Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil

(1)

Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas

di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil

Eva Nurfita

Skripsi

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, 2007

Eva Nurfita : Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, 2007 i


(2)

ABSTRAK

Judul : Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas Nama : Eva Nurfita.

Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan FK USU Tahun : 2006 / 2007

Penelitian kualitatif fenomenologis ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang digunakan oleh pasangan infertilitas. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah lima pasangan suami/istri yang belum memiliki anak pertama setelah setahun lebih perkawinan (infertilitas). Partisipan berdomisili di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Pengumpulan data berlangsung mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2007. Proses pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuisioner data demografi dan wawancara mendalam dengan menggunakan alat bantu perekam suara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan infertilitas mengalami respon berupa kesedihan, cemas, cemburu/iri, isolasi dan marah. Dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan kondisi infertilitas maka pasangan menggunakan cara penyelesaian masalah dengan menggunakan mekanisme koping berupa berusaha untuk tetap melakukan program pengobatan baik secara medis atau secara non medis, mencari informasi, pasrah dan berdo’a, berusaha sabar, mengambil hikmah dari kondisi, mencari dukungan dari keluarga dan teman, mengangkat anak, berusaha melupakan masalah dan menceritakan masalah kepada orang lain. Selain itu pasangan sebagai satu kesatuan dalam keluarga koping yang digunakan adalah, pengungkapan bersama, pengontrolan makna dari masalah dengan penilaian pasif, mencari informasi dan mencari dukungan spiritual. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak selamanya kondisi infertilitas akan memperburuk hubungan suatu pasangan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor nilai/konsep yang dimiliki pasangan terhadap perkawinan, keyakinan agama, usia pasangan ketika menikah, komunikasi, dan siapa yang mengalami masalah fertilitas.

Dalam penanganan pasangan dengan infertilitas, perawat dituntut mampu memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif, menangani selain faktor fisik tetapi diharapkan juga mampu mempertimbangkan sisi psikologis pasangan tersebut.

Kata Kunci : Mekanisme koping, infertilitas


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ” Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas” untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar kesarjanaan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan masukan yang berharga. Beliau telah mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan, koreksi dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

Dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, demikian juga kepada Bapak Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A (K) selaku Pembantu Dekan I dan Ketua Departemen Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, kepada Ibu Erniyati, S.Kp. MNS selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Tidak lupa pula kepada Ibu Yesi Ariani, S.Kep. Ns selaku dosen Penasehat Akademik, seluruh staf dan dosen pengajar PSIK USU yang telah banyak membantu penulis.


(4)

Terima kasih kepada Dosen Penguji Ibu Erniyati, S.Kp. MNS dan kepada Bapak Achmad Fathi, S.Kep.Ns yang telah memberikan masukan yang berharga demi kesempurnaan skripsi ini.

Kepada Bapak Kaharuddin, S.H. selaku Camat Kecamatan Singkil yang telah memberikan izin penelitian dan pengambilan data, memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian di Kecamatan Singkil.

Kepada Ayah dan Ibunda, juga saudara-saudaraku, terimakasih atas segala pengorbanan dan do’a tulus yang telah diberikan. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada suami tercinta Haristam Syahputra yang telah memberikan pengertian dan dukungan moril serta materil, memberikan semangat dan kekuatan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini penulis ucapkan terima kasih.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya keperawatan serta bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, September 2007

Penulis

Eva Nurfita


(5)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penulisan... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II : TINJAUAN TEORITIS ... 5

2.1 Konsep Infertilitas... 5

2.1.1 Pengertian Infertilitas... 5

2.1.2 Faktor Penyebab Infertilitas... 6

2.1.3 Dampak Infertilitas ... 7

2.1.4 Penanganan Infertilitas ... 9

2.2 Konsep Mekanisme Koping... 10

2.2.1 Pengertian Koping... 10

2.2.2 Pengertian Mekanisme Koping ... 11

2.2.3 Penggolongan Mekanisme Koping ... 11

2.2.4 Respon Koping... 13

2.2.5 Sumber Koping ... 14


(6)

vi

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1 Desain Penelitian... 16

3.2 Populasi dan Sampel ... 16

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian... 17

3.4 Pertimbangan Etik ... 17

3.5 Instrumen Penelitian... 18

3.6 Tehnik Pengumpulan Data ... 19

3.7 Analisa Data ... 19

3.8 Reliabilitas dan Validitas Data ... 20

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 22

4.1 Hasil Penelitian ... 22

4.2 Pembahasan ... 46

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menikah dan memiliki keturunan adalah suatu fase yang dijalani oleh manusia dalam siklus kehidupannya. Memiliki keturunan sebagai penerus generasi dirasakan sebagai suatu keharusan oleh sebagian masyarakat kita. Keberadaan anak dianggap mampu menyatukan dan menjaga agar suatu keluarga atau pernikahan tetap utuh (Wirawan, 2004). Oleh sebab itu banyak pasangan merasa cemas ketika anak yang dinantikan belum juga hadir di tengah keluarga.

Kecemasan yang dirasakan oleh pasangan tersebut cukup beralasan karena berbagai faktor. Sebagai contoh, tuntutan dari lingkungan sosial, keluarga besar, teman, bahkan masyarakat atau lingkungan sekitar. Dalam setiap pertemuan keluarga, kerabat, kenalan sudah dapat dipastikan pertanyaan akan berkisar sekitar keadaan keluarga, berapa lama menikah, sudah berapa orang anak? Bagi masyarakat Indonesia pertanyaan semacam ini merupakan hal yang wajar, karena dalam sistem masyarakat Indonesia pasangan suami istri merupakan bagian dari keluarga besar sehingga hal ini seolah-olah menjadi masalah bersama. Tekanan dari pihak luar, seringkali yang menjadi sumber masalah dalam hubungan suami istri. Selanjutnya pertanyaan itu akan menjadi hal yang sensitif, apabila kemudian seorang wanita tidak kunjung hamil (Kasdu, 2002). Kondisi ketidak mampuan pasangan memiliki anak dikenal dalam masyarakat kita dengan kata mandul atau ketidak suburan, dalam dunia medis kita kenal dengan infertilitas.


(8)

Infertilitas sebagaimana dikutip dari Sarwono (1999), adalah kondisi dimana istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama dua belas bulan. Infertilitas atau ketidaksuburan juga didefenisikan sebagai suatu keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari satu setengah tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mendapatkan anak padahal telah rutin melakukan hubungan seksual tiga kali dalam seminggu (BKKBN, 2006). WHO memperkirakan sekitar 8-10% pasangan usia subur mengalami masalah kesuburan, kalau dihitung sekitar 50-80 juta orang. Di Indonesia menurut dr. Indra C. Anwar, Sp.OG yang penulis kutip dari Kasdu (2002), menyebutkan bahwa penduduk Indonesia 220 juta jiwa tahun 2000, 30 juta diantaranya adalah pasangan usia subur. Dari pasangan usia subur tersebut, sekitar 10-15% atau 3-4,5 juta pasangan mengalami problem kesuburan.

