Potensi Trichoderma sp. Sebagai Bahan Antibakterial dan Imunostimulan pada Udang Vaname, Litopenaeus vannamei

(1)

POTENSI Trichoderma sp. SEBAGAI BAHAN

ANTIBAKTERIAL DAN IMUNOSTIMULAN PADA

UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei

CATUR AGUS PEBRIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Potensi Trichoderma sp. Sebagai Bahan Antibakterial dan Imunostimulan pada Udang Vaname,

Litopenaeus vannamei adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Oktober 2009

Catur Agus Pebrianto NIM C151060121


(3)

ABSTRACT

CATUR AGUS PEBRIANTO. The potential of Trichoderma sp. as antibacterial and immunostimulant in white shrimp, Litopenaeus vannamei. Under guidance of SUKENDA and WIDANARNI

We studied antibacterial and immunostimulatory effects of Trichoderma sp. on white shrimp, Litopenaeus vannamei. First experiment was conducted to evaluate inhibitory effect of Trichoderma sp. againts Vibrio harveyi, a pathogenic bacteria caused vibriosis disease on shrimp. Second experiment was conducted to evaluate immunostimulatory effect of Trichoderma sp. on shrimp immunity as well as protective effect againts V. harveyi. A group of shrimp was injected with a minimum inhibitory concentration obtained at first experiment, and a week after shrimps were challenged with V. harveyi (prophylactic). Another group was challenged with V. harveyi previously, and then injected with Trichoderma sp. two fold of MIC a day after (therapeutic). Positive control, that was received only

V. harveyi, and negative controls, that was received neither Trichoderma sp. nor

V. harveyi were included in this experiment. Results of first experiment showed a concentration of 600 ppm was a minimal inhibitory concentration of Trichoderma

sp. to inhibit V. harveyi. While in the second experiment, groups received

Trichoderma sp., either prophylactic or therapeutic, showed protective against V. harveyi significantly higher than positive control and lower compared with negative control. Total haemocyte count (THC), differential haemocity count (DHC), phagocytic index and phenoloxidase activity were different among the groups of prophylactic treatment or therapeutic treatment compared to positive control and negative control. In conclusion, Trichodema sp. should be used in prophylactic and therapeutic treatment to combat infection of V. harveyi on L. vannamei


(4)

RINGKASAN

CATUR AGUS PEBRIANTO. Potensi Trichoderma sp. Sebagai Bahan Antibakterial dan Imunostimulan pada Udang Vaname, Litopenaeus vannamei

Dibimbing oleh SUKENDA dan WIDANARNI.

Perkembangan sistem imun pada udang sangat primitif bila dibandingkan dengan ikan dan vertebrata lainnya, karena udang tidak memproduksi antibodi spesifik. Sistem imun pada udang merupakan sistem imun alami (innate immunity). Udang tidak memproduksi limfosit dan tidak memiliki sistem imun

adaptive seperti yang dimiliki vertebrata lain. Salah satu strategi yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan meningkatkan sistem imun udang dengan pemberian imunostimulan.

Cendawan laut merupakan sumber kekayaan alam yang kaya akan produk bioaktif alami. Beberapa cendawan laut telah diisolasi memiliki kemampuan sebagai bahan antimikrobial, antitumor, antivirus, anti kanker dan antiperadangan. Mikroorganisme ini mampu tumbuh pada habitat yang unik dan ekstrim karena mereka mampu menghasilkan produk metabolik sekunder yang unik dan tidak biasa. Berbagai cendawan yang terdapat pada serasah mangrove yang telah mengalami dekomposisi antara lain Aspergillus sp., Penicillum sp., Trichoderma

sp., dan Fusarium sp.

Trichoderma sp. yang terdapat pada serasah mangrove memiliki peranan penting bagi kehidupan biota perairan seperti meningkatkan aktivitas metabolisme biota perairan, sebagai bioactive metabolite, agen biokontrol dan sebagai antibiotik alami di perairan. Trichoderma sp. dapat menghasilkan beberapa enzim seperti -1,3-glukanase, kitinase, protease, serta lipase yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi dinding dan membran sel patogen. Selain itu Trichoderma

sp. juga menghasilkan peptida berupa peptaibols dan polyketide. Peptaibols

merupakan peptida linier pendek yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri, anti cendawan, dan anti virus. Polyketide merupakan kandidat potensial yang dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibiotik, anti kanker.

Pada kegiatan perikanan budidaya Trichoderma sp. belum diketahui manfaatnya tetapi dalam dunia pertanian sudah banyak dimanfaatkan sebagai agen biokontrol seperti menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada tanaman dan pengendali penyakit layu bakteri pada tomat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi Trichoderma sp. sebagai anti bakteri untuk menghambat Vibrio harveyi dan menguji potensi Trichoderma sp. sebagai imunostimulan pada udang vaname.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental di Laboratorium. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, dan Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB. Udang uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan bobot rata-rata 9,41 ± 0,47 g yang diambil dari lokasi budidaya udang vaname di Bakauheni, Lampung. Cendawan yang diisolasi adalah


(5)

Vibrio harveyi MR 5339. Wadah perlakuan yang digunakan berupa akuarium dengan ukuran 60 x 33 x 50 cm yang dilengkapi dengan aerasi

Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo. Penelitian in vitro

dilakukan untuk mengetahui potensi Trichoderma sp. sebagai bahan anti bakterial, sedangkan in vivo dilakukan untuk mengetahui potensi Trichoderma sp. sebagai bahan imunostimulan pada udang vaname. Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) perlakuan dengan masing masing 3 (tiga) kali ulangan, kontrol positif, kontrol negatif, pengobatan, pencegahan. Pemeriksaan parameter imun terdiri dari total hemosit (THC), diferensial hemosit (DHC), aktifitas fagositosis, dan aktifitas Phenoloxidase (PO). Pengamatan parameter sistem imun dilakukan 24, 48, 72, dan 96 jam pasca infeksi. Sedangkan pengamatan kelangsungan hidup dilakukan diakhir penelitian.

Trichoderma sp. yaitu koloni pada media Potatoe Dextrose Agar (PDA) awalnya berwarna putih, tiga hari kemudian sebagian berwarna hijau yang dikelilingi miselium berwarna putih dan selanjutnya seluruh koloni berwarna hijau. Secara mikroskopis cendawan yang diperoleh memiliki konidiofor percabangan berupa segitiga/piramid dan konidia berbentuk bulat sehingga diidentifikasi sebagai Trichoderma sp. Dari 100 ml Potatoe Dextrose Broth

(PDB) yang berisi cendawan Trichodermasp. menghasilkan berat kering 0,522 g. Semakin tinggi dosis cendawan Trichoderma sp., semakin kuat daya hambatnya terhadap V. harveyi. Pengujian dengan dosis 100-200 ppm berbeda nyata dengan dosis 300-500 ppm, serta 600-1.000 ppm. Dari data tersebut diketahui bahwa pada konsentrasi ekstrak 600 ppm memiliki daya hambat yang berbeda nyata dengan konsentrasi 0-500 ppm, tetapi tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi 700-1.000 ppm.

Pada akhir penelitian menunjukkan sintasan pada kontrol negatif tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap perlakuan pengobatan maupun perlakuan pencegahan. Walaupun demikian sintasan tertinggi diperoleh dari kontrol negatif sebesar 85,71 ± 0,00% dan selanjutnya diikuti perlakuan pencegahan (71,43 ± 14,29%) dan pengobatan (57,14 ± 14,29%). Semua udang pada kontrol positif mengalami kematian total sampai 24 jam pasca uji tantang dengan V. harveyi. Pemberian Trichoderma sp. sebelum uji tantang (pencegahan) mampu meningkatkan nilai parameter immunologis sehingga sel hemosit dapat mengendalikan V. harveyi dalam tubuh udang melalui aktifitas fagositosis. Pemberian Trichoderma sp. setelah uji tantang (pengobatan) mampu mengendalikan populasi V. harveyi karena sifat anti bakterialnya dan juga efek dari immunostimulasinya. Dalam hal ini pemberian Trichoderma sp. setelah uji tantang dapat memberikan proteksi terhadap udang vaname dari infeksi V. harveyi.

Peranan total hemosit pada krustasea dalam resistensi patogen, apabila terjadi penurunan total hemosit maka dapat terjadi infeksi akut yang dapat menyebabkan kematian. Dengan terjadinya peningkatan total hemosit maka akan meningkatkan kemampuan untuk memfagositosis. Peningkatan total hemosit juga menjadikan daya peningkatan sel granular untuk melakukan aktifitas phenoloxidase sehingga udang dapat bertahan terhadap serangan bakteri.

Peningkatan aktifitas fagositik udang mengindikasikan bahwa Trichoderma

sp. mampu meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit. Sel yang berperan besar dalam proses fagositik ini adalah sel hialin. Bakteri patogen yang masuk ke


(6)

dalam tubuh udang direspon pada sel semi granular dan granular dengan melepaskan sistem proPO yang diaktifkan. Selanjutnya sel semi granular menstimulasi fagositosis oleh sel hialin atau enkapsulasi. Pemberian ekstrak dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, karena meningkatnya mekanisme respon imun pertahanan non spesifik. Mekanisme proses fagositosis melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) perlekatan partikel pada permukan sel, (2) penelanan, (3) penghancuran dan pencernaan bakteri.

Enzim phenoloxidase dihasilkan melalui sistem proPO yang dapat diaktifkan oleh adanya imunostimulan dan enzim yang berperan dalam proses melanisasi. Pemberian ekstrak Trichoderma sp. mampu meningkatkan aktifitas phenoloksidase menunjukkan bahwa ekstrak dapat menstimulasi hemosit udang vaname hingga aktifitas phenoloksidase terbentuk. Dengan meningkatnya aktifitas phenoloksidase maka kemampuan udang vaname untuk mengenali partikel asing yang masuk kedalam tubuh semakin baik dan untuk selanjutnya proses fagositosis terjadi. Proses ini akan mengurangi partikel asing dalam tubuh sehingga daya tahan udang dapat meningkat.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

POTENSI Trichoderma sp. SEBAGAI BAHAN

ANTIBAKTERIAL DAN IMUNOSTIMULAN PADA

UDANG VANAME,

Litopenaeus vannamei

CATUR AGUS PEBRIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

Judul Tesis : Potensi Trichoderma sp. Sebagai Bahan Antibakterial dan Imunostimulan pada Udang Vaname, Litopenaeus vannamei

Nama : Catur Agus Pebrianto

NIM : C151060121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sukenda, M.Sc Dr. Ir. Widanarni, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Potensi

Trichoderma sp. Sebagai Bahan Antibakterial dan Imunostimulan pada Udang Vaname,Litopenaeus vannamei.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sukenda, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Widanarni, M.Si selaku komisi pembimbing atas saran dan pengarahannya dalam penyusunan tesis ini, Bapak Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si sebagai penguji yang telah memberikan saran untuk melengkapi tulisan ini. Disamping itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ridwan Affandi atas ijinnya memanfaatkan Laboratorium Fisiologi Hewan Air dan Bapak Ranta dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan IPB, yang telah membantu selama selama penelitian dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga khususnya kepada Bapak Heryanto S (alm), Ibu Nasriah, kakak, adik serta istriku Siti Zakiyah atas segala doa dan dukungannya selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Yudiana J, Diana Y. Syahailatua, Pak Hengky M serta rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2006 dan rekan-rekan di LKI atas kekompakan, kerjasama yang baik dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini.

