32
5. Karena peralihan hak mengakibatkan tanahnya berpindah kepada
pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah Pasal 26 ayat 2.
b. Tanahnya musnah; misalnya karena bencana alam.
2. Hak Guna Bangunan HGB.
Pengaturan hak guna bangunan HGB dalam UUPA diatur dalam Pasal 35 sd Pasal 40 UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan ini diatur
pula dalam Pasal 19 sd Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pasal 35 ayat 1 UUPA menyatakan pengertian dari hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Menurut penjelasan Pasal 35 UUPA, karena hak guna bangunan tidak
mengenai tanah pertanian, maka hak guna bangunan, selain atas diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Hak
guna bangunan dapat diberikan atas tanah Negara maupun tanah milik orang lain. Pasal 35 ayat 1 UUPA tersebut mengandung unsur-unsur penting dari hak guna
bangunan, yakni:
36
a.
Peruntukan HGB. HGB adalah hak untuk: mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian maupun rumah tempat usaha rumah toko atau rumah tempat usahakantor,
bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya. Meskipun, HGB dapat dimanfaatkan bagi
bangunan rumah tempat tinggal, namun lembaga HGB itu sesungguhnya diciptakan untuk memperkaya lembagahukum hak atas tanah menurut hukum
adat yang lebih dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan usaha warga negara
36
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 136-138
33
dan badan hukum Indonesia. Tegasnya, penciptaan lembaga hukum HGB adalah lebih dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan usaha dari
warga negara, sedangkan untuk hunian lebih merupakan maksud dari hak milik. Oleh karena itu, tidak sesuai dengan maksud awal dari Hukum Tanah
Nasional kalau suatu Pemerintah Daerah di wilayah perkotaannya membuat kebijakan untuk memberikan HGB kepada kepentingan pembangunan rumah
hunian dengan agar lebih murah untuk menggantiruginya ketika suatu waktu dibutuhkan untuk kepentingan umum. Konsisten dari hal itu pulalah, maka
diambil suatu kebijakan kemudahan untuk memberikan peningkatan HGB menjadi HM bagi pemilik rumah yang masih berstatus HGB di lingkungan
perumahan. b.
Objek Tanah HGB. Objek tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa:
tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna
Bangunan adalah: a tanah negara; b tanah Hak Pengelolaan; dan c tanah Hak Milik.
c.
Jangka Waktu HGB. Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun,
sehingga kalau dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk mempunyai atau mendirikan bangunan, maka HGB tersebut seyogianya tidak
dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat 2 UUPA menyatakan: “Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
” Dapat diperpanjang atau dapat diperbaharui berarti bahwa perpanjangan atau
perubahan HGB dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai persyaratan perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut, seperti yang ditentukan dalam
Pasal 26 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yakni:
34
a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; b.
Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
yang bersangkutan; d.
Mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan bagi Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan.
Sedangkan dalam Pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996, menyatakan: 1
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. 2
Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berakhir, kepada bekas
pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.
Menurut Pasal 27 PP No. 40 Tahun 1996, permohonan perpanjangan itu diajukan 2 dua tahun sebelum berakhirnya HGB tersebut.
Jika telah diperoleh perpanjangan atau pembaharuan, maka harus didaftarkan lagi pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Mengenai tata cara mengajukan
permohonan atau pembaharuan dari HGB atau pembaharuan dari HGB ini serta syarat-syaratnya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
37
Selanjutnya Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan
HGB dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak
Guna Bangunan. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau
37
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm. 27
35
pembaharuan HGB dan perincian uang pemasukannya dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.
Uang pemasukan yang diperlukan untuk baik perpanjangan atau pembaharuan ini dapat ditentukan pada saat pertama kali diajukan permohonan HGB.