Dari sekian banyak kasus infertilitas hanya 50% saja yang berhasil ditangani baik secara program bayi tabung dan lain sebagainya (Sarwono, 1999). Namun bagaimana pasangan lainnya? Apa yang akan mereka lakukan ketika diagnosa infertilitas ditegakkan dokter. Apakah kondisi ini mempengaruhi keharmonisan hubungan pasangan tersebut? Apa solusi yang akan dicari dan bagaimana pasangan menangani stress sebagai dampak dari infertilitas tersebut?

Sepertinya sudah terbiasa, bila suatu pasangan infertil maka perempuanlah yang paling dicurigai, bahkan divonis sebagai penyebabnya. Namun hal ini merupakan suatu anggapan yang keliru, karena kemungkinan ketidaksuburan bisa datang dari suami, istri atau kedua belah pihak secara bersamaan. Infertilitas yang disebabkan oleh isteri sebesar 35%, faktor suami 35%. Faktor keduanya 20% dan penyebab lainnya 10% (Mustar, 2006).


(9)

Infertilitas merupakan suatu krisis dalam kehidupan yang akan berpengaruh kepada berbagai aspek kehidupan seseorang. Sangat manusiawi dan normal bila pasangan infertilitas mempunyai perasaan yang berpengaruh kepada kepercayaan diri dan citra diri. Lebih parah lagi menurut The National Infertility Association menyebutkan beberapa gejala yang dapat terjadi antara lain, timbul perasaan sedih, depresi atau putus asa lebih dari dua minggu. Ada perubahan signifikan dalam selera makan, sulit tidur atau lebih banyak dari biasanya dan ketika bangun badan tetap merasa lelah. Merasa khawatir dan curiga sepanjang waktu, kehilangan ketertarikan dalam hobi. Mengalami masalah dengan konsentrasi, merasa mudah marah atau sulit mengambil keputusan. Merasa tidak berguna, frustasi dan berfikir lebih baik mati, kehilangan nafsu seksual dan lebIh senang menyendiri dari pada bersama dengan teman-teman dan keluarga (Radar Sulteng, 2005).

Kondisi tersebut diatas menarik perhatian peneliti dan menganggap penting untuk menggali dan mencari jawaban tentang bagaimana respon dan cara yang dilakukan oleh pasangan infertilitas dalam menghadapi stress yang diakibatkan oleh permasalahan infertilitas, yang akan penulis coba tuangkan kedalam penelitian yang berjudul ” Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas. 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut, bagaimana mekanisme koping yang digunakan pasangan infertilitas dalam menyelesaikan atau mengahadapi stress yang terkait dengan kondisi infertilitas.

1.3 Tujuan Penelitian


(10)

4

Adapun tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi mekanisme koping yang digunakan oleh pasangan infertilitas.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan praktek keperawatan, pendidikan keperawatan dan bagi penelitian keperawatan.

1.4.1 Praktek Keperawatan

a. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan praktik keperawatan, khususnya bagi penanganan pasangan infertilitas.

b. Dapat memberikan asuhan keperawatan kepada pasangan infertilitas dengan memperhatikan berbagai aspek baik bio, psiko, sosio dan spiritual.

1.4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu ilmu baru dan bermanfaat bagi dunia pendidikan sebagai suatu referensi tentang mekanisme koping yang digunakan pasangan infertilitas dan dapat melakukan pendekatan pada pasangan tersebut dalam konteks asuhan keperawatan.

1.4.3 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan refefensi bagi peneliti yang ingin melanjutkan penelitian keperawatan tentang mekanisme koping pasangan infertilitas.


(11)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Infertilitas

2.1.1 Pengertian Infertilitas

Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil dan melahirkan anak setelah sekurang-kurangnya satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan (Bobak dkk, 2004). Defenisi lain terkait infertilitas seperti yang penulis kutip dari Kasdu (2002) adalah bagi mereka yang berhubungan intim secara teratur, tidak menggunakan alat kontrasepsi, dan telah menikah selama satu tahun, tetapi istri tidak pernah hamil. Infertilitas didefenisikan juga sebagai kondisi dimana istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama dua belas bulan (Sarwono, 1999). Ketidakmampuan dari pasangan dari suami istri untuk menghasilkan seorang anak yang hidup sebagai kegagalan dari mengandung atau kegagalan untuk mengandung bayi yang dapat hidup (Olds dkk, 1988).

Defenisi kontemporer tidak mempertimbangkan batasan waktu. Defenisi ini mengandung arti suatu ketidakmampuan untuk hamil atau mengandung anak sampai anak tersebut lahir hidup pada saat pasangan memutuskan untuk memperoleh anak (Bobak, 2004).

Jika wanita belum pernah hamil atau jika pria belum pernah membuat seorang wanita hamil disebut dengan infertilitas primer. Sedangkan jika wanita pernah mengandung sekurang-kurangnya satu kali, tetapi tidak pernah berhasil hamil lagi atau tidak pernah berhasil mempertahankan kandungannya adalah infertilitas sekunder .


(12)

2.1.2 Faktor Penyebab Infertilitas

Penyebab infertilitas haruslah ditinjau dari kedua belah pihak karena pasangan sebagai suatu unit biologis. Jadi sangatlah tidak bijaksana jika suatu kondisi infertilitas langsung menyalahkan istri sebagai pihak yang mandul. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan kepada keduanya, baik istri maupun suami. Pria dan wanita masing-masing menyumbang 40% sebagai penyebab infertilitas. Penyebab karena keduanya sebanyak 10%. Sisanya tidak diketahui penyebabnya atau unexplained faktor (Kasdu, 2002).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesuburan pada wanita, mulai dari anatomi organ reproduksi seperti mulut rahim, rahim, saluran telur, dan indung telur sampai penyakit dan gangguan hormonal (Kasdu, 2002). Mengacu laporan WHO, kasus infertilitas terjadi terhadap satu diantara sepuluh pasangan suami istri yang tersebar diseluruh negara-negara di dunia. Penelitian yang dilakukan di Inggris menyebutkan penyebab infertilitas adalah multifaktorial dengan penyebab kombinasi. Beberapa penyebab antara lain; Unexplain infertility 28%, problematik faktor sperma 21%, kegagalan ovulasi sel telur 18%, kerusakan faktor saluran tuba fallopi 14%, penyakit endometriosis 6%, problematik faktor hubungan seksual 5%, pengaruh cairan mukus servik 3% dan 2% karena problematik dari pihak suami (Suara Merdeka, 2005).

