Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan

(1)

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR PIRNGADI MEDAN

TESIS

Oleh

SUCITA LESTARI N 097032124/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUCITA LESTARI N 097032124/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

Nama Mahasiswa : Sucita Lestari N Nomor Induk Mahasiswa : 0970321124

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

Tanggal Lulus : 6 Agustus 2012

(Raras Sutatminingsih, S.Psi, M.Psi) Anggota

(Prof. dr. Habibah H. Nst, Sp. PD, K.Psi) Ketua


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 6 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Habibah H. Nst, Sp. PD, K.Psi Anggota : 1. Raras Sutatminingsih, S.Psi, M.Psi

2. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H 3. Dr. Namora Lumongga Lubis, M.Sc


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP KEJADIAN STROKE BERULANG DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2012

Sucita Lestari N 097032124/IKM


(6)

ABSTRAK

Stroke dapat menimbulkan akibat yang bervariasi pada penderitanya. Pada kasus stroke berat dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada kasus ringan (tidak meninggal) kemungkinan dapat terjadi stroke berulang. Risiko kematian pada 5 tahun pasca stroke 45-61% dan terjadinya stroke berulang 25-37%. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan kasus stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu dari 298 kasus stroke tahun 2009 menjadi 363 kasus stroke tahun 2010. Keluarga sebagai sumber dukungan sosial berperan dalam menjaga perilaku penderita pasca stroke dengan memberi dukungan dalam bentuk informasi, penilaian, instrumental dan emosional.

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan rancangan kasus kontrol (case control) yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca stroke yang rawat jalan lebih dari 5 tahun di RSUD dr. Pirngadi Medan dengan jumlah sampel sebanyak 80 orang yang terdiri dari 40 orang kelompok kasus (stroke berulang) dan kelompok kontrol (tidak berulang). Responden pada penelitian adalah keluarga yang mendampingi pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian melalui uji Chi Square memperlihatkan ada pengaruh dukungan informasi dengan p=0,032 dan OR=4,846 (95%CI:1,882-12,482), dukungan penilaian dengan p=0,001 dan OR=3,370 (95%CI:1,070-10,613) dengan kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi medan Tahun 2011. Nilai OR>1 menunjukkan bahwa variabel dukungan informasi dan dukungan penilaian merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang.

Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik berganda dapat disimpulkan bahwa dukungan penilaian merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang dengan nilai β=1,521.

Pihak rumah sakit diharapkan dapat membuat media informasi tentang penyakit stroke, menyelenggarakan seminar tentang stroke dengan bekerjasama dengan institusi pendidikan/perguruan tinggi secara berkesinambungan. Dokter dan perawat juga perlu memperhatikan psikologis penderita begitu juga dengan pihak keluarga. Untuk tahap jangka panjang diharapkan pihak Dinas Kesehatan bekerja sama dengan rumah sakit dapat memfasilitasi perkumpulan khusus (klub stroke) bagi penderita stroke di Kota Medan.


(7)

ABSTRACT

Stroke can result in various effect to its sufferers. Severe stroke can cause mortality while mild stroke does not cause mortality but it can result in recurrent strokes. The death risks in last 5 year after stroke are 45-61% and the risks of secondary stroke are 25-37%. In year 2010 there was increasing stroke cases at Dr. Pirngadi General Hospital Medan from 298 cases in 2009 to 363 cases in 2010. Family as the source of social support in maintening the behaviour of post- stroke sufferers provided support in the forms of information, evaluation, instrument and emotion.

The purpose of this observational analytical study with case-control design was to analyze the influence of social support of family on the incident of recurrent stroke at Dr Pirngadi General Hospital Medan in 2011. The population of this study was the post-stroke patients who have become the out-patients for 5 (five) years at Dr Pirngadi General Hospital Medan. The samples for this study were 80 respondents consisting of the family accompanying the stroke patients who met the criteria of inclusion in which 40 of them belonged to the case group (recurrent stroke) and the other 40 patients belonged to the control group (not recurrent). The data for this study were obtained through structured/questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of Chi-square test showed that there was a influence between information support (p-0.032 and OR=4.846, 95%CI:1.882-12.482), evaluation support (p=0.001 and OR=3.370, 95%CI:1.070-10.613) with the incident of recurrent stroke at Dr Pirngadi General Hospital Medan in 2011. The value of OR>1 showed that the variable of information support and evaluation support were the risk factor of the incident of recurrent stroke.

Based on the result of multiple logistic regression tests showed that evaluation support was the dominant variable influencing the incident of recurrent strokes with β = 1.521.

It is expected that the management of the hospital can make an information media about stroke and cooperate with educational institution/university to

continuosly organize a seminar on stroke. The doctors, nurses and patients’ families also need to pay attention to the patients’ psychological condition. For the long term,

the Medan Municipal Health Service is expected to cooperate with the hospitals to facilitate a special club for the stroke sufferers in the City of Medan.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat kesehatan yang selalu diberikanNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini yang berjudul “Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini telah mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, Sp.PD, K.Psi selaku ketua komisi pembimbing dan Raras Sutatminingsih, S.Psi, M.Psi selaku anggota komisi pembimbing yang penuh perhatian dan dukungan dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan waktu luang untuk membimbing penulis mulai dari tahap awal penyusunan tesis hingga selesai.

6. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H dan Dr. Namora Lumongga Lubis, M.Sc sebagai komisi penguji yang banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, terutama Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

8. dr. Dewi F. Syahnan, Sp. T.H.T selaku Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan dan dr. Goldfried P. Sianturi, Sp.S selaku Ka. SMF Neurologi beserta staf yang telah mengijinkan dan membantu penulis melakukan penelitian di Poli Stroke RSUD dr. Pirngadi Medan.

9. Keluarga besar penulis terutama Ayahanda Suriandi, Ibunda Ermita, S.Sos, Ibuk Gusnimar dan Adinda Ales yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis agar cepat menyelesaikan pendidikan S2 serta teristimewa untuk Uda Refky Jamal, ST yang selalu sabar dan memotivasi penulis hingga saat ini.


(10)

10. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah menjadi sahabat dan selalu bersedia mendengarkan keluh kesah bagi penulis terutama bagi Kk Jasmi, Kk Endam, Bg Hamid, Ozie dan teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Ibarat pepatah “ Tak ada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih ada keterbatasan dan kekurangan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini sehingga menjadi lebih baik dan diharapkan bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2012 Penulis

Sucita Lestari N 097032124/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Sucita Lestari N, lahir pada tanggal 24 Desember 1986 di Kota Bukittinggi, Propinsi Sumatera Barat, anak pertama dari 2 (dua) bersaudara dari pasangan Ayahanda Suriandi dan Ibunda Ermita, S.Sos.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi dan selesai tahun 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 5 Bukittinggi dan selesai tahun 2001, Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 4 Bukittinggi dan selesai tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU (FKM-USU) dan selesai tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Program Studi S2 IKM dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku di Fakultas Kesehatan Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2009 hingga saat ini.

Mulai bekerja sebagai dosen tidak tetap di Akademi Kebidanan Delima Yayasan Bina Semai Insani tahun 2010, kemudian mulai tahun 2011 diangkat menjadi dosen tetap di STIKes Helvetia Medan dan sekaligus bekerja sebagai Staf Administrasi pada Program Studi S2 IKM STIKes Helvetia Medan hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Stroke ... 11

2.1.1. Definisi Stroke ... 11

2.1.2. Klasifikasi Stroke ... 12

2.1.3. Faktor Risiko Stroke ... 13

2.2. Perilaku Kesehatan dalam Upaya Pencegahan Stroke ... 17

2.2.1. Perilaku Kesehatan ... 17

2.2.2. Upaya Pencegahan Stroke ... 20

2.3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga ... 24

2.3.1. Definisi Keluarga ... 24

2.3.2. Fungsi dan Tugas Kesehatan Keluarga ... 26

2.3.3. Bentuk Dukungan Sosial Keluarga ... 30

2.3.4. Sumber Dukungan Keluarga ... 34

2.3.5. Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penderita Stroke ... 35

2.4. Landasan Teori ... 43

2.5. Kerangka Konsep ... 45

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46

3.1. Jenis Penelitian ... 46

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 47

3.2.2. Waktu Penelitian ... 47


(13)

