Gambaran Penderita Sinusitis Maksila dengan Infeksi Gigi Rahang Atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2010

(1)

GAMBARAN PENDERITA SINUSITIS MAKSILA DENGAN INFEKSI GIGI RAHANG ATAS DI RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

PADA TAHUN 2010

Oleh :

KHARUNA MALAR PARAMASIVAN 080100418

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

GAMBARAN PENDERITA SINUSITIS MAKSILA DENGAN INFEKSI GIGI RAHANG ATAS DI RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

PADA TAHUN 2010

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

KHARUNA MALAR PARAMASIVAN 080100418

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul: Gambaran Penderita Sinusitis Maksila dengan Infeksi Gigi Rahang Atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2010

Nama : Kharuna Malar Paramasivan NIM : 080100418

Medan, 7 Januari 2011 Dekan,

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 195402201980111001

Pembimbing,

NIP : 197906202002122003

Penguji I,

(dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc.CM-FM, M.Pd.Ked)

NIP: 196705271999032001

Penguji II,

(dr. Yetty Machrina, M.Kes.) NIP: 197903242003122002


(4)

ABSTRAK

Latar Belakang : Sinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang sinus paranasal dan kavitas nasal. Sinusitis merupakan penyakit dengan penyebab yang multifaktorial. Salah satunya adalah faktor infeksi gigi rahang atas. Akar gigi premolar kedua dan gigi molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila sehingga penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila hingga pemicu kejadian sinusitis maksila.

Tujuan Penelitian : Mengetahui gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi kasus cross sectional. Data penderita sinusitis maksila dikumpulkan dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini dari 398 penderita yang didiagnosis dengan sinusitis maksila di poliklinik THT-KL RSUP. Haji Adam Malik Medan didapati jumlah penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah sebanyak 70 penderita dengan insiden didapat sebesar 17.6%. Penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas lebih banyak pada kelompok umur antara 30-39 tahun dan 40-49 tahun yaitu masing-masing sebanyak 24.3%. Proporsi jenis kelamin yang terbanyak adalah lelaki (54.3%). Keluhan utama yang paling banyak adalah hidung berbau (54.3%). Dari rontgen foto polos sinus paranasal didapati sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas yang terbanyak terkena adalah sebelah sisi saja (unilateral) yaitu 77.1% serta dengan gambaran perselubungan (55.7%). Penderita lebih banyak menderita penyakit abses apikal (50.0%) serta jenis gigi yang lebih banyak terlibat adalah gigi molar pertama (47.1%).

Kesimpulan : Pada penelitian ini didapatkan 17.6% penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas. Kasus sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas masih besar. Hal ini dikarenakan dasar dari sinus maksila dengan akar gigi rahang atas sangat dekat sehingga infeksi gigi rahang atas dapat menyebabkan sinusitis maksila.


(5)

ABSTRACT

Background : Sinusitis is inflammation of paranasal sinuses and nasal cavity. Sinusitis is the disease with multifactorial etiology. One of them is upper dental infection. The root of second upper premolar and first upper molar is extremely close to the floor of maxillary sinus. Hence, bacterial infection of upper dental origin can spread directly from the root of the teeth into maxillary sinus causing maxillary sinusitis.

Objective : The aim of this study was to determine the description of patients of maxillary sinusitis with upper dental infection at Haji Adam Malik Medan General Hospital in the year 2010.

Method : The study has been done by cross sectional case study with descriptive model. The data of maxillary sinusitis patients were obtained from medical record division in Haji Adam Malik General Hospital in the year 2010.

Results : In this study 398 patients was diagnosed with maxillary sinusitis at ENT clinic, out of that 70 patients was with maxillary sinusitis with upper dental infection and the incidence was 17.6%. Patients with maxillary sinusitis caused upper dental infection were more on the age group between 30-39 years and 40-49 years respectively as much as 24.3%. The proportion of sexes which most effected was male (54.3%). The main complaint that most patients complain of is nose fetor (54.3%). From roentgen images of paranasal sinus of patients with maxillary sinusitis caused by upper dental infection, the most sinus affected only unilateral, namely 77.1% and with opacity (55.7%). Patients mostly suffered from apical abscess (50.0%) and the type of teeth that were more involved was first molars (47.1%).

Conclusion : It can be concluded that the occurrence of maxillary sinusitis with upper dental infection was 17.6% and this number is still very high. This is because the base of the sinus and the root of teeth is very close to each other. Hence, upper dental infection can easily spread to the sinus causing maxillary sinusitis.


(6)

KATA PENGHANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kemudahan yang diberikan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian ini yang berjudul “Gambaran Penderita Sinusitis Maksila dengan Infeksi Gigi Rahang Atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2010” dengan baik. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan saya di Fakultas Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih saya ucapkan kepada dosen pembimbing saya, Dr.T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan laporan penelitian ini dan juga kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan penelitian ini. Untuk itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan laporan penelitian ini. Semoga apa yang disampaikan secara tertulis dalam laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, 31 Disember 2011, Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan .………. i

Abstrak... ii

Abstract... iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi ………... v

Daftar Gambar... vii

Daftar Singkatan... viii

Daftar Tabel... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Rumusan Masalah……… .. 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….. 4

2.1. Anatomi Sinus Paranasal ... 4

2.1.1 Sinus Maksila ... ... 5

2.1.2 Sinus Frontal ... 6

2.1.3 Sinus Ethmoid ... 7

2.1.4 Sinus Sfenoid……… . 8

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal ... 8

2.3. Klasifikasi Sinusitis ... 10

2.4. Sinusitis Tipe Dentogen ... 11

2.4.1 Definisi ... 11

2.4.2 Insidens dan Epidemiologi ... 11

2.4.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 12

2.4.4 Patofisiologi ... 12

2.4.5 Gejala Klinis ... 14

2.4.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ... 14

2.4.7 Terapi... 16

2.4.8 Komplikasi ... 16

2.4.9 Prognosis ... 17

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL.. 18

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 18

3.2. Defenisi Operasional... 18

3.3. Cara Ukur………... 23

3.4. Alat Ukur………... 23

3.5. Hasil Ukur……….. 23


(8)

BAB 4 METODE PENELITIAN………... 24

4.1. Rancangan Penelitian ... 24

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4.3.1 Populasi ... 24

4.3.2 Sampel ... 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 25

4.5. Metode Analisis Data ... 25

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 26

5.1 Hasil Penelitian………. 26

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………... 26

5.1.2 Karakteristik Individu………... 26

5.1.3 Distribusi Karakteristik Sampel………... 26

5.2 Pembahasan... 31

5.2.1 Distribusi penderita berdasarkan tipe sinusitis…………... 31

5.2.2 Distribusi penderita berdasarkan kelompok umur... 32

5.2.3 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin... 32

5.2.4 Distribusi penderita berdasarkan keluhan utama... 33

5.2.5 Distribusi rontgen foto polos berdasarkan sisi sinus... 34

5.2.6 Distribusi rontgen foto polos sinus paranasal penderita.. 34

5.2.7 Distribusi penyakit gigi pada penderita... 35

5.2.8 Distribusi jenis gigi yang terlibat pada penderita... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 37

6.1 Kesimpulan……… 37

6.2 Saran……….. 38

DAFTAR PUSTAKA... 39 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1. Anatomi Sinus Maksila………... 6 3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 18