Dalam penyusunan tesis ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu segala segala saran untuk perbaikannya akan sangat dihargai demi kesempurnaan hasil penelitian ini di kemudian hari. Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2009


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Loa Janan pada tanggal 14 Februari 1978 dari ayah Heryanto.S (Alm) dan ibu Nasriah. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Samarinda dan pada tahun 1998 lulus seleksi masuk pada Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman dan lulus pada tahun 2004 pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman. Pada tahun 2005 diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman. Penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPs) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2006.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Trichoderma sp. ... 4

Darah Udang ... 6

Mekanisme Pertahanan Tubuh Pada Udang ... 7

Imunostimulan Udang ... 8

Vibrio harveyi ... 9

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Bahan Penelitian... 11

Pelaksanaan Penelitian ... 11

Uji In Vitro ... 11

Uji In Vivo ... 12

Pemeriksaan Parameter Penelitian ... 12

Sistem Imun ... 12

Total Hemosit... 12

Diferensial Hemosit ... 13

Aktifitas Fagositosis ... 13

Aktifitas Phenoloxidase ... 14

Sintasan ... 14

Rancangan Percobaan ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Trichoderma sp ... 16

Uji In Vitro ... 16

Uji In Vivo ... 19

Sintasan Udang ... 19

Total Hemosit ... 20

Diferensial Hemosit ... 22

Aktifitas Fagositosis... 26


(14)

xiv KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rata-rata diameter zona hambat bebas bakteri V. harveyi yang diberi perlakuan ekstrak cendawan Trichoderma sp. ... 17 2. Diameter zona hambat beberapa antibiotik ... 18


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Trichoderma sp. pada cawan petri dan tabung reaksi ... 16 2. Sintasan udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan ... 19 3. Total hemosit udang L. vannameipada masing-masing perlakuan 20 4. Persentase sel hialin udang L. vannameipada masing-masing

perlakuan ... 23 5. Persentase sel semi granulosit udang L. vannameipada

masing-masing perlakuan ... 24 6. Persentase sel granulosit udang L. vannameipada masing-masing

perlakuan ... 25 7. Sel yang melakukan aktifitas fagositosis ... 26 8. Aktifitas fagosistosis udang L. vannamei pada masing-masing

perlakuan ... 27 9. Nilai phenoloksidase udang L. vannamei pada masing-masing


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Uji daya hambat fungi Trichoderma sp. terhadap bakteri Vibrio harveyi 36 2. Sintasan udang vaname (Litopenaeus vannamei) selama masa

penelitian ... 37 3. Total Hemosit udang vaname dengan beberapa perlakuan... 38 4. Sel Hialin (%) udang vaname dengan beberapa perlakuan ... 39 5. Sel Semi Granulosit (%) udang vaname dengan beberapa perlakuan 40 6. Sel Granulosit (%) udang vaname dengan beberapa perlakuan ... 41 7. Aktifitas Fagositik udang vaname dengan beberapa perlakuan ... 42 8. Aktifitas Phenoloksidase udang vaname dengan beberapa

perlakuan ... 43


(18)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permasalahan yang sering muncul pada budidaya udang vaname adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan cendawan. Kehadiran penyakit ini mempengaruhi dan membatasi budidaya udang (Reed et al., 2003) .

Sistem pertahanan tubuh utama pada udang terdiri dari dua bagian yaitu sistem pertahanan tubuh seluler dan sistem pertahanan humoral. Sistem pertahanan seluler meliputi fagosit sel-sel hemosit, nodulasi dan encapsulasi. Sistem pertahanan humoral mencakup phenoloxidase (PO), lectin dan aglutinin. Kedua sistem pertahanan ini bekerja sama memberikan perlindungan tubuh terhadap infeksi organisme patogen (Itami, 1994).

Meningkatnya ketahanan tubuh udang dapat diketahui dengan meningkatnya aktifitas sel fagosit dari hemosit. Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan non spesifik yang secara umum dapat melindungi infeksi patogen. Mekanisme aktifitas hemosit pada udang terdiri dari mekanisme penjeratan (encapsulasi) terhadap suatu materi asing, mekanisme fagositosis gabungan terbentuk dari beberapa hemosit yang membentuk kumpulan lebih besar, dan kumpulan dari banyak hemosit membentuk suatu lapisan terpigmentasi (Fontaine dan Lightner, 1974). Sedangkan ProPO diaktifkan oleh prophenoloxidase activating enzim

(PPA). ProPO dan PPA ini merupakan protein yang berlokasi di granular hemosit. Akibat dari pengaktifan proPO menjadi PO dihasilkan protein faktor opsonin yang merangsang fagositosis hialosit (Johansson dan Soderhall, 1989).

Perkembangan sistem imun pada udang sangat primitif bila dibandingkan dengan ikan dan vertebrata lainnya, karena udang tidak memproduksi antibodi spesifik. Sistem imun pada udang merupakan sistem imun alami (innate immunity) (Kwang, 1996). Udang tidak memproduksi limfosit dan tidak memiliki sistem imun adaptive seperti yang dimiliki vertebrata lain (Van de Braak, 2002). Salah satu strategi yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan meningkatkan sistem imun udang dengan pemberian imunostimulan (Dugger dan Jory, 1999).

Penggunaan immunostimulan sebagai pakan suplemen dapat meningkatkan pertahanan alami udang sehingga resisten terhadap patogen selama periode stress


(19)

(Kumari and Sahoo, 2006). Strategi yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan meningkatkan sistem imun udang dengan pemberian immunostimulan, terutama -glucan (Dugger dan Jory, 1999). Immunostimulan mengaktifkan mekanisme non spesifik, sel perantara imunitas dan respon immun spesifik (Swicki et al., 1998). Ditambahkan oleh Sakai (1999), bahwa immunostimulan dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, serta dapat meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik. Pemanfaatan immunostimulan tidak memperlihatkan efek samping negatif pada udang, tidak seperti pemberian antibiotik (Anderson, 1992; Secombes 1994). Bahan immunostimulan yang telah digunakan antara lain glukan, chitin, chitosan serta levamisole, selain itu vitamin C dan B serta hormon pertumbuhan dan prolaktin.

Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan sebagai serasah menjadi sumber makanan bagi udang, ikan, kepiting, zooplankton, invertebrate kecil dan organisme pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Serasah mangrove diuraikan oleh bakteri dan cendawan menjadi detritus terlarut yang dapat dimanfatkan organisme perairan sebagai bahan makanan. Bakteri dan cendawan merupakan mikroorganisme primer yang berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah.

Cendawan laut merupakan sumber kekayaan alam yang kaya akan produk bioaktif alami. Beberapa cendawan laut telah diisolasi memiliki kemampuan sebagai bahan antimikrobial, antitumor, antivirus, anti kanker dan antiperadangan. Mikroorganisme ini mampu tumbuh pada habitat yang unik dan ekstrim karena mereka mampu menghasilkan produk metabolik sekunder yang unik dan tidak biasa. Yunasfi (2006), melaporkan berbagai cendawan yang terdapat pada serasah mangrove yang telah mengalami dekomposisi antara lain Aspergillus sp.,

Penicillum sp., Trichoderma sp., dan Fusarium sp.

Trichoderma sp. yang terdapat pada serasah mangrove memiliki peranan penting bagi kehidupan biota perairan seperti meningkatkan aktivitas metabolisme biota perairan, sebagai bioactive metabolite, agen biokontrol dan sebagai antibiotik alami di perairan (Sun et al. 2008). Trichoderma sp. dapat menghasilkan beberapa enzim seperti -1,3-glukanase, kitinase, protease, serta


(20)

3 lipase yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi dinding dan membran sel patogen (El ad et al. 1983 dalam Tomia, 2005). Selain itu Trichoderma sp. juga menghasilkan peptida berupa peptaibols dan polyketide. Peptaibols merupakan peptida linier pendek yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri, anti cendawan, dan anti virus (Ruiz et al. 2007). Polyketide merupakan kandidat potensial yang dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibiotik, anti kanker (Saleem et al. 2007)

Pada kegiatan perikanan budidaya Trichoderma sp. belum diketahui manfaatnya tetapi dalam dunia pertanian sudah banyak dimanfaatkan sebagai agen biokontrol seperti menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada tanaman dan pengendali penyakit layu bakteri pada tomat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menguji potensi Trichoderma sp. sebagai anti bakteri pada udang vaname. 2. Menguji potensi Trichoderma sp. sebagai bahan immunostimulan udang

vaname.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah jika pemberian ekstrak cendawan Trichoderma sp. pada udang vaname bersifat antibakteri dan dapat berperan dalam meningkatkan imunitas udang maka udang akan resisten terhadap serangan penyakit, sehingga kelangsungan hidupnya dapat ditingkatkan.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Trichoderma sp.

Hutan mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yang tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi didalam suatu habitat mangrove. Jenis mangrove yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain Bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia

spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus

spp.), Tenger (Ceriops spp.), dan Buta-buta (Exoecaria spp.). Secara ekologi mangrove menghasilkan bahan organik unsur hara di perairan, sehingga memiliki peranan bagi kelangsungan hidup berbagai biota perairan. Perairan yang terdapat didekat hutan mangrove merupakan daerah subur sehingga banyak dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dan mencari makan bagi biota perairan seperti ikan dan udang yang masih muda (Leswara et al. 1987).

Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan bagi udang, ikan, kepiting, zooplankton, invertebrate kecil dan organisme pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan pelapukan mangrove berasal dari berbagai organ pohon mangrove seperti daun, ranting, cabang, bunga dan bagian pohon lainnya yang jatuh dan lazim disebut serasah. Agar dapat dimanfaatkan oleh organisme perairan lainnya, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut.

Sebagian serasah mangrove diuraikan oleh bakteri dan cendawan menjadi detritus terlarut yang dapat dimanfatkan organisme perairan sebagai bahan makanan. Bakteri dan cendawan merupakan mikroorganisme primer yang berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah. Yunasfi (2006), melaporkan berbagai cendawan yang terdapat pada serasah mangrove yang telah mengalami dekomposisi antara lain Aspergillus sp., Penicillum sp., Trichoderma


(22)

5

Trichoderma sp. merupakan mikroba yang terdapat dihampir semua jenis tanah dan habitat yang berbeda. Genus ini termasuk kedalam divisi Amastigoycota, subdivisi Deuteromycotina, kelas Deuteromicetes, sub kelas Hypomycetidae, ordo Moniliales, family moniliaceae (Alexopoulos dan Mims, 1979 dalam Rossiana, 1992).

Trichoderma sp. membentuk koloni berwarna putih dengan miselia yang longgar atau kompak. Warna koloni biasanya dipengaruhi oleh pigmentasi fialosfor, jumlah spora maupun pH media (Rifai,1969). Trichoderma sp. merupakan mikoparasitik aktif yang dapat digunakan sebagai agen biokontrol. T. harzianum mampu menyerang sejumlah cendawan patogen penyebab utama penyakit tanaman (Papavizas 1985; Chet 1987). Mekanisme antagonis utama T. harzianum terhadap cendawan patogen melalui pengeluaran enzim seperti β-1,3 glukanase, kitinase, dan protease yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi dinding dan membran sel patogen (El ad et al. 1983 dalam Tomia, 2005).

Sifat antagonistik yang dimiliki Trichoderma sp. adalah antibiosis, lisis, kompetisi dan mikoparasit. Wells (1986), mengemukakan bahwa Trichoderma

sp. dapat tumbuh diberbagai tempat, mudah diisolasi dan dibiakkan, serta kisaran parasitisme terhadap patogen tumbuhan sangat luas. Trichoderma sp. mempunyai kemampuan berkompetisi akan makanan dan tempat, umumnya menghasilkan antibiotik serta memiliki kerja enzim yang memungkinkan kerusakan pada berbagai cendawan patogen.

Trichoderma sp. yang terdapat pada serasah mangrove memiliki peranan penting bagi kehidupan biota perairan seperti meningkatkan aktivitas metabolisme biota perairan, sebagai bioactive metabolite, agen biokontrol dan sebagai antibiotik alami di perairan (Sun et al. 2008). Selain itu Trichoderma sp. juga menghasilkan peptida berupa peptaibols dan polyketide. Peptaibols merupakan peptida linier pendek yang dapat berfungsi sebagai anti bakteri, anti cendawan, dan anti virus (Ruiz et al. 2007). Polyketide merupakan kandidat potensial yang dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibiotik, anti kanker (Saleem et al. 2007)


(23)

Darah Udang

Darah udang disebut hemolim memiliki dua komponen yakni plasma dan sel darah dengan komponen organik dan anorganik. Komponen organik terdiri dari gula, lemak dan protein sedangkan komponen anorganik terdiri dari natrium dan klorida serta sedikit kalium, kalsium dan magnesium. Darah udang tidak berwarna merah karena tidak memiliki Hemoglobin (Hb), tetapi jika berikatan dengan oksigen akan berwarna biru muda. Fungsi Hb pada udang digantikan oleh hemosianin sebagai transport oksigen, yaitu suatu protein yang mengandung Cu dan bisa berikatan dengan oksigen. Hemosianin berfungsi dalam transport oksigen, sebagai buffer dalam darah krustasea dan berperan penting dalam osmotik darah (Maynard, 1960).

Keberadaan hemosit dalam darah crayfish (arthropoda) menentukan tingkat kekebalan tubuh udang terhadap serangan penyakit patogen. Apabila terjadi penurunan total hemosit akan menyebabkan kerusakan pada inang yang ditandai dengan reaksi melanisasi oleh jamur Aphanomyces astaci pada jaringan kutikula, penetrasi pada jaringan tubuh dan disusul kematian organisme (Person et al.,

1987).

Maynard (1960) menyatakan bahwa sel hemolim terdiri dari granulosit dan hialosit. Sel hialosit mempunyai nukleus yang besar terletak ditengah dikelilingi oleh sitoplasma basophilik. Pada sitoplasma tidak terlihat adanya retikulum endoplasmik serta ribosom dan juga tidak ditemukan badan golgi, granul hampir tidak ada atau terlihat sangat sedikit (Amirante, 1986).

Bentuk hemosit Penaeid dibedakan menjadi bentuk yang tidak bergranula (agranolucyte), granulanya sedikit (semigranulocyte) dan bergranula banyak (granulocyte) (Martin dan Graves, 1985). Dari analisa flow cytometer oleh Owens dan O'Neill (1996) bahwa persentase hialosit udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang normal terdiri dari 60% - 93% dari total hemosit, sedangkan persentase granulosit berjumlah 17 % - 40 %. Berdasarkan analisa Cell-Dyn 3000, total hemosit rata-rata berjumlah 2,1 x 107. Sel hialosit bersifat fagositik, yakni kemampuan untuk menerkam partikel-partikel asing seperti bakteri dan virus. Apabila hialosit masuk ke dalam jaringan, hialosit berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag. Granulosit mengandung granula


(24)

7 di dalam sitoplasma. Granulosit merupakan jaringan pertama untuk sistem pertahanan seluler melawan infeksi dengan migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami infeksi, menembus dinding pembuluh dan memfagosit partikel asing untuk dihancurkan.

Johansson dan Soderhall (1989), menyatakan bahwa hialosit juga berperan dalam sistem pertahanan udang. Sel hialosit ini diaktifkan oleh faktor opsonin yang dihasilkan dari aktifnya proPO menjadi PO pada sel granular, sehingga dapat memfagositosis material asing baik bakteri maupun virus, tetapi yang paling berperan dalam sistem pertahanan udang adalah granulosit.

Mekanisme Pertahanan Tubuh pada Udang

Tidak seperti ikan atau vertebrata lain yang mempunyai antibodi spesifik atau komplemen, sistem kekebalan udang masih primitif dan tidak memiliki sel memori. Pada invertebrata seperti udang tidak memiliki imonoglobulin yang berperan dalam mekanisme kekebalan tubuh (Kwang, 1996).

Sistem pertahanan tubuh utama pada udang terdiri dari dua bagian yaitu sistem pertahanan tubuh seluler dan sistem pertahanan humoral. Sistem pertahanan seluler meliputi fagosit sel-sel hemosit, nodulasi dan encapsulasi. Sistem pertahanan humoral mencakup phenoloxidase (PO), propenoloxidase (ProPO), lectin dan aglutinin. Kedua sistem pertahanan ini bekerja sama memberikan perlindungan tubuh terhadap infeksi organisme patogen dari lingkungan (Itami, 1994). ProPO diaktifkan oleh prophenoloxidase activating enzim (PPA). Sedangkan PPA ini bisa diaktifkan oleh lipopolisakarida. ProPO dan PPA ini merupakan protein yang berlokasi di granular hemosit. Akibat dari pengaktifan proPO menjadi PO dihasilkan protein faktor opsonin yang merangsang fagositosis hialosit (Johansson dan Soderhall, 1989).

Meningkatnya ketahanan tubuh udang dapat diketahui dengan meningkatnya aktifitas sel fagosit dari hemosit. Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan non spesifik yang secara umum dapat melindungi adanya serangan penyakit yang bersifat patogen. Hemosit sebagai faktor yang sangat penting dalam sistem pertahanan seluler yang bersifat non spesifik. Kemampuan hemosit dalam aktifitas fagositosis yang dapat meningkat pada kejadian infeksi, menunjukkkan


(25)

pertahanan tubuh yang bersifat seluler. Dengan adanya infeksi tersebut akan merangsang sistem pertahanan non spesifik seluler sehingga diharapkan dapat menangkal serangan penyakit. Mekanisme aktifitas hemosit pada udang terdiri dari mekanisme penjeratan (encapsulasi) terhadap suatu materi asing, mekanisme fagositosis gabungan terbentuk dari beberapa hemosit yang membentuk kumpulan lebih besar, dan kumpulan hemosit membentuk suatu lapisan terpigmentasi (Fontaine dan Lightner, 1974).

lmunostimulan

Imunisasi udang adalah suatu usaha untuk meningkatkan ketahanan udang dengan jalan memasukkan antigen ke dalam tubuh, imunisasi yang telah dikenal secara umum adalah vaksinasi (Anderson, 1992). Sedangkan menurut Ellis (1988), bahwa vaksin adalah produk yang dihasilkan dari suspensi mikroorganisme hidup maupun mati yang dapat menghasilkan kekebalan (immunity). Pada hewan invertebrata misalnya kekebalan udang ini berupa aglutinin, bakterisidin, fagositosis dan presipitin (Paterson et al. 1992).

Dalam budidaya udang penggunaan antibiotik untuk menghambat bakteri saat ini sudah tidak efektif lagi, dikarenakan beberapa bakteri sebagai contoh V. harveyi telah memiliki sifat resistensi terhadap beberapa antibiotik antara lain

chloramphenicol, erytrhromimycin, neomycin, oxytetracycline, furazolidone, nifurpirinol dan gentamycin (Karunasagar et al. 1994 ; Muliani, 2002). Selain itu penggunaan antibiotik memiliki dampak terhadap lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Reed et al. 2003).

ltami et al. (1996) mengatakan bahwa pemberian immunostimulan dapat meningkatkan aktivitas fagosit hemosit dan meningkatkan aktivitas ProPO, sehingga mencegah infeksi dari Vibrio. Taslihan (1991), menambahkan terdapat penyebaran hemosit diasumsikan sebagai bentuk dari mekanisme respon seluler terhadap masuknya benda asing ke dalam tubuh udang terutama pada hepatopankreas pasca larva udang windu setelah dilakukan vaksinasi. Sejauh ini diketahui bahwa pemberian immunostimulan tidak mempunyai efek samping dan sangat baik untuk diterapkan pada organisme yang tidak mempunyai sel memori


(26)

9 dalam sistem kekebalannya, seperti golongan krustase dengan cara merangsang atau memaksimalkan respon kebal non-spesifiknya (Kwang, 1996).