3.3.1. Populasi ... 47

3.3.2. Sampel ... 48

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 51

3.4.1. Jenis Data ... 51

3.4.2. Pengumpulan Data ... 51

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 53

3.4.4. Normalitas Data ... 54

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 55

3.5.1. Variabel ... 55

3.5.2. Definisi Operasional ... 55

3.6. Metode Pengukuran ... 56

3.6.1. Pengukuran Variabel Independent ... 57

3.6.2. Pengukuran Variabel Antara ... 59

3.6.3. Pengukuran Variabel dependent ... 60

3.7. Metode Analisis Data ... 61

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1. Gambaran Umum RSUD dr. Pirngadi Medan ... 63

4.2. Analisis Univariat ... 66

4.2.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 66

4.2.2. Distribusi Frekuensi Karakterisik Penderita Stroke ... 68

4.3. Analisis Bivariat ... 70

4.3.1. Pengaruh Pencegahan Stroke terhadap Kejadian Stroke Berulang ... 71

4.3.2. Pengaruh Dukungan Informasional dengan Pencegahan Stroke Berulang ... 71

4.3.3. Pengaruh Dukungan Penilaian dengan Pencegahan Stroke Berulang ... 72

4.3.4. Pengaruh Dukungan Instrumental dengan Pencegahan Stroke Berulang ... 73

4.3.5. Pengaruh Dukungan Emosional dengan Pencegahan Stroke Berulang ... 74

4.4. Analisis Multivariat ... 74

BAB 5. PEMBAHASAN ... 77

5.1. Dukungan Sosial Keluarga pada Penderita Stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 77

5.2. Pencegahan Stroke Berulang pada Penderita Stroke Rawat Jalan di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 78

5.3. Pengaruh Dukungan Informasional Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 84

5.4. Pengaruh Dukungan Penilaian Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 86


(14)

5.5. Pengaruh Dukungan Instrumental Keluarga terhadap Kejadian

Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 88

5.6. Pengaruh Dukungan Emosional Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 91

5.7. Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 96

5.8. Keterbatasan dan Kelemahan dalam Penelitian ... 97

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

6.1. Kesimpulan ... 100

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(15)

DAFTAR TABEL

No. JUDUL Halaman 2.1. Faktor Risiko Stroke ... 13 2.2. Skala Rankin Untuk Kecacatan Stroke ... 37 3.1. Blue Print Kuesioner Dukungan Sosial Keluarga (Friedman, 1998 &

Nursalam, 2006) ... 52 3.2. Blue Print Kuesioner Pencegahan Stroke Berulang (Sutrisno, 2007 &

Pinzon, 2010) ... 53 4.1. Distribusi Jenis Ketenagaan di RSUD dr. Pirngadi Medan ... 64 4.2. Karakteristik Responden/Keluarga Penderita Stroke di RSUD dr. Pirngadi

Medan Tahun 2011 ... 66 4.3. Karakteristik Penderita Stroke yang Rawat Jalan di RSUD dr. Pirngadi

Medan Tahun 2011 ... 68 4.4. Pengaruh Pencegahan Stroke terhadap Kejadian Stroke Berulang

di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 71 4.5. Pengaruh Dukungan Informasional terhadap Kejadian Stroke Berulang

di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 71 4.6. Pengaruh Dukungan Penilaian terhadap Kejadian Stroke Berulang

di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 72 4.7. Pengaruh Dukungan Instrumental terhadap Kejadian Stroke Berulang

di RSUD dr, Pirngadi Medan Tahun2011 ... 73 4.8. Pengaruh Dukungan Emosional terhadap Kejadian Stroke Berulang

di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 ... 74 4.9. Identifikasi Variabel Dominan Dukungan Sosial Keluarga dalam Kejadian


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. JUDUL Halaman 2.1. Kerangka Konsep ... 45 3.1. Rancangan Penelitian Kasus Kontrol ... 46


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. JUDUL Halaman

1. Kuesioner Penelitian... 108

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 116

3. Output Kasus ... 121

4. Output Kontrol ... 129

5. Uji Normalitas ... 137

6. Uji Bivariat ... 138

7. Uji Multivariat... 147

8. Master Data Kasus & Kontrol... 149

9. Surat Izin Penelitian ... 159


(18)

ABSTRAK

Stroke dapat menimbulkan akibat yang bervariasi pada penderitanya. Pada kasus stroke berat dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada kasus ringan (tidak meninggal) kemungkinan dapat terjadi stroke berulang. Risiko kematian pada 5 tahun pasca stroke 45-61% dan terjadinya stroke berulang 25-37%. Pada tahun 2010 terjadi peningkatan kasus stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu dari 298 kasus stroke tahun 2009 menjadi 363 kasus stroke tahun 2010. Keluarga sebagai sumber dukungan sosial berperan dalam menjaga perilaku penderita pasca stroke dengan memberi dukungan dalam bentuk informasi, penilaian, instrumental dan emosional.

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan rancangan kasus kontrol (case control) yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca stroke yang rawat jalan lebih dari 5 tahun di RSUD dr. Pirngadi Medan dengan jumlah sampel sebanyak 80 orang yang terdiri dari 40 orang kelompok kasus (stroke berulang) dan kelompok kontrol (tidak berulang). Responden pada penelitian adalah keluarga yang mendampingi pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian melalui uji Chi Square memperlihatkan ada pengaruh dukungan informasi dengan p=0,032 dan OR=4,846 (95%CI:1,882-12,482), dukungan penilaian dengan p=0,001 dan OR=3,370 (95%CI:1,070-10,613) dengan kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi medan Tahun 2011. Nilai OR>1 menunjukkan bahwa variabel dukungan informasi dan dukungan penilaian merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang.

Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik berganda dapat disimpulkan bahwa dukungan penilaian merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang dengan nilai β=1,521.

Pihak rumah sakit diharapkan dapat membuat media informasi tentang penyakit stroke, menyelenggarakan seminar tentang stroke dengan bekerjasama dengan institusi pendidikan/perguruan tinggi secara berkesinambungan. Dokter dan perawat juga perlu memperhatikan psikologis penderita begitu juga dengan pihak keluarga. Untuk tahap jangka panjang diharapkan pihak Dinas Kesehatan bekerja sama dengan rumah sakit dapat memfasilitasi perkumpulan khusus (klub stroke) bagi penderita stroke di Kota Medan.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Stroke merupakan salah satu masalah besar di bidang kesehatan masyarakat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai terjadinya gejala klinis yang cepat berupa gangguan fungsi serebral dengan symptom yang berlangsung selama 24 jam atau lebih tanpa adanya kausa yang jelas selain yang berasal dari sistem vaskuler. Dari seluruh kondisi kronis, stroke dianggap sebagai kelainan yang paling menyebabkan ketidakberdayaan (disabling) (Suwantara, 2004).

Menurut taksiran WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama penyebab kematian setelah jantung dan kanker. Setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa serangan stroke berulang (Sutrisno, 2007). Davenport, R & Dennis, M (2000) juga mengungkapkan bahwa 10-16% penderita stroke memiliki risiko untuk mengalami serangan ulang dan risiko kematian akibat stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.


(20)

Di Indonesia, stroke juga menempati posisi ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52% per 100.000 penduduk Indonesia berumur di atas 65 tahun ditaksir terkena stroke, sedangkan jumlah orang yang meninggal dunia akibat stroke diperkirakan 125.000 jiwa per tahun (Sutrisno, 2007).

Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh Indonesia. Dari data epidemiologi di Indonesia diketahui bahwa beberapa rumah sakit di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia kurang lebih 50% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit saraf adalah pasien stroke dan kurang lebih 5 persennya meninggal karena stroke (Grehenson, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Situmorang (2010) di RSUD dr. Pirngadi Medan diketahui bahwa dari 298 orang penderita stroke yang dirawat inap pada tahun 2009, 114 orang diantaranya meninggal dunia dengan Case Fatality Rate (CFR) 38,25%. Penderita stroke yang meninggal tersebut 63% akibat serangan stroke pertama dan 37% lagi akibat stroke berulang (pernah mengalami stroke sebelumnya). Berdasarkan faktor risiko stroke yang dialami oleh penderita stroke tersebut diketahui tertinggi (55,3%) karena menderita hipertensi dan terendah (0,9%) karena hiperkolesterol.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan diketahui bahwa pada tahun 2010 terjadi peningkatan kasus stroke di RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu dari 298 kasus stroke tahun 2009 menjadi 363 kasus stroke tahun 2010. Menurut Amri Amir pada


(21)

Harian Online Sumut Pos Maret 2010, terdapat 10-20 pasien stroke yang datang berobat ke RSU dr. Pirngadi setiap harinya. Pada kasus stroke, akibat yang dialami oleh pasien dapat bervariasi. Pada kasus stroke berat dapat terjadi kematian, sedangkan pada kasus ringan (tidak meninggal) dapat terjadi beberapa kemungkinan seperti stroke berulang, dementia dan depresi. Stroke berulang merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan pasien stroke karena dapat memperburuk keadaan dan meningkatkan biaya perawatan.

Pinzon & Asanti (2010) mengungkapkan bahwa serangan stroke berulang umum dijumpai. Serangan stroke berulang lebih berakibat fatal daripada serangan stroke yang pertama. Pinzon & Asanti (2010) mengutip beberapa hasil penelitian tentang stroke berulang antara lain; penelitian Xu tahun 2007 memperlihatkan bahwa serangan stroke berulang pada tahun pertama dijumpai pada 11,2% kasus, penelitian lain oleh Leira tahun 2004 pada 1.266 pasien stroke menunjukkan bahwa serangan stroke berulang pada tiga bulan pertama adalah sebanyak 4,9%, pengamatan Hardi, tahun 2005 selama 5 tahun pasca serangan stroke, serangan stroke berulang dijumpai pada 32% kasus. Hal ini berarti sepertiga pasien stroke akan mengalami serangan stroke dalam 5 tahun pasca serangan stroke pertama.

Selanjutnya Siswanto (2005) juga mengungkapkan bahwa diperkirakan 25% orang yang sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke berulang dalam kurun waktu 5 tahun. Hasil penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa terjadinya risiko kematian pada 5 tahun pasca stroke adalah 45-61% dan terjadinya stroke berulang 25-37%. Menurut studi Framingham, insiden stroke berulang dalam


(22)

kurun waktu 4 tahun pada pria 42% dan wanita 24%. Makmur, T, Anwar, Y, dkk (2002) mendapatkan kejadian stroke berulang 29,52%, yang paling sering terjadi pada usia 60-69 tahun (36,5%), dan pada kurun waktu 1-5 tahun (78,37%) dengan faktor risiko utama adalah hipertensi (92,7%) dan dislipidemia (34,2%).

Berdasarkan hasil penelitian Siswanto (2005) dengan menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol diketahui terdapat 4 faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang yaitu tekanan darah sistolik ≥140 mmHg (OR= 7,04), kadar gula darah >200 mg/dl (OR= 5,56), kelainan jantung (OR= 4,62) dan ketidakteraturan berobat (OR= 4,39). Untuk itu disarankan agar pasien pasca stroke untuk melakukan pengobatan secara rutin dan informasi tentang faktor-faktor risiko stroke berulang serta pengendaliannya penting untuk diberikan. Apabila tidak ada upaya penanggulangan stroke yang lebih baik maka jumlah penderita stroke pada tahun 2020 diprediksikan akan meningkat 2 kali lipat. Oleh karena itu upaya global yang bertaraf Internasional perlu dilakukan untuk melawan ancaman stroke yang mendunia (Hernowo, 2007). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan upaya pencegahan sekunder dengan mengendalikan faktor-faktor risiko stroke berulang dan upaya ini sangat berkaitan dengan perilaku kesehatan pasien pasca stroke.

Penderita pasca terserang stroke harusnya menjalani 2 proses penyembuhan utama. Pertama adalah penyembuhan dengan obat-obatan di rumah sakit. Kontrol yang ketat harus dilakukan untuk menjaga agar kadar kolesterol jahat (LDL) dapat diturunkan dan tidak bertambah naik. Selain itu, penderita juga dilarang makan


(23)

makanan yang dapat memicu terjadinya serangan stroke berulang seperti junk food dan garam (dapat memicu hipertensi). Proses penyembuhan kedua adalah fisiotherapy, yaitu latihan otot-otot untuk mengembalikan fungsi otot dan fungsi komunikasi agar mendekati kondisi semula. Fisioterapi dilakukan bersama instruktur fisioterapi, dan pasien harus taat pada latihan yang dilakukan. Jika fisioterapi ini tidak dijalani dengan sungguh-sungguh, maka dapat terjadi kelumpuhan permanen pada anggota tubuh yang pernah mengalami kelumpuhan.

Kesembuhan pada penderita stroke sangat bervariasi. Ada yang bisa sembuh sempurna (100 %), ada pula yang cuma 50 % saja. Kesembuhan ini tergantung dari parah atau tidaknya serangan stroke, kondisi tubuh penderita, ketaatan penderita dalam menjalani proses penyembuhan, ketekunan dan semangat penderita untuk sembuh, serta dukungan dan pengertian dari seluruh anggota keluarga penderita. Menurut survei nasional Gallop dalam Friedman (1998), menyatakan bahwa saat berhubungan dengan masalah kesehatan, kebanyakan individu mendapatkan lebih banyak bantuan dari keluarga mereka daripada pihak lainnya, bahkan petugas kesehatan sekalipun, sehingga keluarga harus mampu memodifikasi perannya serta mampu beradaptasi dengan status kesehatan keluarga yang didapat.

Pada kenyataannya dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga tersebut tidaklah mudah karena keluarga kadang merasa malu dan berpandangan bahwa stroke merupakan penyakit yang merepotkan. Seringkali ditemui bahwa penderita stroke yang dapat pulih kembali menderita depresi hebat karena keluarga mereka tidak mau mengerti dan merasa sangat terganggu dengan penyakit yang dideritanya (seperti


(24)

sikap tidak menerima keadaan penderita, perlakuan kasar karena harus membersihkan kotoran penderita, menyerahkan penderita kepada suster yang juga memperlakukan penderita dengan kasar, dan sebagainya). Hal ini yang harus dihindarkan jika ada anggota keluarga yang menderita serangan stroke. Oleh karena itu, penerimaan keluarga terhadap penderita stroke sangat penting. Makin besar keterlibatan keluarga, makin besar pula peluang penderita untuk sembuh (Sutrisno, 2007).

Terkait dengan permasalahan tersebut, teori Snehandu B. Kar menyebutkan ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan seseorang yaitu; niat seseorang untuk bertindak, dukungan sosial, ada tidaknya informasi, otonomi pribadi untuk bertindak, dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak (Notoatmodjo, 2007). Dari teori tersebut dapat diketahui bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang memengaruhi seseorang untuk berperilaku kesehatan, dalam hal ini dukungan sosial yang dimaksud adalah dukungan yang bersumber dari keluarga sehingga disebut sebagai dukungan sosial keluarga.

Menurut Friedman dalam Setiadi (2008), dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial. Caplan dalam Friedman (1998) mengungkapkan bahwa bentuk dukungan sosial yang diberikan keluarga dapat berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional.

Lebih lanjut Keliat (1996) menjelaskan bahwa keluarga memiliki peran sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit pasien. Bentuk dukungan itu dapat berupa kesempatan untuk bercerita, meminta


(25)

pertimbangan, bantuan nasehat, atau bahkan tempat untuk mengeluh. Selain itu dapat juga berupa perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi, pemberian penghargaan atau bentuk penilaian yang berupa pujian dari keluarga.

Berikut ini beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan dukungan sosial keluarga kepada penderita stroke. Penelitian Astuti (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita pasca stroke di RSUD UNDATA di Surakarta menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita stroke. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diperoleh penderita stroke maka akan semakin tinggi kestabilan emosi, begitu pula sebaliknya.

Penelitian Natalia (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dalam latihan fisik dengan derajat kekuatan otot pasien pasca stroke iskemik di RS Dirgahayu Samarinda menunjukkan adanya korelasi antara dukungan keluarga dan tingkat kekuatan otot pasien pasca stroke iskemik. Perawat atau pemberi perawatan dianjurkan untuk melibatkan keluarga sebagai dukungan dalam latihan fisik.

