1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Banyak penderita dari keadaan yang stress mencari dukungan dari agama, para professional, panduan-panduan, atau teman, sementara yang lain
lebih memilih untuk diam, mengisolasi, jatuh dan atau menipu diri sendiri Spouse, 1999; Bonanno, 2004. Orang-orang yang memiliki tingkat
religiusitas tinggi cenderung akan menggunakan religious coping dalam melakukan coping stress. Sebuah survey nasional mengenai reaksi stress pada
Amerika Serikat setelah kejadian 11 September menemukan bahwa beralih ke agama berdoa, atau perasaan spiritual merupakan cara kedua yang paling
banyak dipakai 90, setelah menceritakan atau berbicara dengan orang lain 98 Schuster, dkk., 2001.
Agama atau spiritualitas dianggap sebagai protective factor dalam menghadapi stressor hidup dan juga dapat melindungi diri dari outcomes
yang negatif Cotton, dkk., 2006. Penelitian yang dilakukan oleh Nicholson, dkk. 2009 juga menemukan bahwa religiusitas mempunyai pengaruh yang
vital dalam untuk efikasi diri pada perawatan orang-orang yang memiliki gangguan mental. Seligman 2002 mengatakan bahwa orang yang religius
lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan karena penghayatan terhadap agama dianggap dapat memberikan harapan akan masa depan dan
menciptakan makna dalam hidup bagi manusia.
2
Menurut Bastaman 1996, dalam keadaan sehat ataupun sakit seseorang harus memandang dirinya tidak hanya sebagai makhuk bio-psiko-
sosial saja melainkan juga memandang sebagai makhluk bio-psiko-sosio- spiritual. Selanjutnya juga dikatakan bahwa spiritual sebagai bagian dari
religiusitas memegang peranan yang besar dalam menghadapi masalah, supaya stres tidak berlanjut.
Dalam keadaan stress seperti inilah kemampuan untuk bangkit kembali dan adaptasi yang tinggi dibutuhkan agar terhindar dari hal-hal
negatif yang sifatnya merusak. Kemampuan yang dimaksud disebut dengan resiliensi. Ryff dan Singer dalam Baugardner, 2009 mendefinisikan
resiliensi sebagai “pemeliharaan, penyembuhan, atau kemajuan dalam mental atau kesehatan fisik mengikuti tantangan.” Resiliensi bercirikan “pemantulan
kembali” dari pengalaman negatif dalam waktu yang relatif singkat. Masten dan Reed menyebutkan bahwa salah satu syarat penilaian resiliensi adalah
seseorang harus menghadapi ancaman yang “signifikan” atau resiko yang berpotensi untuk menghasilkan outcomes yang negatif.
Saat seseorang sudah depresi, putus asa, tidak bisa melihat manfaat positif di balik kejadian yang menimpanya dari berbagai sudut pandang logis,
maka agama bisa memberikan sudut pandang lain yang mungkin tidak logis, namun mampu memberikan harapan kembali bagi orang-orang yang percaya.
Kalimat seperti “Tuhan punya rencana yang lebih indah” dapat memberi kekuatan bagi orang-orang yang percaya. Kalimat tersebut seperti memberi
sebuah harapan dibalik semua masalah yang ada.
3
Harapan dan makna hidup yang didapatkan melalui religious coping ini merupakan salah satu hal yang dapat menguatkan resiliensi seseorang.
Secara lebih spesifik, harapan dan makna hidup termasuk dalam klasifikasi I am pada hal-hal yang menguatkan resiliensi seseorang menurut Grothberg
1995. Selain itu, adanya role models dari sosok yang diagungkan dalam agama juga termasuk dalam hal-hal yang menguatkan resiliensi pada
klasifikasi I have. Masih banyak lagi hal yang didapatkan dari religiusitas seseorang yang bisa menguatkan resiliensi.
Meskipun demikian religious coping tidak selalu berhubungan dengan outcomes yang lebih baik. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Pargament,
dkk. 2011, religious coping yang negatif apakah Tuhan telah mengabaikan saya, mempertanyakan cinta Tuhan pada saya, dan memutuskan bahwa iblis
yang membuat semua ini terjadi diasosiasikan dengan meningkatnya kemungkinan kematian.
Selanjutnya menurut Pargament dkk., 2011 ilmu jiwa agama hanya mengungkap bagaimana perasaan dan pengalaman orang-orang secara
individual terhadap Tuhan, tetapi tidak selamanya orang mampu menghadapi kesukaran yang menimpanya, dan tidak selamanya pula orang berhasil
mencapai tujuannya dengan usaha yang terencana, teratur, dan telah diperhitungkan sebelumnya. Hal ini berarti religiusitas tidak selalu mampu
membantu seseorang dalam menghadapi kesukaran yang menimpanya. Dengan mempertimbangkan faktor religiusitas yang berpotensi
mempunyai peran yang besar untuk seseorang dalam menghadapi masalah
4
atau keadaan stress, maka peneliti menjadi tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara religiusitas dengan resiliensi.
B. RUMUSAN MASALAH