Vibrio harveyi

Bakteri Vibrio tergolong dalam divisi Bakteria, klas Shyzomycetes, ordo Eubacterial, family Vibrionaceae dan genus Vibrio. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif, berbentuk sel tunggal, berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus, bersifat motil, ukuran sel 1-4 mikron, berpendar dan mempunyai flagella disalah satu kutubnya (Kreig dan Peter, 1984). Sedangkan sifat biokimianya adalah oksidase positif (kecuali V. metschnikovii dan V. gazogenes), fermentatife terhadap glukosa, sensitife terhadap uji 0/129. DNA genomnya mengandung 51 % mol G+C (guanin dan sitosin) (Logan, 1994), tidak membentuk gas pada produksi asam dari glukosa dan dapat menggunakan sukrosa sebagai sumber energi (Lavilla-Pitogo et al. 1990). V. harveyi menghasilkan katalase, indol, lysine, dekarboksilase, nitrat reduktase dan oksidase, tapi tidak menghasilkan arginin dihidrolase (Alvares et al. 1998)

Menurut Liu, Lee, dan Cheng (1996), dalam Zhang et al. 2001), protease, phospolipase, haemolisin atau exotoxin merupakan patogenitas penting untuk

Vibrio harveyi. Bakteri penghasil cahaya ini sangat patogen dan akut sehingga dapat menyebabkan kematian larva udang sampai 100% dalam waktu singkat. Larva udang yang terserang cepat mati, tidak berbangkai dan hancur (Rukyani et al. 1992).

Penularan penyakit bakterial dalam lingkungan perairan, dapat terjadi melalui kontak langsung dengan inang yang sakit, alat-alat yang digunakan, bagian sisa tubuh ikan, melalui hewan dan tumbuhan air serta air bekas ikan sakit. Pada larva yang terinfeksi V harveyi terjadi penyusutan hepatopankreas dan perubahan warna menjadi coklat kehitaman (Roza et al. 1997). Larva yang terinfeksi pada tingkat parah terlihat bercahaya pada kondisi gelap dan penyebabnya diidentifikasi sebagai V. harveyi. V. harveyi dapat menyebabkan bercak merah pada dasar bak pemeliharaan larva (Lavilla Pitogo et al. 1990; Roza


(27)

Menurut Zafran dan Roza (1993), V. harveyi akan bersifat patogen bagi larva udang windu apabila kepadatannya dalam air pemeliharaan mencapai 8,35 x 104 cfu/ml. Hal senada dengan Prajitno (1995) yang mengatakan bahwa dengan kepadatan bakteri Vibrio sp. 104 sel/ml, dapat menyebabkan kematian larva udang dalam waktu 24 jam.


(28)

III. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Maret - Agustus 2008. Pelaksanan penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, dan Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Bahan Penelitian

Udang uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan bobot rata-rata 9,41 ± 0,47 g diambil dari lokasi budidaya udang vaname di Bakauheni, Lampung. Bahan yang digunakan sebagai imunostimulan adalah fungi Trichoderma sp. sedangkan bakteri yang digunakan untuk uji tantang adalah Vibrio harveyi MR5339. Wadah perlakuan yang digunakan berupa akuarium dengan ukuran 60x33x50 cm yang dilengkapi dengan peralatan aerasi

Pelaksanaan Penelitian

Sampel cendawanTrichoderma sp. diperoleh dari lingkungan tambak udang di Bakauheni, Lampung dengan mengisolasi secara bertahap dari serasah mangrove pada media Potatoe Dextrose Agar (PDA). Setelah diidentifikasi berdasarkan Fassatiova, 1986, kultur murni Trichoderma sp. yang diperoleh diambil sebanyak 1 ose untuk dikultur pada Potatoe Dextrose Broth (PDB) dan diinkubasi pada inkubator shaker selama 5 hari. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring Whatman nomor 41 pada labu erlenmeyer lain sehingga hanya diperoleh filtratnya (Tomia, 2005). Hasil saringan dikeringkan pada freeze dryer yang sebelumnya sudah dibekukan.

Uji In Vitro

Sebanyak 0,1 ml suspensi sel V. harveyi (106 cfu/ml) disebar diatas permukaan media agar SWC (Sea Water Complete Agar) secara merata. Media yang telah disebari V. harveyididiamkan selama 5 menit hingga permukaan media


(29)

kering. Pengujian dilakukan dengan meletakkan kertas cakram berdiameter 6 mm yang telah dicelupkan pada larutan Trichoderma sp. dengan konsentrasi 0, 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, 1.000 ppm diatas agar cawan yang telah disebari V. harveyi. Biakan bakteri V. harveyi kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Respon antibakterial ditentukan dengan mengukur zona bebas bakteri disekeliling kertas cakram yang kelihatan bening dan diukur diameter daerah hambatnya (Lay, 1994).

Uji In Vivo

Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan masing masing 3 kali ulangan, sebagai berikut :

1. Kontrol positif : udang uji diinjeksi V. harveyi106 CFU/ekor.

2. Kontrol negatif : udang uji diinjeksi larutan fisiologis (NaCl 0,85%).

3. Perlakuan pengobatan : udang uji diinjeksi dengan V. harveyi 106 CFU/ekor, kemudian diinjeksi Trichoderma sp. sebanyak 0,1 ml/ekor dengan dosis 1200 ppm (11,3 mg/ekor) sehari kemudian.

4. Perlakuan pencegahan : udang uji diinjeksi dengan Trichoderma sp. sebanyak 600 ppm (5,6 mg/ekor) kemudian diinjeksi dengan V. harveyi 106 CFU/ekor sehari kemudian.

Pengamatan parameter sistem imun dilakukan 24, 48, 72, 96, jam pasca infeksi.

Pemeriksaan Parameter Penelitian 1. Sistem Imun

Parameter imun yang diukur adalah total hemosit, diferensial hemosit, aktifitas fagositosis, dan aktifitas phenoloksidase.

a. Total Hemosit (Blaxhall dan Daishley, 1973)

Hemolim diambil sebanyak 0,1 ml dibagian pangkal kaki jalan ke 5 dengan syringe 1 ml yang sudah berisi antikoagulan sebanyak 0,3 ml, kemudian dihomogenkan selama 5 menit. Tetesan pertama hemolim pada syringe dibuang, selanjutnya hemolim diteteskan ke haemositometer dan dihitung jumlah selnya


(30)

13 per ml dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40 kali. Total hemosit dihitung dengan menggunakan rumus :

Total Hemosit (sel/ml) = Rata-rata sel terhitung x 25 x FP x 10.000

Keterangan :

FP = faktor pengenceran

b. Diferensial Hemosit (Martin dan Graves , 1995)

Hemolim yang telah diambil dari udang uji diteteskan pada gelas objek dan dibuat ulasan, kemudian dikeringkan di udara dan difiksasi dengan metanol 100% selama 5 menit. Setelah itu dikeringkan udara kembali dan diwarnai dengan larutan giemsa 10% selama 10 menit, dicuci dalam air mengalir selama 30 detik dan dibiarkan kering. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100 kali dan dibedakan menurut jenisnya yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Persentase jenis hemosit dihitung dengan menggunakan rumus :

100

(%) x

hemosit sel

total

hemosit sel

jenis tiap jumlah hemosit

sel

Jenis

c. Aktifitas Fagositosis (Anderson dan Siwicki , 1993)

Hemolim 0,1 ml dimasukkan kedalam mikroplate dan dicampur secara merata dengan 25 μl bakteri Staphylococcus aureus dan diinkubasi selama 20 menit. Hemolim sebanyak 5 μl diteteskan pada objek glas dan dibuat preparat ulas lalu dikeringkan. Fiksasi dengan metanol 100% selama 5 menit dan diwarnai dengan giemsa selama 15 menit. Aktivitas fagositik diukur berdasarkan persentase sel-sel fagosit yang melakukan fagositosis. Aktifitas fagositosis dihitung dengan menggunakan rumus :

100

(%) x

fagosit sel

jumlah

s fagositosi melakukan

yang fagosit sel

jumlah s

fagositosi


(31)

d. Aktifitas Phenoloxidase (PO) (Liu and Chen, 2004)

Aktifitas phenoloxidase diukur menggunakan spektrofotometer. Pengamatan dilakukan dengan melihat perekaman pembentukan dopachrome yang dihasilkan dari L-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA). Hemolim disentrifuse pada 1000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Cairan supernatan dibuang dan pellet dibilas dengan cacodylate-citrate buffer hingga 1 ml (sodium cacodylate 0,01 M, sodium chloride 0,45 M, trisodium citrate 0,10 M, pH 7,0) kemudian disentrifuse ulang. Pellet selanjutnya dicampur dengan cacodylate buffer hingga 200 l (sodium cacodylate 0,01 M, sodium chloride 0,45 M, calcium chloride 0,01 M dan magnesium chloride 0,26 M, pH 7,0). Larutan kemudian dibagi dua.: Larutan pertama sebanyak 100 l diinkubasi selama 10 menit pada suhu 25oC dengan 50 l trypsin (1 mg /ml), sebagai elicitor kemudian ditambahkan 50 l L -DOPA, dan 5 menit kemudian dicampur 800 l cacodylate buffer. Larutan kedua sebanyak 100 l suspensi sel dicampur dengan 50 l cacodylate buffer (untuk menggantikan trypsin) dan 50 l L-DOPA yang digunakan sebagai kontrol untuk background aktifitas phenoloxidase pada semua kondisi uji. Optikal density (OD) diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Aktifitas phenoloxidase udang diekspresikan sebagai pembentukan dopachrome per 50 l hemolim.

2. Sintasan (Effendie, 1997)

Sintasan udang uji dihitung mulai infeksi dilakukan dan dihitung dengan menggunakan rumus :

100

(%) x

No Nt

SR

Keterangan : SR : Sintasan

Nt : Jumlah udang uji yang hidup pada akhir pengamatan (ekor) No : Jumlah udang uji pada awal pengamatan (ekor)


(32)

15

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam ujicoba ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan (pencegahan dan pengobatan) dan dua kontrol dengan masing-masing tiga ulangan. Kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontrol positif (tanpa pemberian ekstrak dengan uji tantang), dan kontrol negatif ( tanpa pemberian ekstrak dan tanpa uji tantang).

Parameter yang diamati dianalisa keragamannya dengan ANOVA dan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan uji lanjut Fisher’s LSD test menggunakan alat bantu Minitab versi 14.


(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Trichoderma sp.