Penelitian Wurtiningsih (2010) tentang dukungan keluarga pada pasien stroke di ruang B1 Saraf RSUP Dr. Kariadi Semarang menyimpulkan bahwa keluarga sudah memberikan dukungan informasional tentang penyakit stroke pada pasien, memberikan perhatian sebagai bentuk dukungan emosional, dukungan instrumental dilakukan dengan cara membantu pasien melakukan latihan rentang gerak sendi, memberikan makan melalui selang, membantu mengontrol obat jika habis dan dukungan penghargaan umumnya diberikan dalam bentuk sikap.


(26)

Penelitian Lindawati (2009) tentang hubungan dukungan keluarga dengan kejadian depresi pasien pasca serangan stroke di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. M. Djamil Padang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dukungan emosional dan dukungan penghargaan dengan kejadian depresi pasca serangan stroke.

Penelitian Wulandari dalam Elfita (2009) berikut ini lebih menggambarkan bagaimana keluarga melakukan perawatan pada penderita pasca stroke di rumah, namun masih terdapat beberapa sikap dan tindakan keluarga yang bertolak belakang dalam memberikan dukungan yaitu; pada umumnya keluarga telah memahami bagaimana cara memberikan perawatan kepada penderita stroke karena mereka telah mendapatkan penjelasan pada saat di rumah sakit, tetapi tidak semua program perawatan penderita pasca stroke didukung oleh keluarga. Hal ini dapat dilihat dari sikap keluarga yang tetap memperbolehkan penderita minum kopi dan merokok. Selain itu, keluarga sudah menyetujui untuk melakukan latihan pada unit-unit fisioterapi, tetapi tidak melakukan action untuk membawa penderita ke unit fisioterapi. Keluarga memahami bagaimana melakukan latihan rentang gerak dan sendi pada penderita, tetapi keluarga tidak memberikan latihan secara rutin. Kemudian keluarga berpendapat bahwa pemberian obat antihipertensi tidak perlu diberikan secara rutin. Di sisi lain, keluarga sangat mendukung pemberian diet rendah garam pada penderita.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga penting dalam upaya pencegahan stroke karena sebagian besar faktor risiko serangan


(27)

stroke dapat dimodifikasi dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Dalam kehidupan pasien sehari-hari di lingkungan keluarga, anggota keluarga seharusnya memperhatikan bagaimana perilaku pasien terhadap pencegahan stroke, sehingga tidak menimbulkan kerugian yaitu dengan pengobatan teratur, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum alkohol, diet garam atau lemak dan memeriksakan anggota keluarga yang sakit.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitiannya adalah bagaimana pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011.


(28)

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Rumah Sakit

Sebagai bahan pertimbangan bagi RSUD dr. Pirngadi Medan dalam upaya promosi kesehatan dengan memberi informasi kepada keluarga penderita stroke tentang pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan terjadinya stroke berulang.

1.5.2. Tenaga Kesehatan

Sebagai bahan masukan bagi dokter, perawat maupun terapis tentang pentingnya informasi bagi keluarga tentang pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan terjadinya stroke berulang.

1.5.3. Keluarga

Dapat menambah pengetahuan keluarga tentang pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan kejadian stroke berulang.

1.5.4. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memperkaya khasanah keilmuan dan pengembangan penelitian selanjutnya yang terkait dengan dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan kejadian stroke berulang.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke

2.1.1. Definisi Stroke

Menurut Sofwan (2010), stroke dalam bahasa Inggris berarti “pukulan”. Ada banyak sekali terminologi dan definisi stroke. Salah satunya, stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologi dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat (Dewanto, G, dkk, 2009).

Pinzon & Asanti (2010) mendefinisikan stroke sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem syaraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Gangguan peredaran otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluhnya darah di otak.

WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik fokal maupun global (menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah otak, yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah di otak yang berlangsung selama 24 jam atau lebih (Sutrisno, 2007).

Jadi dapat disimpulkan bahwa stroke adalah gangguan aliran suplai darah ke otak yang terjadi secara mendadak yang dapat menimbulkan kecacatan menetap atau bahkan kematian.


(30)

2.1.2. Klasifikasi Stroke

Menurut Michel dalam Pinzon & Asanti (2010), secara patologi ada dua macam stroke, yaitu stroke sumbatan (stroke iskemik) dan stroke perdarahan (stroke hemoragik). Stroke sumbatan terjadi ketika pembuluh darah ke otak mengalami sumbatan. Stroke perdarahan terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menuju ke otak.

Untuk lebih jelasnya pembagian stroke sebagai berikut (Sofyan, 2010) : 1) Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya pembuluh darah dalam otak yang pecah sehingga darah yang keluar dari pembuluh darah tersebut dipaksa masuk ke dalam jaringan otak, kemudian merusak sel-sel otak di daerah tertentu, sehingga pada akhirnya bagian otak yang terkena tidak dapat berfungsi dengan baik. Stroke hemoragik terbagi lagi menjadi dua tipe yaitu (1) Perdarahan Subaraknoid (PSA); dan (2) Perdarahan Intraserebral (PIS).

2) Stroke iskemik

Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan karena adanya hambatan atau sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga daerah otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut tidak mendapat pasokan energy dan oksigen, sehingga pada akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah tersebut mati dan tidak berfungsi lagi. Stroke iskemik dibagi menjadi beberapa tipe menurut penyebabnya antara lain trombosis (terjadi di pembuluh darah yang besar),


(31)

lakunar (terjadi di pembuluh darah yang kecil) dan emboli serebral (terjadi karena adanya gumpalan darah/bekuan darah).

2.1.3. Faktor Risiko Stroke

Seseorang menderita stroke karena memiliki faktor risiko stroke. Faktor risiko stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.

Tabel 2.1. Faktor Risiko Stroke

Faktor yang Tidak Dapat Diubah Faktor yang Dapat Diubah

Usia tua Hipertensi

Jenis kelamin laki-laki Diabetes Melitus

Ras Dislipidemia

Riwayat keluarga Merokok

Riwayat stroke sebelumnya Obesitas

Sumber : Pinzon & Asanti, 2010

Untuk lebih jelasnya faktor-faktor risiko stroke tersebut diuraikan sebagai berikut (Wahyu, 2009) dan (Pinzon&Asanti, 2010) :

a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah a.1. Usia

Meskipun stroke dapat menyerang segala usia, diketahui bahwa mereka yang berusia lanjut lebih berisiko terserang penyakit yang berpotensi mematikan dan menimbulkan kecacatan tetap. Setelah mencapai usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga kasus stroke diidap oleh mereka yang berusia 65 tahun. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Pinzon&Asanti (2010) bahwa semakin tua usia seseorang


(32)

akan semakin mudah terserang stroke. Stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% kasus stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun.

a.2. Jenis Kelamin

Stroke lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki berisiko terserang stroke dibandingkan wanita. Namun, kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita dibandingkan laki-laki karena umumnya wanita terserang stroke pada usia yang lebih tua. Pinzon & Asanti (2010) juga mengatakan bahwa laki-laki lebih mudah terkena stroke. Hal ini dikarenakan lebih tingginya angka kejadian faktor risiko stroke (hipertensi) pada laki-laki.

a.3. Riwayat Keluarga

Faktor genetik di dalam keluarga juga merupakan faktor risiko stroke. Beberapa penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi diketahui dapat diturunkan secara genetik dari seseorang kepada keturunannya. Hertzberg, dkk dalam Pinzon & Asanti (200) mengungkapkan bahwa risiko stroke meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke. Seseorang dengan riwayat keluarga stroke lebih cenderung menderita diabetes dan hipertensi. Hal ini mendukung hipotesis bahwa peningkatan kejadian stroke pada keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya faktor risiko stroke. a.4. Ras atau Etnis

Insidensi dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih tinggi pada kelompok ras Afro-Amerika dibandingkan ras Eropa-Amerika. Namun, di


(33)

Indonesia pengaruh perbedaan faktor ras terhadap stroke tidak diketahui dengan pasti. Pinzon & Asanti (2010) mengatakan bahwa kejadian stroke pada ras kulit berwarna lebih tinggi dari kaukasoid.

b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah b.1. Hipertensi

Pada kondisi tertentu, tekanan darah dapat meningkat melebihi batas normal. Kondisi ini dikenal sebagai hipertensi. Hipertensi yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan tidak diobati dapat berisiko menimbulkan berbagai penyakit, seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal ginjal maupun stroke (Wahyu, 2009).