Lebih lanjut, faktor wanita seperti yang penulis kutip dari Anthony’s Site (2006) menyebutkan antara lain anti bodi pada istri terlalu kuat sehingga sperma suami yang masuk ke dalam tubuh istrinya dianggap sebagai virus yang menyerang, maka tubuh istri menolak dan mencegah sperma tersebut sebelum mencapai sel telur. Sexual intercourse pada saat istri sedang dalam keadaan tidak


(13)

subur. Adanya penyakit seperti TORCH, endometriosis dan penyumbatan saluran telur karena pertumbuhan sel aktif atau sejenis tumor. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada faktor lain diluar organ yang mempengaruhi kesuburan. Faktor tersebut antara lain usia, berat badan, gaya hidup dan lingkungan.

Usia berpengaruh terhadap masa reproduksi, artinya selama masih mengalami haid yang teratur kemungkinan ia masih bisa hamil. Penelitian menunjukkkan potensi wanita untuk hamil menurun setelah usia 25 tahun dan menurun drastis pada usia di atas 38 tahun (Kasdu,2002). Hal ini juga berlaku pada pria meskipun pria tetap dapat menghasilkan sel sperma sampai usia 50 tahun. Hasil penelitian mengungkapkan hanya sepertiga pria berumur di atas 40 tahun yang mampu menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan dibanding dengan pria yang berumur dibawah 25 tahun. Selain itu, usia yang semakin tua juga mempengaruhi kualitas sel sperma.

Gaya hidup yang dimaksud adalah pola makan dan kebiasaan sehari-hari. Merokok, minum alkohol dan obat-obatan juga akan mempengaruhi jumlah sperma dan pada wanita akan mengalami kesulitan hamil (Kasdu,2002).

2.1.3 Dampak Infertilitas

Kondisi Infertilitas adalah masalah rumit yang dapat memicu berbagai masalah mental. Infertilitas atau ketidaksuburan dapat menjadi masalah emosional yang tidak terselesaikan (Radar Sulteng, 2003). Belum lagi apabila pasangan memutuskan menjalani berbagai terapi atau program pengobatan. Harapan yang tinggi untuk mempunyai anak ditambah lagi dengan disiplin yang


(14)

tinggi terhadap program pemeriksaan dan pengobatan. Memang reaksi menghadapi suatu masalah sangat tergantung pada pribadi masing-masing orang. Mungkin ada orang yang mengalami masalah yang sama, tetapi dapat menghadapi dengan rileks. Sebaliknya, ada yang memberikan reaksi yang negatif sehingga menyebabkan stress. Stress yang dialami secara berkelanjutan akan menimbulkan depresi (Kasdu, 2002).

Gejala depresi ini berupa perasaan sedih dan tertekan, mudah marah jika melihat orang lain gembira atau tidak suka mendengarkan musik. Penderita tidak mampu mengerjakan pekerjaan sederhana, terganggu selera makannya, sukar tidur, kadang kala tiba-tiba menangis tanpa diketahui sebabnya. Ada juga yang menjadi suka makan untuk mendapatkan perasaan tenang. Pada keadaan ini mereka sering kali mengasihi diri sendiri, mereka menghendaki orang lain yang menyesuaikan dengan dirinya. Depresi yang berat atau kronis akan membuat orang tersebut sering merasa gelisah selama berminggu-minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Dalam keadaan ini orang tersebut tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Depresi seperti ini akan melumpuhkan penderitanya sehingga tidak dapat bangkit dari tempat tidur, tidak bisa keluar rumah dan perasaan tidak berdaya (Kasdu, 2002).

Selain hal tersebut dampak psikologis yang dialami menyangkut kondisi internal, hubungan interpersonal dan seksual suami-istri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zamralita, dkk (2004) mengungkapkan bahwa infertilitas yang dialami oleh seorang isteri akan menimbulkan dampak psikologis yang cukup berat. Dampak psikologis yang dialami yaitu munculnya perasaan frustasi, depresi, isolasi, marah dan rasa bersalah perasaan tidak sempurna dan kurang


(15)

berarti. Selain itu, infertilitas berdampak buruk terhadap hubungan suami isteri. Mereka menjadi jauh satu sama lainnya, hubungan menjadi kurang harmonisan kehidupan seks antara suami tidak lagi hangat dan mesra. Dampak dari kondisi infertilitas juga dialami oleh suami berupa perasaan sedih, tidak berguna, rendah diri dan merasa bersalah pada pasangannya (Wirawan dan Setiadi, 2003).

Perasaan yang dirasakan oleh pasangan bukan hanya karena kondisi infertilitas saja,akan tetapi pemeriksaan, pengobatan dan penanganan yang terus menerus membuat wanita merasa kehilangan kepercayaan diri dan perasaan serba tidak enak (Kasdu, 2002).

2.1.4 Penanganan dan Pengobatan

Penanganan pasangan infertilitas sangat beragam, tergantung sumber gangguannya. Untuk itu penting untuk mengetahui penyebabnya, yang dilakukan dengan berbagai pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan lalu diupayakan penanganan sesuai dengan jenis gangguan. Penanganan dapat berupa pemberian obat-obatan untuk mengatasi gangguan kesuburan dengan cara memicu pertumbuhan sel telur, mengatasi endometriosis, pengobatan hormon pria untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sperma. Sekarang juga dikenal adanya teknologi reproduksi yang dibantu seperti Inseminasi Intra Uterine (IIU), GIFT (Gamet Intra Fallopian Tube), ZIFT (Zygote Intra Fallopian Transfer), Fertilisasi In Vitro (FIV) dan lain sebagainya (Kasdu, 2002)

Selain faktor fisik, dalam penanganan ini, juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor psikis yang berasal dari pasangan diantaranya, saling mengerti dan memahami perlunya upaya keterlibatan pasangan, mengerti konsep dasar tentang


(16)

masalah kesuburan sehingga tercipta saling pengertian. Ketersediaan waktu, dana, serta mengambil resiko terhadap kegagalan.

2.2 Konsep Mekanisme Koping

2.2.1 Pengertian koping

Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu (Lazarus, 1985 dalam Mustikasari, 2006). Koping juga dapat digambarkan sebagai berhubungan dengan masalah dan situasi, atau menghadapinya dengan berhasil / sukses (Kozier, 2004). Sedangkan koping menurut Rasmun (2004) adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stressful. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik

2.2.2 Pengertian Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Kelliat, 1999). Jika individu berada pada kondisi stress ia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia (Rasmun, 2001). Sedangkan menurut Stuart (1998), mekanisme koping dapat didefenisikan sebagai segala usaha untuk mengatasi stress.


(17)

2.2.3 Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut (Kozier, 2004) yaitu :

a. Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat.

b. Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik.