Trichoderma sp. memiliki ciri koloni berwarna putih, beberapa hari kemudian bagian tengah berwarna hijau yang dikelilingi oleh miselium berwarna putih bersih untuk selanjutnya koloni tersebut berubah menjadi warna hijau. Secara mikroskopis Trichoderma sp. memiliki konidiofor dengan percabangan menyerupai piramid yaitu cabang yang lebih panjang dibawahnya, fialid tersusun pada kelompok-kelompok yang berbeda, terdapat 2-3 fialid perkelompok. Konidia berbentuk bulat dengan diameter 3,5-4,5 µm (Fassaitova, 1986). Dari isolasi fungi yang berasal dari serasah mangrove diperoleh ciri-ciri Trichoderma

sp. pada media PDA pada awalnya koloni berwarna putih, tiga hari kemudian sebagian berwarna hijau yang dikelilingi miselium berwarna putih. Untuk selanjutnya seluruh koloni berwarna hijau (Gambar 1). Secara mikroskopis

Trichoderma sp. memiliki konidiofor percabangan berupa segitiga/piramid dan konidia berbentuk bulat. Dari 100 ml PDB yang berisi fungi Trichoderma sp. menghasilkan berat kering 0,522 g.

Gambar 1. Trichoderma sp. pada cawan petri dan tabung reaksi

Uji In Vitro

Berdasarkan hasil uji daya hambat difusi agar untuk mengetahui sensitifitas bakteri V. harveyi terhadap bahan aktif dari fungi Trichoderma sp. terlihat adanya potensi untuk menghambat pertumbuhan bakteri V. harveyi. Hal tersebut dapat dilihat dari zona bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram yang mengandung bahan aktif dari Trichoderma sp. Terbentuknya zona hambat bebas bakteri


(34)

17 melalui pengamatan daerah jernih disekeliling kertas cakram, membuktikan adanya daya kerja antimikrobial (Lay, 1994).

Daya hambat cendawan Trichoderma sp. terhadap pertumbuhan bakteri

V.harveyi setelah 24 jam masa inkubasi ditunjukkan pada Tabel 1. Semakin tinggi dosis cendawan Trichoderma sp., semakin kuat daya hambatnya terhadap

V. harveyi. Pengujian dengan dosis 100-200 ppm berbeda nyata (p<0,05) dengan dosis 300-500 ppm, serta 600-1.000 ppm. Dari data tersebut diketahui bahwa pada konsentrasi ekstrak 600 ppm memiliki daya hambat yang berbeda nyata dengan konsentrasi 0-500 ppm, tetapi tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi 700-1.000 ppm (Lampiran 1).

Tabel 1. Rata-rata diameter zona hambat bebas bakteri V. harveyi yang diberi perlakuan ekstrak fungi Trichoderma sp.

Konsentrasi Ekstrak Fungi

Trichoderma sp. (ppm)

Diameter Zona Hambat (mm)

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

0.0 ± 0.0a 6.2 ± 0.29b 6.7 ± 0.29b 9.8 ± 1.04c 10.0 ± 0.50c

10.3 ±1.04c 12.8 ± 0.29d 12.8 ± 0.76d 13.0 ± 0.50d 12.7 ± 1.04d 12.7 ± 0.29d

Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 95% (p < 0,05)

Daya hambat dari fungi Trichoderma sp. mulai kelihatan pada konsentrasi 100 ppm, tetapi diameter zona hambat bebas bakteri yang ditunjukkan hingga konsentrasi 1000 ppm jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai standar rentan (susceptible) dari produsen antibiotik, tetapi pada konsentrasi diatas 400 ppm sudah mendekati kriteria resisten bahkan sebagian masuk pada kategori


(35)

resisten bahkan intermediate (Tabel 2). Nilai zona hambat bebas bakteri yang berada dibawah nilai resisten tersebut mengindikasikan bahwa Trichoderma sp. memiliki antibakterial yang lemah terutama terhadap bakteri V. harveyi. Rendahnya daya hambat Trichoderma sp. terhadap bakteri V. harveyi dapat disebabkan perbedaan kemurnian ekstrak serta jenis antibiotik. Selain itu dapat diduga pula bahwa V. harveyi telah resisten terhadap bahan dengan konsentrasi tersebut (Tabel 1).

Pemanfaatan Trichoderma sp. juga telah dilaporkan oleh Nurjanani (2001), dimana Trichoderma sp. cukup efektif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. Pengendalian penyakit layu bakteri tersebut ditunjukkan dengan bobot buah tomat yang baik pada akhir musim tanam bila dibandingkan dengan bahan lainnya.

Tabel 2. Diameter zona hambat beberapa antibiotik

Antibiotik

Konsentrasi pada kertas

cakram

Resisten (R) (mm)

Intermediate (I) (mm)

Rentan (Susceptible,S)

(mm)

Chloramphenicol 30 µg ≤ 12 13 - 17 ≥ 18

Erythromycin 15 µg ≤ 13 14 - 17 ≥ 18

Nalidixid acid 30 µg ≤ 13 14 - 18 ≥ 19

Streptomycin 10 µg ≤ 11 12 - 14 ≥ 15

Tetracycline 30 µg ≤ 14 15 - 18 ≥ 19

Trimethoprim 5 µg ≤ 10 11 - 15 ≥ 16

Sumber : Mayer, 2007

Dalam budidaya udang penggunaan antibiotik untuk menghambat bakteri saat ini sudah tidak efektif lagi, dikarenakan beberapa bakteri sebagai contoh V. harveyi telah memiliki sifat resistensi terhadap beberapa antibiotik antara lain

chloramphenicol, erytrhromimycin, neomycin, oxytetracycline, furazolidone, nifurpirinol dan gentamycin (Karunasagar et al. 1994 ; Muliani, 2002). Selain itu penggunaan antibiotik memiliki dampak terhadap lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Reed et al. 2003). Peranan dari bahan aktif cendawan diharapkan dapat menggantikan penggunaan antibiotik


(36)

19 0

20 40 60 80 100 120

0 24 48 72 96

Pasca Infeksi (Jam)

S

in

ta

s

a

n

(

%

)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

Uji In Vivo

Sintasan Udang

Sintasan udang uji untuk semua perlakuan hingga akhir penelitian disajikan pada Gambar 2. Pada akhir penelitian menunjukkan sintasan pada kontrol negatif tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap perlakuan pengobatan maupun perlakuan pencegahan. Walaupun demikian sintasan tertinggi diperoleh dari kontrol negatif sebesar 85,71 ± 0,00% dan selanjutnya diikuti perlakuan pencegahan (71,43 ± 14,29%) dan pengobatan (57,14 ± 14,29%). Semua udang pada kontrol positif mengalami kematian total sampai 24 jam pasca uji tantang dengan V. harveyi ( Lampiran 2).

Pemberian cendawan Trichoderma sp. setelah uji tantang mampu mengendalikan populasi V. harveyi karena sifat anti bakterialnya dan juga efek dari immunostimulasinya. Dalam hal ini pemberian Trichoderma sp. setelah uji tantang (pengobatan) ternyata dapat memberikan proteksi terhadap udang vaname dari infeksi V. harveyi. Walaupun pada uji in vitro menunjukkan bahwa

Trichoderma sp. memiliki daya bakterial rendah tetapi pada uji in vivo

menunjukkan pengaruh yang besar. Pemberian Trichoderma sp. sebelum uji tantang (pencegahan) mampu meningkatkan nilai parameter immunologis sehingga sel hemosit dapat mengendalikan V. harveyi dalam tubuh udang melalui aktifitas fagositosis.


(37)

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00

0 24 48 72 96

Pasca Infeksi (Jam)

To

ta

l H

em

os

it

(1

0^

6)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

A. Total Hemosit

Darah udang dikenal dengan hemosit. Darah udang tidak berwarna merah karena tidak memiliki Hemoglobin (Hb), tetapi jika berikatan dengan oksigen akan berwarna biru muda. Fungsi Hb pada udang digantikan oleh hemosianin yang berfungsi dalam transport oksigen, sebagai buffer dalam darah krustasea dan berperan penting dalam osmotik darah (Maynard, 1960). Total hemosit udang uji untuk semua perlakuan hingga akhir penelitian disajikan pada Gambar 3.

Total hemosit udang vaname yang diberi Trichoderma sp. pada akhir penelitian secara statistik menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) terhadap perlakuan. Sedangkan antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) antara kontrol negatif dengan perlakuan pengobatan dan pencegahan. Untuk perlakuan pencegahan juga memberikan perbedaan nyata (p<0,05) terhadap perlakuan pengobatan. Hal tersebut mengindikasikan perlakuan ekstrak memberi pengaruh yang lebih baik dibandingkan kontrol negatif dan juga berpengaruh terhadap pemberian perlakuan sebelum (pengobatan) maupun sesudah infeksi (pencegahan) terjadi. Total hemosit terendah terjadi pada jam ke 0 sebelum perlakuan infeksi yaitu untuk kontrol negatif rata-rata 2,20 ± 0,05 x 106 sel/ml dan meningkat pada jam ke 24. Total hemosit mencapai puncak pada jam ke 24 yaitu 2,27 ± 0,08 x 106 sel/ml kemudian turun kembali hingga jam ke 96 yaitu 2,23 ± 0,03 x 104 sel/ml. Untuk perlakuan pencegahan total hemosit terendah terjadi pada jam ke 0 sebelum infeksi V.harveyi yaitu 2,23 ± 0,09 x 106 sel/ml dan selanjutnya meningkat hingga jam ke 48 yaitu 2,67 ± 0,03 x 106 sel/ml (Lampiran 3).

Gambar 3. Total Hemosit udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan


(38)

21 Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak Trichoderma sp. akan meningkatkan total hemosit udang uji hingga jam ke 48 dan untuk pengamatan jam berikutnya akan turun kembali. Peningkatan total hemosit pada jam ke 24 setelah infeksi menunjukkan adanya kemampuan bahan aktif dari ekstrak untuk meningkatkan imunnitas dengan cepat. Hal tersebut berbeda dengan pengaruh yang ditunjukkan oleh lipopolisakarida, dimana total hemosit udang menurun pada saat 4 dan 24 jam setelah perlakuan dan baru meningkat kembali setelah 48 jam (Van de Braak, 2002).

Peningkatan total hemosit udang uji yang diinjeksi ekstrak Trichoderma sp. mengindikasikan bahwa bahan aktif tersebut mampu merangsang pembentukan sel-sel hemosit yang kemudian dilepaskan ke dalam hemolimph. PBS steril yang diinjeksikan pada udang uji ternyata dapat juga meningkatkan total hemosit. Hal ini didukung pendapat Lorenzo et al. (1999) bahwa total hemosit pada krustasea menurun dengan cepat setelah diinjeksi dengan bahan asing, sementara total hemosit seringkali meningkat setelah diinjeksi PBS.