Seseorang disebut mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmHg atau lebih dari 135/85 mmHg pada individu yang mengalami gagal jantung, insufisiensi ginjal, atau diabetes mellitus. Hipertensi meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada factor risiko lainnya (Pinzon&Asanti, 2010).

b.2. Merokok

Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan peningkatan risiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke). Merokok memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Merokok meningkatkan risiko stroke sampai dua kali lipat. Ada hubungan yang linier antara jumlah batang rokok yang diisap per hari dengan peningkatan risiko stroke. Menurut Olsen


(34)

dalam Pinzon&Asanti (2010), risiko stroke akan bertambah 1,5 kali setiap penambahan 10 batang rokok per hari.

b.3. Penyakit jantung

Jenis penyakit atau kelainan jantung yang meningkatkan risiko stroke adalah aritmia jantung. Aritmia merupakan kelainan yang ditandai oleh detak jantung yang tidak teratur. Kelainan detak jantung ini berpotensi menimbulkan suatu bekuan sel trombosit (tromboemboli), yang dapat bermigrasi dari jantung dan menyumbat arteri di otak, menimbulkan stroke tipe iskemik tromboemboli. b.4. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkatkan faktor risiko terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh penyakit metabolisme ini mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding arteri, baik yang berukuran besar (makroangiopati) maupun kecil (mikroangiopati). Dinding arteri yang mengalami kerusakan ini akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel-sel trombosit, kolesterol, dan terjadi penebalan lapisan otot polos di dinding arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik.

b.5. Dislipidemia

Kolesterol dibentuk di dalam tubuh, yang terdiri dari dua bagian utama yaitu kolesterol LDL dan kolesterol HDL. Kolesterol LDL disebut sebagai “kolesterol jahat”, yang membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jumlah kolesterol LDL yang tinggi akan menyebabkan penimbunan kolesterol di dalam sel. Hal ini akan memacu munculnya proses atherosklerosis


(35)

(pengerasan dinding pembuluh darah arteri). Proses atherosclerosis akan menimbulkan komplikasi pada organ target (jantung, otak, dan ginjal). Proses tersebut pada otak akan meningkatkan risiko terkena stroke (Pinzon&Asanti, 2010).

b.6. Obesitas

Seseorang dengan berat badan berlebih memiliki risiko yang tinggi untuk menderita stroke. Penelitian Oki, dkk (2006) menyimpulkan bahwa seseorang dengan indeks massa tubuh ≥ 30 memiliki risiko stroke 2,46 kali disbanding yang memiliki indeks massa tubuh < 30 (Pinzon&Asanti, 2010).

Berbagai faktor risiko stroke harus dikenali dan diobati pada saat pasien masuk RS. Pengendalian faktor risiko mutlak diperlukan untuk mencegah serangan stroke ulang. Hipertensi, diabetes, dislipidemia, merokok, dan faktor lain harus dikenali dan dicari penanganannya.

2.2. Perilaku Kesehatan Dalam Upaya Pencegahan Stroke 2.2.1. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.

Secara lebih rinci perilaku kesehatan itu mencakup ; (1) perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit; (2) perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan; (3)


(36)

perilaku terhadap makanan (nutrition behavior); dan (4) perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior).

Dari empat cakupan perilaku kesehatan tersebut di atas, perilaku yang terkait dengan penelitian ini adalah perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Orang yang sakit akan menyebabkan perubahan peranannya di dalam masyarakat maupun di dalam lingkungan keluarga. Jelasnya, orang yang sakit memasuki posisi baru menurut suatu peranan yang baru pula. Peranan baru bagi orang sakit (pasien) harus mendapat pengakuan dan dukungan dari anggota masyarakat dan anggota keluarga yang sehat secara wajar. Sebab dengan sakitnya salah satu anggota keluarga atau anggota masyarakat maka akan ada lowongan posisi yang berarti juga mekanisme sistem di dalam keluarga atau masyarakat tersebut akan terganggu (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Becker (1979) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2003), perilaku sakit ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala sakit, pengobatan penyakit, dan usaha-usaha untuk mencegah penyakit (Maulana, 2009). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usaha pencegahan penyakit merupakan salah bentuk dari perilaku kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007) terdapat faktor-faktor yang memengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain dijelaskan dari Teori Lawrence Green (1980), Snehandu B.Kar (1983) dan WHO (1984).


(37)

a. Teori Lawrence Green

Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a.1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

a.2. Faktor pendukung (Enabling factor) antara lain ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

a.3. Faktor pendorong (Reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami/istri, orang tua tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

b. Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari :

b.1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention).

b.2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).

b.3. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information).

b.4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy).


(38)

b.5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

c. Teori WHO

Tim kerja dari WHO mengenalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku tertentu karena adanya 4 alasan pokok. yaitu :

c.1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. c.2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada

pengalaman orang lain.

c.3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

c.4. Nilai (value).

Dari ketiga teori perilaku kesehatan tersebut, teori Snehandu B. Kar jelas menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan seseorang adalah adanya dukungan sosial (social-support) dari masyarakat sekitar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang dapat memberi dukungan pada penderita pasca stroke.

2.2.2. Upaya Pencegahan Stroke

Dalam kesehatan masyarakat ada lima tingkatan pencegahan penyakit dari Leavel & Clark, yaitu :

1) Peningkatan kesehatan.

2) Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu. 3) Menegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat.


(39)

4) Pembatasan kecacatan. 5) Pemulihan kesehatan.

Peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit (pre-patogenesis), dan disebut dengan pencegahan primer. Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan adalah usaha-usaha yang dilakukan pada waktu sakit (patogenesis). Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat disebut dengan pencegahan sekunder (seconder prevention), sedangkan pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan disebut pencegahan tersier (tertiary prevention) (Effendy, 1998).

Pencegahan stroke dapat dilakukan dengan menjaga kebiasaan hidup sehat. Kebiasaan hidup sehat itu disebut juga paradigma hidup sehat, yang berisi anjuran :

1) Hentikan merokok,

2) Hentikan kebiasaan minum alkohol, 3) Periksa kadar kolesterol,

4) Periksa dan kontrol penyakit diabetes, 5) Berolahraga secara teratur,

6) Kontrol konsumsi garam, 7) Hindari stres dan depresi,


(40)

Kontrol terhadap penyakit vaskular, seperti : 1) Hipertensi

Hipertensi harus diatasi untuk mencegah terjadinya serangan ulang stroke. Menurut Canadian Hypertension Education Program (CHEP), target tekanan darah untuk pencegahan stroke adalah <140/90mmHg (135/85mmHg untuk pengukuran di rumah).

2) Diabetes

Pada penderita diabetes, tekanan darah tetap kita kontrol dan nilainya <130/80mmHg. Selain itu, kontrol yang paling penting adalah kontrol terhadap kadar glukosa dan dianjurkan mencapai nilai hampir normal untuk mengurangi komplikasi vaskular. Menurut Canadian Diabetes Association, target untuk kadar gula darah adalah 4.0-7.0mmol/L saat puasa dan 5.0-10.0mmol/L 2 jam setelah makan.

3) Kolesterol

Pasien dengan kadar Low Density Lipoproteins-Cholesterol (LDL-C) >2.0 mmol/L harus dilakukan modifikasi gaya hidup, diet, dan pengobatan dengan statin. Hal ini dilakukan sampai didapati kadar LDL-C <2.0 mmol/L.

Kontrol terhadap perilaku yang bisa diubah : 1) Merokok

Semua penderita stroke yang merokok harus dianjurkan berhenti merokok. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan terapi tambahan berupa terapi pengganti nikotin dan terapi perilaku.


