Secara resmi Kompilasi Hukum Islam


(57)

(KHI), merupakan hasil konsensus (ijma) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan hukum subtansial bagi orang-orang yang beragama Islam.47 Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang seragam (unikatif) bagi hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.48 Aturan yang memuat tentang poligami diatur dalam buku 1 tentang Perkawinan BAB IX pasal 55 samapai 59. Dalam KHI diatur tentang tata cara prosedur poligami.

Dalam pasal 55 dijelaskan:

(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan,terbatas hanya sampai empat istri.

(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama

(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

47

Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 122.

48


(58)

a. Tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidakdapat melahirkan keturunan.

Tampak dalam pasal 57 KHI di atas pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila si isteri terdapat alasan sebagaiamana dalam pasal 4 Undang-Undang perkawinan jadi suami dapat beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan49

Pasal 58

(1) selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

a. Adanya persetujuan istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istri sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat perhatian hakim.

49


(59)

Dalam pasal 59 Pengadilan Agama bisa dikatakan sebagai satu-satunya institusi yang bisa memberikan izin beristeri lebih dari empat orang.

Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Jika diperhatikan substansi poligami dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak berbeda dengan aturan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam bidang perkawinan (Buku 1) KHI dalam berbagai hal merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu Kompilasi Hukum Islam juga merujuk kepada pendapat fuqoha yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma hukum konkrit, dalam penerapan hukum antara yang ditetapkan oleh pengurus negara dan pandangan ulama. 50

6. KUHPer (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur adanya perkawinan poligami karena asas dalam KUHPer adalah monogami. Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 27 bab perkawinan disebutkan

50

Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 125.


(60)

“ Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.51”

Sebenarnya pasal ini hampir sama dengan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yang memberikan definisi tentang perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi ini sebenarnya memberikan pemahaman perkawinan adalah akad antara seorang pria dan wanita yang disimpulkan ini prinsip monogami.

51

Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Pradya Pramitra, 1996), h. 8.


(1)

pasal-pasal yang mengatur praktik poligami ke Mahkamah Konstitusi dan menyarankan agar poligami tidak disyaratkan apa-apa. Sementara dari pihak pemerintah berencana memperluas aturan poligami dalam PP No. 10 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990, aturan ini akan diperuntukkan bukan hanya untuk Pegawai Negeri Sipil saja tetapi untuk kalangan masyarakat luas namun sampai sekarang rencana pemerintah itu belum terlaksana.

B. Saran-saran

Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:

1. Aturan tentang poligami di Indonesia atau dalam hal ini aturan perkawinan ke depan diharapkan bisa menampung semua aspirasi berbagai pihak terutama pihak perempuan.

2. Masalah denda atau hukuman bagi pelanggar aturan poligami perlu

ditinjau kembali, selama ini denda atau hukuman bagi pelaku poligami yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku terlalu kecil. Sedangkan kalau kita perhatikan praktik poligami banyak sisi negatifnya, karena poligami sering menimbulkan masalah dalam keluarga, selain itu sebagai negara hukum kepastian hukum harus ada dan supremasi hukum harus benar-banar ditegakkan dan hukum bukan hanya sebagai hiasan belaka.

3. Penyertaan persetujuan anak yang telah dewasa bagi pelaku poligami karena poligami akan berimbas pada istri dan anak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sufyan Raji. Poligami dan Eksistensinya. Bekasi: Pustaka Al Riyadh, 2004.

Abdurahman. Perkawinan Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Al Hadad, Al Thohir. Wanita Dalam Syari’at dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006. Al Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press,

1996.

Ansor, Maria Ulfa. “Poligami Dalam UU Perkawinan Perlu Sanksi Hukum.”

artikel diakses 30 Agustus 2007, dari http://www.hukum online. com/detail.asp.id=17036.od=Berita.

Apiko, Nurbowo dan Joko M. Indahnya Poligami Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo. Jakarta: Khairul Bayan, 2003.

Ar Rifai, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Basyumi, Muhammad Maftuh. “Poligami Bukan Hak Asasi.” Artikel diakses 30 Agustus 2007, dari http:// www.hukum online. com/detail.asp.id=17036.od=Berita.

Danamik, Asnifrianti. “Undang-Undang Perkawinan yang (masih) Sarat Persoalan.” Rahima No. 14 Th. V (April 2005) : h. 15-18.

Departemen Agama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Serta Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Departemen Agama, 2004.