Mekanisme koping juga dilihat sebagai mekanisme koping jangka pendek dan jangka panjang. Mekanisme koping jangka panjang merupakan cara konstruktif dan realistik. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu berbicara dengan orang lain tentang masalah dan mencoba untuk menemukan lebih banyak informasi tentang situasi. Mekanisme koping yang selanjutnya adalah mekanisme koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stress untuk sementara tetapi merupakan cara yang tidak efektif untuk menghadapi realitas.


(18)

Sedangkan metode koping menurut Folkman & Lazarus; Folkman et al, dalam Afidarti (2006) adalah :

1. Planful problem solving (problem-focused)

Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah. 2. Confrontative coping (problem-focused)

Individu mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan kemarahan atau mengambil resiko untuk merubah situasi.

3. Seeking social support (problem or emotion- focused)

Usaha individu untuk memperoleh dukungan emosional atau dukungan informasional.

4. Distancing (emotion-focused)

Usaha kognitif untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi atau menciptakan pandangan yang positif terhadap masalah yang dihadapi. 5. Escape-Avoidanceting (emotion-focused)

Menghindari masalah dengan cara berkhayal atau berpikir dengan penuh harapan tentang situasi yang dihadapi atau mengambil tindakan untuk menjauhi masalah yang dihadapi.

6. Self Control (emotion-focused)

Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan ataupun tindakan dalam hubungannya dengan masalah.

7. Accepting responcibility (emotion-focused)

Mengakui peran diri sendiri dalam masalah dan berusaha untuk memperbaikinya.


(19)

8. Positive Reappraisal (emotion-focused)

Usaha individu untuk menciptakan arti yang positif dari situasi yang dihadapi.

2.2.4 Respon Koping

Respon koping sangat berbeda antar individu dan sering berhubungan dengan persepsi individual dari kejadian yang penuh stress. Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial. Reaksi fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stress.

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Mustikasari, 2006) yaitu; Mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Katagorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.

Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial (Kelliat, 1999).


(20)

b. Reaksi psikososial terkait beberapa aspek antara lain :

1) Reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental, seperti denial (menyangkal), projeksi, regresi, displacement, isolasi dan supresi.

2) Reaksi yang berkaitan dengan respon verbal seperti, menangis, tertawa, teriak, memukul dan menyepak, menggenggam, mencerca respon.

3) Reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Jika mekanisme pertahanan mental dan respon verbal tidak menyelesaikan masalah secara tuntas karena itu perlu dikembangkan kemampuan menyelesaikan masalah. Ini merupakan koping yang perlu dikembangkan. Koping ini melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor. Koping ini meliputi : Berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari informasi orang lain. Mencari tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi melalui buku, masmedia, atau orang ahli. Berhubungan dengan kekuatan supernatural. Melakukan ibadah secara teratur, percaya diri bertambah dan pandangan positif berkembang. Melakukan penanganan stress, misalnya latihan pernapasan, meditasi, visualisasi, otigenik, stop berpikir. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi. Belajar dari pengalaman yang lalu. Tidak mengulangi kegagalan yang sama.

2.2.5 Sumber Koping

Sumber koping, pilihan, atau strategi membantu untuk menetapkan apa yang dapat dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan. Lazarus (1985) dalam


(21)

Rasmun (2001), mengidentifikasikan lima sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu, ekonomi, keterampilan dan kemampuan, tehnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi.

Kemampuan menyelesaikan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, identifikasi masalah, mempertimbangkan alternatif dan melaksanakan rencana. Social skill memudahkan penyelesaian masalah termasuk orang lain, meningkatkan kemungkinan memperoleh kerjasama dan dukungan dari orang lain. Aset materi mengacu kepada keuangan, pada kenyataannya sumber keuangan meningkatkan pilihan koping seseorang dalam banyak situasi stress. Pengetahuan dan intelegensia adalah sumber koping yang lainnya yang memberikan individu untuk melihat cara lain untuk mengatasi stress. Sumber koping juga termasuk kekuatan identitas ego, komitmen untuk jaringan sosial, stabilitas kultural, suatu sistem yang stabil dari nilai dan keyakinan, orientasi pencegahan kesehatan dan genetik atau kekuatan konstitusional (Stuart, 1998).


(22)

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Untuk menggali dan mengidentifikasikan mekanisme koping pasangan infertilitas dalam menyelesaikan atau menghadapi stress yang ditimbulkan oleh kondisi infertilitas, sesuai dengan pengalaman mereka secara langsung maka peneliti menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Riset fenomenologis didasarkan pada filsafat fenomenologi yang mencoba untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah situasi (Dempsey and Dempsey, 2002).

3.2 Populasi dan sampel 3.2.1 Populasi

Dalam penelitian kualitatif, tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dalam Sugiyono (2005) dinamakan social situation atau obyek penelitian. Dalam penelitian ini obyek penelitiannya adalah seluruh pasangan yang mengalami infertilitas yang berada di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil.

Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sebagai informan atau partisipan (Sugiyono, 2005). Partisipan atau sumber data dipilih, dan mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan pandangan informan, yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dunia dari pendiriannya (Sugiyono, 2005). Pada penelitian ini sebagai partisipan adalah pasangan infertilitas yang ada di wilayah Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Jumlah partisipan belum diketahui dengan pasti. Adapun teknik sampling yang


(23)

17

digunakan adalah snowball sampling, hal ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana peneliti tidak memiliki informasi tentang anggota populasi (Prasetyo, 2005).

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2007 di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Menurut pandangan masyarakat Aceh, infertilitas dianggap suatu kekurangan dalam suatu keluarga terlebih lagi bagi masyarakat Aceh tidak memiliki keturunan dianggap sebagai kekurangan istri, dimana kekurangan yang ada pada istri menjadi penyebab suami untuk kawin lagi. Mereka juga beranggapan banyak anak berarti juga banyak amal salehnya (Sufi dkk, 2002). Sehingga dengan kondisi ini, infertilitas menimbulkan tekanan atau stressor yang lebih besar bagi pasangan yang mengalami kondisi infertilitas. Pengambilan lokasi di Kecamatan Singkil dengan pertimbangan waktu penelitian yang singkat, jarak yang dapat dijangkau peneliti dan ketersediaan sampel. Selain hal tersebut sepengetahuan peneliti, belum pernah diadakan penelitian terkait di daerah ini.

3.4 Pertimbangan Etik Penelitian

Penelitian akan dilakukan setelah proposal disetujui oleh institusi pendidikan, dan memperoleh izin pengumpulan data yang didapat dari camat, Kecamatan Singkil. Peneliti menjelaskan tentang maksud dan tujuan yang terlampir dengan lembar persetujuan menjadi partisipan. Jika partisipan bersedia untuk diteliti maka partisipan terlebih dahulu menandatangani lembar persetujuan


(24)

18

sebelum dilakukan wawancara dan perekaman hasil wawancara. Jika partisipan menolak untuk diteliti maka peneliti tidak berhak memaksakan, tetapi menghormati hak-hak partisipan. Untuk menjaga kerahasiaan partisipan, maka peneliti tidak akan mencantumkan nama partisipan pada lembar pengumpulan data yang telah diisi oleh partisipan.