(41)

2) Alkohol

Pasien yang merupakan peminum berat seharusnya berhenti atau mengurangi konsumsi alkohol sampai ke titik yang aman, yaitu berkisar 14 minuman dalam 1 minggu untuk pria dan 9 minuman untuk wanita. Tetapi, titik aman tersebut tidak sama untuk semua orang sehingga berhenti mengkonsumsi alkohol lebih baik. 3) Obesitas

Penurunan berat badan merupakan hal yang dianjurkan sampai dicapai BMI 18.5-24.9kg/m2 dan lingkar pinggang <88 cm untuk wanita dan <102 cm untuk pria. Konsumsi makanan rendah lemak dan natrium, dan banyak konsumsi buah dan sayur dianjurkan.

4) Aktivitas fisik

Bagi penderita stroke yang mampu melakukan aktivitas fisik, latihan fisik 30-60 menit seperti berjalan, jogging, bersepeda selama 4-7 hari dalam seminggu dapat mengurangi faktor risiko dan faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian stroke (APSS, 2007 dan AHA, 2006).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko stroke yang dipunyai harus ditanggulangi dengan baik, karena penanganan yang tepat dari faktor risiko tersebut sangat penting untuk prevensi sekunder. Pada kelompok risiko tinggi, setelah terjadi serangan stroke seharusnya menjadi target penanganan secara kontinyu untuk mencegah terjadinya strokeberulang


(42)

2.3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga 2.3.1. Definisi Keluarga

Banyak ahli mendefinisikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan sosial di masyarakat, akan tetapi dari berbagai macam definisi tersebut ada satu kesatuan yang dapat diambil kesimpulan. Berikut ini akan dikemukakan definisi keluarga menurut beberapa ahli (Setyowati dan Murwani, 2008).

1) Duvall dan Logan (1986) menguraikan definisi keluarga adalah “Sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga”.

2) Bailon dan Maglaya (1978) mendefinisikan sebagai berikut: “Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahakan suatu budaya”.

3) Spredley dan Allender (1996), keluarga adalah satu atau lebih individu yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional dan mengembangkan dalam interaksi sosial, peran, dan tugas.

4) BKKBN (1992), keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau suami-istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.


(43)

1) Terdiri dari dua atau lebih individu yang diiikat oleh hubungan perkawinan atau adopsi.

2) Anggota keluarga biasanya hidup bersama-sama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.

3) Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial suami, istri, anak, kakak, adik.

4) Mempunyai tujuan antara lain ; menciptakan dan mempertahankan budaya, serta meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota. Tipe-tipe keluarga secara umum yang dikemukakan untuk mempermudah pemahaman terhadap literature tentang keluarga (Friedman, 1998):

1) Keluarga inti (conjugal) yaitu keluarga yang menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah, terdiri dari suami, istri,dan anak, anak kandung, anak adopsi atau keduanya.

2) Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga yang di dalamnya seseorang dilahirkan.

3) Keluarga besar yaitu keluarga inti dan orang- orang yang berhubungan oleh darah yang paling lazim menjadi anggota keluarga orientasi yang salah satu teman keluarga inti, termasuk sanak keluarga kakek/nenek, tante, paman, dan sepupu.

Berdasarkan beberapa definisi keluarga di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluarga inti dan keluarga


(44)

orientasi yang berkumpul sebagai keluarga besar dimana salah satunya pernah terserang stroke dan masih mengikuti program rawat jalan di rumah sakit.

2.3.2. Fungsi dan Tugas Kesehatan Keluarga a. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Terdapat beberapa fungsi keluarga menurut Friedman dalam Setiawati & Dermawan (2005) yaitu:

a.1. Fungsi afektif

Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga. Merupakan respon dari keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami setiap anggota keluarga baik senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang.

a.2. Fungsi sosialisasi

Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. Bagaimana keluarga produktif terhadap sosial dan bagaimana keluarga memperkenalkan anak dengan dunia luar dengan belajar disiplin, mengenal budaya dan norma melalui hubungan interaksi dalam keluarga sehingga mampu berperan dalam masyarakat.


(45)

Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental, dan spiritual, dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta menngenali kondisi sakit tiap anggota keluarga.

a.4. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga. Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penghasilan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

a.5. Fungsi biologis

Fungsi biologis, bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak dan kelanjutan generasi selanjutnya.

a.6. Fungsi psikologis

Fungsi psikologis, terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih saying dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga. a.7. Fungsi pendidikan

Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya.


(46)

Dari uraian tentang fungsi-fungsi keluarga tersebut dapat diketahui bahwa keluarga memiliki peranan penting dalam membantu anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan termasuk anggota keluarga setelah terserang stroke karena mereka membutuhkan perhatian baik secara moril maupun materil. Keluarga dapat menjalankan berbagai fungsi-fungsi keluarga seperti fungsi afektif, perawatan kesehatan, ekonomi dan psikologis.

b. Tugas Kesehatan Keluarga

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman dalam Setiadi (2008) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu: b.1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya.

b.2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi.


(47)

b.3. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau ke pelayanan kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.

b.4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

b.5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada).

Menurut Effendy (1998) pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut :

1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2) Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.

4) Sosialisasi antar anggota keluarga. 5) Pengaturan jumlah anggota keluarga. 6) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas. 8) Membangun dorongan dan semangat para anggota keluarga.


(48)

Berdasarkan uraian tugas-tugas keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga bertanggung jawab atas kondisi kesehatan anggota keluarganya, apalagi jika anggota keluarga menderita stroke. Stroke termasuk penyakit yang berat karena membuat penderitanya bergantung pada orang lain karena ketidakberdayaan yang disebabkan penyakit tersebut. Keluarga hendaknya mengetahui penyakit yang diderita anggota keluarga, agar bisa mengambil tindakan segera untuk menghindari keterlambatan pertolongan dan mengurangi tingkat keparahannya.

2.3.3. Bentuk Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Sarwono (2003) dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2001) dukungan yaitu suatu usaha untuk menyokong sesuatu atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu. Sarafino (1990) mengatakan bahwa kebutuhan, kemampuan, dan sumber dukungan mengalami perubahan sepanjang kehidupan seseorang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya.

Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dengan dukungan sosial sebagai koping keluarga. Baik dukungan-dukungan sosial keluarga yang eksternal maupun internal terbukti bermanfaat. Friedman (1998) menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan; sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan.


(49)

Friedman (1998) juga menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).

Menurut Taylor (1995), dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai, dan tentram.

Menurut Caplan dalam Friedman (1998) dukungan sosial memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:

1) Dukungan informasional keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. 2) Dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.

3) Dukungan instrumental keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

4) Dukungan emosional keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.


(50)

Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Menurut Nursalam (2006) yang mengutip dari House dalam Depkes (2002) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial menjadi:

1) Dukungan Emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

2) Dukungan Penghargaan

Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).

3) Dukungan Instrumental

Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada orang yang tidak punya pekerjaan.

4) Dukungan Informatif

Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta petunjuk.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dukungan sosial keluarga pada penderita pasca stroke sangat bermanfaat dalam pengendalian diri terhadap tingkat kecemasan akibat ketidakberdayaan fisik dan dapat pula mengurangi


(51)

tekanan-tekanan yang ada pada konflik yang terjadi pada diri penderita akibat penyakit stroke. Dukungan tersebut berupa dorongan, motivasi, empati, ataupun bantuan yang dapat membuat individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman.

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tentang dukungan sosial keluarga pada anggota keluarga yang menderita penyakit tertentu. Hasil penelitian Sebayang (2011) mengungkapkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu sumber penanganan stres yang penting dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang. Dalam penelitiannya tersebut diungkapkan bahwa dukungan sosial keluarga memiliki hubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan (p= 0,028 ρ =-0,388). Oleh karena itu, disarankan kepada perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid sehingga keluarga mampu merawat pasien skizofrenia paranoid dengan baik di rumah.

Hasil penelitian lainnya oleh Sundari (2011) menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (85%) dukungan sosialnya baik dan hampir seluruhnya (85%) juga memiliki tingkat kepatuhan yang baik dalam menjalani terapi hemodialisis. Dari hasil uji didapat nilai ρ< 0,05 maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan klien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi hemodialisis di ruang hemodialisa Siloam Hospitals Surabaya. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa semakin baik dukungan keluarga maka pasien semakin patuh menjalani terapi hemodialisis. Perawat diharapkan juga


(52)

memotivasi keluarga pasien untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien hemodialisa sehingga patuh dalam melakukan terapi hemodialisis.