(10)

DAFTAR SINGKATAN

Depkes RI = Departemen Kesehatan Republik Indonesia KBBI = Kamus Besar Bahasa Indonesia


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1. Distribusi penderita sinusitis maksila berdasarkan tipe sinusitis 27 5.2. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang 27 atas berdasarkan kelompok umur

5.3. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang 28 atas berdasarkan jenis kelamin

5.4. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang 28 atas berdasarkan keluhan utama

5.5. Distribusi rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis 29 maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan sisi yang terkena 5.6. Distribusi gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada 29

penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

5.7. Distribusi penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan 30 infeksi gigi rahang atas

5.8. Distribusi jenis gigi yang terkena pada penderita sinusitis maksila 30 dengan infeksi gigi rahang atas


(12)

ABSTRAK

Latar Belakang : Sinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang sinus paranasal dan kavitas nasal. Sinusitis merupakan penyakit dengan penyebab yang multifaktorial. Salah satunya adalah faktor infeksi gigi rahang atas. Akar gigi premolar kedua dan gigi molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila sehingga penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila hingga pemicu kejadian sinusitis maksila.

Tujuan Penelitian : Mengetahui gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi kasus cross sectional. Data penderita sinusitis maksila dikumpulkan dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini dari 398 penderita yang didiagnosis dengan sinusitis maksila di poliklinik THT-KL RSUP. Haji Adam Malik Medan didapati jumlah penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah sebanyak 70 penderita dengan insiden didapat sebesar 17.6%. Penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas lebih banyak pada kelompok umur antara 30-39 tahun dan 40-49 tahun yaitu masing-masing sebanyak 24.3%. Proporsi jenis kelamin yang terbanyak adalah lelaki (54.3%). Keluhan utama yang paling banyak adalah hidung berbau (54.3%). Dari rontgen foto polos sinus paranasal didapati sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas yang terbanyak terkena adalah sebelah sisi saja (unilateral) yaitu 77.1% serta dengan gambaran perselubungan (55.7%). Penderita lebih banyak menderita penyakit abses apikal (50.0%) serta jenis gigi yang lebih banyak terlibat adalah gigi molar pertama (47.1%).

Kesimpulan : Pada penelitian ini didapatkan 17.6% penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas. Kasus sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas masih besar. Hal ini dikarenakan dasar dari sinus maksila dengan akar gigi rahang atas sangat dekat sehingga infeksi gigi rahang atas dapat menyebabkan sinusitis maksila.


(13)

ABSTRACT

Background : Sinusitis is inflammation of paranasal sinuses and nasal cavity. Sinusitis is the disease with multifactorial etiology. One of them is upper dental infection. The root of second upper premolar and first upper molar is extremely close to the floor of maxillary sinus. Hence, bacterial infection of upper dental origin can spread directly from the root of the teeth into maxillary sinus causing maxillary sinusitis.

Objective : The aim of this study was to determine the description of patients of maxillary sinusitis with upper dental infection at Haji Adam Malik Medan General Hospital in the year 2010.

Method : The study has been done by cross sectional case study with descriptive model. The data of maxillary sinusitis patients were obtained from medical record division in Haji Adam Malik General Hospital in the year 2010.

Results : In this study 398 patients was diagnosed with maxillary sinusitis at ENT clinic, out of that 70 patients was with maxillary sinusitis with upper dental infection and the incidence was 17.6%. Patients with maxillary sinusitis caused upper dental infection were more on the age group between 30-39 years and 40-49 years respectively as much as 24.3%. The proportion of sexes which most effected was male (54.3%). The main complaint that most patients complain of is nose fetor (54.3%). From roentgen images of paranasal sinus of patients with maxillary sinusitis caused by upper dental infection, the most sinus affected only unilateral, namely 77.1% and with opacity (55.7%). Patients mostly suffered from apical abscess (50.0%) and the type of teeth that were more involved was first molars (47.1%).

Conclusion : It can be concluded that the occurrence of maxillary sinusitis with upper dental infection was 17.6% and this number is still very high. This is because the base of the sinus and the root of teeth is very close to each other. Hence, upper dental infection can easily spread to the sinus causing maxillary sinusitis.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia serta merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari (Hsin; Chen; Su, Jiang; Liu, 2010). Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusomo, 2007). Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sinusitis sering disebut rhinosinusitis (Ballenger, 2009).

Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus maksila, kemudian etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis (Mansjoer, 2000). Sinus maksila sering terkena sinusitis karena sinus ini merupakan sinus terbesar dan dasarnya berhubungan dengan dasar akar gigi rahang atas. Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebab yang tersering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Streptococcus

viridians, Staphylococcus aureus dan Branhamella catarrhalis (Tucker dan

Schow, 2008).

Sinusitis adalah penyakit multifaktorial. Faktor predisposisi lokal berupa infeksi pada gigi, benda asing, polip, deviasi septum kavum nasi dan tumor dapat menyebabkan obstruksi ostial yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Pada sinusitis maksila, dasar sinus maksila adalah processus alveolaris tempat akar gigi rahang atas (terutama premolar dua; P2 dan molar satu; M1 rahang atas), sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau pembuluh darah dan limfe. Sinusitis dentogen dapat timbul dari abses periapikal, periodontitis marginal luas atau apikal kronik, atau setelah ekstraksi gigi (Hilger, 1997).


(15)

Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh faktor-faktor predisposisi baik lokal atau sistemik, maka diteliti apakah gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas. (Mangunkusomo, 2007).

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari hingga Desember 2010?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari hingga Desember 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi penderita sinusitis tipe dentogen dan sinusitis tipe rinogen

b. Untuk mengetahui distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin

c. Untuk mengetahui distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan keluhan utama

d. Untuk mengetahui distribusi rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan sisi yang terkena


(16)

e. Untuk mengetahui distribusi gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

f. Untuk mengetahui distribusi penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

g. Untuk mengetahui distribusi jenis gigi yang terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

1.4. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas.

b. Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai data untuk penelitian selanjutnya tentang upaya pencegahan dan pengendalian sinusitis maksila dalam hubungannya dengan infeksi gigi rahang atas. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kesadaran kepada


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997).

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee, 2008).


(18)

2.1.1. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008)

Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui

infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid

anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.


(19)

Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006) Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008). Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).


(20)

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).

Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007).

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan


(21)

Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006).

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Ramalinggam, 1990).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan


(22)

tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).