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2003). Jika partisipan sudah setuju untuk berpartisipasi dalam riset ini, maka semua partisipan akan diberitahu bahwa jika isi wawancara menyebabkan emosional atau stres, mereka dapat langsung menghentikan wawancara saat itu juga dan bebas menolak untuk memberikan jawaban pada pertanyaan apapun.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen penelitian utama adalah peneliti sendiri, namun setelah fokus penelitian menjadi jelas akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang dapat mempertajam serta melengkapi data hasil pengamatan dan observasi (Sugiyono, 2005). Terdapat dua jenis instrumen yang dibuat, yaitu instrumen berupa kuisioner data demografi berupa nama, umur, agama, pendidikan, suku bangsa, status perkawinan, lama usia perkawinan, pekerjaan, penghasilan dan daftar pertanyaan terbuka untuk wawancara. Peneliti juga menyediakan lembar laporan tertulis tentang perasaan-perasaan pribadi yang dapat diisi langsung oleh responden.


(25)

19

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian akan dilakukan setelah memperoleh izin dari PSIK FK USU dan mengirim surat izin ke kantor Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Setelah mendapat persetujuan dari Camat Kecamatan Singkil, peneliti akan melakukan pendekatan kepada calon partisipan untuk mendapatkan izin kesediaan sebagai partisipan penelitian. Pada saat mengumpulkan data, peneliti melakukan wawancara mendalam (depth interview), kepada partisipan selama 30-40 menit dalam 2-5 kali pertemuan. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, manfaat dan proses pengisian kuisioner data demografi sebelum menanyakan kesediaan untuk terlibat sebagai partisipan dalam penelitian. Partisipan diminta untuk mengisi data demografi, dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti melalui wawancara. Peneliti melakukan pencatatan dan merekam hasil wawancara. Selanjutnya peneliti mendengarkan kembali hasil wawancara dan mencatat semua hasil wawancara untuk dilakukan member checking, memastikan data yang dikumpulkan sudah sesuai dengan yang diperlukan. Jika terdapat data yang belum lengkap peneliti akan melakukan wawancara ulang sampai saturasi data diperoleh.

3.7 Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh


(26)

20

diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2005). Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2002) mendefenisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema hipotesis itu.

Analisis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2005), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Langkah-langkah umum dalam proses analisa kualitatif menurut (Field & Morse, 1985; Polit & Hungler, 1991; Leininger, 1985; Parse, Coyne & Smith, 1985 dalam Brockopp & Tolsmma, 1995) meliputi identifikasi tema-tema, membuktikan tema-tema yang dipilih melalui gambaran data tersebut dan pembahasan dengan para peneliti atau ahli-ahli lain dalam bidang tersebut, mengkategorisasikan tema-tema (menggunakan kategori-kategori yang ada atau kategori-kategori baru), mencatat data yang mendukung katergori-kategori tersebut dan identifikasi proposisi.

3.8 Reliabilitas dan validitas data

Dalam penelitian kualitatif untuk pengujian keabsahan data dapat menggunakan uji kredibilitas, pengujian trasferability, pengujian reabilitas, dan pengujian konfirmability (Sugiyono, 2005). Namun yang utama adalah uji kredibilitas yang dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan


(27)

21

ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, member chek dan analisis kasus negatif, serta menggunakan bahan referensi. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk kepentingan pengecekan atau sebagai sumber pembanding terhadap data itu, yaitu triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori (Maleong, 2001). Dalam penelitian ini hanya dilakukan tehnik triangulasi sumber yaitu menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Selain itu penulis menggunakan bahan referensi sebagai pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Data yang akan didokumentasikan dalam bentuk rekaman suara untuk mendukung kredibillitas data yang ditemukan peneliti. Penggunaan bahan referensi sebagai uji kredibilitas data dengan mempertimbangkan waktu penelitian yang singkat.

Keabsahan data dipertahankan dengan member checking yaitu suatu proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti datanya tersebut valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya. Pelaksanaan member check dapat dilakukan setelah periode pengumpulan data selesai, atau setelah mendapat temuan, atau kesimpulan (Sugiyono, 2005). Pada penelitian ini pelaksanaan member check dilakukan setelah pengumpulan data selesai.


(28)

22

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada bab ini akan menggambarkan tentang hasil penelitian yang dilakukan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 2 Agustus 2007. Penyajian hasil analisa data dalam penelitian ini meliputi deskripsi karakteristik partisipan dan mekanisme koping pasangan infertilitas di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Data yang dikumpulkan dalam penelitian tentang mekanisme koping pasangan infertilitas ini berupa hasil ” in depth interview”, yang berupa jawaban, ucapan ataupun perilaku yang tampak sebagai fenomena yang ditemui di lapangan. Peneliti berkomunikasi dengan partisipan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat. Dalam hal ini peneliti tidak memerlukan seorang penerjemah, karena peneliti dapat berbahasa daerah tersebut.

4.1.1 Karakteristik Partisipan

Partisipan yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 5 pasang suami-istri, adalah partisipan yang memenuhi keriteria dan bersedia untuk diwawancarai serta mau menadatangani formulir persetujuan menjadi responden penelitian. Untuk partisipan suami diberikan kode (S) dan Istri (Ist).


(29)

23

Partisipan I : Pasangan (I)

Partisipan I (S) : Pria berumur 49 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir Diploma , pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Penghasilan perbulan diatas Rp. 620.000.

Partisipan I (Ist) : Wanita berumur 36 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir SD, pekerjaan ibu rumah tangga. Penghasilan perbulan di bawah Rp. 620.000. Pasangan ini telah menikah selama lebih dari 12 tahun.

Partisipan II : Pasangan II

Partisipan II (S) : Pria berumur 38 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir sarjana, pekerjaan pegawai negeri sipil, penghasilan perbulan diatas Rp. 620.000.

Partisipan II (Ist) : Wanita berumur 34 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir sekolah menengah atas, pekerjaan pegawai negeri sipil, penghasilan perbulan diatas Rp. 620.000. Pasangan ini telah menikah lebih dari 10 tahun.

Partisipan III : Pasangan III

Partisipan III (S) : Pria berumur 34 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir Sarjana, pekerjaan pegawai negeri sipil, penghasilan perbulan diatas Rp. 620.000.

Partisipan III (Ist) : Wanita berumur 33 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir diploma, pekerjaan pegawai negeri sipil, penghasilan perbulan diatas Rp. 620.000. Pasangan telah menikah lebih dari 5 tahun.