2.3.4. Sumber Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri, atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Sebuah jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga inti itu sendiri (Friedman, 1998).

Coyne & De longis dalam Lubis, N.L (2009) mengungkapkan bahwa mungkin di satu pihak, bagi mereka yang telah menikah, significant others baginya adalah pendamping hidupnya, karena pendamping hidup dapat dipandang sebagai orang yang paling dapat memberikan dukungan disebabkan kedekatan emosional. Namun di pihak lain mungkin berbeda, pasangan hidup mungkin tidak dapat saling membantu, bahkan sebaliknya dapat menimbulkan konflik bagi penerima dukungan.

Tanakusuma mengisahkan pengalamannya sebagai seseorang yang pernah menderita stroke, bahwa dukungan keluarga sangatlah besar, terutama dukungan istri dan anak-anak. Bahkan sampai saat ini istrinya tetap menemani setiap kali hendak pergi ke klub stroke dan mendampinginya mengikuti senam stroke. Begitu juga halnya dengan Mariani seorang pensiunan dosen FISIP UI yang pernah terserang stroke. Ia memperoleh dukungan dari anak dan keluarga besarnya. Mereka memberikan dukungan moril dan materil pada penyembuhan penyakitnya.


(53)

Penyembuhan stroke membutuhkan biaya besar, maka perhatian dan bantuan dari keluarga amat dibutuhkan (Adinda, 2009).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan mengetahui sumber-sumber dukungan keluarga yang ada maka kita dapat mengetahui sumber-sumber-sumber-sumber dukungan yang efektif dan diperlukan oleh anggota keluarga yang pernah terserang stroke. Keluarga dapat mendorong anggota keluarga pasca stroke untuk mengkomunikasikan kesulitan-kesulitan pribadi secara bebas, diberi nasehat-nasehat dan bimbingan pribadi sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi keluarga.

2.3.5. Dukungan Keluarga Terhadap Penderita Pasca Stroke

Menurut Friedman (1998), manajemen terhadap sakit yang kronis adalah sebuah contoh kasus yang menunjukkan berbagai kemampuan keluarga dalam memberikan dukungan. Penyakit kronis biasanya menuntut pengorbanan ekonomi, sosial dan psikologis. Peran keluarga berbeda-beda, tergantung pada sifat bantuan yang dibutuhkan. Sanak saudara dari keluarga besar terbukti dalam studi-studi riset sebagai tempat permintaan bantuan bencana, bantuan keuangan, bantuan untuk krisis jangka panjang, dan masalah-masalah yang lebih serius.

Setelah menjalani perawatan di RS, ada 3 kemungkinan yang dialami oleh pasien stroke, yaitu : (1) meninggal dunia, (2) sembuh tanpa cacat, dan (3) sembuh dengan kecacatan. Penelitian menunjukkan angka kematian pada stroke berkisar antara 10%-30%. Sebagian kematian dialami dalam waktu 72 jam setelah serangan stroke, dan pada umumnya berhubungan langsung dengan strokenya (stroke yang besar atau lokasi stroke di batang otak). Bila ada 10%-30% kematian akibat stroke,


(54)

maka ada 70%-90% penderita yang hidup pasca stroke. Mereka ini disebut dengan stroke survivors.

Bagi para stroke survivor, masalah belumlah selesai. Stroke dapat memberikan gejala sisa atau dampak lanjut. Bagi para stroke survivors, pencegahan serangan stroke ulang dan penanganan gejala sisa stroke merupakan hal yang utama. Berbagai dampak pasca stroke adalah depresi, kepikunan, gangguan gerak, nyeri, epilepsi, tulang keropos, dan gangguan menelan. Penanganan bersifat individual sesuai kondisi pasien.

Salah satu gejala sisa yang sering dialami pasien stroke adalah kepikunan. Kepikunan (demensia) akibat stroke dapat terjadi dengan segera, atau bertahap sampai dengan 3 bulan pasca stroke. Kejadian demensia pasca stroke adalah berkisar antara 6%-32%. Usia yang tua, hipertensi, dan dislipidemia merupakan faktor yang berperan besar untuk munculnya pikun pasca stroke. Pikun lebih sering dijumpai pada stroke di otak besar (cerebrum) dibanding otak kecil (cerebelum) (Henon, 2006). Penelitian Rasquin, dkk (2005) pada 156 pasien stroke menunjukkan bahwa gangguan memori dijumpai pada 23,4% (hampir seperempat dari seluruh pasien stroke) dalam 1 bulan pasca stroke. Gangguan lain yang seringkali teramati adalah gangguan bicara (18,6%), gangguan berhitung (51,6%), dan depresi (49%).

Kecacatan pasca stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien untuk melanjutkan fungsinya kembali seperti sebelum sakit, dan kemampuan pasien untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin.


(55)

Tabel 2.2. Skala Rankin Untuk Kecacatan Stroke

1 Tidak ada disabilitas yang signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa

2 Disabilitas ringan, tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan

3 Disabilitas sedang, memerlukan sedikit bantuan, tapi dapat berjalan tanpa bantuan

4 Disabilitas sedang-berat, tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan

5 Disabilitas berat, di tempat tidur, inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian

Menurut Silaen, dkk (2008) setelah awal masa rawat inap dan rehabilitasi stroke, 80% dari penderita stroke yang bertahan hidup kembali ke komunitas, bergantung pada emosi anggota keluarga, informasi dan bantuan peralatan untuk hidup sehari-hari. Pengasuh pasien stroke atau keluarga harus berhadapan bukan hanya dengan kesulitan dalam pergerakan, merawat diri dan komunikasi, tetapi juga gangguan kognitif, depresi dan perubahan kepribadian.

Kerusakan otak pasca stroke bagi penderita meminta perhatian besar baik bagi penderita, keluarga dan masyarakat kerena menghambat kemampuan fungsional mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri : kegiatan sehari-hari dan berkomunikasi. Bagi penderita, mengalami stroke merupakan pukulan bagi dirinya yang menimbulkan krisis sosial dan emosional. Ia ingin mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai masalah kesehatannya, implikasinya serta petunjuk penyesuaian terhadap masalah tersebut (Lumban Tobing, 1998).


(56)

Penderita yang tadinya aktif, dapat bekerja, dapat berjalan, berbicara, memberi nasehat, memberi biaya, tiba-tiba tidak berdaya, pingsan, lemah, tergeletak di tempat tidur, harus menginap di rumah sakit. Penyakit ini memaksa penderita menjadi tergantung kepada orang lain, dalam kebutuhan dasar tertentu juga menimbulkan depresi dan berkurangnya harga diri. Mungkin penderita tidak mampu lagi membiayai dirinya sendiri dan tanggungan (bagi kepala keluarga) jika anak-anaknya masih belum dewasa dan mandiri ( Lumban Tobing, 1998).

Kadang-kadang ada usulan dari pihak keluarga untuk menambah pengobatan dari luar medis, hal ini harus di bicarakan dahulu dengan dokter yang merawat. Terkadang timbul pertentangan antara keluarga dan dokter karena bisa mengakibatkan komplikasi pada penderita sehingga mengakibatkan pulang paksa, pindah rumah sakit atau minta ganti dokter (Harsono, 2000).

Sangat diharapkan bahwa keluarga dapat membantu pemulihan penderita stroke. Untuk itu terlebih dahulu diperlukan sikap saling pengertian antara dokter, perawat, fisioterapist, tim rehabilitasi lainnya dengan keluarga perihal keadaan penderita. Tidak jarang terjadi keadaan buntu yang mengakibatkan pulang paksa, keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Yang sering terjadi adalah dana yang kurang untuk membiayai pengobatan. Biasanya hal ini berakhir pada hak sepenuhnya pada penderita atau keluarga (Harsono, 2000).

Pentingnya peran keluarga dalam perawatan penderita pasca stroke dapat dipandang dari berbagai segi yaitu :


(57)

1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya.

2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota.

3) Berbagai pelayanan kesehatan bukan tempat penderita seumur hidup tetapi hanya fasilitas yang membantu pasien dan keluarga mengembangkan kemampuan dalam mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah dan mempertahankan keadaan adaptif.

4) Salah satu faktor penyebab terjadinya stroke berulang adalah keluarga tidak tahu cara menangani perilaku penderita di rumah (Irdawati, 2009).

