Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia Indian Ocean Tuna Commission IOTC

dilingkupi perjanjian ini, dan aktivitas lain yang diputuskan komisi, termasuk aktivitas yang berkaitan dengan pertukaran teknologi, pelatihan, berdasarkan kebutuhan untuk menjamin keikutsertaan anggota komisi yang sepatutnya dalam perikanan dan kepentingan istimewa dan kebutuhan anggota dalam wilayah negara-negara berkembang; c. Menerapkan, sesuai dengan Pasal IX dan landasan bukti ilmiah, konservasi dan pengelolaan sumber daya, untuk menjamin konservasi stok yang diliputi oleh perjanjian ini dan untuk meningkatkan tujuan penggunaan optimum mereka di dalam wilayah pengelolaan; d. Menjaga aspek sosial dan ekonomi perikanan dilandasi dengan stok yang diliputi oleh perjanjian yang disikapi, secara khusus, keuntungan negara pantai yang sedang berkembang; e. Mempertimbangkan dan menjawab program organisasi dan anggaran otonom, seperti pertimbangan anggaran periode sebelumnya; f. Menyebarkan laporan kegiatan, program, pertimbangan dan anggaran otonom dan tindakan lain yang mungkin layak untuk dilakukan oleh Dewan atau Konferensi FAO kepada Direktur Jenderal FAO; g. Menerapkan tata peraturannya sendiri, Regulasi Keuangan dan peraturan administratif internal lain yang dibutuhkan untuk mencapai fungsi komisi, dan h. Menjalankan kegiatan lain yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan komisi. 11 11 Terjemahan Bebas Pasal 5 ayat 2 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission , 1993 Keanggotaan Indonesia dalam IOTC sangat penting dan menguntungkan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program revitalisasi perikanan, khususnya tuna. Manfaat keanggotaan Indonesia pada IOTC secara detail antara lain: a. Membantu Indonesia dalam menanggulangi Illegal, Unregulated, Unreported IUU Fishing ; b. Membuka kesempatan kerjasama dengan negara lain; c. Menjaga kelestarian sumber daya ikan tuna melalui penetapan peraturan- peraturan; d. Terhindar dari embargo atas ekspor tuna; e. Ikut serta mengatur pengelolaan SDI tuna di Samudera Hindia; f. Rencana pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka dalam memanfaatkan sumber-sumber perikanan; g. Turut menentukan kuota hasil tangkapan maupun kuota ekspor, dan h. Sebagai wahana kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan. 12 b. Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC mengatur mengenai spesies Skipjack Tuna, Yellowfin Tuna, Albacore Tuna, dan Bigeye Tuna. Wilayah pengaturannya meliputi Samudera Pasifik Barat dan Tengah. Status Indonesia dalam organisasi ini adalah sebagai non-cooperating parties. Konvensi 12 http:www.sdi.dkp.go.idindex2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=18, diakses pada tanggal 26 April 2009 pembentuk RFMOs ini adalah Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean . Adapun fungsi WCPFC antara lain adalah: a Menentukan jumlah tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan dalam area konvensi untuk sediaan ikan yang beruaya jauh seperti yang ditetapkan komisi dan menerapkan konservasi dan pengelolaan sumber daya lain dan bila perlu merekomendasikan untuk menjamin ketahanan jangka panjang sediaan tersebut. b Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar anggota komisi untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional suatu negara dan sumber daya yang sama dan sesuai di laut lepas c Menerapkan, apabila dibutuhkan, konservasi dan pengelolaan sumber daya dan rekomendasi untuk spesies non target dan spesies yang bergantung atau berhubungan dengan sediaan target, dengan tujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan populasi spesies di atas tingkat reproduksi dimana mereka dimanfaatkan secara serius. d Menerapkan standar penangkapan, pemeriksaan dan untuk pergantian waktu dan melaporkan data perikanan untuk sediaan ikan yang beruaya jauh di area konvensi yang sesuai dengan Lampiran I Konvensi, yang merupakan bagian dari konvensi e Mengembangkan, dimana dibutuhkan, kriteria untuk alokasi jumlah tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan bagi sediaan ikan yang beruaya jauh dalam area konvensi f Menerapkan standar minimum internasional yang direkomendasikan bagi peraturan operasi perikanan yang bertanggung jawab g Mengamati dan mengevaluasi perekonomian dan aspek perikanan lain- berkaitan dengan data dan informasi yang sesuai dengan kerja komisi h Menyetujui, dalam artian mengakomodasi segala keuntungan penangkapan ikan yang dilakukan oleh anggota baru komisi i Menerapkan prosedur dan regulasi ekonomi dan regulasi administratif internal lain yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi fungsi komisi j Mempertimbangkan dan menjawab proposal anggaran komisi k Mendiskusikan setiap pertanyaan atau masalah yang kompeten dengan komisi dan menerapkan setiap rekomendasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan konvensi ini. 13 c. Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna CCSBT adalah organisasi regional dalam penangkapan ikan khusus spesies tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah stok ikan tuna sirip biru southern bluefin tunaSBT dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan tuna sirip biru selatan pada tahun 1985, dengan cara 13 Terjemahan bebas Pasal 10 Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and central Pacific Ocean 2000. membatasi kuota tangkapan kapal ikannya. Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna , namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi. Adapun tujuan dan sasaran konvensi adalah: a Pengaturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan alokasi penangkapan SBT untuk setiap negara anggota. b Sebagai suatu mekanisme pengaturan untuk aktivitas anggota yang terkait dengan perikanan SBT. c Membantu kegiatan-kegiatan langsung yang ditujukan pada perlindungan ekologi, khususnya spesies SBT dan yang terkait dengan kehidupannya serta by-catch. d Mendorong negara bukan anggota untuk turut serta berpartisipasi sebagai Cooperating non-members atau berpartisipasi sebagai Observer. e Bekerjasama dengan organisasi regional perikanan tuna lainnya yang memiliki wilayah konvensi yang sama. 14 CCSBT sebagai organisasi pengelolaan regional memiliki beberapa fungsi, antara lain: a Bertanggung jawab untuk menetapkan jumlah tangkapan total dan alokasinya bagi setiap negara anggota; b Mengambil keputusan untuk mendukung dan melaksanakan pengelolaan perikanan; 14 Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007. DKP, hal 3 c Bekerjasama dengan RFMOs lain di wilayah yang sama-sama diminati; d memfasilitasi diadakannya forum diskusi mengenai issue yang relevan dengan tujuan konservasi dari konvensi ini, dan e Bertindak sebagai koordinator mekanisme aktivitas para anggota terkait perikanan tuna sirip biru selatan. 15 Efektivitas pelaksanaan konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru selatan, namun belum menjadi anggota seperti Korea dan Taiwan. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat tambahan negara anggota CCSBT, yaitu Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan Taiwan pada tanggal 30 Agustus 2002. Sementara bagi negara yang belum mau menjadi anggota, pada pertemuan bulan Oktober 2003, CCSBT menyepakati untuk mengundang negara-negara yang tertarik pada perikanan tuna sirip biru selatan untuk menjadi co-operating non-member. Namun status negara co- operating non-member hanya berpartisipasi dalam bisnis atau tidak punya hak suara dalam pertemuan CCSBT. Selain itu, negara co-operating non-member disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Beberapa negara yang diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina 2 Agustus 2004, Afrika Selatan 24 Agustus 2006 dan Uni Eropa 13 Oktober 2006. Komisi ini dapat diikuti oleh setiap negara yang memiliki kapal perikanan yang terlibat dalam penangkapan tuna sirip biru selatan atau setiap negara pantai yang memiliki wilayah ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi oleh migrasi tuna. Indonesia, Korea dan Taiwan memiliki jumlah kapal penangkapan tuna sirip biru selatan 15 http;www.ccsbt.org. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009 yang cukup signifikan, namun status Indonesia baru menjadi member pada tahun 2007. Indonesia mempunyai kepentingan tersendiri dalam perikanan tuna sirip biru selatan karena mereka bertelur dan berkembang biak di ZEEI di Selatan Jawa, tapi Indonesia belum mempunyai peranan besar dalam penangkapan dan pemanfaatan ikan tersebut, walaupun harganya sangat mahal di jepang. 16 Pertemuan CCSBT ke-14 berhasil menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan total allowable catchTAC selama tahun 2007-2009 sebesar 11.810 ton. Alokasi untuk Jepang berlaku sampai tahun 2011 dan untuk negara anggota lainnya berlaku sampai tahun 2009. Sementara untuk non-member dan observer hanya untuk tahun 2007. Alokasi untuk negara member seperti Jepang 3.000 ton, Australia 5.265 ton, Korea Selatan 1.140 ton, Taiwan 1.1.40 ton, Selandia Baru 420 ton, sementara untuk negara non-member dan observer seperti Filipina 45 ton, Afrika Selatan 40 ton dan Uni Eropa 10 ton. Namun demikian, bagi Indonesia CCSBT sangatlah dilematis. Di satu sisi, jumlah tangkapan ikan tuna di wilayah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan beban membership fee yang harus dibayarkan sekitar US 150 ribu. Di sisi lain, ancaman pemboikotan tuna Indonesia di pasar dunia juga patut dipertimbangkan. Akan tetapi, sebenarnya Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground tuna sirip biru selatan ada di wilayah Selatan Jawa Indonesia. Hal ini sebagaimana informasi yang terdapat pada website CCSBT www.ccsbt.org, disebutkan bahwa perkembangbiakan tuna sirip biru selatan di perairan hangat Selatan Jawa Indonesia pada bulan September hingga April. Lalu setelah itu, juvenil tuna sirip 16 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 21 biru selatan akan bermigrasi ke pantai barat Australia. Bersyukur, Indonesia pada tahun 2007 sudah menjadi anggota tetap CCSBT. Fakta inilah yang dapat dijadikan senjata diplomasi Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan anggota CCSBT, baik dalam jumlah kuota maupun jumlah fee yang harus dibayarkan. Adapun manfaat keikutsertaan Indonesia pada CCSBT dari berbagai aspek adalah: a Aspek politik domestik. Keikutsertaan pada CCSBT akan mendukung kebijakan nasional Indonesia bagi upaya konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrasi jauh Highly Migratory Fish Stocks, khususnya jenis Southern Bluefin Tuna SBT. Dengan menjadi anggota CCSBT, Indonesia dapat secara langsung mempengaruhi keputusan- keputusan yang diambil CCSBT. b Aspek politik luar negeri. Lebih memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara Pihak pada UNCLOS 1982 dalam kerjasama internasional bagi kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. c Aspek teknis ekonomi. Memberikan jaminan dan kepastian usaha, terutama bagi para pelaku usaha Indonesia yang memanfaatkan tuna sirip biru selatan dengan lancar. Keikutsertaan pada CCSBT juga akan memberikan peluang bagi tersedianya bantuan teknis dan finansial dari CCSBT, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota CCSBT. Manfaat lainnya juga akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran informasi dan data perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dalam rangka kegiatan konservasi sumberdaya tuna sirip biru selatan. d Aspek yuridis. Keikutsertaan Indonesia pada CCSBT merupakan implementasi dari Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dimana telah disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badanlembagaorganisasi regional dan internasional. Disamping itu, pengelolaan perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan standar internasional. Tujuan dari kebijakan ini agar tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. 17 Gambar 1. Peta jalur migrasi ikan tuna sirip biru selatan 17 Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007. DKP, hal 5 Gambar 2. Peta lokasi pengaturan RFMOs di dunia 4. Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukum Berdasarkan Pasal 20 UNIA, negara-negara yang menjadi anggota organisasi atau pengaturan internasional konservasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional memiliki kewajiban untuk bekerjasama berkaitan dengan upaya penegakan hukum. Setiap negara berkewajiban untuk memenuhi permintaan negara lain yang sedang melakukan penyelidikan atas pelanggaran terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Apabila terdapat sebuah negara yang sedang melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran tersebut, maka negara lain harus berupaya memenuhi permintaan negara tersebut yang berkaitan dengan proses penyelidikan. Suatu negara dalam proses penyelidikan tersebut dapat melakukannya secara langsung, bekerjasama dengan negara lain yang berkaitan, maupun melalui organisasi internasional atau pengaturan internasional pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait. Informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan dan hasil penyelidikan harus dapat disediakan untuk semua negara, baik negara yang berkepentingan maupun negara yang akan terpengaruh oleh hasil penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut. 18

4.1. Kerjasama sub regional dan regional dalam penegakan hukum

Demi menjamin penaatan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, suatu negara yang menjadi anggota pada organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan regional melalui inspektur yang berwenang dapat naik ke atas kapal dan memeriksa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera negara lain di wilayah laut lepas yang dinaungi oleh suatu organisasi atau pengaturan perikanan sub regional dan regional. Prosedur untuk menaiki kapal perikanan yang diduga melakukan pelanggaran atas tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional dibuat oleh negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan regional. Prosedur yang akan dibuat tidak membedakan antara negara anggota dan bukan anggota dari organisasi atau pengaturan sub regional dan regional. Negara- negara harus mengumumkan prosedur-prosedur yang telah disepakati kepada negara-negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas. 18 Naskah Akademik UNIA 1995 Pasal 20 Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan kapal, baik langsung maupun melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, harus menginformasikan semua negara yang kapal-kapalnya melakukan kegiatan penangkapan ikan pada sub regional dan regional dalam bentuk identifikasi masalah kepada inspektur berwenang negara tersebut. Kapal yang akan digunakan untuk memeriksa kapal perikanan harus mempunyai tanda yang jelas, sehingga dapat teridentifikasi sebagai kapal pemerintah. Setelah menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan, apabila terdapat alasan yang cukup untuk menduga bahwa kapal tersebut melakukan pelanggaran terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan, negara yang memeriksa secepatnya melindungi bukti yang didapat dan menginformasikan negara bendera kapal tersebut. Negara bendera harus menanggapi informasi tersebut dalam jangka waktu 3 hari dalam 5 hari kerja setelah menerima informasi tersebut atau jangka waktu yang lain yang mungkin ditentukan dalam prosedur yang dibuat oleh negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional. Negara bendera yang telah diinformasikan tersebut harus memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk melakukan penyelidikan dan mengambil tindakan hukum apabila terdapat bukti yang meyakinkan, kemudian memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan. Apabila negara bendera memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan, negara yang menerima wewenang tersebut harus memberitahukan hasil penyelidikannya tersebut kepada negara bendera. Setelah negara bendera menerima hasil penyelidikan, maka negara bendera harus memenuhi kewajibannya untuk mengambil tindakan penegakan hukum. Sebagai alternatif, negara bendera juga dapat memberikan wewenang kepada negara yang melakukan penyelidikan untuk mengambil tindakan penegakan hukum yang telah ditentukan oleh negara bendera terhadap kapal perikanannya. Apabila negara yang memeriksa sebuah kapal perikanan yang telah cukup bukti melakukan pelanggaran serius dan negara bendera telah gagal menanggapi atau mengambil tindakan sebagaimana ditentukan di atas, maka inspektur yang memeriksa dapat tetap berada di atas kapal dan meminta nakhoda kapal tersebut untuk membantu penyelidikan lanjutan, bahkan apabila memungkinkan membawa kapal tersebut ke pelabuhan terdekat atau pelabuhan lain yang telah ditentukan dalam prosedur yang telah dibuat. Setelah sampai di pelabuhan, negara pemeriksa secepatnya menginformasikan negara bendera letak dan nama pelabuhan tersebut. Negara pemeriksa dan negara bendera, apabila memungkinkan negara pelabuhan harus menjamin kesejahteraan para anak buah kapal tanpa memandang kewarganegaraannya. Hasil penyelidikan negara pemeriksa harus diinformasikan kepada negara bendera dan organisasi yang terkait. Inspektur dari negara pemeriksa harus memperhatikan kesejahteraan para anak buah kapal dan mengurangi campur tangan dengan operasi penangkapan ikan serta menghindari tindakan yang akan merugikan hasil tangkapan di atas kapal. Negara pemeriksa harus menjamin bahwa menaiki dan pemeriksaan tidak dilaksanakan apabila mengganggu kapal perikanan.