Dukungan Sosial Keluarga terhadap anak Down Sindrom di YPAC Medan.

(1)

Dukungan Sosial Keluarga terhadap Anak Down Sindrom

di Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC) Medan.

Juwariah

Skripsi

Program Studi Ilmu Keperawatan S1

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan, 2009


(2)

Judul : Dukungan sosial keluarga terhadap anak Down Sindrom di YPAC Medan.

Peneliti : Juwariah

Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan F.Kep USU Tahun Akademik : 2008/2009

Pembimbing Penguji

... ...Penguji I (Siti Zahara Nst, Skp, MNS) (Siti Zahara Nst, Skp, MNS) NIP. 19710305 200112 2 001 NIP. 19710305 200112 2 001

...Penguji II

(Iwan Rusdi, S.Kp, MNS ) NIP. 19730909 200003 1 001

...Penguji III

(Farida Linda Sari Srg, S.Kep, M.Kep) NIP. 19780320 200501 2 003

Program Studi Ilmu Keperawatan telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan.

... (dr. Dedi Ardinata, M.Kes) NIP. 196812271998021002


(3)

Judul : Dukungan Sosial Keluarga terhadap anak Down Sindrom di YPAC Medan.

Peneliti : Juwariah

Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan F.Kep USU Tahun Akademik : 2008/2009

ABSTRAK

Down Sindrom merupakan sindroma kongenital yang paling sering terjadi. Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak dengan sindrom ini. Untuk dapat membantu mengoptimalkan perkembangan anak down sindrom, keluarga diharapkan untuk selalu memberikan dukungan kepada anak tersebut. Dalam hal ini dukungan yang paling tepat adalah dukungan sosial keluarga. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumen, dan dukungan emosional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan dengan menggunakan desain deskriptif. Sampel diambil dari keluarga yang memiliki anak down sindrom sebanyak 40 orang. Cara pengambilan jumlah sampel menggunakan teknik Total sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dukungan sosial keluarga tehadap anak down sindrom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mayoritas usia ibu yang melahirkan anak dengan down sindrom adalah antara usia 35-39 tahun dan 40-45 tahun (n=16, 40%), Pendidikan SMA (n=30, 75%), Pekerjaan ayah (n=20, 50%) PNS, sedangkan hampir semuanya (n=22, 55%) ibu tidak bekerja, penghasilan orang tua Rp 1000.000-3000.000 (n=17,42,5%),waktu keluarga bersama anak mayoritas setiap saat (n=26, 65%). Hasil penelitian mengenai dukungan sosial keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar (92,5%) keluarga memberikan dukungan sosial dengan sangat baik, dukungan informasi termasuk dalam kategori sangat baik (75%), dukungan penilaian sangat baik (75%), dukungan instrumen sangat baik (70%), dan dukungan emosional sangat baik(70%). Untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini disarankan untuk meneliti hubungan dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Dukungan sosial keluarga terhadap anak Down Sindrom diYPAC Medan”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu, antara lain : 1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati S.Kp, MNS, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Evi Karota Bukit S.Kp, MNS, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

4. Ketua Yayasan Pembinaan Anak-anak Cacat, Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di YPAC Medan.

5. Ibu Siti Zahara Nst, Skp, MNS, selaku dosen pembimbing skripsi saya dalam Program Studi Ilmu Keperawatan FK USU yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS dan Ibu Farida Linda Sari S, S.Kep, M.Kep, selaku dosen penguji skripsi saya yang telah banyak memberikan kritik dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

7. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Program S1 Keperawatan USU yang telah memberi bimbingan selama perkuliahan, khususnya dosen-dosen mata kuliah riset keperawatan.

8. Ayah Bundaku tercinta, Ayahanda Mahmud dan Ibunda Syahrizad, yang selalu mencurahkan kasih sayang dan selalu memberikan dukungan serta doa restu sehingga penulis tetap bersemangat dalam menempuh studi.

9. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ayahanda Alma Zaini dan Ibunda Rahimi Laily Asnida, yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan Doa.

10.Teman-teman sejawat PSIK-A USU 2005, terima kasih atas bantuan dan semangatnya selama ini.

11.Teristimewa buat Teman-temanku seperjuangan, Elis (Mom), Danie (Adek), dan Thitan. Makasih ya dah membuat hari-hariku jadi lebih indah……

12.Special Thanks for SomeOne, Alm Riki Hamdani yang telah menjadi sumber inspirasiku. Makasih atas supportnya baik spiritual maupun material.

13.Terima kasih juga buat adik-adikku tersayang, Itha, Dedek, Aris, Suci Almira atas support, semangat yang selalu kalian berikan.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan. Penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Oktober 2009


(6)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Skema ... vii

Daftar Lampiran ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Keluarga ... 7

2.1.1. Defenisi Keluarga ... 8

2.2.Dukungan Sosial Keluarga ... 8

2.2.1. Definisi Dukungan Sosial Keluarga ... 9

2.2.2. Komponen Dukungan Sosial Keluarga ... 11

2.3.Down Sindrom ... 12

2.3.1. Definisi Down Sindrom ... 12

2.3.2. Ciri-Ciri Anak Down Sindrom ... 14

2.4.Perkembangan Anak Down sindrom ... 15

2.5.Merawat Anak Down Sindrom. ... 22

2.6.Tindakan yang di Lakukan Orang tua ... 23

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ... 30

2. Definisi Operasional ... 31

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 32

2. Populasi dan Sampel ... 32

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

4. Pertimbangan Etik ... 33

5. Instrumen Penelitian ... 34

6. Uji Validitas Instrumen ... 35

7. Pengumpulan Data ... 35

8. Analisa Data ... 36

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 37


(7)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 49 6.2. Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA ... 52


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Data Demografi

Dukungan Sosial Keluarga terhadap Anak Down Sindrom

di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40) ... 38 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Dukungan Informasi Keluarga Terhadap

Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40) ... 39 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Informasi Keluarga

Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan

Tahun 2009 (n=40) ... 40 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Dukungan Penilaian Keluarga Terhadap

Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40) ... 41 Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Penilaian Keluarga

Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan

Tahun 2009 (n=40) ... 41 Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Dukungan Instrumen Keluarga Terhadap

Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40) ... 42 Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Instrumen Keluarga

Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan

Tahun 2009 (n=40) ... 43 Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Dukungan Emosional Keluarga Terhadap

Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40) ... 44 Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Emosional Keluarga

Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan

Tahun 2009 (n=40) ... 44 Tabel 6.0. Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Keluarga Terhadap

Anak Down Sindrom di YPAC Medan


(9)

DAFTAR SKEMA

1. Kerangka konsep penelitian dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan ... 20


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar persetujuan menjadi responden... 44

2. Instrumen penelitian ... 45

3. Jadwal penelitian ... 49

4. Curiculum Vitae ... 50

5. Anggaran biaya penelitian... 51

6. Data reabilitas ... 52


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Down Sindrom (mongoloid) adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu pada retardasi mental. anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21) sehingga informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami penyimpangan fisik. Dahulu orang-orang dengan down sindrom ini disebut sebagai penderita mongolisme atau mongol. Istilah ini muncul karena penderita ini mirip dengan orang-orang Asia (oriental). Istilah sindrom ini sepertinya sudah usang, sehingga saat ini kita menggunakan istilah down sindrom. Angka kejadian down sindrom ini meningkat seiring pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35 tahun (Kumala, 2007).

Menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dra. Frieda Mangunsong, saat ini terdapat sekitar delapan juta penderita down sindrom di seluruh dunia. Di RSUD Pirngadi Medan tidak ada data statistik yang nyata mengenai jumlah penderita down sindrom di Medan, hal ini disebabkan karena para orang tua malu memeriksakan anaknya yang down sindrom. Selain karena rasa malu, di masyarakat Medan masih ada suatu keyakinan bahwa anak dengan ciri-ciri down sindrom mengidap suatu penyakit ”plasik” yaitu penyakit yang disebabkan karena “magic”, sehingga masih banyak orang tua yang membawa anaknya ke paranormal (Frieda, 2003).


(12)

Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak down sindrom. Baik perkembangan fisik maupun mental. Hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down sindrom. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down sindrom, sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah (Selikowitz, 2001). Untuk dapat membantu mengoptimalkan perkembangan anak dengan Down Sindrom, keluarga diharapkan untuk selalu memberikan dukungan sosial kepada anak tersebut.

Dukungan sosial berfokus pada sifat interaksi yang berlangsung dalam berbagai hubungan sosial sebagaimana yang dievaluasi oleh individu. Kemudian dukungan sosial memasukkan juga evaluasi individu atau keluarga, apakah interaksi/hubungan bermanfaat dan sejauh mana bermanfaat. Lebih jauh lagi Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang bersangkutan sehingga individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Friedman, 1998).

Kane (1985 dalam Friedman, 1998), mendefenisikan dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya. Sehingga dalam proses ini akan terjadi interaksi atau hubungan timbal balik. Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang proses kehidupan. Sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Misalnya jenis-jenis dan kuantitas dukungan sosial dalam fase perkawinan sangat berbeda dengan banyak dan jenis-jenis dukungan sosial yang dibutuhkan ketika keluarga sudah berada dalam fase kehidupan


(13)

terakhir. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. Lebih jauh lagi dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat nagi individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargi dan mencintainya (Friedman, 1998).

Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan instrumen, dan dukungan penilaian. Dimana dukungan informasi adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga seperti pemberian nasehat, dukungan emosional adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa kasih sayang, perhatian, rasa empati paada anak down sindrom. Dukungan instrumen adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa pemberian materi seperti uang, sarana prasarana atau benda yang dapat digunakan sebagai penunjang perkembangan anak down sindrom, sedangkan dukungan penilaian adalah dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah pada anak down sindrom (Friedman, 1998).

Peran keluarga dan lingkungan sangat penting dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak down sindrom. Selain itu, banyak contoh kasus keberhasilan penanganan penderita down sindrom di luar negeri, misalnya ada yang mampu lulus SMA, Sarjana, atau yang memiliki keahlian tertentu sehingga mampu main film. Salah satu yang mendukung keberhasilan ini adalah dukungan dari keluarga (Frieda, 2003).