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga berperan penting dalam proses pemulihan dan penyesuaian kembali setiap penderita stroke. Oleh karena itu, peran serta keluarga dalam proses pemeliharaan dan pencegahan terjadinya serangan ulang sangat diperlukan.

Berdasarkan bentuk-bentuk dukungan keluarga yang diungkapkan oleh Friedman (1998), maka bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh keluarga kepada para stroke survivor antara lain :

1) Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti


(58)

yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Untuk pasien stroke diberikan informasi oleh keluarganya tentang: penyakit stroke serta pengelolaannya. 2) Dukungan penilaian

Keluarga memberikan support, penghargaan, perhatian kepada anggota keluarga yang pernah mengalami stroke. Menurut Cohen dan Mc Kay dalam Niven (2000), dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan, kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga diri pasien.

3) Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya keteraturan menjalani terapi, kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini


(1)

No. Pernyataan Pilihan Jawaban Tidak

Pernah

Kadang-kadang

Sering Selalu 8. Keluarga menyarankan penderita

agar rajin melatih gerakan tubuh untuk mengembalikan fungsi otot. 9. Keluarga lupa menngingatkan

penderita agar kontrol penyakit ke rumah sakit.

10. Keluarga membiarkan saja penderita malas melakukan latihan gerak tubuh.

11. Keluarga menasehati penderita stroke agar menghindari makanan dan minuman yang dapat memicu darah tinggi seperti makanan ringan (snack), daging kambing, kopi, alkohol dll

12. Keluarga membolehkan penderita mengonsumsi makanan apa saja yang disukai meskipun beresiko terhadap kesehatan penderita seperti gorengan, jeroan, makanan lemak bersantan.

13. Keluarga menyarankan penderita untuk rajin mengontrol berat badan dan tekanan darah.

14. Keluarga tidak peduli dengan kenaikan berat badan maupun kondisi tekanan darah penderita stroke.


(2)

b. Dukungan Penilaian No.

Pernyataan

Pilihan Jawaban Tidak

Pernah

Kadang-kadang

Sering Selalu 1. Keluarga memberikan pujian karena

penderita mengalami kemajuan dalam perawatan dan pengobatan stroke yang sedang dijalani seperti sudah mulai membaiknya fungsi gerak tubuh.

2. Keluarga menganggap penderita sama seperti anggota keluarga lainnya yang sehat sehingga penderita tidak merasa menjadi beban keluarga

3. Keluarga cuek saja pada kemajuan kesembuhan penderita.

4. Keluarga memberi semangat kepada penderita bahwa ia pasti bisa pulih kembali seperti semula

5. Keluarga menganggap penderita sebagai orang yang lemah dan tidak berguna akibat penyakit yang diderita 6. Keluarga tetap mengikutsertakan

penderita dalam kegiatan keluarga 7. Keluarga merasa pesimis bahwa

penderita stroke bisa pulih kembali 8. Keluarga tetap meminta pendapat

kepada penderita atas pemecahan masalah keluarga sehingga ia merasa tetap dihargai

9. Keluarga mengasingkan penderita jika ada kegiatan yang melibatkan keluarga besar (menghindari rasa malu)

10. Keberadaan penderita sudah tidak dianggap lagi sehingga pendapatnya tidak perlu didengar

11. Keluarga memberi ungkapan positif baik dalam ucapan maupun ekspresi tubuh atas perubahan kondisi psikologis penderita yang semakin baik seperti biasanya suka murung


(3)

atau menangis dan suka marah sekarang sudah tidak lagi.

12. Keluarga menganggap perkembangan kondisi psikologis penderita tidak perlu diperhatikan.

13. Keluarga memberi semangat secara spiritual/keagamaan kepada penderita stroke.

14. Keluarga membiarkan saja penderita stroke jauh dari aktivitas keagamaan

c. Dukungan Instrumental No.

Pernyataan

Pilihan Jawaban Tidak

Pernah

Kadang-kadang

Sering Selalu 1. Keluarga membiayai pengobatan dan

perawatan penderita

2. Keluarga mencukupi kebutuhan sehari-hari penderita seperti makan dan pakaian

3. Keluarga mengalami kesulitan dalam membiayai pengobatan dan perawatan penderita

4. Keluarga menyediakan tempat istirahat yang nyaman dan layak bagi penderita

5. Keluarga cuek saja pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari penderita seperti makan dan pakaian

6. Keluarga membantu penderita jika ia tidak mampu melakukan perawatan dan kebersihan dirinya sendiri seperti mandi dan buang air

7. Keluarga cuek saja pada ketidaknyamanan dan kelayakan tempat peristirahatan penderita. 8. Keluarga membantu penderita

minum obat secara teratur karena penderita sering lupa atau tidak mampu untuk melakukannya sendiri.


(4)

9. Keluarga membiarkan saja penderita yang mengalami kesulitan untuk merawat dan membersihkan dirinya sendiri.

10. Keluarga tidak membantu penderita yang kesulitan minum obat teratur.

d. Dukungan Emosional No.

Pernyataan

Pilihan Jawaban Tidak

Pernah

Kadang-kadang

Sering Selalu 1. Keluarga mendengarkan

keluhan-keluhan yang diungkapkan oleh penderita stroke

2. Keluarga menjaga perasaan penderita stroke agar tidak merasa tersinggung karena perkataan dan perbuatan 3. Keluarga merasa bosan

mendengarkan keluhan penderita stroke

4. Keluarga menghibur penderita saat merasa sedih dan patah semangat karena memikirkan penyakit dan akibat yang ditimbulkan.

5. Keluarga tidak peduli dengan perasaan penderita stroke

6. Keluarga mengungkapkan rasa kasih sayang kepada penderita baik dengan perkataan maupun perbuatan

7. Keluarga menunjukkan kesedihan dihadapan penderita

8. Keluarga memberi rasa nyaman pada penderita agar terhindar dari stress seperti berwisata atau berkumpul dengan kelompoknya

9. Keluarga merasa terpaksa membantu penderita dan memperlakukan penderita dengan kasar /tanpa perasaan


(5)

10. Keluarga membiarkan saja penderita dalam keadaan stress dan tertekan akibat penyakit yang diderita

11. Keluarga menunjukkan rasa empati melalui kontak fisik seperti sentuhan tangan/pelukan dengan penderita stroke.

12. Keluarga merasa tidak suka/jijik berdekatan apalagi bersentuhan dengan penderita stroke.

IV. PENCEGAHAN STROKE BERULANG No.

Pernyataan

Pilihan Jawaban Tidak

Pernah

Kadang-kadang

Sering Selalu 1. Penderita pasca stroke

menjauhi/menghentikan merokok 2. Penderita pasca stroke masih

merokok.

3. Penderita stroke menghindari konsumsi minuman beralkohol 4. Penderita pasca stroke mengonsumsi

minuman beralkohol

5. Penderita pasca stroke memeriksakan kadar kolesterol

6. Penderita pasca stroke tidak peduli dengan kadar kolestrolnya.

7. Penderita pasca stroke memeriksakan dan mengontrol gula darah (diabetes) 8. Penderita pasca stroke tidak peduli

dengan tingkatan gula darahnya. 9. Penderita pasca stroke aktif

bergerak/berolahraga dengan teratur 10. Penderita pasca stroke malas

bergerak/berolahraga

11. Penderita stroke mengontrol konsumsi garam agar tidak berlebihan

12. Penderita pasca stroke gemar mengonsumsi makanan mengandung


(6)

garam tinggi

13. Penderita pasca stroke menghindari stress dan depresi

14. Penderita pasca stroke dilanda masalah berat dan membebani pikiran

15. Penderita pasca stroke menghindari makanan manis dan berlemak

16. Penderita pasca stroke mengonsumsi makanan manis dan berlemak

17. Penderita pasca stroke minum obat antiplatelet atau obat yang diberikan oleh dokter ahli syaraf

18. Penderita pasca stroke tidak minum obat yang diberikan dokter

19. Penderita pasca stroke mengonsumsi makanan sehat seperti sayur dan buah-buahan dan bergizi seimbang 20. Penderita pasca stroke makan tidak

teratur dan makanannya tidak sehat (berlemak)