Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Fisiologi Sinus Paranasal

Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh faktor- faktor predisposisi baik lokal atau sistemik, maka diteliti apakah gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas. Mangunkusomo, 2007. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari hingga Desember 2010?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas di RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari hingga Desember 2010. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi penderita sinusitis tipe dentogen dan sinusitis tipe rinogen b. Untuk mengetahui distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin c. Untuk mengetahui distribusi penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan keluhan utama d. Untuk mengetahui distribusi rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas berdasarkan sisi yang terkena e. Untuk mengetahui distribusi gambaran rontgen foto polos sinus paranasal pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas f. Untuk mengetahui distribusi penyakit gigi pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas g. Untuk mengetahui distribusi jenis gigi yang terkena pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas

1.4. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang gambaran penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas. b. Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai data untuk penelitian selanjutnya tentang upaya pencegahan dan pengendalian sinusitis maksila dalam hubungannya dengan infeksi gigi rahang atas. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kesadaran kepada masyarakat awam tentang infeksi gigi agar tidak diacuhkan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri Mehra dan Murad, 2004. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ostium ke dalam rongga hidung Soetjipto dan Mangunkusomo,2007. Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara Hilger,1997. Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal KOM, terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila Drake,1997. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero- superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee, 2008.

2.1.1. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila

disebut juga antrum Highmore Tucker dan Schow, 2008. Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa Mehra dan Murad, 2004. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid Tucker dan Schow, 2008 Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo 2007 dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar P1 dan P2, molar M1 dan M2, dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy Netter, F.H., 2006 Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke- empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun Ramalinggam, 1990. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang Lee, 2008. Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus Rachman,2005. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid Lee, 2008.

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral lamina basalis, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis Hilger, 1997; Ballenger, 2009. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila Mehra dan Murad, 2004. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita Soetjipto dan Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid Hilger,1997.

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus Hilger, 1997; Netter, 2006. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons Ramalinggam, 1990.

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Menurut Drake 1997 dan Soetjipto dan Mangunkusomo 2007 sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Menurut Lund 1997 beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah: a. Sebagai pengatur kondisi udara air conditioning Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 11000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. b. Sebagai penahan suhu thermal insulator Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan buffer panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya Hilger,1997. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal post nasal drip, tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung Ramalinggam, 1990; Adam, 1997.

2.3. Klasifikasi Sinusitis