(14)

Secara fisik dan psikologis anak-anak dengan sindrom ini mempunyai keistimewaan yang bisa dikembangkan. Secara fisik anak-anak ini memiliki ligamen-ligamen elastis penyambung tulang lebih fleksibel, sehingga tubuh mereka lebih lentur dibandingkan anak normal. Apabila dilatih menari, gerakan mereka terlihat indah. Mendidik anak down sindrom yang paling penting adalah fokus. Bila fokus pada satu bidang tertentu, mereka akan mengerjakannya dengan sepenuh hati. Hanya saja dalam menangani anak yang menderita down sindrom perlu kesabaran ekstra. Untuk itu dalam hal ini sangat dibutuhkan dukungan sosial keluarga untuk membantu mengoptimalkan perkembangan anak down sindrom (Ramelan, 2008).

Beberapa fenomena yang terjadi di masyarakat, keluarga yang telah memberikan dukungan pada anak dengan down sindrom, dapat menerima keadaan anak tersebut apa adanya. Seluruh anggota keluarga membesarkan, merawat anak dengan down sindrom secara bersama-sama dirumah sendiri dan menganggap anak yang menderita down sindrom itu bagian dari anggota keluarga. mereka selalu memberikan lingkungan yang penuh kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan rangsangan kepada anak dengan down sindrom tersebut untuk tumbuh dan belajar, sehingga perkembangan anak dengan down sindrom di keluarga ini dapat berjalan hampir seperti anak normal (Selikowizt, 2001).

Mengingat pentingnya dukungan dari keluarga untuk mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom, maka peneliti bermaksud untuk mengetahui gambaran tingkat dukungan sosial keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom di YPAC Medan.


(15)

1.2.PERTANYAAN PENELITIAN

“Bagaimana tingkat dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom?”

1.3.TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran tingkat dukungan sosial keluarga terhadap anak Down Sindrom.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dukungan informasi yang diberikan oleh keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom. 2. Untuk mengetahui dukungan penilaian yang diberikan oleh keluarga

dalam mengoptimalkan perkembangan ank dengan down sindrom. 3. Untuk mengetahui dukungan instrumen yang diberikan oleh keluarga

dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom. 4. Untuk mengetahui dukungan emosional yang diberikan oleh keluarga

dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.4.1. Bagi Ilmu Keperawatan

Sebagai sumber informasi yang berguna untuk mengetahui gambaran dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom.


(16)

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan Anak Cacat

Memberikan informasi kepada Tim Pendidik anak cacat mengenai usaha pengoptimalan perkembangan anak down sindrom yang tidak hanya berfokus pada anak saja, tapi juga ditujukan pada keluarga.

1.4.3. Bagi Keluarga

Memberikan pengetahuan kepada keluarga mengenai dukungan sosial yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak down sindrom.

1.4.4. Bagi Penelitian


(17)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang konsep-konsep terkait yang dikelompokkan menjadi beberapa bagian yaitu:

2.1.Keluarga.

2.1.1 Defenisi Keluarga 2.2.Dukungan Sosial Keluarga.

2.2.1. Defenisi Dukungan Sosial Keluarga

2.2.2. Komponen-Komponen Dukungan Sosial Keluarga 2.3.Down Sindrom.

2.3.1. Defenisi Down Sindrom 2.3.2. Ciri-Ciri Anak Down Sindrom 2.4. Perkembangan Anak Down Sindrom 2.5. Merawat Anak Down Sindrom.


(18)

2.1. Keluarga.

2.1.1. Defenisi Keluarga.

Menurut UU no. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, suami-istri dan anaknya, ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (Hairunnisa, 2008).

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 2002). Menurut Fine (1992 dalam Potter, Perry, 2005) Keluarga adalah tempat untuk tinggal. Keluarga pada masa kini menghadapi banyak tantangan, yaitu ditandai dengan tiga atribut yang penting yakni kekuatan, kelenturan, dan perbedaan

Menurut Burges dkk (1963 dalam Friedman, 1998) keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. Para anggota keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.

Menurut FSA (1984 dalam Friedman, 1998), Keluarga merupakan dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan keintiman. Keluarga merupakan suatu sistem terbuka yang terdiri dari semua unsur dalam sistem, mempunyai struktur tujuan atau fungsi dan mempunyai organisasi internal, seperti sistem yang lain. Bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan, hal ini akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Keluarga juga mempunyai matriks dari perasaan beridentitas dari anggota-anggotanya, merasa


(19)

memiliki, dan berbeda. Tugas utamanya adalah memelihara pertumbuhan psikososial anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya (Friedman, 1998).

Dari konsep di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh anggota keluarga saling tergantung dan selalu berinteraksi satu dengan yang lain. Seluruh anggota keluarga akan berusaha untuk menghilangkan gangguan-gangguan baik bersifat fisik atau psikis yang ada pada anggota keluarga yang lain. Berdasarkan hal ini keluarga akan selalu menjaga satu dengan yang lain tidak hanya dalam keadaan sehat, tetapi juga dalam keadaan sakit dan menghadapi kematian. Keluarga juga berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarganya.

2.2. Dukungan sosial keluarga.

2.2.1. Defenisi dukungan sosial keluarga

Manusia sebagai makhluk sosial (homo homini socius) tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia dapat bertahan hidup apabila kebutuhan-kebutuhannya dapat dipenuhi. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhn sosial (pergaulan, pekerjaan, sekolah) dan kebutuhan psikis seperti rasa ingin tau, rasa aman, rasa keimanan.kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan bantuan orang lain. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menimbulkan masalah.pada saat itulah seseorang membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya terutama dari keluarga, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai.

Dukungan sosial berawal dari in utero dipelihara melalui kebiasaan, keterikatan maternal dan paternal serta berkembang dalam keluarga, teman, dan hubungan komunitas bersama pertumbuhan seseorang (Smeltzer, S, 2001)


(20)

Dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama (Siegel dalam Taylor, 1999). Menurut Duffy & Wong (2000 dalam Friedman, 1998), dukungan sosial adalah pertukaran sumber daya diantara dua individu yaitu pemberi dan penerima dukungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penerima dukungan. . Dukungan sosial juga dapat diartikan sebagai penekanan pada emosional yang diberikan orang lain sebagai bentuk coping stress seseorang (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008). Sheridan dan Radmacher (1992), menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain (Friedman, 1998).

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain. Salah satu cara untuk dapat menjaga satu dengan yang lain baik dalam keadaan sehat atau sakit dan untuk dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan diperlukan suatu dukungan sosial keluarga.. Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan (Friedman, 1998).

Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung. dapat juga berupa dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga.


(21)

Pada keluarga yang mempunyai anak dengan down sindrom, mempunyai tuntutan pengorbanan sosial, ekonomi, psikologis yang lebih besar dari pada keluarga yang normal. Salah satu cara untuk dapat memenuhi tuntutan itu tanpa merasakan beban yang berat diperlukan dukungan dari anggota keluarga lain, selain keluarga inti. Hal ini sangat sesuai dengan sistem keluarga di Indonesia yang menurut Koentjoroningrat, Indonesia mempunyai sistem keluarga extended family, yaitu keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya kakek, nenek, keponakan, saudara sepupu. Jarak geografis yang jauh tidak menjadi halangan bagi dukungan dari keluarga besar (Friedman, 1998). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial yang diberikan oleh anggota keluarga selain keluarga inti dapat membantu mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom.

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi dukungan hanya pada dukungan sosial keluarga, karena keluarga merupakan individu yang paling dekat dan mempunyai arti bagi klien.

2.2.2. Komponen-komponen dukungan sosial keluarga

Menurut Friedman, (1998) komponen-komponen dukungan sosial keluarga yaitu:

1. Dukungan informasi, bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.


(22)

2. Dukungan penilaian, bentuk dukungan ini seperti pemberian sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah.

3. Dukungan instrumen, bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. dukungan instument sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.

4. Dukungan emosional, bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

2.3. Down Sindrom

2.3.1. Defenisi down sindrom

Down Sindrom adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu pada retardasi mental. Orang dengan down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21) sehingga informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami penyimpangan fisik. Angka kejadian down sindrom ini


(23)

meningkat seiring pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35 tahun (Kumala, 2007).

Down sindrom termasuk golongan penyakit genetik karena cacatnya terdapat pada bahan keturunan/materi genetik, tetapi penyakit ini bukan penyakit keturunan. atau karena kuman yang bisa menular dari penderita ke orang lain (Faradz, 2003). Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh John Langdon Down pada tahun 1866, baru pada tahun 1959 ditemukan dan dibuktikan adanya kelainan pada kromosom. Down sindrom merupakan sindroma kongenital (kelainan bawaan) yang paling sering terjadi dan juga merupakan penyebab ketidakmampuan intelektual yang paling sering ditemukan.. Penyebab hal ini masih belum diketahui pasti. Yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya down sindrom. Peluang seorang wanita mempunyai anak dengan down sindrom meningkat bersamaan dengan peningkatan usianya pada saat hamil. Kejadian sindroma Down diperkirakan 1 per 800 hingga 1 per 1000 kelahiran dan Mengenai semua etnis serta seluruh kelompok ekonomi (Selikowizt, 2001).

Kejadian ini akan tambah tinggi dengan tambah tuanya usia ibu hamil. Biasanya calon-calon bayi down sindrom 60% cenderung akan gugur (abortus spontan) dan 20% akan lahir mati. Penyebab hal ini masih belum diketahui, tapi ada beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya down sindrom ini seperti :

a. Genetik

Karena menurut hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan down sindrom.


(24)

b. Radiasi.

Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan ank dengan syndrom down pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi konsepsi.

c. Infeksi dan kelainan kehamilan.

Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. d. Autoimun dan kelainan endokrin pada ibu.

e. Umur ibu.

Apabila umur ibu diatas 35 tahun diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan “non dijunction” pada kromosom. Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiolsistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon danpeningkatan kadar LH dan FSH secara tiba-tiba sebelum dan selam menopause. Selain itu kelainan kehamilan juga berpengaruh.

f. Umur ayah

g. Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia dan frekuensi koitus.