(23)

2.3. Klasifikasi Sinusitis

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4. Sinusitis Tipe Dentogen

2.4.1. Definisi

Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).


(24)

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi

Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih, 2007).

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila (Ross, 1999).

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007). f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki,


(25)

g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke

ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990;

Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus

dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi


(26)

mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat


(27)

melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,

Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari

gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).

Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat


(28)

dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.7. Terapi

Prinsip terapi :

a. Atasi masalah gigi

b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi c. Operatif

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua (Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah


(29)

edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus (Hilger, 1997).

Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008)

Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997). Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).


(30)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

-- _________

3.1: Kerangka Konsep Penelitian 3.2. Definisi Operasional

Kejadian sinusitis maksila yang diderita oleh pasien adalah berdasarkan diagnosa yang dibuat daripada pemeriksaan rutin THT dan rontgen foto sinus paranasal di Rumah Sakit Haji Adam Malik.

1. Tipe sinusitis adalah merupakan klasifikasi sinusitis berdasarkan penyebabnya yang terbagi kepada sinusitis tipe dentogen dan sinusitis tipe rinogen.

a. Sinusitis tipe dentogen adalah sinusitis yang timbul akibat kelainan gigi yang tercatat pada rekam medis pasien sinusitis maksila.

b. Sinusitis tipe rinogen adalah sinusitis yang timbul akibat kelainan hidung yang tercatat pada rekam medis pasien sinusitis maksila.

Tipe sinusitis Umur Jenis kelamin Keluhan utama

Sisi sinus paranasal yang terlibat Gambaran rontgen foto polos

sinus paranasal Jenis gigi terlibat

Penyakit gigi

Penderita Sinusitis Maksila Infeksi Gigi Rahang Atas


(31)

2. Umur responden adalah jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai didiagnosa menderita sinusitis maksila yang dinilai melalui skala numerik dan dinyatakan dalam satuan tahun.

3. Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan atau wanita dan pria (KBBI, 2010). Penilaian skala adalah berdasarkan skala nominal yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: a. Pria

b. Wanita

4. Keluhan utama adalah keluhan yang paling utama yang dikeluhkan oleh pasien sinusitis maksila yang menyebabkan pasien datang berobat. Keluhan utama yang diderita oleh pasien dinilai berdasarkan skala nominal.

a. Hidung tumpat

Hidung tumpat adalah keadaan dimana rongga hidung penuh atau padat dengan sekret yang didapatkan melalui pemeriksaan fisik yang tercatat pada rekam medis.

b. Hidung berbau

Hidung berbau adalah keluarnya bau yang kurang enak dari lubang hidung yang sering dikeluhkan oleh pasien atau didapat dari pemeriksaan fisik serta tercatat pada rekam medis pasien.

c. Sakit daerah pipi atau hidung

Sakit di daerah pipi atau hidung adalah perasaan subjektif yang dikeluhkan oleh pasien di bagian pipi atau hidung atau didapat sewaktu pemeriksaan fisik dilakukan pada pasien serta tercatat pada rekam medis.

d. Hidung berair

Hidung berair adalah keluarnya sekret yang cair dari lubang hidung pasien sinusitis maksila yang tercatat pada rekam medis pasien.


(32)

5. Sisi sinus paranasal yang terlibat adalah bagian sinus maksila yang terlibat berdasarkan letaknya. Jika hanya melibatkan salah satu sisi sinus kanan atau kiri dikenali unilateral. Bila melibatkan kedua-dua sisi sinus maksila dikenali bilateral.

6. Gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas. Rontgen foto polos adalah rontgen yang dibaca atau dilakukan pada rongga hidung dan sinus paranasal.

a. Penebalan mukosa

Penebalan mukosa adalah gambaran seperti penebalan dinding sinus maksila yang akan kelihatan suram pada rontgen foto polos sinus paranasal yang tercatat pada rekam medis pasien.

b. Perselubungan

Perselubungan adalah gambaran putih seperti awan pada rontgen foto polos sinus paranasal bagi pasien sinusitis maksila yang kebanyakkannya disebabkan oleh akumulasi pus yang tercatat pada rekam medis.

c. Air- fluid level

Air- fluid level adalah terdapatnya level atau batas cairan pada rongga

sinus maksila yang dapat dilihat di rontgen foto polos sinus paranasal pada pasien dengan sinusitis maksila.

7. Jenis gigi yang terlibat adalah gigi yang menyebabkan terjadinya sinusitis maksila yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi. a. Insisivus 1

Gigi insisivus pertama atau gigi seri pertama adalah gigi pertama di rahang atas atau bawah yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.


(33)

b. Insisivus 2

Gigi insisivus kedua atau gigi seri kedua adalah gigi kedua di rahang atas atau bawah yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.

c. Caninus

Caninus atau gigi taring adalah gigi yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.

d. Premolar 1

Premolar pertama atau gigi geraham kecil adalah gigi yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.

e. Premolar 2

Premolar kedua adalah adalah gigi yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.

f. Molar 1

Molar pertama atau gigi geraham besar adalah gigi yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.

g. Molar 2

Molar kedua adalah gigi yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.


(34)

h. Molar 3

Molar ketiga merupakan gigi yang mengalami gangguan yang ditentukan melalui pemeriksaan gigi oleh dokter gigi yang memeriksa pasien sinusitis maksila.

8. Penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

a. Abses apikal

Abses apikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir serta merupakan penyakit yang tercatat di rekam medis pasien sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas.

b. Gingivitis

Gingivitis adalah peradangan pada gusi serta merupakan penyakit yang tercatat di rekam medis pasien sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas.

c. Granuloma periapikal

Granuloma periapikal merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan perkembangan yang lambat yang berada dekat dengan apex dari akar gigi serta merupakan penyakit yang tercatat di rekam medis pasien sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas.

d. Kista dentigerous

Kista dentigerous adalah kista yang terbentuk disekitar mahkota gigi yang belum erupsi (Donald’s Medical Dictionary, 2007). Kista dentigerous ini merupakan penyakit yang tercatat di rekam medis pasien sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas.

e. Fistula oroantral

Fistula oroantral adalah komunikasi yang abnormal antara rongga mulut dengan antrum dan adalah penyakit yang tercatat di rekam medis pasien sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas.


(35)

3.3. Cara Ukur

Meneliti dan menganalisa data dari rekam medis (data sekunder) dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

3.4. Alat Ukur

Rekam medis. Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas, anamnesa, penentuan fisik, laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat (Gondodiputro, 2007).

3.5. Hasil Ukur

Hasil ukur dalam penelitian ini adalah berbentuk persentase. 3.6. Skala Pengukuran


(36)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk melihat gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah studi cross sectional retrospektif.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengambil data rekam medis departmen THT di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa RSUP. Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki data rekam medis yang baik. Waktu penelitian dimulai dari bulan Agustus- September 2011.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh penderita sinusitis maksila yang dirawat inap dan rawat jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan dari 1 Januari sehingga 31 Desember 2010.