Penurunan total hemosit setelah uji tantang berhubungan dengan aktifitas pertahanan yang berbeda. Hemosit akan bermigrasi ke tempat injeksi menyebabkan berkurangnya konsentrasi sel dalam hemolimph (Van de Braak 2002). Hemosit beragregat menjadi gumpalan setelah infeksi bakteri yang akut (Johnson 1976, diacu dalam Van de Braak 2002). Sel-sel fagositik hemosit mungkin meninggalkan sirkulasi setelah memfagositosis dan masuk ke dalam jantung, jaringan penunjang, insang atau sinus hemallain (Factor dan Beekman 1990, diacu dalam Van de Braak 2002). Degranulasi dapat diikuti oleh lisis sel (Soderhall et al. 1986), oleh karena itu sejumlah hemosit dapat juga hilang selama proses degranulasi.

Total hemosit merupakan salah satu parameter status kesehatan udang. Beberapa informasi menunjukkan pentingnya total hemosit dalam ketahanan terhadap patogen. Person et al. (1987) melaporkan hubungan antara jumlah hemosit dan ketahanan Pacifastacus leniusculus terhadap parasit jamur

Apahnomyces astaci. Mereka menunjukkan bahwa penurunan jumlah hemosit udang karang (crayfish) melawan A. astaci saat infeksi laten, menyebabkan kematian pada crayfish. Lorenzo et al. (1999) mengemukakan bahwa jumlah


(39)

hemosit bebas dapat bervariasi dan dapat menurun secara drastis selama infeksi. Le Moullac et al. (1998) mengemukakan bahwa Penaeus stylorostris dengan total hemosit yang rendah akibat hypoxia, menjadi lebih sensitif terhadap infeksi dengan V. alginolyticus yang sangat virulen. Hypoxia yang menyebabkan menurunnya total hemosit yang signifikan disebabkan oleh penurunan sel-sel semi granular dan hialin yang signifikan.

Peningkatan total hemosit udang uji setelah perlakuan ekstrak Trichoderma

sp. berarti meningkatkan status kesehatan organisme tersebut karena dengan peningkatan total hemosit berarti meningkatkan peluang terbentuknya sel-sel fagositik yang sangat berperan dalam mengendalikan serangan mikroorganisme dalam tubuh. Dalam hal ini ketahanan tubuh akan semakin meningkat dan kerentanan tubuh terhadap penyakit infeksi akan menurun. Total hemosit diyakini mempengaruhi kemampuan inang untuk bereaksi melawan bahan asing (Person et al. 1987) dan berbagai respon terhadap infeksi, perubahan lingkungan pada sebagian besar crustacea (Tsing et al. 1989). Jumlah hemosit yang rendah sangat berkorelasi dengan sensitifitas terhadap patogen yang lebih tinggi (Person et al.

1987; Le Moullac dan Haffner. 2000) dan oleh karena itu, total hemosit yang rendah mengindikasikan kerentanan terhadap penyakit infeksi tinggi.

Peranan total hemosit pada krustasea dalam resistensi patogen, apabila terjadi penurunan total hemosit maka dapat terjadi infeksi akut yang dapat menyebabkan kematian (Rondriguez dan Le Moullac, 2000). Dengan terjadinya peningkatan total hemosit maka akan meningkatkan kemampuan untuk memfagositosis. Peningkatan total hemosit juga menjadikan daya peningkatan sel granular untuk melakukan aktifitas phenoloxidase sehingga udang dapat bertahan terhadap serangan bakteri

B. Diferensial Hemosit

Berdasarkan bentuk, warna, ukuran relatif dan rasio sitoplasma serta inti selnya, hemosit dapat dibedakan atas tiga jenis sel yaitu hialin, granular dan semi granular. Hialin merupakan sel dengan perbandingan inti sel yang lebih tinggi dibandingkan sitoplasma, granulosit memiliki perbandingan inti sel yang lebih rendah dibandingkan sitoplasmanya, dan semi granulosit merupakan sel hemosit


(40)

23 0

10 20 30 40 50 60 70

0 24 48 72 96

Pasca Infeksi (Jam)

S

e

l

H

ia

li

n

(

%

)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

dengan perbandingan inti sel yang lebih rendah dibandingkan sitoplasmanya dan beberapa granul submikron dan mikron. Diferensial hemosit udang uji untuk semua perlakuan hingga akhir penelitian disajikan pada Gambar 4, 5 dan 6.

Sebelum infeksi V. harveyi persentase hialin berkisar antara 60,39 ± 0,58% -61,47 ± 0,58%, semigranulosit 8,52 ± 1,53% – 10,68 ± 1,53%, dan sel granulosit 28,93 ± 2,65% – 30,01 ±4,36%. 24 jam setelah infeksi pada perlakuan kontrol positif semua udang vaname mati, sedangkan perlakuan lainnya terjadi penuruan persentase pada hialin yaitu antara 24,23 ± 1,75% – 53,70 ± 1,17%, tetapi terjadi peningkatan pada semigranulosit dan granulosit secara berturut turut 7,53 ± 2,06% - 12,39 ± 1,15% dan 35,35 ± 2,08% – 64,79 ± 1,63%.

Persentase hialin pada perlakuan pencegahan pada jam ke 24 setelah infeksi menunjukkan penurunan dengan nilai 41,98 ± 0,30% dibandingkan pada jam ke 0 sesaat sebelum infeksi dan pada jam ke 48 persentase hialin mulai meningkat hingga jam ke 96. Semua waktu pengamatan menunjukkan beda nyata (p<0,05) terhadap perlakuan pengobatan maupun kontrol negatif, kecuali pada jam ke 0. Persentase perlakuan pengobatan setelah jam ke 0 antara 24,23 ± 1,75% hingga 37,93 ± 5,47%. Nilai terendah terjadi pada jam ke 48 dengan nilai 24,23 ± 1,75% kemudian meningkat kembali pada jam ke 72 dan 96 jam dengan nilai berturut-turut 25,95 ± 4,39% dan 26,48 ± 2,75%. Sedangkan pada kontrol negatif nilai hialin pasca infeksi antara 26,47 ± 2,91% hingga 26,48 ± 2,75% (Lampiran 4).

Gambar 4. Persentase sel hialin udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan


(41)

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 24 48 72 96

Pasca Infeksi (Jam)

S

el

S

em

i

G

ra

n

u

los

it

(

%

)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

Persentase semigranulosit pasca infeksi V. harveyi menunjukkan bahwa kontrol negatif tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap semua perlakuan pencegahan dan pengobatan pada semua waktu pengamatan. Persentase semigranular terendah pasca infeksi terjadi pada perlakuan pencegahan yaitu pada jam ke 24 yaitu 7,53 ± 2,06% diikuti kontrol negatif (10,03 ± 2,54%) dan perlakuan pengobatan dengan nilai 10,37 ± 2,36% .

Penurunan persentase sel hialin berdampak pada peningkatan sel semi granulosit dan sel granulosit. Pada perlakuan pengobatan persentase tertinggi pada jam ke 48 dengan nilai sel semi granulosit 12,39 ± 1,15% berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan pencegahan tetapi tidak berbeda nyata (p> 0,05) terhadap kontrol negatif. Untuk perlakuan pencegahan nilai tertinggi terjadi pada jam ke 72 denga nilai 11,10 ± 1,95% dan tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap perlakuan pengobatan dan kontrol negatif. Perlakuan kontrol negatif tertinggi pada jam ke 48 dengan nilai 12,32 ± 1,56% (Lampiran 5).

Sel granulosit tertinggi pada perlakuan pengobatan jam ke 24 dengan nilai 64,79 ± 1,63% di ikuti dengan kontrol negatif (61,56 ± 2,00%) dan perlakuan pencegahan dengan nilai 50,58 ± 1,76%.

Gambar 5. Persentase sel semi granulosit udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan

Sel granulosit setelah jam ke 24 pasca infeksi terus mengalami penurunan hingga akhir penelitian begitu pula dengan kontrol negatif dan perlakuan pencegahan (Gambar 6).


(42)

25 0

10 20 30 40 50 60 70 80

0 24 48 72 96

Pa sca Infeksi (Jam)

S

el

G

ra

n

u

lo

si

t

(%

)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

Untuk persentase sel granulosit pada akhir penelitian menunjukkan perbedaan nyata (p< 0,05) pada perlakuan kontrol negatif. Sedangkan antar perlakuan menunjukkan persentase hialin kontrol negatif berbeda nyata (p< 0,05) terhadap persentase hialin pencegahan, tetapi terhadap pengobatan tidak berbeda nyata (p>0,05), persentase hialin pada perlakuan pencegahan berbeda nyata (p< 0,05) terhadap perlakuan pengobatan (Lampiran 6).

Gambar 6. Persentase sel granulosit udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan

Persentase sel hialin dalam hemosit yang menunjukkan penurunan dan nilai yang rendah merupakan dampak dari peningkatan persentase dari sel granular. Peningkatan persentase sel granular setelah perlakuan merupakan adanya kemungkinan percepatan pematangan sel granulosit dari sel hialin maupun semi granular. Soderhall dan Cerenius (1992), menjelaskan sebagian besar hemosit crustacea tidak membelah sehingga kemungkinan besar terjadi proses pergantian sel tua ke sel yang dilepas kedalam hemolim. Granulosit merupakan tahap terakhir dari suatu perkembangan sel dalam hemolim. Sel hialin merupakan sel termuda dibandingkan dengan semi granulosit maupun granulosit dan merupakan

cell line yang dilepas dari hepatopoeietik (Van de Braak,2002). Peningkatan sel-sel granular pada udang setelah perlakuan memberi pengaruh positif terhadap ketahanan tubuh udang yang dapat mengendalikan populasi V. harveyi dalam tubuh sehingga jenis sel tersebut merupakan sel hemosit yang besar peranannya dalam meningkatkan ketahanan tubuh udang. Dengan demikian, peningkatan sel-sel hialin dalam hemosit merupakan salah satu parameter peningkatan status


(43)

kesehatan udang yang tentunya tidak lepas dari peran dan fungsi dari jenis sel lain dalam hemosit. Menurut Soderhall dan Cerenius (1992), kerjasama dan komunikasi sel pada beberapa reaksi pertahanan terjadi ketika mikroorganisme atau parasit dikenali dan respon immun dibentuk. Bachere (2000), mengemukakan berdasarkan karakteriktisasi morfologi dan sitokimia, beberapa fungsi dan keterlibatan dalam reaksi pertahanan yang berbeda berhubungan dengan jenis sel yang berbeda, misalnya sel hialin dengan fagositosis, sel granular dan semi granular dengan encapsulasi dan sistem ProPO (Soderhall dan Cerenius, 1992).