2.3.2. Ciri-ciri anak down sindrom

Secara garis besar penderita ini dengan mudah bisa dilihat, berat badan waktu lahir dari bayi dengan down sindrom ini umumnya kurang dari normal. Ciri-ciri lain dari wajah yang khas dengan mata sipit yang membujur ke atas, jarak kedua mata yang berjauhan dengan jembatan hidung yang rata, hidung yang kecil,


(25)

mulut kecil dengan lidah yang besar sehingga cenderung dijulurkan dan telinga letak rendah. Tangan dengan telapak yang pendek dan biasanya mempunyai garis telapak tangan yang melintang lurus (horizontal/tidak membentuk huruf M), jari pendek-pendek, biasanya jari ke-5 sangat pendek, hanya mempunyai 2 ruas dan cenderung melengkung. Tubuh pendek dan cenderung gemuk.

Anak dengan sindrom ini sangat mirip satu dengan yang lainnya. Retardasi mental sangat menonjol (IQ sekitar 50-70), disamping juga terdapat retardasi jasmani. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang sederhana, diakibatkan adanya gangguan wicara karena gangguan konstruksi rahang dan mulut. Anak dengan sindroma ini sering menderita kelainan bawaan seperti kelainan jantung (defek septum ventrikel yang paling sering ditemukan), leukimia, dan alzhaimer (Selikowizt, 2001). Selain itu penyakit infeksi terutama saluran pernapasan sering mengenai anak dengan kelainan ini. Pertumbuhan pada masa bayi kadang-kadang baik, tetapi kemudian menjadi lambat. Anak dengan down sindrom ini cenderung periang, senang, bersahabat dan gemar musik (Selikowizt, 2001).

2.4. Perkembangan anak Down Sindrom

Perkembangan anak dengan down sindrom lebih lambat dari pada anak-anak yang normal. Kecepatan perkembangan anak-anak-anak-anak dengan down Sindrom bervariasi, sebagian berkembang lebih lambat dan lainnya lebih cepat. Adapun perkembangan rata-rata anak dengan sindrom ini adalah sebagai berikut (Selikowizt, 2001).

Bayi yang baru lahir (empat minggu pertama kehidupan), dengan atau tanpa down sindrom, senantiasa menggenggam tangannya (refleks palmar). Bayi


(26)

ini biasanya memiliki tangisan yang halus, karena rendahnya tonus otot diantara iga-iga dan pada perut. Otot-otot ini dipergunakan untuk mendorong udara keluar dada sewaktu menangis. Dengan alasan yang sama, kekuatan mengisapnya juga mungkin kurang efektif, sehingga waktu makan mungkin menjadi lebih lama.

Perkembangan bahasa bayi-bayi dengan down sindrom yang baru lahir biasanya tampak lebih responsif terhadap suara-suara yang mereka dengar, mereka menghentakkan lengannya dan mengangkat kakinya sebagai respon terhadap suara keras (reflek Moro). Ini merupakan respon yang normal bagi bayi yang baru lahir.

Tahun pertama (satu bulan sampai satu tahun), perkembangan anak dengan down sindrom dalam semua bentuk mengalami kemajuan pesat. Hal ini biasanya paling menonjol selama tahun yang kedua. Mungkin perubahan yang paling menonjol adalah pada respon sang anak.

Perkembangan motorik umum anak pada enam bulan pertama, tonus yang rendah membuat perkembangan motorik umum tertinggal dibandingkan bentuk perkembangan lain. Pada akhir tahun pertama, rata-rata bayi dengan down sindrom sudah mampu duduk sendiri tanpa bantuan. Bila ia ditempatkan di atas perutnya saat ini, ia berusaha dengan sangat aktif untuk merangakak, namun ia tidak membuat kemajuan apapun. Perkembangan motorik halus anak dengan down sindrom ini pada pertengahan tahun pertama sudah dapat meraih benda-benda di dalam mulutnya dan menggoyang-goyangkan benda-benda.

Pada akhir tahun ini, ia sudah mampu memegang benda-benda dengan kedua tangan, memindahkan suatu benda dari satu tangan ke tangan yang lain, dan memungut benda-benda kecil dengan menggunakan jari-jari. Perkembangan


(27)

pribadi dan sosial anak dengan down sindrom terjadi peningkatan yang mencolok dalam daya tangkap. Pada usia sekitar dua atau tiga bulan, sudah mulai mengenali wajah-wajah yang dilihatnya.

Perkembangan kognitif anak dengan down sindrom sejak umur enam bulan rata-rata sudah mulai berfikir logis dan mengingat dengan cara yang lebih nyata. Pengenalannya akan wajah-wajah yang sudah akrab merupakan bukti akan hal ini. Perkembangan bahasanya pada usia enam bulan sudah mulai menikmati celotehan bagi proses berbicara yang berikutnya.

Tahun kedua masa kanak-kanak (usia satu sampai dua tahun), perkembangan anak dengan down sindrom ini terus berkembang namun berjalan dengan lambat. Terjadi peningkatan kemampuan manipulasi dan bahasa walaupun ia sering kembali melakukan gerakan motorik halus yang imatur dan cara–cara berbicara seperti pada tahun pertama.

Pada tahun kedua, perkembangan motorik umum anak dengan down sindrom berkembang dari duduk sendiri, melalui proses dari merangkak, menyeret apapun berguling dari sisi ke sisi lain untuk dapat bergerak, sampai akhirnya berdiri. Kebanyakan anak tidak dapat berjalan tanpa bantuan sampai permulaan tahun berikutnya.

Pada awal tahun kedua perkembangan motorik halus anak menjadi lebih mahir memungut benda-benda kecil, dan sudah mampu menunjuk. Dan juga mampu memungut benda kecil dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Pada tahap ini anak sudah dapat melempar benda yang ada ditangannya. Anak dengan down sindrom biasanya lebih lama mempertahankan perilaku ini.


(28)

Perkembangan pribadi dan sosial pada tahun pertama mulai timbul respon negatif terhadap orang asing. Pada akhir tahun kedua, rata-rata anak sudah bisa menguasai cangkir setengah penuh, dan mampu makan dengan tangan. Ia juga mampu melambaikan tangan, dan mulai menikmati permainan interaktif seperti bertepuk-tepuk tangan (Selikowizt, 2001).

Perkembangan bahasanya, rata-rata anak dengan down sindrom sudah dapat mengatakan satu atau dua kata pada ulang tahun keduanya. Dan perkembangan kognitifnya mulai menunjukkan peningkatan pada pemahamannya tentang benda, dengan mengetahui benda-benda tetap ada walaupun tidak terlihat olehnya, anak akan mencari benda yang disembunyikan, seperti permen yang dibungkus. Mendekati akhir tahun kedua, ia memahami bahwa benda-benda dapat dipakai, dan ada hubungannya antara aksi dan akibat menjadi lebih jelas baginya. Sebagai contoh, menarik taplak meja untuk memperoleh benda yang ada diatas meja.

Anak balita (usia dua sampai tiga tahun), dengan down sindrom mulai dapat berjalan tanpa bantuan. Dengan berjalan, anak balita mengambil langkah besar menuju kemandirian. Mengajarinya untuk mengerjakan hal-hal bagi dirinya sendiri, sementara menerima tuntutan-tuntutan dari orang lain merupakan suatu tantangan istimewa pda usia ini.

Perkembangan motorik umum anak pada akhir tahun ketiga, sudah mulai dapat berjalan dengan kontrol yang sedemikian sehingga dapat menarik mainan kecil. Dapat duduk di bangku dan juga sudah dapat menendang bola kecil. Perkembangan motorik halusnya, sudah mulai berhenti melempar benda-benda pada saat ini, dan ia juga jarang memasukkan benda-benda kedalam mulutnya.


(29)

Papan bentuk sederhana sudah dapat diselesaikannya. Mendekati akhir tahun ketiga, ia dapat menuangkan cairan dari cangkir ke cangkir lain tanpa menumpahkannya. Pada perkembangan pribadi dan sosial,pada anak down sindrom sering terjadi perubahan mood, dan ia mungkin menunjukkan tantrum di satu saat dan menjadi cerita segera sesudahnya (Selikowizt, 2001).

Pada pertengahan tahun ketiga, anak biasanya mulai beradaptasi dengan makanan yang lebih keras. Toilet training, biasanya sudah dapat dimulai sejak umur 30 bulan.Bahasa berkembang cepat selama tahun ketiga. Pada akhir tahun ketiga, ia mampu menyusun dua kata bersama-sama membentuk satu kalimat yang sangat sederhana seperti ayah “da-da”. Pada sejumlah anak dengan down sindrom. perkembangan bahasa tertinggal dibandingkan dengan yang lain.

Anak pra-sekolah (usia tiga sampai lima tahun), biasanya sudah mulai menikmati keberadaan anak-anak lain yang menemaninya. Ia perlu belajar berbagi, dan ini merupakan sesuatu yang ia pelajari dari anak-anak lain selain dari orang tuanya. Pada usia ini diperoleh dari meniru teman-temannya.

Perkembangan motorik umum pada usia tiga tahun sudah mulai belajar menaiki tangga sendirian. Pada usia tiga tahun ini, ia dapat membawa kursi kecil ke meja dan duduk sendirian. Pada usia empat tahun setengah tahun kontrol tungkainya baik sehingga dapat meniru gerakan-gerakan seperti menyilang dan berjalan jarak dekat sambil berjingkat dan menendang bola lebih cepat. Ia mampu mengubah perjalanan guna menghindari benda-benda yang melintangi lintasan. Pada usia ini sudah dapat mengayuh sepeda roda tiga (Selikowizt, 2001)

Perkembangan motorik halus pada usia tiga tahun, mampu membuka botol kecil dengan gerakan memutar, dapat membolak-balik halaman buku. Dapat


(30)

menggambar sebuah garis lurus, dan pada akhir tahun ketiga dapat menyalin garis horizontal. Pada usia empat tahun dapat menyusun “puzzle”, dan dapat membangun bangunan tinggi dari balok-balok. Pada usia lima tahun dapat mencontoh sebuah lingkaran.