4.3.2. Sampel

Besar sampel diperoleh dengan metode total sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden/sampel. Dalam penelitian ini keseluruhan dari populasi penelitian adalah merupakan sampel karena perlu didapatkan jumlah secara keseluruhan penderita sinusitis maksila yang faktor predisposisinya adalah infeksi gigi rahang atas.

a. Kriteria inklusi adalah seluruh pasien berumur lebih besar sama dengan 20 tahun dan pasien yang didiagnosa menderita sinusitis maksila.


(37)

b. Kriteria eksklusi adalah diluar ketentuan inklusi yaitu pasien sinusitis ethmoidalis, sphenoidalis, frontalis dan seluruh status rekam medis yang tidak lengkap.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Untuk penelitian ini, data diambil dari rekam medis penderita sinusitis maksilaris di sub-bagian THT, RSUP. Haji Adam Malik Medan dari 1 Januari sehingga 31 Desember 2010. Kartu status penderita sinusitis maksilaris yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.5. Metode Analisis Data

Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel disribusi. Data yang di peroleh di analisis secara statistik dengan program komputer


(38)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Prov. Sumatera Utara. Rumah Sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No.547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991.

5.1.2. Karakteristik Individu

Pada penelitian ini dari 398 penderita yang didiagnosis dengan sinusitis maksila

yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan selama bulan Januari sampai Desember 2010, didapatkan 70 penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas yang rawat jalan serta rawat inap.

5.1.3. Distribusi Karakteristik Sampel

Dari keseluruhan sampel yang ada, diperoleh distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan tipe sinusitis, umur, jenis kelamin, keluhan utama, sisi sinus paranasal yang terlibat, gambaran rontgen foto polos sinus paranasal, jenis gigi terlibat dan penyakit gigi yang diderita.


(39)

Tabel 5.1. Distribusi penderita sinusitis maksila berdasarkan tipe sinusitis

Tipe Sinusitis Jumlah (%)

Sinusitis rinogen 328 82.4

Sinusitis dentogen 70 17.6

Total 398 100.0

Pada tabel 5.1. dapat dilihat bahwa jumlah keseluruhan penderita sinusitis maksila adalah 398 orang. Proporsi penderita sinusitis tipe rinogen adalah 82.4% manakala proporsi penderita sinusitis tipe dentogen adalah 17.6%.

Tabel 5.2. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan kelompok umur

Kelompok Umur (tahun) Jumlah (%)

20-29 13 18.6

30-39 17 24.3

40-49 17 24.3

50-59 11 15.7

>60 12 17.1

Total 70 100.0

Dari tabel 5.2. dapat diketahui bahwa dari 70 orang penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas, proporsi terbesar terjadi pada kelompok umur antara 30-39 tahun dan 40-49 tahun yaitu masing-masing sebanyak 24.3%, diikuti kelompokumur antara 20-29 tahun sebanyak 18.6%. Lalu pada kelompok umur > 60 tahun adalah 17.1% serta kelompok umur antara 50-59 tahun adalah sebanyak 15.7%.

Tabel 5.3. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (%)

Lelaki 38 54.3

Perempuan 32 45.7


(40)

Pada tabel 5.3. dapat dilihat proporsi jenis kelamin yang terbanyak adalah lelaki yaitu 54.3% sedangkan pada perempuan adalah 45.7%.

Tabel 5.4. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan keluhan utama

Keluhan Utama Jumlah (%)

Hidung tumpat 7 10.0

Hidung berbau 38 54.3

Sakit daerah pipi/hidung 19 27.1

Hidung berair 6 8.6

Total 70 100.0

Hasil penelitian terlihat bahwa keluhan yang terbanyak diderita oleh penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah keluhan hidung berbau sebanyak 38 orang (54.3%), keluhan sakit daerah pipi/hidung sebanyak 19 orang (46,2 %) dan keluhan hidung tumpat sebanyak 7 orang (21,5 %). Keluhan yang paling sedikit diderita oleh penderita adalah keluhan hidung berair yaitu sebanyak 6 orang (9,2 %).

Tabel 5.5. Distribusi rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan sisi yang terkena

Sinus maksila Jumlah (%)

Bilateral 16 22.9

Kanan 25 35.7

Kiri 29 41.4

Total 70 100.0

Dari tabel 5.5. terlihat bahwa dari hasil rontgen foto polos sinus paranasal, didapati sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas yang terbanyak terkena adalah sebelah sisi saja (unilateral) dengan masing-masing sisi kanan sebanyak 35.7% dan sisi kiri sebanyak 41.4%. Sementara untuk sisi bilateral adalah sebanyak 22.9%.


(41)

Tabel 5.6. Distribusi gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas Gambaran Foto Polos Sinus Maksila Jumlah (%)

Penebalan mukosa 17 24.3

Perselubungan 39 55.7

Air-fluid level 14 20.0

Total 70 100.0

Dari tabel 5.6. terlihat bahwa gambaran rontgen foto polos sinus maksila yang paling banyak adalah perselubungan sebanyak 39 orang (55.7%), diikuti oleh penebalan mukosa sebanyak 17 orang (24.3%) dan gambaran air-fluid level sebanyak 14 orang (20.0%).

Tabel 5.7. Distribusi penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Nama penyakit Jumlah (%)

Abses apikal 35 50.0

Gingivitis 14 20.0

Granuloma perapikal

7 10.0

Kista dentigerous 5 7.1

Fistula oroantral 9 12.9

Total 70 100.0

Pada tabel 5.7. didapat bahwa penyakit gigi yang terbanyak pada penelitian ini adalah abses apikal sebanyak 35 orang (50.0%), diikuti gingivitis sebanyak 14 orang (20.0%), fistula oroantral sebanyak 9 orang (12.9%) dan granuloma perapikal sebanyak 7 orang (10.0%). Penyakit gigi yang paling sedikit didapati pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah penyakit kista dentigerous sebanyak 5 orang (7.1%).


(42)

Tabel 5.8. Distribusi jenis gigi yang terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Jenis Gigi Jumlah (%)

Caninus 4 5.7

Premolar 1 3 4.3

Premolar 2 18 25.7

Molar 1 33 47.1

Molar 2 8 11.4

Molar 3 4 5.7

Total 70 100.0

Pada tabel 5.8. terlihat bahwa jenis gigi yang terbanyak terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah gigi molar pertama sebanyak 33 orang (47.1%) dan diikuti premolar kedua sebanyak 18 orang (25.7%). Jenis gigi molar kedua adalah sebanyak 8 orang (11.4%), gigi molar ketiga serta gigi caninus masing-masing sebanyak 4 orang (5.7%) dan gigi premolar pertama sebanyak 3 orang (4.3%).

