Sufisme dan Krisis Spiritual Masyarakat Modern
55
unsur awal materi, dan dari jiwa manusia dan dasar materi inilah manusia wujud. Dari elaborasi di atas diketahui bahwa manusia secara filosof
merupakan wujud yang memiliki dua unsur penting, yaitu materi dan jiwa spirit. Dan unsur yang terakhir menduduki posisi penting, karena ia
adalah hasil dari emanasi kesempurnaan Tuhan. Senada dengan Al-
Qur’an, ahli sufi mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, yaitu materi dan immateri jasad dan ruhaniyah.
Dalam pandangan Al-Hallaj, Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang
dimiliki-Nya sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari- Nya. Manakala seorang Sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah akan
bertempat pada diri manusia yang bercanpur dengan ruh lahut manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul. Dan dalam kondisi
inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan serta kedamaian.
64
Bagi Suhrawardi, jasad dan ruhani manusia merupakan hasil dari proses iluminasi Allah Isyraq. Jasad manusia adalah barzah, ia adalah
kegelapan, sedangkan ruh adalah cahaya yang berasal dari iluminasi-Nya. Setiap ruh mesti haus dan membutuhkan iluminasi cahaya Tuhan, karena
kebahagiaan dan kesenangan manusia itu berasal dari iluminasi cahaya Ilahi. Bahkan Suhrawardi lebih jauh mengatakan, bahwa orang yang tidak
64
Ibid., hlm. 18-19
56
bisa menikmati iluminasi cahaya Ilahi, maka ia tidak akan tahu apa makna dan hakikat kebahagiaan itu.
Dari elaborasi di atas dapat diketahui bahwa secara teologis, filosofis dan sufis, manusia tersusun dari dua unsur yaitu materi dan
immateri Dari segi hubungannya, unsur materi memiliki hubungan yang jauh dari Allah, sedangkan unsur immateri memiliki hubungan yang dekat
dengan Allah. Karenanya, ruh memiliki posisi sangat dominan dan menentukan dalam pribadi manusia. Kebahagiannya mengungguli
kebahagiaan jasmani. Mengingat ruh memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia maka krisis spiritual bagi manusia
menyebabkan terjadinya berbagai penyakit jiwa. Di samping itu krisis spiritual juga akan menurunkan martabat manusia ke jurang kehancuran
yang mengancam peradaban dan eksistensi manusia.
65
Di zaman modern ini dengan tanpa mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilannya eksistensialisme dan positivisme telah melahirkan
manusia yang tidak sempurna, pincang, hanya berorientasi kekinian duniawiyah, mengingkari spiritualitas dan agama. Manusia yang tidak
sempurna ini selanjutnya menghasilkan perubahan dalam sosial budaya baik yang terjadi secara evolusi atau revolusi. Setiap perubahan yang tidak
dilandasi oleh pegangan hidup dan tujuan hidup yang kuat akan menimbulkan krisis. Sebab hilangnya keyakinan dan ketidaktentuan dalam
proses perubahan akan mengakibatkan ketidakpastian. Ketidakpastian
65
Ibid., hlm. 20-21
57
menyebabkan kesangsian, kebimbangan melahirkan kegelisahan dan akhirnya memunculkan rasa ketakutan.
66
Menurut J. Cogley dalam Simuh dkk. bahwa, “bagi orang modern perbedaan ruh dan jasad hanya ada dalam logika saja, tidak dalam realitas,
karena ia adalah sebuah unit dari psikosomatis”. Selanjutnya hal senada juga dikatakan oleh J. Pelikan dalam Simuh dkk. bahwa, “manusia modern
telah kehilangan keyakinan-keyakinan metafisis dan eskatologis.”
67
Manusia modern dalam istilah Auguste Comte, peletak dasar aliran positivisme, adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkatan
pemikiran positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan pemikiran filosofis yang masih global. Mereka telah sampai
pada pengetahuan yang rinci tentang sebab-sebab segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.
68
Problema spiritualitas bagi masyarakat modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan dan menjadi permasalahan global.
Dengan kenyataan tersebut maka tidak heran jika banyak kalangan yang meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi trend abad XXI. Ramalan ini
cukup beralasan karena sejak akhir abad XX mulai terjadi kebangkitan spiritual spiritual revival di berbagai kawasan. Munculnya gerakan
spiritualitas ini merupakan bentuk reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan pada hal-hal
yang bersifat materiil-profan
66
Sidi Gazalba, Islam dan Perubahan Sosiobudaya, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983, hlm. 251-252
67
Simuh dkk, Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 17
68
Murtadha Muthahari, Kritik Islam terhadap Faham Materialisme, Jakarta: Risalah Masa, 1992, hlm. 45-46
58
keduniawian sehingga manusia mengalami dahaga spiritual atau krisis spiritual.
69
Maka di sinilah pentingnya dan peran tasawuf untuk mengatasi dan memecahkan persoalan tersebut. Tasawuf sebagai moralitas Islam dapat
memberikan spirit untuk menjadi wadah dalam mencari kebahagiaan sejati dan ketenangan batin. Dengan kata lain moralitas yang menjadi inti dari
ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan
kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya.
Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan
tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu hubungan perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga
dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia.