Keluarga Ibu Sri Mulyani

gurunya sendiri. Fredi bersekolah di SD Tompeyan, saat ini SPPnya dibiayai oleh BOS Bantuan Operasional Sekolah. Dalam hal pergaulan ibu Suranti membatasi siapa saja yang menjadi teman Fredi. Ia membolehkan Fredi berteman hanya dengan anak-anak yang dekat-dekat rumah saja. Bu Suranti dan keluarganya memeluk agama yang berlainan. Suaminya dan anak-anaknya beragama Islam. Sedangkan bu Suranti sendiri beragama Kristen. Sehingga ia tidak pernah menyuruh anaknya untuk beribadah. Fredi pun sholat kadang-kadang atas keinginan sendiri. Dari gambaran sepintas kehidupan Bu Suranti sekeluarga dapat dilihat bahwa si anak Fredi menjadi anak yang cepat berkembang dalam berpikir karena desakan ekonomi orang tua. Fredi seolah menjadi sosok penopang keluarga setelah ayah dan ibunya pisah rumah. Namun sisi lain yang dimiliki Fredi adalah emosinya yang cepat tersulut, terlebih lagi apabila berhadapan dengan Nur Agni. Antara keduanya sering bertengkar untuk masalah yang sepele. Hal ini dipicu oleh kepribadian mereka yang agak temperamental.

G. Keluarga Ibu Sri Mulyani

Bu Sri Mulyani adalah orang tua Yuli. Usia Bu Sri sudah mencapai 34 tahun. Pendidikannya hanya sampai lulus SD. Selama ini pekerjaannya hanya di rumah saja. Suaminya bernama Wariso. Asal dari Bantul, Kretek, dimana saat gempa kemarin rumahnya rubuh. Usia suaminya 37 tahun. Pendidikannya juga lulus SD. Selama ini suami bu Sri bekerja sebagai buruh becak, dengan penghasilan 25.000 per hari. Tadinya punya becak 2 buah, namun kemudian dijual untuk membayar sekolah anak sulungnya di Klaten ikut Budhe, sekarang ini sedang duduk di bangku kelas 3 SMP. Anak bu Sri ada 3, no. 2 Yuli, dan no. 3 Hanifah yang baru berusia 2,5 bulan. Bu Sri sekeluarga tinggal di Jlagran sudah kurang lebih 6 tahun, dengan menyewa sebuah rumah kecil dengan biaya per bulan Rp.175.000. Ada 1 kamar mandi untuk 3 keluarga. Dulu sebelum melahirkan Hanifa, Bu Sri M bekerja sebagai PRT di Ngaglik. Penghasilannya Rp. 200.000 per bulan. Sebenarnya kalau dia masih bekerja sebagai PRT, dia tidak 24 ingin anaknya turun ke jalan untuk mengamen. Sekarang dia tidak bekerja karena punya bayi kecil. Sedangkan yang menyuruh Yuli mengamen di jalan adalah Bu Sri sendiri. Karena untuk membiayai kontrak rumah dan juga membayar SPP sekolah kakaknya yang kelas 3 SMP di Klaten. Awalnya suami Bu Sri marah, begitu mengetahui Yuli mengamen, tetapi bagaimana lagi, terpaksa karena kondisi ekonomi yang minim akhirnya suaminya hanya bisa berdiam diri. Penghasilan Yuli dari mengamen per hari Rp. 10.000. Hasilnya ini ditabung oleh bu Sri. Yuli termasuk mendapatkan hasil mengamen yang sedikit dibanding teman-teman lainnya. Hal ini dikarenakan Yuli ternyata anak yang pemalu, lagi pula menurut Bu Sri, Yuli tidak berbakat untuk mengamen. Bu Sri sangat memperhatikan waktu belajar Yuli. Pernah suatu saat Yuli pernah pulang malam, dicari-cari oleh bu Sri. Bu Sri juga memperhatikan pergaulan anaknya, ia selalu melarang anak-anaknya bergaul dengan anak-anak lain yang tidak baik. Hari itu Yuli baru saja dimarahi karena telah bergaul dengan orang-orang yang tidak benar. Bu Sri sering menangis sendiri karena sebenarnya ia tidak ingin anaknya terus ke jalan. Bu Sri sering membandingkan dengan masa kecilnya dulu yang lebih enak kepenak: Bhs Jawa. Seumur hidup sampai setua ini, Bu Sri belum pernah turun ke jalan untuk mengamen. Tetapi bagaimana lagi, namanya juga terpaksa. Anak-anak kadang-kadang mau disuruh untuk berbagai pekerjaan rumah tangga. Dalam hal belajar, Bu Sri sering membantu Yuli untuk mengerjakan PR nya. Bu Sri juga mengatur jadwal si Yuli, kira-kira jam berapa saja Yuli boleh main, harus mengamen, harus belajar, harus tidur dan lain-lain. Sedangkan dalam hal ibadah, Bu Sri tidak pernah mengajak anak-anaknya sholat. Bu Sri membandingkan bagaimana dulunya ketika dia masih sejahtera, dia begitu rajin beribadah, sekarang ini sebaliknya karena kondisi perekonomian yang sulit ditambah lagi dengan kerepotan mengurus bayinya. Akhirnya sekarang Bu Sri dan keluarga tidak beribadah lagi. Memang diakuinya, hal ini tidak umum tidak lazim, karena biasanya di masyarakat lain ditemukan hal yang sebaliknya 25 sambil tersenyum pahit ketika menyatakan hal ini. Ketika itu terlihat ada gurat kegetiran di wajahnya. Sepintas gambaran kehidupan bu Sri sekeluarga memperlihatkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, di tengah tekanan hidup yang semakin menghimpit, perekonomian keluarga mereka semakin menurun. 2 dua becak pun akhirnya habis terjual. Sekarang ini suami bu Sri hanya menjadi buruh becak. Setiap harinya harus setor ke pemilik becak, bahkan terkadang harus menombok karena penghasilan menarik becak per hari tidak mencukupi. Akhirnya anak keduanya yang bernama Yuli harus berkorban, di tengah masa bermainnya harus dihabiskannya untuk jadi pengamen di jalan. Dengan hasil yang didapatnya per hari bisa untuk membiayai sekolah kakaknya di Klaten. Secara psikologis, dalam pribadi Yuli terlihat bahwa ia tertekan. Sebenarnya ia tidak mau menjadi pengamen. Namun karena paksaan ibunya, akhirnya dengan berberat hati dijalaninya. Dalam hal ini pola asuh yang diterapkan oleh bu Sri cenderung otoriter di dalam pemilihan pekerjaan dan aktivitas anak.

H. Keluarga Ibu Sutirah