5.2. Pembahasan

5.2.1. Distribusi penderita sinusitis maksila berdasarkan tipe sinusitis

Dari hasil penelitian, terlihat bahwa proporsi penderita sinusitis maksila dengan tipe dentogen adalah sebanyak 17.6%. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2004 didapat insiden sebesar 13.67% yaitu dari 256 penderita sinusitis maksila, 35 penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas (dentogen). Tampaknya hasil yang didapat oleh peneliti-peneliti sebelumnya tidak jauh berbeda dari hasil penelitian ini. Seperti yang didapat oleh Mangain Hasibuan (1992) dari Medan melaporkan sejak bulan Oktober 1991 sampai dengan bulan Maret 1992 dijumpai 25 penderita sinusitis maksila tipe dentogen (8.03%) dari 311 penderita sinusitis maksila yang dating berobat ke bagian THT RSU. Dr. Pirngadi Medan. Menurut Lee, K. dan Lee, S. (2010) di Korea, sinusitis tipe dentogen


(43)

meliputi 5.2% dari keseluhan kasus sinusitis maksila. Selain itu, menurut Mehra dan Murad (2004) kasus sinusitis tipe dentogen meliputi 10-12% dari kasus sinusitis maksila. Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Hubungan antara akar gigi dengan atap sinus yang sangat dekat menyebabkan infeksi pada gigi menyebar secara langsung ke sinus maksila (Brook, 2006; Costa et al., 2007). Pada penelitian ini terdapat peningkatan kasus sinusitis tipe dentogen berbanding penelitian Farhat (2004) di Departemen THT-KL/ RSUP Haji Adam Malik Medan. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan pada tahun yang berbeda serta kemungkinan besar masyarakat semakin sadar akan kesehatan mereka sehingga memilih untuk datang berobat ke rumah sakit. Secara keseluruhan kasus sinusitis tipe dentogen lebih sedikit dibanding kasus sinusitis tipe rinogen karena menurut penelitian Melen (1994) terdapat kesukaran dalam mendiagnosis kasus sinusitis tipe dentogen secara dini karena progresifitas infeksi gigi adalah lambat dan pada awalnya pasien hanya mengalami keluhan ringan sehingga diagnosisnya sulit ditentukan secara dini.

5.2.2. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

berdasarkan kelompok umur

Dari hasil penelitian, terlihat bahwa proporsi terbesar terjadi pada kelompok umur antara 30-39 tahun dan 40-49 tahun yaitu masing-masing sebanyak 24.3%. Pada penelitian Farhat (2004) di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan umur penderita terbanyak adalah 30-39 tahun. Lee, K. dan Lee, S. (2010) di Korea mendapatkan rata-rata umur yang terbanyak adalah 42.9 tahun. Pada penelitian Oscar et al. (2010) mendapatkan rata-rata umur yang terbanyak adalah 42.7 tahun. Pada penelitian Kaneko et al mendapatkan rata-rata umur yang terbanyak adalah 30-40 tahun. Proop (1997) menyatakan bahwa gigi telah tumbuh lengkap pada usia 18-21 tahun. Jadi, kebanyakan orang yang datang berobat rata-rata diatas umur 20 tahun. Pada penelitian ini proporsi terbesar terjadi pada kelompok usia antara 30-39 tahun dan 40-49 tahun karena pada kelompok usia ini mereka sering dan telah mengalami pemaparan dengan polutan lebih lama.


(44)

5.2.3. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan jenis kelamin

Pada penelitian ini, dapat dilihat proporsi jenis kelamin yang terbanyak adalah lelaki yaitu 54.3% sedangkan pada perempuan adalah 45.7%. Menurut penelitian Nishimura dan Iizuka (2001) di Jepang dari 15 penderita sinusitis maksila dengan faktor predisposisi infeksi gigi rahang atas terdapat 10 laki-laki dan 5 perempuan. Mehra dan Murad (2004) mendapatkan kebanyakan kasus sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas pada jenis kelamin perempuan. Yoshiura et al. (1993) di Jepang mendapatkan dari 68 penderita yang diperiksanya terdapat 36 perempuan dan 32 laki-laki. Manakala pada penelitian Lee, K. dan Lee, S. (2010) di Korea didapatkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki dimana perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 1.25:1. Hal ini dikarenakan kebiasaan laki-laki merokok menyebabkan mereka lebih terpapar dengan zat toksik yang dapat mempengaruhi sistem imun tubuh (Drake, 1997) sehingga mempermudah terjadinya infeksi gigi. Hal ini seterusnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi gigi ke sinus maksila yang berada sangat dekat dengan akar gigi rahang atas.

5.2.4. Distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan keluhan utama

Hasil penelitian terlihat bahwa keluhan yang terbanyak diderita oleh penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah keluhan hidung berbau sebanyak 38 orang (54.3%). Penelitian ini sama dengan hasil penelitian Farhat (2004) di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan yaitu keluhan terbanyak penderitanya adalah hidung berbau sebanyak 22 penderita (62.85%). Menurut Mangunkusomo dan Soejipto (2007) harus dicurigai adanya sinusitis dentogen jika ingus purulen dan hidung berbau. Hal yang sama juga dikatakan oleh Hilger (1994) yang mendapatkan gejala yang paling banyak adalah hidung berbau. David, Prudence dan Jacqueline (1993) juga menyatakan kebanyakan keluhan pasien adalah hidung berbau serta sakit daerah pipi/hidung. Hal ini dikarenakan, penyakit gigi seperti abses apikal atau


(45)

periodontal yang merupakan kasus terbanyak pada penelitian ini menimbulkan gambaran bakteriologik yang didominasi oleh bakteri gram negatif yang menimbulkan bau busuk (Mansjoer, 2001).

5.2.5. Distribusi rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan sisi yang terkena

Pada penelitian ini terlihat bahwa dari hasil rontgen foto polos sinus paranasal didapati sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas yang terbanyak terkena adalah sebelah sisi saja (unilateral) dengan masing-masing sisi kanan sebanyak 35.7% dan sisi kiri sebanyak 41.4%. Sementara untuk sisi bilateral adalah sebanyak 22.9%. Bila diklasifikasikan hasil ini menjadi dua bagian yaitu bilateral dan unilateral, terlihat unilateral sebanyak 77.1% dan bilateral sebanyak 22.9%. Penelitian ini sama dengan penelitian Jiannetto dan Pratt (1995) di Virginia yang mendapatkan gambaran sinusitis yang unilateral sebanyak 82.14% dan bilateral sebanyak 17.86%. Menurut penelitian Farhat (2004) di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan sebanyak 74.29% sisi unilateral dan yang mengenai bilateral hanya 25.71%. Pada penelitian Mangain Hasibuan (1992) di Medan mendapatkan gambaran sinusitis yang unilateral. Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab sinusitis (Mansjoer, 2001). Infeksi gigi selalu melibatkan sisi unilateral tetapi pada penelitian ini didapatkan keterlibatan sinus paranasal secara bilateral. Hal ini adalah dikarenakan pasien mengalami infeksi kedua-dua sisi kanan dan kiri gigi sehingga penyebaran infeksi kedua-dua sisi sinus maksila. Menurut Fehrenbach dan Herring infeksi pada salah satu sisi sinus dapat menyebar ke sisi yang sebelah melalui kavitas nasal.