Perkembangan pribadi dan sosial pada usia tiga sampai empat tahun, anak sudah cukup kalem. Latihan Toilet berlangsung dengan baik, usia lima tahun dapat menaikkan dan menurunkan celana dan mencuci tangannya.

Pada usia empat tahun, ia makan lebih mandiri hanya memerlukan bantuan untuk memotong-motong makanan. Ia sudah dapat bertoleransi dengan anak-anak lain. Perkembangan bahasa pada tahap ini anak sudah dapat menyebutkan namanya. Kalimat-kalimat semakin panjang walaupun komunikasi masih tetap lebih banyak bersifat menolong dari pada percakapan dua arah. Ia menanyakan pertanyaan berbentuk “apa”(Selikowizt, 2001).

Perkembangan kognitif pada usia ini, fungsi kognitif biasanya menjadi lebih mudah untuk dinilai. Daya ingat membaik, sudah mampu menyebutkan lagi urutan pendek dari angka yang baru didengarnya. Ia mulai mengerti konsep ukuran, dan tahu perbedaan antara besar dan kecil.

Anak usia sekolah (usia lima sampai dua belas tahun ), merupakan waktu dimana rata-rata anak dengan down sindrom mengembangkan sensasi kecakapan diri yang semakin besar. Kemampuan melaksanakan tugas-tugas sekolah menimbulkan peningkatan citra diri, yang selanjutnya mempengaruhi kemampuannya mengembangkan hubungan sosial.

Perkembangan motorik umum pada tahap ini, tonus otot meningkat, dan sendi-sendi kehilangan sebagian mobilitas abnormalnya. Pada usia sepuluh tahun


(31)

ia dapat memanjat, mengayun, dan meluncur, serta mampu menangkap bola dengan cukup baik. Sejak itu, kekuatan, koordinasi, dan ketahanan menunjukkan perbaikan yang tetap (Selikowizt, 2001).

Perkembangan motorik halus pada usia sepuluh tahun, rata-rata anak dengan down sindrom ini sudah mampu menggambar figur manusia yang dapat dikenali dan gambaran sederhana dari rumah dan benda-benda yang sudah dikenali lainnya. Melipat, menggunting, memasang benang, merekatkan juga menjadi semakin tepat dan cepat pada usia ini. Diantara sepuluh tahun dan dua belas tahun beberapa huruf serta angka dapat dikenali dan ditulis kembali.

Perkembangan pribadi dan sosial pada tahap ini, berpakaian menjadi semakin mandiri, walaupun mungkin agak lambat. Kancing-kancing dapat dikuasai pada usia sepuluh tahun. Mandi sendiri, menggunakan sikat gigi, membuang ingus,dan menyisir serta menyikat rambut juga dapat dikuasai sekitar usia ini.

Perkembangan bahasa pada usia sekitar enam tahun sampai tujuh tahun, pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan ”dimana” dan ”siapa” ;dan sekitar sepuluh tahun pertanyaan ”mengapa” mulai muncul. Pada usia dua belas tahun, rata-rata anak dengan down sindrom memiliki perbendaharaan kata sebanyak 2000 kata-kata.

Perkembangan kognitif di sepanjang periode ini, anak tetap sangat berfikir konkrit. Ia memahami segala sesuatu yang sungguh ada, tanpa memodifikasi hal ini berdasarkan pengalamannya (Selikowizt, 2001)

Direktur Yayasan Peduli Anak Teti Ichsan (2001) mengatakan seluruh keluarga harus saling menguatkan untuk membantu perkembangan anak down


(32)

sindrom. Sedangkan menurut Dra. Frieda Mangunsong (2003), peran keluarga dan lingkungan sangatlah penting dalam membantu perkembangan anak down sindrom. Dengan demikian, dukungan sosial keluarga sangatlah penting dalam meningkatkan perkembangan anak dengan down sindrom.

2.5. Merawat anak dengan down sindrom.

Merawat anak berkebutuhan khusus (down sindrom), menguras banyak waktu. mulai dari mencari informasi seputar kondisi anak, membuat janji konsultasi dengan dokter-dokter spesialis, sampai mencari sekolah yang menyediakan fasilitas sekaligus akomodasi memadai.Tanpa disadari, berbagai detil yang menyita perhatian tersebut dapat membuat orang tua menjadi abai terhadap keberadaan anak-anak lain. Padahal, meskipun memiliki kemampuan di atas saudaranya yang membutuhkan perlakuan ekstra, anak-anak ini juga memerlukan perhatian dan limpahan kasih sayang. Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua untuk mengatur jadwalnya secara terorganisir, dan menyisihkan waktu luang untuk bermain bersama anak-anak yang lain. Sediakan waktu berkualitas untuk masing-masing anak, paling tidak satu kali dalam seminggu. Pastikan setiap anak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, baik secara fisik maupun emosional, sehingga tidak ada yang merasa tersingkirkan. Tunjukkan bahwa mereka semua spesial agar tidak terjadi kecemburuan, meskipun orangtua lebih banyak melimpahkan perhatian kepada saudara mereka yang berkebutuhan khusus (down sindrom). Selain itu, ajak anak-anak untuk belajar memahami kebutuhan saudara mereka. Jelaskan mengenai keterbatasan saudaranya dengan


(33)

bahasa yang mudah dimengerti, dan terangkan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk membantu.

Bangun interaksi dengan mengajak anak-anak untuk ikut menjaga saudaranya, sesuai dengan usia dan kemampuan masing-masing. Misalnya, anak yang sudah cukup dewasa bisa mengajak saudaranya yang berkebutuhan khusus untuk berjalan-jalan pada sore hari, atau melakukan aktivitas lainnya. Hal utama yang harus disadari orang tua dengan anak berkebutuhan khusus yakni, mereka tidak seorang diri menghadapi masalah ini. Apabila memiliki anak lain yang masih bayi atau berusia di bawah lima tahun, sewa jasa seorang babysitter. Selain itu, dukungan moral dan tenaga dari orangtua, saudara, teman, atau bahkan tetangga, tentu juga sangat berharga (Farida, 2009).

2.6. Tindakan yang dilakukan orang tua dengan anak down sindrom.

Menjadi ibu dari seorang anak yang mengalami down sindrom merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua. Setiap orang tua mempunyai cara masing-masing untuk dapat mengoptimalkan perkembangan anaknya yang down sindrom. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya mengalami penderitaan. Banyak orang tua yang melakukan segala upaya untuk meringankan penderitaan anak. Orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus (down sindrom) banyak mengalami kelelahan karena harus berhadapan dengan banyak hal yang dilakukan anaknya, tetapi itu tidak membuat orang tua menyerah dan berhenti berusaha untuk terus menerus mencari cara dan tempat untuk kesembuhan anaknya (Jana, 2009).


(34)

Meski anak-anak down sindrom memiliki keterbatasan karena perkembangan mereka yang lambat dibandingkn dengan anak normal lainnya, mereka tetap mampu berprestasi, sehingga mengangkat nama bangsa dan negara di dunia internasional. Oleh karena itu, anak-anak down sindrom memerlukan perhatian dan dukungan dari orang disekitarnya, khususnya orang tua. Semua anak dengan down sindrom harus dianggap sama dan sebaiknya hal yang paling penting mereka harus dibekali keterampilan (Susuwongi, 2007).

Banyak upaya yang dilakukan orang tua dengan anak down sindrom ini, yakni:

a. Menjaga kesehatan

Seperti semua anak, anak-anak dengan down sindrom ini memperoleh manfaat dari cara hidup yang sehat. Hal ini mencakup hidup dalam lingkungan keluarga yang penuh perhatian, makan dengan menu yang seimbang, udara segar yang cukup serta latihan jasmani. Anak-anak ini hendaknya jangan terlalu di lindungi. Mereka memperoleh manfaat dari kesempatan menjalankan kehidupan aktif dengan bermacam-macam pengalaman. Selain cara hidup yang sehat, anak perlu menjalani pemeriksaan teratur untuk mendeteksi masalah kesehatan secara dini, sebelum masalah tersebut menyebabkan kerusakan yang luas dan sulit diobati. Hal ini berarti orang tua harus memasukkan jadwal yang sistematis untuk anak dengan down sindrom. Hal ini mungkin membebani orang tua namun pemeriksaan ini penting untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang jauh lebih besar yang mungkin dapat terjai bila kelainan tersebut tidak terdeteksi secara dini. Pemeriksaan rutin tersebut seperti pemeriksaan bayi baru lahir, uji penglihatan, uji


(35)

pendengaran, sinar-x leher, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, pemeriksan gigi, imunisasi dan lainnya (Selikowitz, 2001)

b. Memodifikasi perilaku

Modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk pengajaran, yang diterapkan kepada anak dengan down sindrom pada situasi-situasi dimana penjelasan saja tidak berhasil. Salah satu cara untuk mendorong perilaku yang baik adalah mempertunjukkan perilaku tersebut kepada anak dengan harapan ia akan menirunya. anak down sindrom meniru orang tua yang ia identifikasi lebih kuat dan orang tua harus memanfaatkan hal ini.cara lain untuk mendorong perilaku baik adalah menempatkan sang anak dalam suatu posisisi yang akan memudahkan terjadinya perilaku tersebut. Seperti, latihan menggunakan pispot. Sebuh teknik lain yaitu memberikan instruksi pada anak dan bentuk instruksi tersebut haruslah pendek dan mudah di mengerti oleh anak (Selikowitz, 2001)

c. Membawa anak ke pusat perkembangan

Sebagai orang tua dari anak dengan anak down sindrom, orang tua mempunyai kebutuhan khusus yang lebih. Penting untuk mengetahui bagaimana dapat memperoleh berbagai pelayanan yang tersedia bagi anak. Berbagai pelayanan terus-menerus berubah, dan sulit untuk mengikuti perkembangannyaorang tua perlu membuka mata mata dan berbicara dengan orang tua lainnya. Orang tua biasanya mengatur suatu kunjungan ke pusat perkembangan anak pada enam bulan pertama kehidupan anak.pusat ini akan memberikan penilaian yang luas atas kemampuan dan kebutuhan anak.