Fahmie, Anshori. Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah. Depok: Pustaka Iman, 2007. Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As-sunnah dan

Pendapat Para Ulama. Semarang: Al Mizan, 2002.

Haikal, Abuttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah Dalam Islam vs Monogani Barat, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993.


(3)

Hatta, Meutia Poligami Boleh. Artikel diakses 28 Agustus 2007, dari http://www. Gusmus.net.

Hizbut Tahrir Indonesia, Buletin. “Mengapa Poligami Ditentang Pornografi-Pornoaksi dan Perselingkuhan Dibiarkan?” Al Islam, Edisi 333/Tahun XIII. (Desember 2006).

I Doi, Abdurahaman, Inilah Syari’ah Islam. Jakarata: Pustaka Panji Mas, 1991. Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1995. Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta:

Pustaka Al Kausar, 2007.

Mahmood, Tahir. Family Law Reform in the Muslim Word, NM. Bombay: Tripathi PVT.LTD, 1972.

Mahkamah Konstitusi. “Uji Materi Undang- Undang Perkawinan.” Artikel ini diakses 30 Agustus 2007 dari: http:// www. Mahkamah Konstitusi. Go.id/Berita pnp. Newscode.438.

Manan, Abdul. Aneka Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Marhiyanto, Khalilah. Romantika Perkawinan. Gresik: Putra Pelajar, 2000.

Mubarak, Syaiful Islam. Poligami Yang Didamba Wanita. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2003.

MUI. “Tak Masalah Aturan Poligami Diperluas.” Artikel diakses 28 Agustus 2007, dari http: www. Depag. Go.id/index.php?menu=news&opt=detail=607.

Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender Perserikatan Perempuan. The Asia Foundation, 1999. --- Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Kibar Press, 2007. --- Islam Menggugat Poligami Jakarta: Gramedia, 2007

--- “Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan Perspektif Islam” . Jurnal Perempuan No. 49 (September, 2006): h. 69-83.

Muttaqien, Dadan. Dkk. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. UII Press, Yogyakarta, 2000


(4)

Nasution, Khoerudin. Status Wanita di Asia Teggara, Studi terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.

Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawianan Dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.

Nurhayati. “Kontroversi Poligami.” Tempo XXXV No. 42 (Desember 2006): h.108. Parawansa, Khofifah Indar. “Poligami, Hak Perempuan Mana di Langgar”. Artikel

Diakses pada tanggal 28 Desember 2007, dari http:

//www.eramuslim.Com/berita/send/6c14142924-khofifah-Indar-parawansa-poligami-hak-perempuan -mana-dilanggar... htm

Poligami Justru Jadi Sebab Terjadinya Perceraian, artikel ini diakses 28 Agustus 2007, dari http; // www. Kapanlagi. Com/h/00178593 html.

“Poligami” Dalam Aziz Dahlan,dkk,ed., Ensiklopedi Islam. Vol.4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997: h. 107.

Ridwan. Membongkar Fiqh Negara: Wacana Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Api, 2005.

“Riwayat UU No.1/1974” Republika, 23 Mei 1997.

Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Rumadi. “Momentum Reformasi Hukum Keluarga.” Tempo, 13 Desember 2006. Sabiq, Sayyid Fiqhus Sunnah, Beirut: Dar el Fikr, 1997.

Subekti dan Tjicrosudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradya Pramitra, 1996.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

--- Himpunan Undang-Undang Perdata Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Yogyakarta: Liberty, 1986.

Sutarmadi, Ahmad dan Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2006.


(5)

Takariawan, Cahyadi. Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri. Solo: Era Intermedia, 2007.

Tarigan, Azhari Akmal dan Nurudin, Aminur. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

Taufiq Al Atihan, Abdul Nasir. Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan Perundang-Undangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Tebba, Sudirman. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkondifikasiannya, Bandung: Mizan, 1993. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981.

Tim Penulis Syari’ah & Hukum. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Ulwan, Abdullah Nasih. Hikmah Poligami Dalam Islam. Jakarta: Studio Press, 1997. Universitas Islam Indonesia. Al Qur’an dan Terjemahannya. Yogyakarta: PT Dana

Bhakti Wakaf, 1995.

Zain, Muhammad dan Mukhtar Al Shodiq. Membangun Keluarga Harmonis Conter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam Yang Kontroversial itu. Jakarta: Grahacipta, 2005.


(6)