Tampaknya dengan ketentuan seperti ini, dari pihak pemerintah atau kas negara, memperlihatkan kebutuhan akan uang pemasukan ini. Tetapi di lain
pihak adanya ketegasan pembayaran uang pemasukan secara di muka untuk permintaan perpanjangan maupun pembaharuan HGB ini menjadi juga suatu
jaminan dan merasa “lebih aman” bagi pihak peminta HGB ini. Karena dari semulanya dia sudah harus membayar uang pemasukan ini, baik untuk hak
pertama kali dia minta maupun untuk perpanjangan maupun pembaharuan daripada HGB bersangkutan itu. Demikian maka jumlah uang pemasukan
yang harus dibayar oleh si peminta ini adalah lebih besar. Tetapi di lain pihak ia mendapat kepastian bahwa tidak akan ditolak perpanjangannya atau
pembaharuan yang akan dimintanya itu. Kemudian dinyatakan bahwa untuk selanjutnya dalam acara perpanjangan atau pembaharuan HGB ini ia akan
hanya dikenakan biaya administrasi. Besarnya biaya administrasi ini ditetapkan oleh Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional. Satu dan
lain setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. selanjutnya persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan dari HGB ini
dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam Keputusan Pemberian HGB.
38
d.
Peralihan HGB. Menurut Pasal 35 ayat 3 UUPA menyatakan: ”Hak guna
bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Bahwa berdasarkan pada Pasal 34 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996 meyatakan bahwa
peralihan HGB itu terjadi karena: a jual beli, b tukar menukar, c penyertaan dalam modal, d hibah, e pewarisan. Poin a sampai dengan d
38
Ibid, hlm. 27-28
36
disebut peralihan karena ada perbuatan hukum, sedangkan poin e yakni pewarisan terjadi karena peristiwa hukum, bukan karena perbuatan hukum.
39
Pada peralihan hak atas tanah menurut ayat 2 tersebut harus didaftarkan pada kantor pertanahan.
e.
Pembebanannya. Pasal 39 UUPA menyatakan: Hak Guna Bangunan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya, Pasal 33 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa: a HGB dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan; dan b Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hapus dengan hapusnya HGB.
f.
Pembuktiannya. Pasal 38 UUPA menyatakan:
1 Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian
juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
2 Pendaftaran termasuk ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut kecuali dalam waktu hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir. Kaitannya dengan subyek hak guna bangunan, Pasal 26 ayat 1 UUPA
menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: a warga negara Indonesia; dan b badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya, Pasal 36 ayat 2 UUPA tersebut menyatakan: “orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan
tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika
hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
39
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 141
37
waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah”. Ketentuan yang sama mengenai subyek HGB ini dapat dilihat pada Pasal 19
dan Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996. Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan: bahwa yang menjadi pemegang HGB adalah: a warga negara Indonesia; dan b
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya, Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan:
1 Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak
lain yang memenuhi syarat. 2
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena
hukum. Mengenai luas HGB yang dapat dipunyai oleh subyek HGB sampai saat ini
belum ada ketentuan yang membatasinya. Oleh karena itu pembatasan pemilikan tanah yang belum diatur oleh UU No. 56 Prp. Tahu 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian, hanya melakukan pembatasan terhadap pemilikan tanah pertanian, sedangkan untuk tanah perumahan dan bangunan lainnyaoleh pasal 12 UU No. 56
Prp. Tahun 1960 itu akan diatur dengan Peraturan Pemerintah PP. Namun sampai sekarang PP tersebut belum ada. Oleh karena itu, sebagai langkah pragmatisnya,
pembatasan tanah perumahan itu dilakukan melalui instrument perizinan peralihan hak atas tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun
1961. Di dalam Peraturan Menteri Agraria itu dinyatakan bahwa orang sudah menguasai 5 lima bidang tanah, maka apabila ia memohon pendaftaran hak atas
38
tanah yang baru dipunyainya lagi diwajibkan untuk memperoleh izin pemindahan hak.