(36)

d. Mengajarkan anak

Mencapai kemandirian yang maksimal merupakan salah satu tujuan utama pertumbuhan dari semua anak-anak. Anak-anak normal memperoleh banyak keterampilan tanpa perlu diajari. Mereka mengamati dan belajar dari apa yang mereka lihat. Pada waktu mereka menginjak remaja, mereka menuntut lebih banyak kemandirian dan hanya sedikit orang tua yang dapat atau mau menyangkal hal ini. Anak dengan down sindrom perlu diajarkan banyak keterampilan sehari-hari dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mempraktekkannya. Anak-anak dengan sindrom ini seringkali tidak membuat tuntutan serupa mengenai kemandirian, dan banyak orang tua karena khawatir akan kerentanan anak mereka, tidak memberikan kesempatan padanya untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang penting bagi kemandiriannya. Namun proses mencapai kemandirian bagi seorang anak down sindrom ini merupakan serangkaian langkah-langkah yang lambat, yang harus ditempuhnya dalam sejumlah periode waktu.

Sewaktu anak berkembang, orang tua tidak akan mampu melindungi dirinya dari semu resiko ini, namun hindari melakukan hal tersebut sampai batas dimana orang tua menghalangi kemampuan anak untuk hidup semandiri mungkin (Selikowitz, 2001).

e. Membawa anak ke berbagai terapi.

Pada anak down sindrom sering mengalami gangguan kesehatan seperti gangguan pada jantung, penglihatan, pendengaran, tidak normalnya kadar hormon Imunologi dan gangguan pencernaan.Anak down sindrom mempunyai otot yang


(37)

lemah sehingga mengakibatkan keterlambatan mereka untuk berjalan, berbicara dan memahami sesuatu sehingga relatif sulit untuk mandiri.

Meski demikian, dengan usaha keras dari orang-orang terdekat terutama orang tua, tidak sedikit anak down sindrom dapat hidup relatif mandiri bahkan bisa bersekolah, berteman, dan menikmati hidup layaknya anak normal. Pola makan mereka sebaiknya dijaga dan diberikan banyak sayur-sayuran dan buah-buahan agar pencernaan mereka tidak terganggu. Dan rata-rata anak down sindrom sering terserang berbagai penyakit infeksi bahkan ada yang meninggal tak berapa lama berselang semenjak saat kelahirannya. Tetapi saat ini, sebagian besar masalah kesehatan anak-anak down sindrom sudah dapat diatasi secara medis sehingga tidak sedikit diantaranya yang mampu hidup hingga usia dewasa.

Untuk itu orang tua berusaha mencari berbagai informasi untuk kesembuhan anaknya, dalam hal ini upaya berbagai jenis terapi ditujukan kepada anak down sindrom. Masing-masing anak down sindrom mempunyai kondisi yang berbeda, ada anak yang memerlukan suatu program terapi lebih lama dibandingkan anak yang lainnya. Hal ini bisa dikarenakan karena beberapa faktor misalnya sang anak telat dibawa ke tempat terapi. Orang tua baru tahu kondisi sang anak setelah sekian bulan berlalu tanpa ada informasi apapun, Kondisi kesehatan sang anak yang kurang baik, Keuangan keluarga, Sifat sang anak (anak down sindrom) yang sama sekali tidak mau dipegang oleh terapisnya, hal ini tentu akan menyulitkan sang terapis untuk membantunya (Selikowizt, 2001)

Jenis-jenis terapi yang dibutuhkan anak down sindrom adalah seperti Terapi Fisik (Physio Theraphy), Biasanya terapi inilah yang diperlukan pertama kali bagi anak down sindrom dikarenakan mereka mempunyai otot tubuh yang


(38)

lemas maka disinilah mereka dibantu agar bisa berjalan dengan cara yang benar. Terapi Wicara yaitu, Suatu terapi yang di perlukan untuk anak down sindrom yang mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata. Saat ini sudah banyak sekali jenis-jenis terapi selain di atas yang bisa dimanfaatkan untuk tumbuh kembang anak down sindrom. Terapi Okupasi, Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak down sindrom tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat. Terapi Remedial, Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa. Terapi Sensori Integrasi, Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan/sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak down sindrom yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy), Mengajarkan anak down sindrom yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat .

Ada juga orang tua yang menggunakan terapi alternatif yang saat ini sudah sangat berkembang pesat seperti terapi akupuntur, Terapi ini dilakukan dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu dengan jarum. Titik


(39)

syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak.Terapi musik, Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik. Terapi lumba-lumba, Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak down sindrom. Sel-sel saraf otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba. Terapi craniosacral, Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak down sindrom diperbaiki metabolisme tubuhnya sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat (ISDI, 2008). Dan tentu masih banyak lagi terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu. Orang tua harus bijaksana memilih terapi alternatif ini. Karena pada kenyataannya down sindrom pada sang anak tidak akan bisa hilang.Yang bisa orang tua lakukan yaitu mempersempit jarak perbedaan perkembangan antara anak down sindrom dengan anak normal.


(40)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1.Kerangka konseptual

Kerangka konseptual ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom. Down sindrom adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu pada retardasi mental. Orang dengan down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21) sehingga informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami penyimpangan fisik (Kumala, 2007).

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian Dukungan sosial keluarga:

 Dukungan informasi  Dukungan emosional  Dukungan instrumen  Dukungan penilaian

 Sangat baik  Baik

 Cukup  Kurang


(41)

3.2.Defenisi operasional

Dukungan sosial keluarga dalam penelitian ini adalah dukungan yang diberikan oleh keluarga yang tinggal dalam satu rumah pada anak dengan down sindrom yang meliputi Dukungan informasi yaitu dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga yang berupa memberi nasehat, mendapatkan informasi tentang dunia, termasuk tentang penyakit down sindrom. Dukungan penilaian yaitu dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah pada anak down sindrom. Dukungan instrumen yaitu dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga yang berupa materi seperti uang, sarana prasarana atau benda yang dapat digunakan sebagai penunjang perkembangan anak down sindrom. Dukungan emosional yaitu dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berupa kasih sayang, perhatian, dan rasa empati pada anak down sindrom. Tingkat dukungan sosial keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom diukur dari nilai yang diperoleh responden dalam menjawab sejumlah pertanyaan yang berkaitan melalui kuesioner yang akan digambarkan dengan kriteria sangat baik, baik, cukup dan kurang.


(42)

BAB 4

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan desain penelitian, populasi dan sampel, lokasi penelitian, pertimbangan etik, instrumen penelitian, pengumpulan data, dan analisa data.

4.1.Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat dukungan sosial keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom.

4.2.Populasi dan sampel 4.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak down sindrom yang berada di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di Medan dengan jumlah 40 orang.

4.2.2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Total Sampling. Sampel yang diambil sebanyak 40 orang. Adapun kriteria sampel ini adalah:

a) Keluarga dengan anak down sindrom yang mengikuti program belajar di YPAC Medan.

b) Keluarga dengan anak down sindrom tinggal dalam satu rumah. c) Keluarga yang bersedia menjadi responden.


(43)

4.3. Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Yayasan Pembinaan Anak-Anak Cacat (YPAC) Medan, Sumatera Utara. Yang dilakukan di SLB Medan Timur di Jln. Adinegoro No 2 Medan dan di SLB E Pembina di Jln Karya Medan. YPAC ini merupakan tempat pembinaan bagi anak-anak yang mengalami kecacatan fisik dan mental (retardasi mental). Terdiri dari TK, SD, SMP, dan juga SMA. Kecacatan mental yang disebabkan down sindrom di YPAC ini ada sekitar 40 orang. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2009.

4.4. Pertimbangan etik penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Ketua Yayasan Pembinaan Anak Cacat untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian kuesioner diberikan ke responden. Dalam penelitian ini juga disertakan sebuah lembar persetujuan penelitian (Informed Consent) yang diberikan kepada responden. Tujuannya agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian. Jika subyek bersedia menjadi responden, maka harus menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika subyek menolak menjadi responden, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar kuesioner yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya memakai inisial nama.


(44)

4.5. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang terdiri dari sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden. Bentuk pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk pertanyaan tertutup. Responden diminta untuk memilih salah satu jawaban dengan memberi tanda silang pada salah satu pilihan yang telah disediakan. Penyusunan pertanyaan dalam kuesioner ini didasarkan pada berbagai literatur yang berkaitan dengan dukungan sosial keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom dan kuesioner penelitian sebelumnya. Kuesioner ini terdiri atas dua bagian yaitu bagian A yang berisi pertanyaan seputar karakteristik keluarga dan bagian B yang berisi pertanyaan seputar dukungan sosial keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom. Kuesioner ini terdiri dari 20 butir pernyataan yang dengan mengacu pada dukungan sosial keluarga dalam mengoptimalkan perkembangan anak dengan down sindrom yaitu dukungan informasi sebanyak 5 pernyataan (1-5), dukungan penilaian sebanyak 5 pernyataan (6-10), dukungan instrumen sebanyak 5 pernyataan (11-15), dukungan emosional sebanyak 5 pernyataan (16-20). Untuk penilaian pernyataan jika jawaban Selalu diberi nilai 4, Sering diberi nilai 3, Kadang-kadang diberi nilai 2, dan Jarang diberi nilai 1. Kemudian untuk dukungan sosial keluarga akan dikategorikan sebagai dukungan sangat baik, baik, cukup, kurang, dengan menggunakan rumus statistik menurut sudjana (1992), yaitu:

Rentang g


(45)

4.6. Uji Validitas dan Reabilitas

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan sesuatu instrumen dan bertujuan untuk menggambarkan sejauh mana instrumen mampu mengukur apa yang akan di ukur (Danim, 2003). Validitas instrumen penelitian di uji oleh Ibu Siti Zahara, SKp, MNS.

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan.