Partisipan IV : Pasangan IV


(30)

24

Partisipan IV (S) : Pria berumur 34 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir diploma, pekerjaan pegawai negeri sipil, penghasilan perbulan diatas Rp. 620.000.

Partisipan IV (Ist) : Wanita berumur 30 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir diploma, pekerjaan pegawai negeri sipil, penghasilan perbulan diatas Rp.620.000. Pasangan telah menikah lebih dari 7 tahun.

Partisipan V : Pasangan V

Partisipan V (S) : Pria berumur 55 tahun, agama Islam, suku Pak-Pak, pendidikan terakhir sarjana, pensiunan, penghasilan perbulan berkisar Rp.500.000 – Rp.620.000.

Partisipan V (Ist) : Wanita berumur 39 tahun, agama Islam, suku Aceh, pendidikan terakhir sekolah menengah atas, pekerjaan ibu rumah tangga. Pasangan telah menikah lebih dari 3 tahun.

4.2 Hasil wawancara

4.2.1 Reaksi pasangan terhadap Infertilitas

Dari hasil wawancara dengan pasangan infertilitas diperoleh beberapa pendapat tentang perasaan mereka ketika menyadari bahwa setelah setahun perkawinan dan mereka masih belum memperoleh keturunan (mengalami infertilitas). Berikut ini adalah pernyataan dari pihak istri pasangan infertilitas.


(31)

25

1. Kesedihan

Empat dari lima partisipan mengatakan bahwa mereka merasa sedih ketika menyadari bahwa keluarga mereka belum dikarunia anak. Hal ini terungkap sesuai dengan pernyataan berikut ini:

Partisipan (01/ist)

” Dahulu ndak, awak pikie kalau manikah, awak tu baranak. Tapi wakatu sadar awak....ruponyo, kawan-kawan yang saangkatan jo awak alah baranak ...sedih da, mangapo awak balun juo?”

” Dulu saya berfikir jika menikah, saya akan mempunyai anak. Tapi ketika saya menyadari teman – teman yang menikah seangkatan dengan saya telah memiliki anak saya merasa sedih, mengapa saya belum?”

Partisipan (02/ist)

”Perasaan kakak baapolah yo ...memang balun rasaki kakak kecekkan. Cuman memang ado juo sebagian urang batanyo, wah balun juo baranak yo? Rasonyo hibo bana hati kakak, dalam hati ya... awak berang, sedih tapi wak cubo hilangkan, masalahnyo bukan apo-apo, kito pulangkan ka Tuhan sadonyo yo kan...?, jadi kakak kecekkan, ambo ko manusio bukan malaikat, Nabi sajo.., Nabi Zakaria sajo balun mampunyai anak, bungkuk inyo baru dibari anak, itupun mamohon. Jadi kakak kecekkanlah yo...awak berusaho”.

” Perasaan kakak gimanalah ya ...memang belum rejeki kakak katakan. Cuman memang ada juga sebagian orang bertanya, wah belum juga beranak ya? rasanya hati saya sedih, dalam hati ya...saya marah, sedih


(32)

26

tetapi saya coba hilangkan, masalahnya bukan apa-apa, kita pulangkan kepada Tuhan segalanya ya....kan? Jadi kakak katakan, saya ini manusia bukan malaikat, Nabi Zakaria saja sampai dia tua dan bungkuk baru dikaruniai anak, itupun dengan berdo,a. Jadi kakak katakanlah ya... saya berusaha”.

Partisipan (03/ist)

” Satiok datang haidtu, acokbana ambo manangih...mangapo haid iko mantang juo datang...?, parasaan men alahlah talambek”.

” Ketika setiap kali haid saya datang, saya sering menangis... mengapa haid ini masih tetap datang ... ,perasaan mens sudah terlambat datang”. Partisipan (04/ist)

” Sedih,... ya sedih juga tapi, saya tidak ingin terlalu memikirkannya kita

hanya manusia”.

Sedangkan reaksi dari partisipan suami dengan pertanyaan yang sama adalah sebagai berikut:

Partisipan (01/S)

” Ya...Baapolah, parasaan sedih tu ado da, tapi itu bukan kahandak kito. Ado juo kawan yang mangecekkan kek ambo, supayo manikah lai, tapi... kehidupan itukan indak lagutu, kito ado bini lalu wak tinggakan dek masalah iko”.

” Ya... gimanalah, perasaan sedih itu ada juga, tapi itu semua bukan kehendak kita. Ada juga teman yang menganjurkan saya untuk menikah


(33)

27

lagi, tapi kehidupan itukan tidak demikin, kita punya istri lalu ditinggalkan karena masalah ini”.

Partisipan (02/S)

” Kadang ado juo da... parasaan macam baitu... maraso marugi, karano ado juo babarapo pihak mangecekkan sio-sio awak mancari harato kakayaan”.

” Kadang kala ada juga perasaan itu... merasa merugi, karena ada beberapa pihak yang mengatakan sia-sia harta kekayaan yang kita cari”.

2. Cemburu / iri

Reaksi kedua yang dapat timbul pada pasangan yang mengalami infertilitas adalah cemburu, hal ini dapat kita lihat dari pernyataan berikut ini : Partisipan (01/Ist)

”Satiok wak kalua rumah tu kan, awak salalu meliek urang hamil, alah tuopun mantang juo nyo bisa hamil, mangopo diawak indak?”

” Setiap saya keluar dari rumah saya selalu melihat wanita hamil, sudah tuapun masih bisa hamil, mengapa saya tidak?”

Partisapan (02/ist)

” Kito manusio, ado juo parasaan cemburu, tapi ya.. kito sarahkan sajo dakek Tuhan Yang Kuaso”.

” Kita manusia, cemburu ya ada juga, tapi ya kita serahkan saja pada Tuhan Yang Maha Kuasa”.


(34)

28

Partisipan (03/ist)

” Panahkan..., talinteh di pikiran ambo mangopo urang lain mangandung, kecuali awak. Apo lai kalau mandanga kawan atau sialah yang dakek jo awak, rasonyo awak samakin cemburu”.

” Pernah terlintas dalam pikiran saya kenapa orang lain mengandung, kecuali saya. Apalagi kalau mendengar teman atau orang yang dekat dengan saya, saya semakin cemburu”.

Partisipan (04/ist)

” Perasaan itu bagaimanapun ada, ya...iri juga melihat orang lain, tapi ya... harus bagaimana?”

Adapun respon yang dirasakan oleh pria dalam hal ini suami pada pasangan infertilitas ternyata 3 dari 5 partisipan mengatakan merasakan hal tersebut, namun selebihnya menyatakan tidak memperdulikan hal itu. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

Partisipan (01/S)

” Kadang kadang ado juo da raso baitu, tapi...kalau ambo indak ambo pamasalahkan bana”.