5.2.6. Distribusi gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Dari tabel 5.6. terlihat bahwa gambaran rontgen foto polos sinus maksila yang paling banyak adalah perselubungan sebanyak 39 orang (55.7%), diikuti oleh penebalan mukosa sebanyak 17 orang (24.3%) dan gambaran air-fluid level


(46)

sebanyak 14 orang (20.0%). Hal yang sama didapatkan oleh peneliti Yoshiura

et al (2001) dan Suzanne et al (2001) yang menyatakan gambaran radiologis

yang terbanyak didapat adalah perselubungan. Selain itu, menurut Mangunkusomo dan Soetjipto (2007) sering terlihat gambaran perselubungan pada sisi sinus yang sakit yang kelihatan suram pada foto rontgen. Menurut Mehra dan Murad (2004) kelainan yang sering terlihat pada penderita sinuistis tipe dentogen adalah perselubungan, penebalan mukosa dan air- fluid level. Menurut Tucker dan Schow (2008) gambaran perselubungan adalah gambaran putih (opaque) seperti awan yang merupakan gambaran terbanyak didapatkan pada penelitian ini dapat mewakili tanda-tanda infeksi serta hipertrofi mukosa. Selain itu, menurut Pynn (2001) di Amerika Utara gambaran perselubungan adalah akibat akumulasi cairan yaitu pus akibat kejadian infeksi di rongga sinus.

5.2.7. Distribusi penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Pada tabel 5.7. didapat bahwa penyakit gigi yang terbanyak pada penelitian ini adalah abses apikal sebanyak 35 orang (50.0%). Hal ini sama dengan penelitian menurut Ramalinggam (1990) di Madras, India yang mendapatkan kasus rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak 10% yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan 10% infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Pada penelitian Farhat (2004) di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, sebanyak 71.43% disebabkan oleh abses apikal. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dari peneliti Newburg dan Hengerer (1989) dimana pada penelitian mereka menemukan sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh periodontitis marginal dan granuloma periapikal merupakan penyebab terbanyak dari infeksi gigi tersebut. Abses apikal terjadi akibat infeksi bakteri (anaerob) pada jaringan lunak gigi terutama gigi premolar kedua dan molar pertama. Infeksi ini meluas dan mencapai tulang alveolar yang membentuk dasar sinus maksila. Hal ini menyebabkan penyebaran infeksi secara langsung ke sinus maksila sehingga memicu terjadinya sinusitis maksila.


(47)

5.2.8. Distribusi jenis gigi yang terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

Pada penelitian ini, terlihat bahwa jenis gigi yang terbanyak terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah gigi molar pertama sebanyak 33 orang (47.1%) dan diikuti premolar kedua sebanyak 18 orang (25.7%). Penelitian ini sama dengan Tucker dan Schow (2008) dimana menurut mereka sinusitis tipe dentogen terjadi disebabkan kelainan gigi geraham atas (pre molar dan molar). Pada penelitian Mangain Hasibuan (1992) di Medan mendapatkan gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis adalah molar pertama sebanyak 42.9%, premolar kedua sebanyak 28.5% dan premolar pertama sebanyak 22.8%. Pada penelitian Lee, K. dan Lee, S. (2010) di Korea, jenis gigi yang terbanyak terlibat adalah gigi molar kedua (40.8%) diikuti gigi molar pertama (33.3%). Hal ini dikarenakan, akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila sehingga penyebaran infeksi bakteri khususnya bakteri gram negatif langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila dapat terjadi (Hilger, 1997). Selain itu, infeksi oleh bakteri gram negatif menimbulkan bau busuk yang merupakan keluhan terbanyak pasien pada penelitian ini. Infeksi gigi premolar dan molar juga sering menyebabkan pasien mengeluh rasa sakit di daerah pipi/hidung yang merupakan keluhan kedua terbanyak yang dilaporkan pada penelitian ini.


(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini, peneliti menyimpulkan :

a. Jumlah total penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 adalah 70 orang yaitu 17.6%.

b. Distribusi proporsi kelompok usia yang terbanyak menderita sinusitis tipe dentogen adalah kelompok umur antara 30-39 tahun dan 40-49 tahun dengan masing-masing sebanyak 24.3%.

c. Selama periode tahun 2010 total kasus penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik yang jenis kelamin laki-laki adalah lebih banyak yaitu sebanyak 54.3% sedangkan penderita dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 45.7%.

d. Keluhan yang terbanyak diderita oleh penderita sinusitis tipe dentogen adalah keluhan hidung berbau yaitu sebanyak 38 orang (54.3 %).

e. Sisi sinus paranasal yang terlibat pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah terbanyak mengenai sisi unilateral sebesar 77.1% yaitu sisi kanan 35.7% serta sisi kiri 41.4%.

f. Pada gambaran rontgen foto polos sinus paranasal, paling banyak ditemukan gambaran perselubungan yaitu 55.7% dikuti oleh penebalan mukosa (24.3%) dan air-fluid (20%).

g. Pada penelitian ini, jenis penyakit yang banyak didapatkan pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah abses apikal sebanyak 35 orang (50%).

h. Jenis gigi yang terbanyak terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang adalah gigi molar pertama (47.1%) diikuti oleh premolar dua (25.7%).


(49)

6.2. Saran

Dari penelitian ini, terlihat bahwa secara keseluruhan :

a. Perlu diperhatikan adanya faktor infeksi gigi rahang atas sebagai salah satu faktor predisposisi sinusitis maksila supaya tidak diacuhkan.

b. Perlu kecurigaan akan adanya penyakit sinusitis maksila yang berasal dari gigi rahang atas bila dijumpai penderita dengan keluhan utama hidung berbau, dari rontgen foto polos sinus maksila didapati sinusitis maksila pada satu sisi saja (unilateral) dengan gambaran perselubungan dan terdapatnya fokal infeksi pada gigi molar pertama dan premolar kedua. c. Perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang faktor infeksi gigi rahang

atas pada kejadian sinusitis maksila agar upaya pencegahan dapat diambil dengan melakukan pemeriksaan gigi sekurang-kurangnya satu kali per tahun.

d. Menyarankan pihak pelayanan rekam medis agar pencatatan status pasien pada rekam medis dilakukan dengan lebih teratur dan lengkap untuk memudahkan peneliti yang akan melakukan penelitian berdasarkan rekam medis.