4.7. Pengumpulan Data

1) Setelah mendapatkan ijin dari kepala Yayasan Pembinaan Anak-anak cacat, peneliti melihat catatan data tentang semua anak dengan down sindrom di yayasan tersebut. Data yang diambil terdiri dari nama anak penderita down sindrom, umur, jenis kelamin, alamat, nama keluarga, tanggal masuk sekolah.

2) Kemudian peneliti melakukan pendekatan dengan responden dan menjelaskan tujuan, manfaat peran serta responden selama penelitian. Peneliti menjamin kerahasiaan responden dan hak responden untu menolak menjadi responden. Bila responden menyetujui maka peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden.

3) Responden diberi kuesioner untuk diisi sendiri oleh keluarga. Peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner dan menginformasikan agar kuesioner diisi.


(46)

4) Bila kuesioner telah diisi, peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali kelengkapannya, jika masih ada yang belum diisi maka responden dimohon untuk melengkapinya.

4.8. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap yakni editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan data bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Analisa yaitu menganalisa data yang telah terkumpul dengan menentukan persentase jawaban dari setiap responden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik komputerisasi.

Pengolahan data dengan statistik deskriptif yang terdiri dari frekuensi dan persentase untuk melihat gambaran tingkat dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan.


(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan mengenai dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan yang dilaksanakan pada Agustus – September 2009. Pengumpulan data dilakukan pada 40 responden. Penyajian data meliputi karakteristik data demografi responden, dan deskripsi dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan.

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Karakteristik Responden

Berdasarkan karakteristik data demografi dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan mayoritas usia ibu saat melahirkan anak down sindrom 35-39 tahun sebanyak 16 orang (40%) dan 40-45 tahun sebanyak 16 orang (40%). Pendidikan ibu mayoritas SMA sebanyak 30 orang (75%), pekerjaan ayah mayoritas PNS sebanyak 20 orang (50%), pekerjaan ibu mayoritas tidak bekerja sebanyak 22 orang (55%), penghasilan mayoritas Rp1.000.000 – 3.000.000 sebanyak 17 orang (42,5%), jumlah anak mayoritas > 3 orang sebanyak 24 orang (60%), keluarga yang tinggal dalam satu rumah mayoritas tidak keluarga inti sebanyak 23 orang (57,5%), dan waktu keluarga bersama anak mayoritas setiap saat sebanyak 26 orang (65%).


(48)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Data Demografi Dukungan Sosial Keluarga terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

Karakter Responden Frekuensi Persentase Usia Ibu

- <35 Tahun

- 35-39 Tahun

- 40-45 Tahun

8 16 16 20 40 40 Pendidikan

- SD

- SMP

- SMA

- PT

0 5 30 5 0 12,5 75 12,5 Pekerjaan Ayah

- PNS

- Pegawai Swasta

- Wiraswasta

- Tidak Bekerja

20 6 14 0 50 15 35 0 Pekerjaan Ibu

- PNS

- Pegawai Swasta

- Wiraswasta

- Tidak Bekerja

8 4 6 22 20 10 15 55 Penghasilan

- < Rp 1 Jt - Rp 1Jt-3Jt - > Rp 3Jt

11 17 12 27,5 42,5 30 Jumlah Anak

- 1 Orang - 2 Orang - 3 Orang - >3 Orang

1 5 10 24 2,5 12,5 25 60 Keluarga lain yang tinggal

- Kakek/Nenek - Paman/ Bibi - Dan lain-lain - Tidak ada

5 2 23 10 12,5 5,0 57,5 25,0 Waktu anak bersama keluarga

- Sore

- Malam

- Setiap saat

7 7 26 17,5 17,5 65


(49)

5.1.2. Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom

Berdasarkan dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan mengenai dukungan informasi sebanyak 30 orang (75%) menyatakan mereka selalu memberikan dukungan terhadap anaknya, 24 orang (60%) menyatakan keluarga selalu berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan penyakit Down Sindrom, 25 orang (62,5%) menyatakan keluarga selalu berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan cara meningkatkan perkembangan anak dengan Down Sindrom, 19 orang (47,5%) menyatakan keluarga kadang-kadang membacakan buku-buku cerita untuk anak yang menderita Down Sindrom, 29 orang (72,5%) keluarga selalu memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh anak dengan bahasa sederhana.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Dukungan Informasi Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

PERTANYAAN SL SR KK JR

Keluarga mengerti kondisi anak yang mengalami Down Sindrom (mongoloid)

30(75%) 4(10%) 5(12,5%) 1(2,5%)

Keluarga berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan penyakit Down Sindrom

24(60%) 9(22,5%) 5(12,5%) 2(5%)

Keluarga berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan cara meningkatkan perkembangan anak dengan Down Sindrom

25(62,5%) 10(25%) 5(12,5%) 0

Keluarga membacakan buku-buku cerita untuk anak yamg menderita Down Sindrom.

10(25%) 7(17,5%) 19(47,5%) 4(10%)

Keluarga memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh anak dengan bahasa sederhana.


(50)

Berdasarkan kategori dukungan informasi terlihat bahwa mayoritas responden 30 orang (75%) dalam kategori sangat baik.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Informasi Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

Kategori Dukungan Frekuensi Persentase

Kurang 0 0

Cukup 0 0

Baik 10 25

Sangat baik 30 75

Jumlah 40 100

Berdasarkan dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan mengenai dukungan penilaian terlihat sebanyak 18 orang (45%) responden menyatakan bahwa keluarga menemani anak ketika menonton televisi, sebanyak 18 orang (45%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu memberikan kesempatan pada anak untuk menceritakan pengalamannya sehari-hari, sebanyak 22 orang (55%) menyatakan bahwa keluarga selalu mendengarkan keluhan-keluhan anak yang menderita Down Sindrom, sebanyak 30 orang (75%) menyatakan bahwa keluarga selalu memberikan respon atau tanggapan terhadap keluh kesah anak, sebanyak 27 orang (67,5%) menyatakan bahwa keluarga memberikan dorongan pada anak untuk melakukan kegiatan sendiri seperti makan, mandi, dan berpakaian.


(51)

Tabel 5.4.Distribusi Frekuensi Dukungan Penilaian Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

PERTANYAAN SL SR KK JR

Keluarga menemani anak ketika menonton televisi.

18(45%) 8(20%) 10(25%) 4(10%) Keluarga memberikan

kesempatan pada anak untuk menceritakan pengalamannya sehari-hari

18(45%) 9(22,5%) 11(27,5%) 2(5%)

Keluarga mendengarkan keluhan-keluhan anak yang menderita Down Sindrom.

22(55%) 11(27,5%) 7(17,5%) 0

Keluarga memberikan respon atau tanggapan terhadap keluh kesah anak.

30(75%) 6(15%) 4(10%) 0

Keluarga memberikan dorongan pada anak untuk melakukan kegiatan sendiri seperti makan, mandi, dan berpakaian.

27(67,5%) 6(15%) 6(15%) 1(2,5%)

Berdasarkan kategori dukungan penilaian terlihat bahwa mayoritas responden 30 responden(75,5%) dalam kategori sangat baik.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Penilaian Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

Kategori Dukungan Frekuensi Persentase

Kurang 0 0

Cukup 1 2.5

Baik 9 22.5

Sangat baik 30 75.5

Jumlah 40 100

Berdasarkan dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan mengenai dukungan instrumen terlihat sebanyak 17 orang (39,5%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu memberikan kesempatan pada anak untuk bermain sendiri atau dengan teman-temannya. Sebanyak 24 orang (55,8%)


(52)

responden menyatakan bahwa keluarga selalu memberikan makanan dengan menu yang seimbang untuk anak (nasi+lauk+sayur+buah+susu). Sebanyak 16 orang (37,2%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu memberikan ruangan bermain yang khusus untuk anak. Sebanyak 23 orang (53,5%)menyatakan bahwa Keluarga selalu membelikan peralatan menggambar untuk anak. Sebanyak 33 orang (76,7%) responden menyatakan bahwa Keluarga selalu memberi kesempatan pada anak untuk mendengarkan musik dari radio, tape, dan televisi.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Dukungan Instrumen Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

PERTANYAAN SL SR KK JR

Keluarga memberikan kesempatan pada anak untuk bermain sendiri atau dengan teman-temannya.

17(39,5%) 7(16,3%) 14(32,6%) 2(4,7%)

Keluarga memberikan makanan dengan menu yang seimbang untuk anak

(nasi+lauk+sayur+buah+susu).

24(55,8%) 6(14,0%) 10(23,3%) 0

Keluarga memberikan ruangan bermain yang khusus untuk anak.

16(37,5%) 5(11,6%) 14(32,6%) 5(11,6%)

Keluarga membelikan peralatan menggambar untuk anak.

23(53,5%) 11(25,6%) 5(11,6%) 1(2,3%)

Keluarga memberi

kesempatan pada anak untuk mendengarkan musik dari radio, tape, dan televisi.

33(76,7%) 5(11,6%) 2(4,7%) 0

Berdasarkan kategori dukungan instrumen terlihat bahwa mayoritas responden 28 responden(70%) dalam kategori sangat baik.


(53)

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Instrumen Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

Kategori Dukungan Frekuensi Persentase

Kurang 0 0

Cukup 0 0

Baik 12 30

Sangat baik 28 70

Jumlah 40 100

Berdasarkan dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan mengenai dukungan emosional terlihat sebanyak 15 orang (34,9%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu membawa anak untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dn mendampinginya secara teratur. Sebanyak 32 orang (74,4%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu berusaha memberi ketenangan pada anak bila anak merasa minder dengan keadaannya. Sebanyak 20 orang (46,5%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu menegur anak jika ia membuat kesalahan dalam berbicara. Sebanyak 30 orang (69,8%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu memberikan pujian pada anak setiap ia dapat menyelesaikan pekerjaan yang sederhana, seperti mandi, menyikat gigi, berpakaian, menyisir rambut, dan lain-lain. Sebanyak 31 orang (72,1%) responden menyatakan bahwa keluarga selalu menegur anak bila dalam melakukan pekerjaannya terdapat sedikit ketidakrapian.