”Kadang-kadang timbul jugalah rasa seperti itu, tapi... kalau saya tak mempermasalahkannya”.

Partisipan (04/S)

”Kami berteman akrab itu berempat, nah yang lain telah punya semua...tinggal lagi saya, jadi ada juga rasa iri melihat kawan-kawan tu” Partisipan (03/S)


(35)

29

”Rasa camburu atau kato iri, ado juo da...tingga lai baapo awak manghadapinyo sajolah”.

”Cemburu atau kata iri, ada juga... tinggal gimana kita menyikapinya sajalah.”

3. Marah

Reaksi marah merupakan reaksi yang juga diungkapkan oleh pasangan infertilitas.

Patisipan (01/Ist)

” Wakatu urang-urang bahundang bacarito masalah anak-anak, ambo rasonya nandak berang tapi itu tu dalam hati sajo”.

” Ketika orang – orang lain membicarakan tentang anak-anak saya merasa marah tapi itu hanya dalam hati”.

Partisipan (02/Ist)

” Panah juo da.. waktu urang batanyo tantang anak dakek ambo, alah wak jalehkan bahsonyo itu bukan kahandak awak, tapi dalam hati..ambo kecekkan nantilah suatu saat kau rasokan ju..”

”Pernah juga ketika orang bertanya tantang anak kepada saya, dan telah saya telah jelaskan bahwa itu bukan kehendak saya, tapi hati saya berkata nantilah suatu saat kau akan merasa juga.”

Partisipan (03/Ist)

” Rasonyo kesal juo awak mangapo urang yang indak nandak dibari Tuhan, kok awak yang rasonyo alah siap bana indak dibari, tapi indak mungkin awak berang dakek Tuhan.”


(36)

30

” Rasanya kesal juga kenapa orang yang tidak menginginkannya malah dikasih sama Tuhan, kok kita yang memang rasanya sudah siap tidak dikasih, tapi tidak mungkin marah sama Tuhan.”

Partisipan (04/Ist)

” Kemarin adik ipar saya hamil, padahal kawinnya baru aja, rasanya hulu hati saya sakit mendengar kabar itu, tapikan ndak mungkin saya marah ama dia? Ya... itu rejeki dia kali.”

Sedangkan reaksi marah yang dirasakan suami terkait kondisi infertilitas, cenderung merasa marah pada diri sendiri, hal ini terungkap sebagai berikut:

Partisipan (03/S)

”Awak berang dakek kondisi baiko, mangapo bisa macamko, apo yang salah dakek ambo?”

” Saya marah pada kondisi ini, kenapa bisa seperti ini apa yang salah pada saya”.

4. Isolasi

Perasaan Isolasi atau merasa terkucil adalah suatu perasaan yang tidak dapat dihindarkan, hal ini diekspresikan sebagai perasaan yang terkucil di lingkungannya sendiri, seperti yang diungkapkan partisipan berikut;

Partisipan (03/ist)

” Panahkan, rasonyo maleh bana awak tu pai ka acara-acara kaluarga atau ado acara di lua rumah, karano itu mambuek awak stress, dakek urang pasti batanyo tantang yang itu”.


(37)

31

”Pernah, saya merasa malas pergi ke pertemuan-pertemuan keluarga atau kegiatan – kegiatan di luar rumah, karena hal itu bisa membuat saya stress karena orang pasti bertanya tentang hal itu”.

Partisipan (04/ist)

” Kalau orang – orang, atau teman-taman membicarakan tentang keluarga mereka, anak-anak, kita hanya bisa mendengarkan.”

Sedangkan pria juga merasakan hal yang sama, seperti yang dapat kita lihat dari ungkapan berikut ini.

Partisipan (02/S)

” Maleh juo da kadang basuo jo dunsanak kalo pas ado acara, awak maraso indak lamak sajo, apolai kalau ado pulo urang batanyo dakek bini tantang anak, pasti inyo manangih kadakek awak.”

” Malas juga terkadang jumpa sama famili-famili kalau ada acara, kita merasa nggak enak saja, apalagi kalau ada orang bertanya pada istri tentang anak, dia pasti menangisnya ke saya.”

Partisipan (03/S)

” Kawan-kawan di kantulah, atau ditampek awak biaso bakumpu, kadang biasonyo sambi bagarah, awak indak lamak hati rasonyo macam ma hino jadi maleh juo kadang, tapi kan indak pulo mungkin awak jadi indak bakawan.”

” Teman- teman di kantorlah, atau ditempat kita kumpul-kumpul, kadang biasa mereka sambil seloroh, merasa tidak enak hati rasanya seperti


(38)

32

mengejek jadi malas juga kadang, tapi kan tidak mungkin kita jadi tak berteman.”

5. Cemas

Beberapa partisipan mengungkapkan rasa cemas, dengan kondisi infertilitas ini, hal ini seperti pernyataan berikut.

Partisipan (01/Ist)

” Siapo yang indak cameh, umu batambah juo apo awak macam baiko satarusnyo”.

” Siapa yang nggak cemas, umur bertambah juga apa kita akan seperti ini terus?”

Partisipan (04/Ist)

”Kita ini perempuan, ya ... tentunya merasakan cemas, jangan-jangan nanti suami berpaling pula”.

Sedangkan rasa cemas yang dirasakan oleh suami diungkapkan seperti pernyataan berikut :

Partisipan (02/ S)

” Camehlah, kalau ambo bapiki baiko...sia yang mando’akan ambo nanti, wakatu awak lah indak ado lai jikalau awak indak ado anak.”

” Cemaslah, kalau saya berfikir seperti ini... siapa yang akan mendo’akan saya nanti, ketika saya telah tiada jika saya tidak punya anak.”

Partisipan (01/S)


(39)

33

” Ado juo parasaan macam camehlah baitu, kito barusaho mancari

harato, kadang urang suka bana mangecek kanapo awak kayo kalau indak ado pawaris awak nantinyo.”

” Ada juga perasaan seperti cemaslah, kita berusaha mencari harta, kadang orang sering mengatakan untuk apa kaya kalau tidak ada pewaris nantinya.”

4.2.2 Dampak yang timbul akibat infertilitas

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi infertilitas yang dialami oleh suatu pasangan akan memberikan dampak bagi suami dan istri sebagai individu, tapi juga berdampak pada hubungan keduanya.

Bagi istri kondisi infertilitas dapat menimbulkan dampak psikologis seperti perasaan sedih, putus asa, isolasi dan marah. Dampak psikologis ini tentu saja akan menimbulkan masalah jika tidak dapat ditangani secara tepat. Seperti perasaan sedih, putus asa, apabila tidak ditangani dapat membuat keadaan lebih berat seperti jatuh pada kondisi depresi. Selain itu dampak psikologis juga akan memberikan pengaruh terhadap keharmonisan suami-istri dan juga berdampak terhadap hubungan sosial.