e. Untuk kesempurnaan penanganan sinusitis maksila sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan gigi dan rontgen gigi oleh dokter gigi supaya tidak ada salah interpretasi oleh dokter umum.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.C. dan George, L., 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 173-188

Ballenger, J.J., 2009. Acute inflammation of the Nose and Face. In: Ballenger, J.J. and Snow, J.B. (eds.) Otorhinolaryngology-Head and Neck. 15th ed. Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins. 125-128

Ballenger, J.J., 2009. Chronic Rhinitis and Nasal Obstruction. In Ballenger JJ, Snow JB. Otorhinolaryngology-Head and Neck 15th ed. Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins.129-134

Becker, W.; Naumann, H.H.; Pfaltz, C.R., 1994. Clinical aspects of diseases of the

nose. In: Ear, Nose, and Throat Disease. A Pocket Refrence. New York: Medical

Publisher Inc. 224-227

Brock, I.,2006. Sinusitis of odontogenic origin. Otolaryngol Head and Neck Surg. Vol 135. 349-355

Chambers, H.F.; Deck, D.H., 2009. B- lactam and other cell wall and membrane

active antibiotics. In: Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed. United States: McGraw Hill. 773-785

Cho, D.; Hwang, P., 2008. Results of endoscopic maxillary mega-antrostomy in

recalcitrant maxillary sinusitis. Am. J. Rhinol 22: 658-662

Costa, B., Robiony, M., Polini, F., 2007. Endoscopic Surgical Treatment of Chronic

Maxillary Sinusitis of Dental Origin. J.Oral Maxillofac Surg. Vol 65. 223-238

David, A.M., Prudence, W.B., Jacqueline, J., 1993. Maxillary Sinusitis. In : The Maxillary Sinus and Its Dental Implication. Butterworth-Heinemann. Oxford. 60-75 Departemen Kesehatan Republik Indonesia , 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010

dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat:

Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003.Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Available from: 2011]

Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, 2007. 31st ed. Philadelphia : Saunders Drake-Lee, A., 1997. Physiology of the nose and paranasal sinuses. In Scott-Brown Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 126-132

Ekadayu, I. dan Hilger, P.A., 1997. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 240- 257


(51)

Farhat, 2004. Peran infeksi gigi rahang atas pada kejadian sinusitis maksila di

RSUP Haji Adam Malik. Dalam: Majalah Kedokteran Nusantara 40(1). 21-28

Fehrenbach, M.J., Herring, S.W., 1996. Illustrated Anatomy of the Head and Neck. 5th ed. Philadephia: W.B. Saunders Co. 125-139

Gondodiputro, S., 2007. Rekam medis dan sistem informasi kesehatan di pelayanan

kesehatan primer (puskesmas), Universiti Padjajaran. Available from:

PDF [Accessed 10 April 2011]

Harahap, Juliandi, Fujiati, Isti Ilmiati, Wahyuni, Sari A., Amelia R., 2010. Panduan

Penulisan Proposal Penelitian dan Laporan Hasil Penelitian Klinis. Jakarta:

Binurupa Aksara.

Hilger, P.A., 1997. Applied anatomy and physiology of the nose. In: Adams GC, Boeis LR, Hilger PA Boeis Fundamental of otolaryngology. 6th ed. Philadephia: W.B. Saunders Co; 1997: 187-195

Hilger, P.A., 1994. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC. 240-260

Hsin, C.; Chen, T.; Su, M.; Jiang, R.; Liu, C., 2010. Aspiration technique improves

reliability of endoscopically directed middle meatal cultures in pediatric rhinosinusitis. Am. J. Rhinol Allergy 24: 205-209

Hueston, W.J., 2002. Sinusitis. In: Hueston’s. Respiratory disorder. 3rd ed. USA: McGraw-Hill. 83-102

Jiannetto, D.F., Pratt, M.F., 1995. Correlation Between Preoperative Computed

Tomography and Operative Finding In Functional Endoscopic Sinus Surgery.

Laryngoscope. 924-927

Kaneko, I., Harada, K., Ishii, T., Furukawa, K., Yao, K., Takahashi, H., 1990. Clinical

features of odontogenic maxillary sinusitis, symptomatology and the grade in development of maxillary sinus in cases of maxillary sinusitis. Nippon Jibiinkoka

Gakkai Kaiho. Vol 93. 1034-1040

Kieff, D.A.; Busaba, N.Y., 2004. Isolated Chronic Maxillary Sinus of Non dental

Origin Does Not Correlate Per Se With Ipsilateral. Intranasal Structural Abnormalities. In: The Annals of Otology, Rhinology and Laryngology 113: 414

Kumar, P. and Clark, M., 2005. The Special Senses. Clinical Medicine. 6th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 1153-1155

Lee, K.C., Lee, S.J., 2010. Clinical features and treatments of odontogenic sinusitis. In: Yonsei Medical Journal. Vol 51. 932-937


(52)

Lee, K.J., 2008. The nose and paranasal sinuses. Essential Otolaryngology of Head and Neck Surgery. 9th ed. United States : McGraw Hill. 365-372

Longhini, A.B.; Branstetter, B.F.; Ferguson, B.J., 2010. Unrecognized odontogenic

maxillary sinusitis: A cause of endoscopic sinus surgery failure. Am. J. Rhinol

Allergy 24: 296-300

Longhini, A.B.; Branstetter, B.F.; Ferguson, B.J., 2010. Clinical aspects of

odontogenic maxillary sinusitis. International Forum of Allergy and Rhinology.

Vol 1. 409-415

Lund, V.J., 1997. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Gleeson (ed.).Scott-Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 15-30

Mangain Hasibuan, 1992. Kekerapan Sinusitis Maksila Tipe Dentogen di Bagian THT

FK USU/UPF RSU Dr. Pirngadi Medan. Tesis. Bagian THT FK USU Medan

Mangkusumo, E. dan Rifki, N., 2001. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A. dan Iskandar, N.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 5. Jakarta: Balai penerbit FKUI. hal. 120-124

Mansjoer, A., 2001. Sinusitis. Kapita Selekta Kedokteran UI. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. 102-103

Mehra, P. and Murad, H., 2004. Maxillary sinus disease of odontogenic origin. Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 37. 347-364

Melen, I., 1994. Chronic sinusitis. Clinical and Pathophysiological Aspects. Acta Otolaryngol Suppl 515. 45-48

Netter, F.H., 2006. Anatomy of Paranasal Sinuses. In: Netter, H. (ed.) Atlas of Human Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 36-50

Newsburg, J., Hengerer, A.S., 1989. Benign Disease of the Nose and Paranasal

Sinuses. In: Text Book of Otolaryngology and Head and Neck Suregery. Elsevier

Science Publishing Co. Inc. New York. 290-303

Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 34 Nishimura, T., Iuzuka, T., 2001. Diagnostic Value of SPECT Bone Scintigraphy for

Odontogenic Maxillary Sinusitis. Clin Nucl Med. 509-514

Oscar, A.I., Cristina, B.D., Juan, A., Natalia, M.R., Jose, M.G., 2010. Meta-analysis

of the etiology of odontogenic maxillary sinusitis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.