(54)

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Dukungan Emosional Keluarga terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

PERTANYAAN SL SR KK JR

Keluarga membawa anak untuk menjalani

pemeriksaan kesehatan dan mendampinginya secara teratur.

15(34,9%) 14(32,6%) 11(25,6%) 0

Keluarga berusaha memberi ketenangan pada anak bila anak merasa minder dengan keadaannya.

32(74,4%) 5(11,6%) 3(7%) 0

Keluarga menegur anak jika ia membuat kesalahan dalam berbicara.

20(46,5%) 3(7%) 10(23,3%) 7(16,3%)

Keluarga memberikan pujian pada anak setiap ia dapat menyelesaikan pekerjaan yang sederhana, seperti mandi, menyikat gigi, berpakaian, menyisir rambut, dan lain-lain.

30(69,8%) 5(11,6%) 4(9,3%) 1(2,3%)

Keluarga menegur anak bila dalam melakukan

pekerjaannya terdapat sedikit ketidakrapian.

31(72,1%) 5(11,6%) 2(4,7%) 2(4,7%)

Berdasarkan kategori dukungan emosional terlihat bahwa mayoritas responden 28 responden(70%) dalam kategori sangat baik.

Tabel 5.9.Distribusi Frekuensi Tingkat Dukungan Emosional Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

Kategori Dukungan Frekuensi Persentase

Kurang 0 0

Cukup 0 0

Baik 12 30

Sangat baik 28 70


(55)

Tabel 6.0.Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom di YPAC Medan Tahun 2009 (n=40)

Kategori Dukungan Frekuensi Persentase

Kurang 0 0

Cukup 0 0

Baik 3 7.5

Sangat baik 37 92.5

Jumlah 40 100

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik demografi

Hasil penelitian tentang karakteristik demografi pada keluarga dengan anak Down Sindrom di YPAC Medan adalah mayoritas usia ibu yang melahirkan anak dengan Down sindrom adalah antara usia 35-39 tahun dan 40-45 tahun sebanyak 16 orang (40%). Data ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Down Sindrom banyak dilahirkan oleh ibu berumur diatas usia 35 tahun (Kumala, 2007). Hal ini dapat terjadi juga karena faktor kelainan kehamilan, kelainan endokrin pada ibu, dan faktor usia ayah, walaupun kemungkinan hanya 5% dari kasus down sindrom yang ada. Hasil penelitian tentang karakteristik keluarga yang lain dapat diketahui bahwa sebagian besar orang tua mempunyai tingkat pendidikan SMA (75%). Pekerjaan ayah (50%) PNS, sedangkan hampir semuanya (55%) ibu tidak bekerja. Sebagian besar keluarga (42,5%) mempunyai penghasilan Rp.1000.000 – Rp.3000.000. Dimana keluarga (65%) setiap saat bersama anak tersebut, dengan bentuk keluarga adalah keluarga besar (57,5%). Data ini dapat mendukung untuk bahasan tentang dukungan sosial keluarga.


(56)

5.2.2 Tingkat Dukungan Keluarga Terhadap Anak Down Sindrom

Dari hasil penelitian tentang dukungan sosial keluarga pada umumnya menunjukkan bahwa sebagian besar (92,5%) keluarga mempunyai anak down sindrom di YPAC Medan telah memberikan dukungan sosial keluarga dengan sangat baik, Dukungan informasi termasuk dalam kategori sangat baik (75%). Hal ini dikaitkan dengan tingkat pendidikan yaitu, mayoritas keluarga mempunyai tingkat pendidikan SMA sebesar (75%). Keluarga yang tingkat pendidikan lebih tinggi akan berusaha untuk memperluas pengetahuannya tentang berbagai hal, sehingga dapat menyampaikan beraneka ragam informasi dengan benar dan dengan bahasa yang dimengerti oleh anggota keluarga lain. Pada keluarga dengan anak down sindrom yang berlatar belakang pendidikan tinggi dapat membantu anak untuk dapat lebih mengerti tentang lingkungan disekitarnya. Pemberian informasi mengenai berbagai hal pada anggota keluarga lain merupakan bentuk dari dukungan informasi. Caplan (1976 dalam Friedman, 1998) menegaskan bahwa keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar) informasi tentang dunia.

Dukungan penilaian dalam kategori sangat baik (75%), hal ini sesuai dengan fungsi keluarga yaitu fungsi afektif. Fungsi afektif berhubungan dengan fungsi-fungsi internal keluarga. Perlindungan dan dukungan psikososial bagi para anggotanya. Keluarga melakukan tugas-tugas yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi anggota keluarga dengan memenuhi kebutuhan sosio-emosional anggotanya, mulai dari tahun-tahun awal kehidupan individu dan terus berlangsung sepanjang hidupnya.


(57)

Dukungan instrumen dalam kategori sangat baik (70%), Hal ini dikaitkan dengan tingkat penghasilan keluarga, Mayoritas keluarga mempunyai tingkat sebesar Rp 1.000.000 - Rp 3.000.000 (42,5%). Caplan (1976 dalam Friedman, 1998) menegaskan bahwa dukungan instrumen yaitu dukungan yang diberikan keluarga berupa sumber pertolongan praktis dan konkrit. Dari teori ini, penghasilan keluarga dibutuhkan untuk dapat memberikan dukungan instrumen tersebut pada setiap anggota keluarga seperti makanan, pakaian, biaya sekolah, obat-obatan, dan juga permainan. Pada keluarga yang mempunyai anak down sindrom tentunya mempunyai kebutuhan yang lebih ekstra dari anak- anak yang biasa, karena perkembangan anak yang lambat dan memerlukan fasilitas yang mendukung perkembangan anak tersebut. Makanan yang bargizi, permainan yang khusus dan juga sekolah yang khusus merupakan fasilitas yang dapat membantu perkembangan anak down sindrom. Diperkuat oleh Dra. Frieda Mangunsong (2003) yang mengatakan, masih banyak anak down sindrom di Indonesia yang sangat terbelakang karena keluarga kurang mampu untuk membawakan anak ketempat perawatan yang intensif sedini mungkin.

Dukungan emosional dalam kategori sangat baik (70%). Hal ini dikaitkan dengan bentuk keluarga pada anak yang menderita down sindrom di YPAC Medan, yaitu (57,5%) keluarga besar. Hal ini sesuai dengan sistem keluarga di Indonesia. Koentjoroningrat (1991 dalam Friedman, 1998) menegaskan bahwa sebagian besar keluarga di Indonesia mempunyai sistem keluarga extended family yaitu keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya kakek, nenek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi dan sebagainya. Sistem keluarga ini dikarakteristikkan dengan hubungan yang kuat dan solidaritas di antara anggota


(58)

keluarga. Diharapkan dengan banyaknya anggota keluarga yang mempunyai hubungan yang kuat dan solidaritas dapat lebih memberikan dukungan sosial yang baik, seperti memberikan dukungan emosional dengan memberikan curahan kasih sayang dan perhatian pada anak dengan down sindrom. Dukungan emosional yang sangat baik juga dikaitkan oleh jumlah anak yang di asuh dalam keluarga. Pada penelitian ini sebagian besar > tiga orang (60%). Dapat disimpulkan bahwa jumlah anak banyak yang diasuh di keluarga mungkin juga berpengaruh pada pemberian dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom. Menurut teori, kebanyakan anak dapat menerima dengan baik kenyataan menjadi saudara dari anak dengan down sindrom. Namun penting bagi orang tua untuk waspada terhadap masalah-masalah yang mungkin dihadapi saudara kandung dari anak down sindrom., seperti adanya rasa cemburu karena orang tua lebih memperhatikan anak down sindrom, adanya rasa malu kaarena di ejek oleh teman-teman (Selikowizt, 2001). Karenanya, para saudara kandung perlu mengerti tentang tentang down sindrom, mendapat perhatian dari orang tua, mampu mengatasi komentar-komentar dan sikap dari anak-anak lain, sehingga mereka bisa menerima dengan baik anak yang menderita down sindrom tersebut sebagai anggota keluarga mereka. Dengan demikian mereka akan lebih mudah untuk memberikan dukungan emosional pada anak down sindrom.

Dukungan sosial keluarga yang sangat baik dapat disebabkan karena adanya ikatan yang erat antara anggota keluarga dan anak yang menderita down sindrom didukung oleh teori yang mengatakan bahwa keluarga dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga apabila terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga saja akan dapat mempengaruhi seluruh sistem.


(59)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Hasil penelitian tentang karakteristik demografi pada keluarga dengan anak Down Sindrom di YPAC Medan adalah mayoritas usia ibu yang melahirkan anak dengan Down sindrom adalah antara usia 35-39 tahun dan 40-45 tahun sebanyak 16 orang (40%). Hal ini dapat terjadi juga karena faktor kelainan kehamilan, kelainan endokrin pada ibu, dan faktor usia ayah, walaupun kemungkinan hanya 5% dari kasus down sindrom yang ada. Hasil penelitian tentang karakteristik keluarga yang lain dapat diketahui bahwa sebagian besar orang tua mempunyai tingkat pendidikan SMA (75%). Pekerjaan ayah (50%) PNS, sedangkan hampir semuanya (55%) ibu tidak bekerja. Sebagian besar keluarga (42,5%) mempunyai penghasilan Rp.1000.000 – Rp.3000.000. Dimana keluarga (65%) setiap saat bersama anak tersebut, dengan bentuk keluarga adalah keluarga besar (57,5%). Data ini dapat mendukung untuk bahasan tentang dukungan sosial keluarga.

Dari hasil penelitian tentang dukungan sosial keluarga pada umumnya menunjukkan bahwa (92,5%) keluarga mempunyai anak down sindrom di YPAC Medan telah memberikan dukungan sosial keluarga dengan sangat baik. Dengan dukungan informasi termasuk dalam kategori sangat baik (75%), dukungan penilaiaan dalam kategori sangat baik (75%), dukungan instrumen dalam kategori sangat baik (70%), dan dukungan emosional dalam kategori sangat baik (70%). Dukungan sosial yang sangat baik dapat disebabkan karena adanya ikatan yang


(60)

erat antara anggota keluarga dan anak yang menderita down sindrom didukung olen teori yang mengatakan bahwa keluarga dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga apabila terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga saja akan dapat mempengaruhi seluruh sistem. Keluarga juga mempunyai fungsi afektif diantaranya adalah saling mengasuh, memberi cinta kasih dan saling mendukung.

