Membuka lahan baru untuk pertanian adalah cara membangun pertanian yang menarik perhatian dan mempesona khalayak ramai. Ini dengan cara apakah berupa
membuka hutan menjadi usahatani ataukah memperluas irigasi didaerah yang kering tandus sehingga dapat ditanam, ataupun mengeringkan dasar danau atau daerah pasang
surut sepanjang pantai. Alasan utama untuk membenarkan pembukaan tanah pertanian baru ialah bahwa
pembukaan tanah baru ini memperluas landasan fisik bagi pertanian dalam jangka panjang. Sebuah sistem irigasi besar yang baru, disertai jalan dan fasilitas masyarakat
yang jumlahnya begitu banyak, memerlukan waktu 5 sampai 10 tahun atau lebih untuk pembangunannya. Sesudah itu diperlukan kira-kira 10 tahun lagi menjelang penetap-
penetap baru dapat mengembangkan sistem pertanian yang intensif dan berimbang guna memanfaatkan secara penuh dan efisien sumber air dan tanah baru itu. Untuk masa dekat
ini, kenaikan terbesar produksi bahan pangan dan serat haruslah datang dari tanah-tanah yang sedang diusahakan sekarang.
Alasan yang lain untuk membuka lahan baru berdasarkan kenyataan, bahwa didaerah pertanian baru itu sering lebih mudah memperkenalkan sistim dan teknik
pertanian baru, tata cara penyakapan baru, luas usaha tani menurut ukuran baru dan berbagai perubahan lainnya dibandingkan di daerah yang telah lama diusahakan, karena
daerah baru itu tidak terdapat penghalang tradisionil. Corak usahatani baru, corak penyuluhan baru serta badan kredit dan koperasi serta perangsang-perangsang baru yang
telah membimbing petani dan penduduk desa kearah sistim produksi dan organisasi masyarakat yang lebih modern di daerah baru itu, dapat merupakan demonstrasi yang
bermanfaat bagi seluruh negara. Dalam pada itu, haruslah diakui bahwa proyek yang serba lengkap seperti itu sangat mahal biayanya Mosher, 1983.
2.5.3 Kepemimpinan
Suatu survai dengan sampling 16 desa mengungkapkan kenyataan bahwa 60 dari desa-desa itu masih dipimpin oleh kepala desa yang masuk kategori tradisional
kekuasaannya didasarkan atas otoritas tradisioanal pula. Ini berarti bahwa kekuasaan serta perintahnya masih sangat efektif dikalangan rakyat yang patuh, karena kepala desa
dipandang sebagai pewaris dan pemangku yang wajar dari kekuasaan yang turun-
temurun diteruskan kepadanya. Pada umumnya fungsi kepemimpinannya masih bersifat polymorphic mencakup pelbagai kegiatan dan tidak dikhususkan pada bidang atau sektor
tertentu. Survai lain membuktikan bahwa tipe pemimpin tradisional seperti ini, baik di Jawa maupun di Sumatra, sangat efektif dalam melaksanakan program di desanya,
sedang kurang atau sama sekali tidak efektif dalam menyampaikan pesan-pesan yang lebih bersifat teknis kepada rakyat.
Agar pelaksanaan program pembangunan pedesaan dapat mencapai targetnya yang ada di lapisan bawah di pedesaan perlu dicari pekerja lapangan yang mampu
meneruskan pesan-pesan dari para teknisi kepada rakyat di lingkungannya, dan cukup ada pengaruh disekitarnya untuk dapat diterima dan dipercayai oleh pihak lain. Meskipun
tampaknya sederhana peranannya itu, namun dalam usaha pembangunan pedesaan di pelbagai bidang tugas yang sangat “crucial” pokok. Berhasil atau tidaknya pekerjaan
kader itu sering tergantung pada cara pemilihannya, sarana-sarana yang mendukungnya, tindak lanjut dari penyelenggaraan latihan, hubungan antara kader dengan elit desa dan
sebagainya Mubyarto dan Kartodirdjo, Sartono. 1988. Menurut Smircich dan Morgan 1982 pemimpin yang efektif adalah pemimpin
yang dapat mengelola dan mendefinisikan situasi sedemikian rupa sehingga para bawahannya “menyerah” pada makna yang terbentuk dan pada gilirannya akan dijadikan
sebagai dasar bertindak. Salah satu indikator penting dalam pencapaian kondisi ini adalah keahlian pemimpin dalam berkomunikasi secara lisan. Dalam organisasi tidak jarang
ditemui pemimpin yang memiliki kelemahan dalam menyampaikan ide atau sikap kepada bawahannya, padahal ia tergolong cemerlang di bidang yang lain. Akibatnya dia tidak
mampu untuk mendefinisikan makna dan menyampaikan sikap kepada anggota organisasi sesuai dengan keinginannya. Jika dikaitkan dengan kondisi antar budaya,
menarik untuk disimak bahwa di negara-negara tertentu ternyata keahlian berkomunikasi secara lisan tampak bukan menjadi unsur efektifitas kepemimpinan yang esensial. Hal ini
terlihat dari gambaran hasil studi yang dilakukan oleh Smith, dkk, 1989 dalam House dan Aditya, 1997 berkaitan dengan fungsi kepemimpinan generik. Beda negara, beda
cara pemimpin dalam menyampaikan ide dan sikapnya kepada bawahan. Di negara demokratis seperti Amerika Serikat pemimpin cenderung bersikap konsultatif dan
partisipatif terhadap bawahan sehingga segala sesuatu disampaikan secara lisan dengan
basis tatap muka. Kondisi ini tentu saja mensyaratkan keahlian berkomunikasi kepada seorang pemimpin sebagai pemimpin formal dalam organisasi. Hal ini penting karena
jika gagal berarti dia dapat dianggap gagal sebagai pemimpin. Seperti yang dikemukakan oleh Morgan dan Smirsich 1982, jika seorang pemimpin gagal dalam mendefinisikan
makna, bukannya tidak mungkin akan muncul pemimpin informal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup organisasi. Sebaliknya, cara komunikasi yang dipilih
oleh para pemimpin organisasi di Jepang dengan bawahan mereka mengarah pada komunikasi tertulis melalui penyampaian memo atau catatan kecil. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi terjadinya konfrontasi langsung terutama jika ditengarai terdapat kemungkinan ketidaksepakatan antara pemimpin dengan para bawahannya Manuarty,
2009.
2.5.4 Manajemen Agribisnis