(1)

Lee, K.J., 2008. The nose and paranasal sinuses. Essential Otolaryngology of Head and Neck Surgery. 9th ed. United States : McGraw Hill. 365-372

Longhini, A.B.; Branstetter, B.F.; Ferguson, B.J., 2010. Unrecognized odontogenic

maxillary sinusitis: A cause of endoscopic sinus surgery failure. Am. J. Rhinol

Allergy 24: 296-300

Longhini, A.B.; Branstetter, B.F.; Ferguson, B.J., 2010. Clinical aspects of

odontogenic maxillary sinusitis. International Forum of Allergy and Rhinology.

Vol 1. 409-415

Lund, V.J., 1997. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Gleeson (ed.).Scott-Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 15-30

Mangain Hasibuan, 1992. Kekerapan Sinusitis Maksila Tipe Dentogen di Bagian THT

FK USU/UPF RSU Dr. Pirngadi Medan. Tesis. Bagian THT FK USU Medan

Mangkusumo, E. dan Rifki, N., 2001. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A. dan Iskandar, N.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 5. Jakarta: Balai penerbit FKUI. hal. 120-124

Mansjoer, A., 2001. Sinusitis. Kapita Selekta Kedokteran UI. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. 102-103

Mehra, P. and Murad, H., 2004. Maxillary sinus disease of odontogenic origin. Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 37. 347-364

Melen, I., 1994. Chronic sinusitis. Clinical and Pathophysiological Aspects. Acta Otolaryngol Suppl 515. 45-48

Netter, F.H., 2006. Anatomy of Paranasal Sinuses. In: Netter, H. (ed.) Atlas of Human Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 36-50

Newsburg, J., Hengerer, A.S., 1989. Benign Disease of the Nose and Paranasal

Sinuses. In: Text Book of Otolaryngology and Head and Neck Suregery. Elsevier

Science Publishing Co. Inc. New York. 290-303

Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 34 Nishimura, T., Iuzuka, T., 2001. Diagnostic Value of SPECT Bone Scintigraphy for

Odontogenic Maxillary Sinusitis. Clin Nucl Med. 509-514

Oscar, A.I., Cristina, B.D., Juan, A., Natalia, M.R., Jose, M.G., 2010. Meta-analysis

of the etiology of odontogenic maxillary sinusitis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.


(2)

Prabhu, S.P.; Padwa, L.; Robson, C.; Rahbar, R., 2009. Dentigerous cyst associated

with a displaced tooth in the maxillary sinus : As unusual cause of recurrent sinusitis in an adolescent. Pediatr Radiol 39: 1102-1104

Proops, D.W., 1997. The Mouth and Related Faciomaxillary Structures. In : Scott Brown’s Otolaryngology. Vol 1. Basic Sciences. 6th Ed. Butterworth- Heinemann. Oxford. 1-23

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, 2010. Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Pynn, B.R., 2001. Maxillary Sinusitis. Oral Surgery: A Review for the Dental Practitioner. Vol 1. 25-36

Rachman, M.D., 2005. Sinus paranasalis dan mastoid. Dalam: Ekayuda, I. Radiologi diagnostik. Edisi 1. Jakarta: FK-UI. 431-439

Ramalinggam, K.K., 1990. Anatomy ang physiology of nose and paranasal sinuses. A Short Practice of Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. 241-231

Ross, K., 1999. The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis. Current issues in Diagnosis and Management. London: The Royal Society of Medicine Press Round Table Series 67

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S., 2008. Dasar- dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto.

Saragih, A.R., 2007. Rinosinusitis Dentogen. Dalam: Dentika Dental Journal 12(1). 81-84

Sobol, S.E., 2011. Sinusitis, maxillary, acute, surgical treatment. Available from:

Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E., 2007. Rhinore, infeksi hidung dan sinus. Dalam: Soepardi, EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FK-UI. 145-149

Suzanne, K., Galli, D., Lebowitz, R., Giacchi, R.J., Glickman, R., Jacobs, J., 2001.

Chronic Sinusitis Complicating Sinus Lift Surgery. Am J. Rhinol. Vol 15. 181-186

Tucker, R. and Schow, R., 2008. Odontogenic Disease of the Maxillary Sinus. In: Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. London: Mosby Elsevier. 383-395

Wald, E.R., 1990. Rhinitis and acute and chronic sinusitis. Pediatric Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. 729-744

Yoshiura, K., 1993. Analysis of maxillary sinusitis using computed tomography. Dentomaxillofacial Radiology. 86-9


(3)

Lampiran DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Kharuna Malar Paramasivan Tempat/Tanggal Lahir : Alor Star/ 16 Januari 1989

Agama : Hindu

Alamat : Kompleks Setia Budi No. N44, Medan Riwayat Pendidikan : 1. Penilaian Menengah Rendah (2002-2004)

2. Sijil Pelajaran Malaysia (2005-2006) 3. Kolej Matrikulasi Pahang (2007)


(4)

Lampiran Frequency Tables (SPSS OUTPUT)

Kelompok Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 20-29 13 18.6 18.6 18.6

30-39 17 24.3 24.3 42.9

40-49 17 24.3 24.3 67.1

50-59 11 15.7 15.7 82.9

>60 12 17.1 17.1 100.0

Total 70 100.0 100.0

Keluhan Utama

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Hidung tumpat 7 10.0 10.0 10.0

Hidung berbau 38 54.3 54.3 64.3

Sakit daerah pipi/hidung

19 27.1 27.1 91.4

Hidung berair 6 8.6 8.6 100.0

Total 70 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 38 54.3 54.3 54.3

perempuan 32 45.7 45.7 100.0


(5)

Lampiran Sisi Sinus Paranasal

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kanan 25 35.7 35.7 35.7

Kiri 29 41.4 41.4 77.1

Bilateral 16 22.9 22.9 100.0

Total 70 100.0 100.0

Gambaran Foto Polos Sinus Maksila

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Penebalan mukosa 17 24.3 24.3 24.3

Perselubungan 39 55.7 55.7 80.0

Air-fluid level 14 20.0 20.0 100.0

Total 70 100.0 100.0

Nama penyakit gigi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Abses Apikal 35 50.0 50.0 50.0

Gingivitis 14 20.0 20.0 70.0

Granuloma Periapikal 7 10.0 10.0 80.0

Kista Dentigerous 5 7.1 7.1 87.1

Fistula Oroantral 9 12.9 12.9 100.0


(6)

Lampiran

Jenis gigi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Caninus 4 5.7 5.7 5.7

Premolar 1 3 4.3 4.3 10.0

Premolar 2 18 25.7 25.7 35.7

Molar 1 33 47.1 47.1 82.9

Molar 2 8 11.4 11.4 94.3

Molar 3 4 5.7 5.7 100.0