6.2. Saran

6.2.1. Perawat Komunitas

Dukungan sosial keluarga adalah dukungan yang sangat bermanfaat bagi individu. Dukungan sosial keluarga yang sangat baik disebabkan karena adanya ikatan yang erat antara anggota keluarga dan anak yang menderita down sindrom. Oleh karena itu keempat dukungan sosial ini sangat penting. Disarankan bagi perawat komunitas agar tetap memberikan pendidikan/informasi kepada keluarga tentang dukungan sosial yang bermanfaat bagi anak down sindrom sehingga keluarga mendapatkan informasi yang tepat dan benar. Disarankan juga kepada perawat komunitas untuk memotivasi keluarga agar menggunakan keempat komponen dukungan sosial keluarga tersebut..

6.2.2. Keluarga

Bagi keluarga secara bersama-sama memberikan dukungan yang baik (dukungan informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumen, dan dukungan emosional) pada anak sehingga dapat membantu perkembangan anak down sindrom.


(61)

6.2.3. Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dilakukan pada dua Sekolah Luar Biasa(SLB), dengan sampel sebanyak 40 responden, sehingga sampel kurang mendukung / banyak. Hal ini disebabkan karena pada setiap Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak semua anak menderita down sindrom. Dan ini merupakan salah satu keterbatasan peneliti. Oleh karena itu pada penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk mengambil sampel dari beberapa tempat lagi, sehingga hasilnya lebih representatif.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Corwin, Elizabet J. Alih bahasa Pendit Brahm. U. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC, 2001.

Danim, S. (2003). Riset Keperawatan Sejarah & Metodologi. Jakarta: EGC. DSEI. Lebih Banyak Anak Lahir Mengidap Down Sindrom. Dibuka pada website:

http://www.downsed.org, 2008.

Faradz, Sultana MH. Mengenal sindroma down. Dibuka pada website http://www.suaramerdeka.com/harian/0301/08/nas13.htm, 2003.

Friedman, Marrilyn, M. Alih bahasa R.L. Ina Debora. Keperawatan keluarga: teori dan praktik, edisi ketiga. Jakarta: EGC,1998.

Hairunnisa, Konsep Dasar Keperawatan Keluarga. Dibuka pada website: http://basar284.Files.wordpress.com/2008/09/konsep-dasar-keperawatan-keluarga 1.ppt.

Handoko, Iwan. Sindroma down. Dibuka pada website: http//www.klinikku.com/pustaka/medis/cen.Sindromadown.html,2002.

Jana, Anak Down Sindrom. Dibuka pada website:http//www.anakluarbiasa.com/in dex.php?appid=alb&sub=detail&id=16, 2009

Mangunsong, Frieda. Sindroma down bukan penyakit kutukan. Dibuka pada website: http//www.Glorianet.Org/berita/b04079. Html. 2003.

Notoatmodjo, Soekidjo, Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.


(63)

Ramelan, Wahyuning. Mengekspresikan diri dengan Lukisan. Dibuka pada website: http://www.slb-cibinong.net/index.php?menu=news1&id1=4435, 2008.

Selikowizt Mark. Alih bahasa Surjadi Rini. Buku seri keluarga: Mengenal sindroma down. Jakarta: Arcan, 2001.

Susuwongi, Anak Berkebutuhan Khusus – Jangan Sisihkan Anak-anak “Down Syndrome” Itu…dibuka pada website: http://default.tabloidnova.com/articl e.php?name=/24-jam-layani-masalah-down-sindrome&channel=news, 2007

Setiadi. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. (Edisi 1). Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007.

Sudjana. Metode Statistika. (Edisi 5). Bandung: Tarsito, 1992. Smert, Bart. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Smeltzer, Suzane, C. Alih Bahasa Andri Hartono, dkk. Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 vol I. Jakarta: EGC, 2001. Sugiyono. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta, 2003.

Sumadi. Metodologi penelitian. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.

Tunggono, E, Merawat Anak Berkebutuhan Khusus dengan Cinta Kasih. Dibuka pada website http://jendelakeluarga.multiply.com/journal/item/5/Merawat_ Anak_Berkebutuhan_Khusus_dengan_Cinta_Kasih

Vinka, Kumala. 17 Tanda Seseorang Menderita Down Sindrom. Dibuka pada website: http:// www. tanyadokteranda. com/ artikel/ 2007/ 09/ 17-tanda-seseorang -menderita-down-sindrom, 2007.


(64)

Wahjana, Juliani. Bahasa Down Sindrom. Dibuka pada website: http://www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/sindroma_down,2008.


(1)

67

4. Pekerjaan Ibu

1. PNS (Pegawai Negeri Sipil) 2. Pegawai Swasta

3. Wiraswasta.

4. Tidak bekerja.

5. Penghasilan perbulan.

1. < Rp 1.000.000

2. Rp 1.000.000- 3.000.000 3. > Rp 3.000.000

6. Jumlah anak 1. Satu orang 2. Dua orang 3. Tiga orang

4. Lebih dari tiga orang

7. Selain keluarga inti (Ayah + Ibu + Anak) apakah keluarga yang lain tinggal dirumah?

1. Nenek/ Kakek 2. Paman/ Bibi 3. Dan lain-lain 4. Tidak ada

8. Kapan waktu keluarga bersama anak? 1. Pagi hari

2. Sore hari 3. Malam hari 4. setiap saat


(2)

KUESIONER DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA

Petunjuk : di bawah ini terdapat pertanyaan yang menggambarkan keadaan diri anda. Berilah tanda (  ) pada lembar jawaban yang disediakan.

NO PERTANYAAN SL SR KK JR

1. Keluarga mengerti kondisi anak yang mengalami Down Sindrom

(mongoloid)

2. Keluarga berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan penyakit Down Sindrom

3. Keluarga berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan cara meningkatkan perkembangan anak dengan Down Sindrom

4. Keluarga membacakan buku-buku cerita untuk anak yamg menderita Down Sindrom.

5. Keluarga memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh anak dengan bahasa sederhana.

6. Keluarga menemani anak ketika menonton televisi.

7. Keluarga memberikan kesempatan pada anak untuk menceritakan pengalamannya sehari-hari 8. Keluarga mendengarkan

keluhan-keluhan anak yang menderita Down Sindrom.

9. Keluarga memberikan respon atau tanggapan terhadap keluh kesah anak.

10. Keluarga memberikan dorongan pada anak untuk melakukan kegiatan sendiri seperti makan, mandi, dan berpakaian.

11. Keluarga memberikan kesempatan pada anak untuk bermain sendiri atau dengan teman-temannya.

12. Keluarga memberikan makanan dengan menu yang seimbang untuk anak (nasi+lauk+sayur+buah+susu).


(3)

69

13. Keluarga memberikan ruang bermain untuk anak.

14. Keluarga membelikan peralatan menggambar untuk anak.

15. Keluarga memberi kesempatan pada anak untuk mendengarkan musik dari radio, tape, dan televisi.

16. Keluarga membawa anak untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan mendampinginya secara teratur. 17. Keluarga berusaha memberi

ketenangan pada anak bila anak merasa minder dengan keadaannya. 18. Keluarga menegur anak jika ia

membuat kesalahan dalam berbicara. 19. Keluarga memberikan pujian pada

anak setiap ia dapat menyelesaikan pekerjaan yang sederhana, seperti mandi, menyikat gigi, berpakaian, menyisir rambut, dan lain-lain. 20. Keluarga menegur anak bila dalam

melakukan pekerjaannya terdapat sedikit ketidakrapian.

Ket :

SL : Selalu SR :Sering

KK:Kadang-Kadang JR :Jarang


(4)

No Kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Septem- ber

Oktober

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Pengajuan judul penelitian

2. Merevisi judul dan menetapkan judul penelitian 3. Menyiapkan Bab I dan revisi

4. Menyiapkan Bab II dan revisi

5. Menyiapkan Bab III dan revisi

6. Menyiapkan Bab IV dan revisi

7. Revisi keseluruhan

8. Menyiapkan proposal penelitian

9. Pengumpulan proposal penelitian

10. Mengajukan sidang proposal penelitian

11. Perbaikan proposal dan penelitian

12. Pengumpulan data dan analisa data

13. Menyiapkan skripsi

14. Pengumpulan skripsi


(5)

71 Lampiran 4

CURRICULUM VITAE

Nama : Juwariah

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 29 Agustus 1987

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan : 1. 1993 – 1999 : SD Negeri 066658 Medan. 2. 1999 – 2002 : SMP Negeri 38 Medan 3. 2002 – 2005 : SMU Sinar Husni Medan.

4. 2005 – 2010 : Program Studi Ilmu Keperawatan S1 F.Kep-USU


(6)

72 Lampiran 5

PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

Perkiraan biaya yang diperlukan dalam penyelesaian proposal skripsi penelitian ini sebagai berikut:

1. Bahan peralatan.

a. Kertas A4 2 rim x Rp. 35.000,- Rp. 70.000,-

b. Biaya pembelian buku Rp. 200.000,-

c. Biaya rental dan print Rp. 150.000,-

d. Biaya fotokopi Rp. 250.000,-

e. Kuesioner 60 eks x Rp. 600,- Rp. 36.000,-

f. Alat tulis lainnya Rp. 30.000,-

g. Penggandaan proposal 4 eks x Rp. 10.000,- Rp. 40.000,- h. Penggandaan skripsi 4 eks x Rp. 15.000,- Rp. 45.000,- i. Penjilidan proposal skripsi Rp. 60.000,-

j. Transport Rp. 100.000,-

k. Biaya tak terduga Rp.. 98.100,- Total Rp. 1.079.100,-