C. Aktifitas Fagositosis

Aktifitas fagositosis merupakan reaksi pertahanan seluler paling umum pada udang. Respon ini sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari masuknya antigen, dengan cara menghancurkan antigen secara nonspesifik melalui proses fagositosis (Le Moullac dan Haffner, 2000). Aktifitas fagositik udang uji untuk semua perlakuan hingga akhir penelitian disajikan pada Gambar 8.

10 µm 10 µm

10 µm


(44)

27 0

10 20 30 40 50 60

0 24 48 72 96

Pasca Infeksi (Jam)

A

k

ti

fi

ta

s

P

a

g

o

s

it

o

s

is

(

%

)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

Aktifitas fagosistosis udang uji pada jam ke 0 atau sebelum infeksi berkisar antara 40,02 ± 2,54% – 42,56 ± 2,03%. Pada kontrol negatif aktifitas fagosistosis mencapai puncaknya pada jam ke 24 dengan nilai 42,35 ± 3,11%, kemudian turun kembali hingga jam ke 72 dengan nilai 41,75 ± 2,42%. Pada jam ke 96 terjadi peningkatan aktifitas fagosistosis dengan nilai 42,06 ± 3,79%.

Untuk perlakuan pengobatan puncak aktifitas fagosistosis terjadi pada jam ke 48 dengan nilai 47,44 ± 5,25%, kemudian terjadi penurunan hingga jam ke 96 dengan nilai aktifitas fagosistosis 44,34 ± 4,62%. Perlakuan pencegahan aktifitas fagosistosis dari jam ke 0 sebelum infeksi dan jam ke 24 pasca infeksi terus meningkat hingga jam ke 96 dengan nilai 56,55 ± 0,52% (Gambar 8 ).

Aktifitas fagositosis pada jam ke 24 menunjukkan peningkatan tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) pada semua perlakuan. Pada jam ke 48 perlakuan pencegahan terjadi peningkatan aktifitas fagositosis (54,15 ± 1,83% ) dan berbeda nyata (p<0,05) terhadap perlakuan pengobatan maupun kontrol negatif.

Gambar 8. Aktifitas fagosistosis udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan

Aktifitas fagositosis pada perlakuan pencegahan terus meningkat hingga jam ke 96 dengan nilai 56,55 ± 0,52%. Perlakuan pengobatan menunjukkan puncak aktifitas fagositosis pada jam ke 48 (47,44 ± 5,25%) dan menurun kembali pada jam ke 72. Pada kontrol negatif nilai tertinggi pada jam ke 24 pasca infeksi dan menurun hingga jam ke 72, untuk jam 96 terjadi peningkatan dengan nilai 42,06 ± 3,79% (Lampiran 7).


(45)

Penurunan aktifitas fagosistosis udang uji setelah uji tantang disebabkan oleh berkurangnya sel-sel fagositik dalam hemolimph. Sel-sel fagositik dapat berkurang dalam hemolimph karena dalam aktifitas fagositosis, sel-sel fagositik sebagian akan hancur bersama dengan bakteri setelah melewati berbagai proses fagositosis. Menurut Secombes (1994), mekanisme proses fagositosis melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) perlekatan partikel pada permukan sel, (2) penelanan, (3) penghancuran dan pencemaan bakteri. Degranulasi dapat diikuti oleh lisis sel (Soderhall et al. 1986), dan oleh karena itu sejumlah hemosit dapat juga hilang selama proses degranulasi, meninggalkan kandungannya dengan bahan yang terdegradasi dalam matrix fibrous ekstraseluler (Van de Braak, 2002). Sel-sel fagositik yang tidak hancur bersama patogen dalam proses fagositosis akan meninggalkan hemolimph. Menurut Faktor dan Beekman (1990), diacu dalam

Van de Braak (2002), sel-sel fagositik hemosit dapat meninggalkan sirkulasi setelah melakukan fagositosis dan masuk ke jantung, jaringan penunjang, insang, dan sinus haemal lainnya. Immuno-staining menunjukkan bahwa banyak haemosit yang terdegranulasi dalam organ limfoid, menghasilkan lapisan bahan fibrous pada bagaian luar dinding tubule. Ini dapat berkontribusi terhadap konsentrasi hemosit yang berkurang dalam hemolimph hewan yang sakit atau setelah injeksi dengan bahan asing.

Peningkatan aktifitas fagositik udang mengindikasikan bahwa Trichoderma

sp. mampu meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit. Sel yang berperan besar dalam proses fagositik ini adalah sel hialin. Bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh udang direspon pada sel semi granular dan granular dengan melepaskan sistem proPO yang diaktifkan. Selanjutnya sel semi granular menstimulasi fagositosis oleh sel hialin atau enkapsulasi (Söderhäll dan Cerenius, 1992). Pemberian ekstrak dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, karena meningkatnya mekanisme respon imun pertahanan non spesifik (Sakai, 1999).


(46)

29 0,00

0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60

0 24 48 72 96

Pasca Infeksi (Jam)

A

kt

if

it

a

s

P

O

(

O

D

4

9

0

n

m

)

Kontrol (+) Pengobatan Pencegahan Kontrol (-)

D. Aktifitas Phenoloxidase (PO)

Udang memiliki dua respon imunitas yang terdiri dari respon selular dan humoral. Aktifitas PO merupakan salah satu dari respon humoral udang yang bersifat nonspesifik (Johansson dan Soderhall, 1985). Aktifitas phenoloksidase (PO) udang uji pada jam ke 0 atau sebelum infeksi berkisar antara 0,41 ± 0,02 – 0,44 ± 0,01. Pada jam ke 24 setelah infeksi terjadi penurunan PO pada kontrol negatif dengan nilai 0,40 ± 00, sedangkan pada perlakuan pengobatan terjadi peningkatan dengan nilai 0,47 ± 0,01 dan pada jam selanjutnya tidak terjadi peningkatan hingga jam ke 96. Pada jam perlakuan pencegahan peningkatan terjadi mulai jam ke 24 dengan nilai 0,48 ± 0,01 dan terus meningkat hingga akhir penelitian dengan nilai 0,50 ± 0,00. Pada kontrol positif jam ke 24 sudah tidak bisa diukur karena semua udang mati (Gambar 9).

Peningkatan aktifitas PO pada udang uji yang telah diberi perlakuan menunjukkan perlakuan pencegahan pada jam ke 12 dengan nilai 0,41 ± 0,02 tidak berbeda nyata (p>0,05) pada kontrol negatif (0,37 ± 0,03) tetapi berbeda (p<0,05) pada perlakuan pengobatan (0,31 ± 0,01). Mulai jam ke 24 peningkatan PO pada perlakuan pencegahan tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap pengobatan

Gambar 9. Nilai phenoloksidase udang L. vannamei pada masing-masing perlakuan

tetapi berbeda nyata (p<0,05) pada kontrol negatif (Lampiran 8 ). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian ekstrak memberikan pengaruh terhadap udang uji


(47)

pada perlakuan pencegahan maupun pengobatan bila dibandingkan dengan kontrol negatif.

Enzim phenoloxidase dihasilkan melalui sistem ProPO yang dapat diaktifkan oleh adanya imunostimulan dan enzim ini berperan dalam proses melanisasi. Pemberian ekstrak Trichoderma sp. mampu meningkatkan aktifitas phenoloksidase menunjukkan bahwa ekstrak dapat menstimulasi hemosit udang vaname hingga aktifitas phenoloksidase terbentuk. Dengan meningkatnya aktifitas phenoloksidase maka kemampuan udang vaname untuk mengenali partikel asing yang masuk kedalam tubuh semakin baik dan untuk selanjutnya lebih meningkatkan proses fagositosis. Proses ini akan mengurangi partikel asing dalam tubuh sehingga daya tahan udang dapat meningkat. Menurut Cang et al. (2000); Campa-Cordova et al. (2002) bahwa resistensi krustasea terhadap patogen karena adanya pemberian -glukan sehingga memicu terjadinya aktifitas phenoloxidase, selanjutnya meningkatkan fagositosis, cell-adhesion, dan produk

superoxide dalam hemosit.

Imunostimulan glukan ragi dapat meningkatkan aktifitas phenoloxidase

Penaeus monodon yang mengindikasikan meningkatnya kemampuan imun (Sung

et al. 1994). Demikian juga pada penelitian ini, dimana penyuntikan ekstrak

Trichoderma sp. ternyata mampu meningkatkan aktifitas PO mulai jam ke 12 hingga jam ke 96 pada perlakuan pencegahan.

Reaksi melanisasi merupakan respon umum terhadap patogen (agen asing) yang masuk ke dalam tubuh avertebrata, dimana melanin merupakan racun bagi mikroorganisme (Söderhäll dan Cerenius, 1998). Melanisasi juga ditentukan sebagai reaksi pertahanan pada avertebrata melawan organisme patogen yang masuk tubuh udang (Sritunyalucksana et al. 2001).


(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan :

1. Uji in vitro menunjukkan Trichoderma sp. memiliki kemampuan sebagai antibakterial dengan daya hambat terbaik 600 ppm pada kertas cakram. 2. Uji in vivo menunjukkan Trichoderma sp. memiliki kemampuan

memproteksi terhadap infeksi V. harveyi dengan sintasan udang sebesar 71,43%.

3. Uji in vivo menunjukkan Trichoderma sp. memiliki kemampuan sebagai bahan imunostimulan udang ditunjukkan dengan peningkatan total hemosit 2,57 ± 0,08 x 106 sel/ml, aktifitas fagositosis 56,55 ± 0,01% dan aktifitas PO 0,50 jika dibandingkan dengan tanpa pemberian Trichoderma sp.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai dosis dan waktu aplikasi Trichoderma


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Alvares JD, Austin B, Alvares AM, Reyes H. 1998. Vibrio harveyi: a pathogen of penaied shrimps and fish in Venezuela. J.of Fish Disease 21: 313-316. Amirante GA. 1986. Cellular Immune Responses in Crustacean. In : Gupta A.P.

