Luas Ruang Terbuka Hijau Menurut Odum 2004, suatu kawasan perkotaan terdiri atas beberapa

2.5. Luas Ruang Terbuka Hijau Menurut Odum 2004, suatu kawasan perkotaan terdiri atas beberapa

zoning peruntukan compartment dengan kapasitas ukuran yang rasional setiap kompartemennya, sehingga hubungan antara masing-masing tipe ekosistem, aliran energi dan pergerakan materi akan memberikan manfaat saling menguntungkan. Kompartemen tersebut dibagi dalam 4 kelompok biotik dasar, yaitu 1 produktif, yang memberikan hasil, baik langsung maupun tidak langsung, 2 protektif, yang memberikan fungsi perlindungan, 3 gabungan antara areal produktif dan protektif, pada skala yang luas merupakan kawasan protektif. Pengaturan dan pengelolaan yang sesuai pada kondisi tertentu misalnya akibat tekanan populasi dan polusi bisa berfungsi sebagai kawasan produktif, sehingga terjadi keseimbangan antara alam dan kebutuhan manusia, dan 4 industri, untuk memenuhi kebutuhan aktifitas ini memerlukan aliran energi dan material yang banyak. Mekanisme pembatasan eksploitasi dan pengendalian penggunaan sumberdaya merupakan pengontrol lingkungan yang alami. Zoning wilayah perkotaan dalam pengembangan RTH dilakukan dengan membagi wilayah perkotaan sesuai dengan kompartemen seperti penjelasan di atas. Beberapa asumsi sebagai pertimbangan dalam penentuan luas pengembangan RTH kota, namun hal mendasar yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi spesifik wilayah. Kondisi umum yang menjadi pertimbangan di wilayah studi diantaranya kawasan tergenang, jenis tanah, kawasan pinggiran sungaiparit, dan penyebaran penduduk serta tradisi. Menurut Simond 1983, kebutuhan standar RTH dalam suatu kota berdasarkan pembagian wilayah secara umum yaitu 40 m 2 per kapita, seperti tertera pada Tabel 2. Di wilayah studi struktur RTH ketetanggaan terdapat pada kawasan yang masih memiliki areal terbuka. Bentuknya dapat berupa kebun campuran, pekarangan, dan lapangan olah raga. Kawasan ini terdapat di Kecamatan Pontianak Barat, Kecamatan Pontianak Selatan, Kecamatan Pontianak Timur, dan Kecamatan Pontianak Utara. Struktur RTH komunitas, termasuk struktur RTH ketetanggaan serta kawasan tepian parit dan lapangan olah raga yang terdapat di Kecamatan. Struktur RTH kota, termasuk struktur RTH komunitas serta ruang terbuka yang secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat kota. Di wlayah studi kawasan ini antara lain Taman Alun Kapuas, Lapangan Bal Keboen Sayoek, Taman Mesjid Raya Mujahidin, Tugu Khatulistiwa, dan hutan kota Universitas Tanjung Pura. Struktur RTH wilayah termasuk struktur RTH kota serta kawasan terbuka yang dimanfaatkan masyarakat dalam suatu wilayah. Tabel 2. Standar luas RTH secara umum Hirarki wilayah Jumlah KK wilayah Jumlah Jiwa wilayah Ruang terbuka m 2 1.000 jiwa Penggunaan ruang terbuka Ketetanggaan 1.200 4.320 12.000 Lapangan bermain, areal rekreasi, taman Komunitas 10.000 36.000 20.000 Lapangan bermain, la- pangan atau taman ter- masuk ruang terbuka ketetanggaan Kota 100.000 40.000 Ruang terbuka umum, taman areal bermain termasuk ruang ter- buka untuk komuniti WilayahRegion 1.000.000 80.000 Ruang terbuka umum, taman areal rekreasi, berkemah termasuk ruang terbuka kota Sumber: Simonds 1983. Di wilayah studi, kawasan ini antara lain stadion olah raga Sultan Syarif Abdulrachman, bantaran Sungai Kapuas, Kawasan Sentra Agribisnis, dan green belt. Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan standar luas RTH minimal 40 sampai 60 dari total luas wilayah kota. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378Kpts1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota yang mengatur standar perencanaan RTH di lingkungan pemukiman kota, kebutuhan kota terhadap taman kota, hutan kota, jalur hijau dan pemakaman dihitung berdasarkan kebutuhan masing-masing penduduk Tabel 3. Penentuan kebutuhan luas RTH juga dapat dihitung berdasarkan kebutuhan per kapita penduduk, misalnya di Malaysia sebesar 1,9 m 2 penduduk, Jepang sebesar 5,0 m 2 penduduk, dan DKI Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan 1,5 m 2 penduduk Affandi 1994. Dalam perkembangan pembangunan suatu wilayah kota dengan berbagai masalah lingkungan yang dihadapi tentulah kebutuhan luas RTH tergantung dari berbagai aspek yang mempengaruhinya. Tabel 3. Standar perencanaan ruang terbuka hijau di lingkungan Pemukiman No. Unit lingkungan dan jumlah penduduk Jenis RTH yang dibutuhkan Luas per unit Standar per kapita m 2 Lokasi 1 L-I Rukun Tetangga 250 jiwa Tempat bermain anak-anak 250 m 2 1,00 Di tengah kelompok pemukiman 2 L-II Rukun Warga 3..000 jiwa Taman dan tempat olah raga 150 m 2 O,50 Di pusat kegiatan rukun warga 3 III Kelurahan 30.000 jiwa Taman dan tempat olah raga 1 ha 0,35 Dikelompokkan dengan sekolah 4 L-IV Kecamatan 200.000 jiwa Taman dan stadion 4 ha 0,20 Dikelompokkan dengan sekolah 5 L-V Wilayah kota 1.000.000 jiwa Taman kota dan komplek st adion 150 ha 1,50 Di pusat wilayah kota Hutan kota 6,00 Jalur hijau 15.00 6 Penyempurnaan Pemakaman 0,58 Dalam kesatuan yang kompak atau tersebar Sumber : Kepmen PU No. 378Kpts1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota Besarnya luasan RTH dalam suatu wilayah menurut Nurdin 1999 untuk kebutuhan 100-300 orang diperlukan paling sedikit 40.000 m 2 luasan RTH, yang didistribusikan menjadi; 1 taman lingkungan ketetanggaan neighbourhood park = 4.000 m 2 dengan jangkauan pelayanan 10-200 m, 2 taman lingkungan komunitas = 100.000 m 2 dengan jangkauan pelayanan 625-900 m,dan 3 taman kota atau taman regional dengan luasan yang lebih besar dan berada di daerah strategis. Beberapa asumsi di atas, dipergunakan dalam analisis pengembangan RTH Kota Pontianak namun disesuaikan dengan potensi wilayah dan karakteristik yang ada. Kota Pontianak merupakan kawasan delta kapuas yang dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Kapuas, jenis tanah yang mendominasi yaitu tanah gambut, dan jumlah serta penyebaran penduduk menjadi pertimbangan pengembangan RTH. Secara umum pengembangan RTH didasarkan Kepmen PU Nomor 3781987, menggunakan standar luas 15m 2 per penduduk. 2.6. Pengelolaan Ruang Terbuk a Hijau 2.6.1. Partisipasi Masyarakat Salah satu prinsip penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Secara sederhana peran serta masyarakat didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan dan komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas suatu kebijakan Baliwati 2004. Hal tersebut berarti bahwa peran serta masyarakat merupakan isu sentral dalam pelaksanaan pembangunan termasuk perencanaan RTH suatu kota. Kesadaran akan pentingnya peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pembangunan: 1 dari pelayanan yang bersifat dilayani menjadi pelayanan yang bersifat melayani, 2 dari bekerja untuk masyarakat menjadi bekerja untuk dan bersama masyarakat, dan 3 dari pendekatan yang bersifat patient oriented menjadi pendekatan community oriented . Dalam sistem perencanaan partisipatif, pergeseran paradigma perencanaan yang semula bersifat parsial, menjadi perencanaan yang terintegrasi. Dalam pelaksanaannya perencanaan ini mempersyaratkan pendekatan partisipasi aktif seluruh pelaku pembangunan stakeholders. Perencanaan partisipatif juga dapat berfungsi sebagai instrumen pembelajaran masyarakat social lerning secara kolektif melalui interaksi antar seluruh stakeholders. Pembelajaran ini pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya memobilisasi sumberdaya yang dimiliki secara luas. Dalam proses pembelajaran ini, yang lebih ditekankan adalah peran dan kapasitas fasilitator untuk mendefinisikan dan mendeteksi stakeholder secara tepat. Selain itu mengarahkan untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi dan rencana tindak kolektif, serta melakukan mediasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya publik. Dalam proes perencanaan RTH di wilayah studi, salah satu hal penting adalah upaya pembangunan institusi masyarakat yang cukup legitimat sebagai wadah masyarakat untuk melakukan proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah kesepakatan tentang RTH. Institusi masyarakat yang dipilih dalam studi ini diwakili oleh masyarakat ilmiah akademisi, pelaku usaha praktisi, dan pemerintah birokrasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU nomor 32 tahun 2005 tentang otonomi daerah, memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah, untuk menentukan kebijakan termasuk dalam pengaturan RTRW. Perda Nomor 4 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Pontianak tahun 2002-2012, memuat rumusan kebijakan dan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah, yang disusun dan ditetapkan untuk menyiapkan perwujudan ruang bagian-bagian kota, yang dapat dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta Pemda Kota Pontianak 2002. Beberapa kendala yang masih perlu diperhatikan dalam pengembangan RTH Kota Pontianak terutama adalah keterlibatan masyarakat terhadap RTH publik. Dalam penelitian ini keterlibatan masyarakat yang terwakili melalui kelompok pakarahli akan memberikan penilaian terhadap prioritas pengembangan baik dari aspek bentuk maupun fungsi RTH, sehingga diperoleh keputusan yang merupakan suatu kebijakan yang akan dilaksanakan secara bersama. 2.6.2. Peran Pemerintah Peranan pemerintah dalam pengembangan RTH adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Mengacu kepada PP 63 Tahun 2002 dan Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988, kondisi tersebut diformula sikan dalam perencanaan, pembangunan, pengeloaan, dan pengendalian RTH. Penyusunan perencanaan RTH Kota merupakan wewenang Pemerintah Daerah Kota. Tugas dan tanggung jawabnya meliputi; 1 penelitian, penyusunan rencana, penetapan rencana, dan peninjauan kembali RTH, dan 2 melaksanakan program kegiatan RTH sesuai dengan ciri dan watak wilayah kota. Dalam studi ini, proses perencanaan RTH, pemerintah bersama masyarakat mempertimbangkan beberapa aspek, antara lain luas wilayah kota ketersediaan lahan, jumlah penduduk, tingkat pencemaran tingkat polusi, kondisi fisik kota kenyamanan. kajian aspek teknis berhubungan dengan sumberdaya manusia, ekologis berhubungan dengan perilaku dan kesadaran lingkungan, ekonomi biaya dan pendapatan, serta sos ial dan budaya perilaku masyarakat. Pada kegiatan pembangunan RTH merupakan implementasi dari perencanaan yang telah disusun, meliputi kegiatan penataan areal, penanaman, pemeliharaan, dan pembangunan sipil teknis. Hasil pembangunan akan bermanfaat kepada masyarakat apabila keberhasilan itu dapat dirasakan langsung aksessibilitas. Pengelolaan RTH dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dalam pengelolaan RTH yang perlu dipertimbangkan adalah bia ya dan aspek kelembagaan. Pembiayaan dari swasta dan masyarakat dapat berupa kewajiban membangun dan mengelola RTH di lingkungannya, maupun melalui retribusi, pembiayaan dari pemerintah dapat berupa anggaran pembangunan daerah. Sedangkan aspek kelembagaa n untuk mengelola RTH dari masyarakat dan swasta dapat dalam bentuk kelompok yang peduli lingkungan, dan dari pemerintah secara langsung adalah dinas yang bertanggung jawab terhadap RTH. Pengendalian RTH ditetapkan dengan kebijakan pemerintah melalui peraturan daerah Perda. Kebijakan tersebut diantaranya tidak memberikan ijin perubahan penggunaan RTH untuk kepentinganperuntukan lain. Dalam pengendalianpengelolaan RTH penerapan punishment dan reward yang benar- benar memadai akan memberikan motivasi kepada masyarakat.

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, Gambar 1. Penelitian ini berlangsung dari bulan Nopember 2004 sampai Agustus 2005. Gambar 1. Peta lokasi penelitian Sumber: Bappeda Kota Pontianak 2003 Propinsi Kalimantan Barat