40
Menurut Pasal 30 PP No. 40 Tahun 1996, bahwa Pemegang Hak Guna Bangunan memiliki kewajiban untuk:
a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputsan pemberian haknya; b.
Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjuan pemberiannya;
c. Memelihara kelestarian baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup; d.
Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus; e.
Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Inti yang dinyatakan dalam Pasal 31 PP No. 40 Tahun 1996, apabila ternyata tanah HGB bersangkutan dalam keadaan geografis atau lingkungan atau karena soal-
soal lain demikian rupa letaknya hingga mengurung dan menutup pekarangan tanah orang lain dari jalan lalu lintas umum atau jalan air, maka si pemegang HGB wajib
memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain untuk pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Jadi ini adalah prinsip yang berlaku demi kerukunan
tetangga. Maka jalan keluar atau jalan air ini selalu harus diberikan kepada tetangga ini. Supaya mereka inipun tidak terkurung dan tidak mempunyai akses sama sekali
kepada jalan umum.
41
Si pemegang HGB berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanahnya itu selama waktu yang ditentukan dan ia bisa mendirikan dan mempunyai bangunan
untuk keperluan pribadi dan usahanya. Disamping itu dia juga dapat mengalihkan hak
40
Ibid, hlm. 140
41
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op. cit, hlm. 29
39
menguasai dan mempergunakan ini kepada pihak lain dan juga dapat dibebani dengan hak-hak tanggungan tertentu Pasal 32 PP No. 40 Tahun 1996.
Untuk menjamin hutang, maka HGB dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan Pasal 33 ayat 1 PP No. 40 Tahun 1996. Pembebanan ini telah
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Tahun 1996 No. 4 mengenai Hak Tanggungan. Ditentukan pula seperti haknya dengan HGB, bahwa apabila telah
hapus HGB ini, maka Hak Tanggungan juga sebagai suatu hak yang aksesoir turut menjadi hapus Pasal 33 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996.
Mengenai peralihan hak guna bangunan, bahwa menurut Pasal 34 ayat 1 PP No. 40 Tahun 1996 maka hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain. Mengenai cara-cara beralihnya HGB kepada pihak lain ditentukan dalam
Pasal 34 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996. Peralihan hak guna bangunan ini terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
Semua cara peralihan HGB kepada pihak lain adalah lazim dan dikenal dalam sistem hukum yang berlaku. Jika telah berlaku peralihan HGB, maka hal ini harus
didaftarkan pada kantor Pertanahan. Peralihan HGB karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar menukar dan penyertaan dalam modal serta hibah harus dilakukan
dengan suatu akta yang dibuat di hadapan PPAT Pasal 34 ayat 4 PP No. 40 Tahun 1996. Kalau dilakukan jual beli melalui lelang, maka cukup dibuktikan dengan
Berita Acara Lelang Pasal 34 ayat 5 PP No. 40 Tahun 1996. Mengenai peralihan HGB karena pewarisan harus diberikan dengan surat
wasiat dan keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang Pasal 34 ayat 6 PP No. 40 Tahun 1996. Untuk mereka yang hidup di bawah sistem BW dan
40
KUHD Barat, maka pejabat yang berwenang menurut hukum yang berlaku untuk memberikan Surat Keterangan Waris Certificaat Van Erfrecht adalah Notaris.
Untuk lain-lain golongan rakyat, misalnya pribumi, maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri atau mereka yang beragama Islam Pengadilan Agama
bersangkutan.
42
Untuk Peralihan HGB atas tanah Hak Pengelolaan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan Pasal 34 ayat 7 PP No. 40 Tahun 1996.
Kemudian peralihan HGB atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan Pasal 34 ayat 8 PP No. 40 Tahun 1996.
Terkait dengan cara terjadinya HGB diatur dalam Pasal 37 UUPA, yang menyatakan bahwa HGB dapat terjadi karena: a Penetapan Pemerintah, bagi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara; dan b perjanjian yang berbentuk otentik karena Penetapan Pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak
yang memperoleh HGB itu, bagi tanah hak milik. Pada bagian cara terjadinya HGB ini, perlu kiranya dijelaskan bahwa
Keputusan Pemberian HGB termasuk HM, HGU, dan HP bukan merupakan alat bukti hak. Karena para pemegang Keputusan Pemberian Hak itu masih harus
mendaftarkan Keputusan Pemberian Hak tersebut. Sebelum mendaftarkannya, harus terlebih dahulu ditunaikan berbagai kewajiban penerima hak, seperti pembayaran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah BPHTB dan uang pemasukan.
43
Seperti yang disebut dalam Pasal 103 Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah dan Hak Pengelolaan, menyatakan: bahwa setiap penerima hak atas tanah harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: a membayar BPHTB dan uang
pemasukan kepada Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b memelihara tanda-tanda batas; c menggunakan tanah secara optimal; d mencegah kerusakan-
kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah; e menggunakan tanah sesuai kondisi
42
Ibid, hlm. 31
43
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 141
41
lingkungan hidup; f kewajiban yang tercantum dalam sertifikatnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika penerima hak tidak memenuhi kewajiban tersebut, Menteri
sekarang Kepala BPN dapat membatalkan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan terkait dengan terjadinya HGB, selain diatur dalam UUPA diatur lebih lanjut dalam Pasal 22 sd Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996.
Pasal 22 PP No. 40 Tahun 1996: 1
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2 Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usuk pemegang Hak Pengelolaan.
3 Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permononan dan pemberian diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996:
1 Pemberian Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
didaftar dalam buku tanah pada Kantor Petanahan. 2
Hak Guna Bangunan atas tanah negara atau atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan.
3 Sebagai tanah bukti hak kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan
sertifikat hak atas tanah. Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996:
1 Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2 Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 3
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
42
4 Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputsan Presiden.
Selain dapat terjadinya HGB, bahwa HGB ini dapat pula hapus. Pasal 40 dalam UUPA yang mengatur mengenai cara-cara hapusnya HGB, tetapi pengaturan
berkaitan dengan hapusnya HGB tersebut diperinci lebih lanjut dalam Pasal 35 PP No. 40 Tahun 1996:
a. Karena berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan semula baik dalam putusan
pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya. b.
Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir karena ada alasan-alasan
tertentu, yaitu: 1.
Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh pemegang hak, danatau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dapam pasal 30,
31 dan pasal 32; atau 2.
Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian HGB antara si pemegang HGB dan pemegang Hak Milik atau
dengan perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan tanah; atau 3.
Karena ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan kekuatan hukum yang tetap.
Sudah jelas bahwa jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1266 dan seterusnya BW,
maka pihak yang lain dapat meminta pembatalan. Dalam suatu perjanjian timbal balik semua pihak harus melakukan prestasi
atau kewajiban yang diletakan kepadanya. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka menurut hukum pihak yang lain dapat minta pembatalan. Kemudian dapat
juga diadakan pembatalan tentunya jika telah ternyata kesalahan-kesalahan ini daripada pihak penerima HGB, seperti terurai dalam keputusan bersangkutan
43
dan keputusan ini harus tidak dapat dibanding atau dikasasi lagi karena harus mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
44
c. Dilepaskan secara sukarela, oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir. Jadi terjadi pelepasan oleh si pemegang hak tentu saja akan berakhir juga sebelum jangka waktu selesai. Karena sudah tidak
dikehendaki lagi hak ini oleh si pemegang hak, maka dapatlah ia melepaskannya secara sukarela.
d. Kemudian, karena adanya pencabutan hak milik sesuai dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 1961. Tapi untuk berlakunya undang-undang ini harus dipenuhi berbagai persyaratan antara lain bahwa pencabutan hak ini harus
dilangsungkan berdasarkan keputusan presiden, dan juga harus disertai dengan ganti rugi serta umumnya ganti rugi ini harus dilakukan secara
”prompt, adequate, and effective” secara tunai, segera dan wajar serta efektif. Artinya jika hendak ditransfer uang bersangkutan uang bersangkutan
ke luar negari, karena yang dicabut hak miliknya adalah orang asing, maka hal ini dapat dilakukannya secara bebas.
45
e. Karena diterlantarkan. Tentu saja orang yang memperoleh hak atas sebidang
tanah harus memelihara dengan baik dan tidak pada tempatnya untuk menelantarkannya.
46
f. Jika tanahnya musnah, maka hak atas tanah itu juga akan musnah. Hal ini
adalah sesuai dengan ketentuan dalam BW mengenai musnahnya karena misalnya terbakar rumah yang telah disewa. Hubungan sewa menyewa akan
menjadi putus karena objek rumah bersangkutan yang disewa ini ternyata telah dibakar habis. Karena itu maka adalah menjadi putus hubungan antara
penyewa yang menyewa itu.
47
44
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm. 32
45
Ibid, hlm. 32-33
46
Ibid
47
Ibid
44
g. Ketentuan jika orang atau pihak yang memegang HGB ini sudah tidak
memenuhi lagi persyaratan untuk menjadi subjek daripada hak ini, yaitu status kewarganegaraannya sudah menjadi asing. Maka HGB nya juga akan menjadi
hapus Pasal 20 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996. Mengenai tata cara lebih lanjut tentang hapusnya HGB akan diatur dengan
Keputusan Presiden Pasal 35 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996. Akibat daripada hapusnya HGB ialah sepanjang HGB ini adalah atas tanah negara, bahwa tanahnya
akan menjadi tanah negara kembali Pasal 36 ayat 1 PP No 40 Tahun 1996. Sedangkan hapusnya HGB atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya
kembali kedalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan Pasal 36 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996. Apabila HGB hapus atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya
kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik Pasal 36 ayat 3 PP No. 40 Tahun 1996.
HGB atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang atau tidak diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan diwajibkan untuk membongkar
bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 satu tahun sejak
hapusnya Hak Guna Bangunan tersebut Pasal 37 ayat 1 PP No. 40 Tahun 1996. Apabila bangunan dan harta benda di atasnya masih diperlukan, maka kepada
bekas pemegang HGB ini diberikan ganti rugi. Bentuk dan jumlahnya ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Penentuan apakah bangunan dan
benda-benda di atasnya itu masih diperlukan atau tidak, dilakukan berdasarkan kepentingan umum dengan mengingat kepentingan bekas pemegang dan juga
peruntukan daripada tanah bersangkutan itu selanjutnya Pasal 37 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996.
Pembongkaran daripada bangunan dan benda di atasnya dilaksanakan atas biaya daripada bekas pemegang HGB ini Pasal 37 ayat 3 PP No. 40 Tahun 1996.
Apabila jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membongkar bangunan dan benda yang berada di atas tanah
45
bekas HGB tersebut, maka bangunan dan benda yang ada di atas tanah bekas HGB ini dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan ini
Pasal 37 ayat 4 PP No. 40 Tahun 1996. Dalam hal hapusnya HGB atas tanah Hak Pengelolaan dan atas tanah Hak
Milik pihak lain, maka bekas pemegang HGB ini wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik, serta harus dipenuhi
ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan ini atau atas dasar perjanjian pemberian HGB atas tanah Hak Milik bersangkutan
Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996. Dalam Memori Penjelasan ditegaskan lebih jauh bahwa penyelesaian
penguasaan bekas-bekas HGB atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Milik ini, sesudah hapusnya HGB itu, dilaksanakan sesuai Perjanjian Penggunaan Tanah Hak
Pengelolaan atau Perjanjian Pemberian HGB antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan bersangkutan. Jadi syarat-syarat dari perjanjian inilah
yang harus diikuti.
48
4. Asas-Asas Hukum Agraria Nasional