(ed) Hemocyte and Humoral Immunity In artopods. Jhon Wiley and Sona . Inc. New York. p. 61-75.

Anderson DP. 1992. Immunostimulant, adjuvants and vaccine carriers in fish: applications to aquaculture. Ann. Rev. Fish Dis. 2:281-307

Anderson DP, Siwicki AK. 1993. Basic haematology and serology for fish health program. Paper Presented In Second Symposium on Disease in Asian Aquaculture “ Aquatic Animal Health and the environment” Phuket Thailand. 25-29th October 1993.

Blaxhall P, Daisley K. 1973. Some blood parameters of the rainbow trout I. The Kamloops Variety. J. Fish Biol. 5:1-8.

Chet I. 1987. Trichoderma – application, mode of action, and potential as biocontrol agent of soil-borne plant pathogenetic fungi. New York. John Willey and Sons. 137-160.

Dugger DM, Jory DE., 1999. Bio-Modulation of the Non-Specific Immune

Response in Marine Shrimp with β-Glucan. Aquaculture Magazine No.1/volume 25: 81 – 89.

Effendie I. 1997. Biologi Perikanan . Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Ellis AE. 1988. General Principles of Fish Vaccaination. Academic Press.

London. p. 1-19.

Fassatiova A. 1986. Mould and filamentous fungi in technical microbiology. Dept of Cryptogamic Botani, Charles University, Prague

Felix S., PH. Robins, and A. Rajeev. 2005. Immune enhancement in Indian white shrimp by addition of seaweed. J. Indian Vet. 82:1327-1328.

Fontaine CT, Lightner DV. 1974. Observation on Phagocytosis and Elimination of Carmine Particle Injected into the Abdominal Musculature of the White shrimp. J. Invertebrate. Pathology. 5:11-40.

Itami T. 1994. Body defense system of penaied shrimp. Paper presented on Seminar on Fish Physiology and Prevention of Epizootic. Dept. of


(50)

33 Johansson MW, Soderhall K. 1985. A cell adhesion factor from crayfish

haemocytes has degranulating activity towards crayfish granular cells.

Insect Biochem. 19:183-190

Johansson MW, Söderhäll K. 1989. Cellular immunity in crustaceans and the proPO system. Parasitol Today 5:171-176.

Karunasagar I, Pai R, Malathi GR, Karunasagar I. 2004. Mass mortality of

Penaeus monodon larvae due to antibiotic-resistant Vibrio harveyi infection.

Aquaculture. 128; 203-209.

Kumari J., and PK. Sahoo. 2006. Non-specific immune response of healthy and immunocompromised Asian catfish (Clarias batrachus) to several immunostimulant. Aquaculture 255:133-141.

Kwang LC. 1996. Immune enhancer in the control of disease in Aquaculture. Encap Technology Pte Ltd., Singapura.

Kreig NK and Peter H. 1994. Bergeys manual of determinate bacteriology. 9 th edition. The Williams and Wilkins Company. Baltimore.

Lavila-Pitogo CR Baticados LL, Crus LER, de la Pena LD. 1990. Occurance of Luminous Bacterial Diseases of P. monodon Larvae in The Philippines.

Aquaculture, 91: 1-13.

Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Le Moullac G and P Haffner. 2000. Environmental factor affecting immune response in crustacean. Aquaculture 191:121-131.

Lee KK., SR. Yu, FR. Chen, TZ. Yang, and PC. Liu. 1996. Virulence of Vibrio alginolyticus isolated from diseased tiger prawn Penaeus monodon. Current Microbiology 32:229-231.

Leswara ND, J Atmodjo, U Masnur, S Yasin, M Radji, A Soemali. 1987. Antibacterial and Brine Shrimp Bioassay of Ethanolic Extracts of Some Indonesia Mangrove Plants. Proceeding of UNESCO Regional Summer on The Chemistry of Mangrove Plants. Chulalongkorn University, Bangkok. p. 155-159.

Liu CH and Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune respons of white shrimp Litopenaeus vannamei and susceptibility to Vibrio alginolyticus.

Fish and Shelfish Immunology 16; 321 334.

Logan NA. 1994. Bacterial Systematics. Blackwell Scientific Publication. London.

Martin GG, Graves LB. 1985. Fine structure and classification of shrimp hemocytes. J. Morfology 185:339-348.


(1)

39

Lampiran 3. Total Hemosit udang Vaname dengan beberapa perlakuan

Perlakuan Ulangan Total Hemosit (x10

6 sel /ml)

Jam

ke-0 24 48 72 96

Kontrol (+)

1 2 3

2,25 2,40 2,20

-Rerata 2,28±0,10 - - -

-Pengobatan

1 2 3

2,20 2,30 2,35

2,45 2,55 2,60

2,50 2,60 2,45

2,50 2,50 2,45

2,50 2,45 2,35

Rerata 2,28±0,08 2,53±0,08 2,52±0,08 2,48±0,03 2,43±0,08

Pencegahan

1 2 3

2,25 2,22 2,25

2,60 2,65 2,70

2,70 2,65 2,65

2,55 2,70 2,60

2,50 2,65 2,55

Rerata 2,23±0,03 2,65±0,05 2,67±0,03 2,62±0,08 2,57±0,08

Kontrol (-)

1 2 3

2,25 2,15 2,20

2,20 2,35 2,25

2,30 2,25 2,20

2,20 2,20 2,30

2,25 2,20 2,25


(2)

40

Lampiran 4. Sel Hialin (%) udang Vaname dengan beberapa perlakuan

Sel Hialin (%) Jam Ke-Perlakuan Ulangan

0 24 48 72 96

Kontrol (+)

1 2 3

57,58 62,90 63,93

-Rerata 61,47±3,41 - - -

-Pengobatan

1 2 3

59,70 64,62 59,38

26,03 24,29 24,19

25,00 22,22 25,45

21,43 26,23 30,19

23,81 26,32 29,31

Rerata 61,23±2,94 24,84±1,03 24,23±1,75 25,95±4,39 26,48±2,75

Pencegahan 1 2 3

58,73 65,52 56,92

42,03 41,67 42,25

41,82 49,18 50,00

44,64 48,33 47,62

52,83 55,74 52,54

Rerata 60,39±4,53 41,98±0,30 47,00±4,51 46,87±1,96 53,70±1,77

Kontrol (-)

1 2 3

55,38 63,33 62,90

28,07 29,09 28,07

29,82 25,00 24,59

30,61 23,64 27,87

29,82 26,56 23,33


(3)

41

Lampiran 5. Sel Semi Granulosit (%) udang Vaname dengan beberapa perlakuan

Sel Semi Granulosit (%) Jam

Ke-Perlakuan Ulangan

0 24 48 72 96

Kontrol (+)

1 2 3

6,06 11,29

8,20

-Rerata 8,52±2,63 - -

-Pengobatan

1 2 3

10,45 6,15 12,50

8,22 10,00 12,90

13,33 11,11 12,73

10,71 11,48 9,43

14,29 8,77 10,34

Rerata 9,70±3,24 10,37±2,36 12,39±1,15 10,54±1,03 11,13±2,84

Pencegahan 1 2 3

11,11 8,62 12,31

7,25 9,72 5,63

12,73 9,84 9,38

8,93 11,67 12,70

9,43 9,84 13,56

Rerata 10,68±1,88 7,53±2,06 10,65±1,82 11,10±1,95 10,94±2,27

Kontrol (-)

1 2 3

9,23 13,33

8,06

12,28 7,27 10,53

10,53 13,33 13,11

10,20 10,91 11,48

8,77 12,50 15,00


(4)

42

Lampiran 6. Sel Granulosit (%) udang Vaname dengan beberapa perlakuan

Sel Granulosit (%) Jam Ke-Perlakuan Ulangan

0 24 48 72 96

Kontrol (+)

1 2 3

36,36 25,81 27,87

-Rerata 30,01±5,60 - - -

-Pengobatan

1 2 3

29,85 29,23 28,13

65,75 65,71 62,90

61,67 66,67 61,82

67,86 62,30 60,38

61,90 64,91 60,34

Rerata 29,07±0,87 64,79±1,63 63,38±2,84 63,51±2,89 62,39±2,32

Pencegahan 1 2 3

30,16 25,86 30,77

50,72 48,61 52,11

45,45 40,98 40,63

46,43 40,00 39,68

37,74 34,43 33,90

Rerata 28,93±2,67 50,48±1,76 42,35±2,69 42,04±3,81 35,35±2,08

Kontrol (-)

1 2 3

35,38 23,33 29,03

59,65 63,64 61,40

59,65 61,67 62,30

59,18 65,45 60,66

61,40 60,94 61,67


(5)

43

Lampiran 7. Aktifitas Fagositik udang Vaname dengan beberapa perlakuan

Aktifitas Fagositik (%) Jam Ke -Perlakuan Ulangan

0 24 48 72 96

Kontrol (+)

1 2 3

41 42 42

-Rerata 41,71±00 - - -

-Pengobatan

1 2 3

37 41 42

39 43 50

43 47 53

41 47 43

39 48 46

Rerata 40,02±0,03 44,17±0,05 47,44±0,05 43,69±0,03 44,34±0,05

Pencegahan 1 2 3

42 41 45

52 49 42

56 53 53

55 56 53

56 57 56

Rerata 42,56±0,02 49,39±0,03 54,15±0,02 54,70±0,01 56,55±0,01

Kontrol (-)

1 2 3

39 43 43

40 46 42

40 42 43

39 42 44

38 42 46


(6)

44

Lampiran 8. Aktifitas Phenoloksidase udang Vaname dengan beberapa perlakuan

Aktifitas Phenoloksidase Jam Ke

-Perlakuan Ulangan

0 24 48 72 96

Kontrol (+)

1 2 3

0,44 0,46 0,43

-Rerata 0,44±0,01 - - -

-Pengobatan

1 2 3

0,43 0,44 0,43

0,47 0,47 0,48

0,46 0,48 0,48

0,47 0,47 0,47

0,47 0,47 0,47

Rerata 0,43±0,01 0,47±0,01 0,47±0,01 0,47±0,00 0,47±0,00

Pencegahan

1 2 3

0,41 0,42 0,43

0,48 0,47 0,48

0,48 0,48 0,49

0,49 0,48 0,50

0,50 0,49 0,50

Rerata 0,42±0,01 0,48±0,01 0,48±0,00 0,49±0,01 0,50±0,00

Kontrol (-)

1 2 3

0,43 0,42 0,39

0,40 0,40 0,40

0,39 0,40 0,40

0,39 0,39 0,40

0,39 0,40 0,39