Latar Belakang Perbedaan kecerdasan emosi remaja yang ikut serta dalam beladiri aikido dan yang tidak ikut serta dalam beladiri aikido.
rehabilitas Knorth Ploeg, 1998. Rahayu 2008 juga mengatakan bahwa seseorang yang belum matang secara emosional akan memunculkan perilaku
agresivitas lebih sering ketimbang yang sudah matang. Goleman 1995 menjelaskan, bahwa remaja yang tidak mampu menjalin relasi antar pribadi
memiliki pengelolaan emosi yang kurang. Individu yang mampu mengelola emosi-emosinya sebagai efektif, akan lebih memiliki daya tahan untuk tidak
terkena kecemasan dan depresi. Individu dapat mengelola emosi terutama jika mereka mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti
perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi. Hal senada juga dikatakan Lynn 2000, bahwa pengendalian diri juga ditentukan oleh pengelolaan
emosi pada diri. Pengelolaan emosi adalah suatu proses dalam kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi adalah suatu bentuk pengelolaan emosi yang dilakukan dengan mengekspresikan emosi, berelasi dengan orang lain, dan
mengendalikan amarah Golemann, 1995. Kecerdasan emosi yang baik akan membuat seseorang berpikir menggunakan akal sehat, sehingga individu
mampu untuk menganalisa keadaan dan merespon dengan tepat Mohamad Mohamad, 2004. Wilson dan Shockley dalam Peeples Loeber, 1994
menjelaskan bahwa kurangnya memahami emosi pada diri remaja akan membuat bingung remaja ketika mereka berada sekolah.
Trinidad, dkk 2002, melakukan penelitian pada anak usia 7 dan 8 tahun. Mereka menemukan bahwa, anak yang kurang dalam kecerdasan emosi
cenderung mulai mencoba merokok. Kecerdasan emosi juga berpengaruh pada kepuasan hidup seseorang, jika semakin tinggi kecerdasan emosi
seseorang maka orang tersebut akan mengalami kepuasan hidup begitu juga sebaliknya Salovey, Bedell, Detweiler, Mayer, 2000; Zeidner, Matthews,
Roberts, 2012. Penelitian yang dilakukan oleh dilakukan oleh Malchiodi 2007,
berfokus pada remaja untuk melatih kecerdasan emosi dengan menulis. Menurut Malchiodi 2007 tujuan terapi menulis ini adalah untuk
mengekspresikan dorongan katarsis, meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Demikian pula
halnya di dalam organisasi, kemampuan memimpin juga memerlukan kecerdasan emosi dalam mengatur organisasi Greenockle dalam Burton,
Cousens, Dixon, 2011. Peningkatan kecerdasan emosi ditunjukkan dengan adanya kemampuan memotivasi diri sendiri dan menyadari akan kekurangan
dan kelebihan diri sendiri Greenockle dalam Burton, Cousens, Dixon, 2011.
Salah satu cara meningkatkan kecerdasan emosi adalah dengan olahraga. Keunggulan olahraga adalah meningkatnya kecerdasan emosi
seperti kesadaran diri Komarudin, 2013. Komarudin 2013, menjelaskan
bahwa dengan
meningkatkan kesadaran
diri, maka
atlet dapat
mengekspresikan emosinya dengan lebih baik. Selain itu, atlet juga mengetahui berapa besar tenaga yang dipakai dan jika dia goyah maka akan
segera tahu dan menyeimbangkannya. Olahraga dapat mengatasi kecemasan para atlet, dengan menggunakan teknik simulasi yang membuat kondisi sesuai
dengan pertandingan sesungguhnya Gunarsah, Satiadarma, Soekasih, 1996. Salah satu olahraga yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi adalah
beladiri. Selain itu, olahraga dapat meningkatkan kecerdasan emosi pada para atlet sehingga para atlet mampu mengembangkan kesadaran diri dan dapat
mengatur diri dengan baik, tidak hanya itu olahraga juga membuat kecerdasan emosi meningkat dan dapat membantu para atlet untuk menghadapi masalah
saat bertanding seperti cemas dan panic Lane, Thelwell, Lowther, 2009. Selain itu, Meyer dan Fletcher dalam Lane dkk, 2009 mendesain program
pelatihan untuk meningkatkan kecerdasan emosi para atlet. Hal itu seperti menetapkan target, self-talk, dan berimajinasi.
Bela diri adalah suatu cabang olahraga yang bertujuan untuk melindungi diri dari serangan. Hanin dan koleganya dalam Kovoura, Ryba,
Kokkonen, 2012, meneliti tentang emosi para atlet karate yang mempunyai kemampuan tinggi. Hasilnya menunjukkan emosi dan respon tubuh para atlet
berbeda antara keberhasilan dan penampilan saat bertanding. Nosanchuk dan Lammare dalam Kovoura, Ryba, Kokkonen, 2012 menemukan bahwa
efek beladiri Asia dapat menurunkan tingkat agresivitas. Bjorkqvist dan Varhama dalam Kovoura, Ryba, Kokkonen, 2012, meneliti tentang
perbandingan kemampuan dalam menahan diri dalam konflik fisik dari atlet karate, pegulat, dan petinju. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa
atlet karate lebih mampu menahan diri untuk tidak memulai konflik fisik. Salah satu cabang beladiri adalah Aikido. Aikido adalah beladiri yang
tidak dipertandingkan, karena filosofinya yang lebih menekankan kontrol diri dan menghargai orang lain. Aikido lebih menekankan Ki, yaitu keselarasan
antara diri sendiri, orang lain, dan alam Bambang, 2002. Bambang 2002, menjelaskan bahwa filosofi Aikido lebih ke arah proses untuk mengelola
perasaan dalam diri sehingga menimbulkan kesadaran diri untuk mencintai manusia lain dan alam.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti ingin meneliti tentang perbedaan kecerdasan emosi dengan Aikido, karena konsep Aikido sesuai
dengan konsep kecerdasan emosi. Salah satu aspek kecerdasan emosi adalah mampu berempati terhadap orang lain, sedangkan Aikido juga mengajarkan
untuk mencintai sesama manusia. Selain itu, Aikido mengajarkan tentang mengelola perasaan, kehendak, maupun emosi, hal ini sesuai dengan konsep
kecerdasan emosi untuk mengelola emosi agar dapat berelasi dengan orang lain Golemann, 1995.
Remaja yang tidak ikut kegiatan olahraga yang pasti
atau Aikido lebih rentan terhadap gangguan fisik, kecemasan, kurangnya kepercayaan diri dan stres Papalia, Old, Feldman, 2008