Partisipan (02/Ist)

” Kadangkan, kalau awak pas tangah kesal bana mandanga kecek urang, acok ambo malapehkannya dakek abang.”

” Terkadang, kalau saya lagi kesal karena mendengar omongan orang, saya sering melampiaskannya sama abang (suami).”


(40)

34

Namun tentu saja ada yang terjadi justru sebaliknya. Suatu pasangan justru bertambah erat satu dengan lainnya, setelah mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat mempunyai anak, hal ini dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini:

Partisipan (01/S)

” Masalah baiko indak da sampai mambuek kami jauh, justru malah sabaliaknyo, kami tambah dakek....ya mungkin tambah mesra.”

” Masalah ini tidak sampai membuat kami merasa jauh, justru sebaliknya kami tambah dekat ... ya mungkin tambah mesra.”

Partisipan (01/Ist)

” Kami indaklah bacakak dek karano masalah baiko, kami malah saliang mangarati, dan abang acok juo manolong ambo kok ado karajo di rumah. ” Kami tidak bertengkar hanya karena masalah ini, kami saling mengerti dan abang (suami) sering membantu saya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.”

Partisipan (05/S)

” Nggaklah, kami berdua santai saja... kalau di beri ya, itu rejeki kami kalaupun tidak, itu bukan kehendak kita .”

4.2.3 Kemampuan Mengatasi Masalah

Kemampuan mengatasi masalah adalah kemampuan masing-masing pasangan dalam mengatasi reaksi yang ditimbulkan oleh kondisi infertitas. Hal ini diekspresikan oleh partisipan sebagai kemampuan untuk mencari informasi tentang pengobatan dan mencoba untuk tidak terlalu memikirkan dengan cara


(41)

35

mengalihkan perhatian dengan suatu kesibukan. Cara- cara yang dilakukan pasangan ini adalah merupakan Mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan suatu upaya –upaya pemecahan masalah seorang individu terhadap perubahan serta situasi yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengatasi masalah ini dapat kita lihat sebagai suami atau istri secara individu, dan dapat pula suami dan istri sebagai suatu kesatuan dalam bentuk keluarga. Dalam hal ini pasangan masih berada pada tahap tugas perkembangan keluarga tahap pertama.

Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara maka didapatkan beberapa mekanisme koping yang umum digunakan oleh pasangan infertilitas secara individu adalah :

(1). Berusaha untuk tetap melakukan program pengobatan baik secara tradisional (alternatif) atau secara medis. Hal ini seperti yang diakui oleh partisipan berikut;

Partisipan (01/Ist)

” Kami kini tangah barubek samo bapak C, maminum ai ramuan ado juo lampok... kapatangtu alah da talambek datang haid, wak pikie alah jadi agaknyo... tapi kanai mencret pulo jadi kalua lagi.”

” Kami sedang berobat dengan bapak C,minum air rebusan ramuan dan ada juga pakai lampok (parem) ... kemarin ini haid saya sudah terlambat, saya fikir mungkin sudah jadi..., tapi saya terkena mencret jadinya haidnya keluar lagi ”.

Partisipan (02/ Ist)


(42)

36

”Untuk waktu kini kami tangah kumpu-kumpukan kepeng dulu untuk barubek lagi, jadi sambi mananti tu indak da ado salahnyo kito cubo barubek kampung pulo”.

” Sekarang kita sedang kumpul-kumpul uang dulu untuk berobat lagi, jadi sambil – sambil menunggu itu tidak ada salahnya kita coba berobat kampung pula.”

Partisipan (03/Ist)

” Takadang bosan juo dah awak, barubek alah ntak kamano-mano wak jalani, ado urang mangecekkan ka dokter, barubek kampungpun alah juo, tapi sampai kini balun juo ada hasil, mungkin balun rasaki ”.

” Terkadang saya merasa bosan juga, berobat sudah dijalani kemana-mana, orang menganjurkan ke dokter, berobat kampungpun sudah, tapi sampai saat ini belum ada hasil, mungkin belum rejeki”.

Partisipan (05/Ist)

” Kalau kami prinsipnya jangan terlalu ngototlah, kita sadar juga umur udah berapa, lagian.... berobat ke dokter itu mahal”.

Mengenai usaha pengobatan dari suami terungkap seperti berikut: Partisipan (01/S)

” Baubek kek dokter, alah panah kami jalani tapi itu dulu alah lamo. Tapi dek jauh bana... indak mungkin kami bulak-balik, lagi pula biaya, kini yo wak cubo samo ubek kampung”

” Berobat ke dokter, sudah pernah kami jalani itu dulu sudah lama. Tapi berhubung jaraknya yang jauh ... tidak mungkin kami bolak-balik lagi pula


(43)

37

biaya, sekarang ya kita coba dengan berobat kampung (pengobatan altrnatif).”

Partisipan (03/S)

” Untuk samantaro kami istirahat dalulah. Ambo mantang yakin rasaki tu bakalan ado, dan ambo mantang punyo jalan terakhir ya...ka Penang.” ” Untuk sementara kami istirahat dululah. Saya masih yakin rejeki (anak) itu bakal ada, dan saya masih punya alternatif terakhir ya... ke Penang.” (2). Mencari informasi

Pasangan infertilitas berusaha mencari informasi tentang pengalaman orang lain yang telah berhasil dengan program pengobatan tertentu dan berusaha untuk mencobanya. Hal ini terungkap dari pernyataan berikut ini:

Partisipan (02/Ist)

” Ado juo orang yang mangecekkan dr Y tu rancak, alah banyak urang yang bahasil ...mangkonyo kami cubo pulo kasitu, mano tau awak ado rasaki.”

” Ada orang yang mengatakan dr Y itu bagus, sudah banyak orang yang berhasil... makanya kami coba pula kesana, mana tau ada rejeki.”

Partisipan (03/S)

” Pokoknyo kalaulah ado urang yang alah bahasil hamil misalnyo barubek di suatu tampek... kito pasti batanyo kamano inyo barubek.” ”Pokoknya kalau ada orang yang sudah berhasil hamil misalnya berobat disuatu tempat.. kita pasti bertanya kemana dia berobat.”


(44)

38

(3). Pasrah dan berdo’a kepada Tuhan

Pasangan infertilitas mengakui bahwa menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan meyakini bahwa kondisi infertilitas bukan kehendak manusia. Selain pasrah pasangan juga tidak lupa berdo’a.

Partisipan (02/Ist)

” Parasaan ambo balun rasaki, kito ko hanyo mamohon dakek-Nyo, ya... wak bacolah do’a-do’a, macam do’a Nabi Zakaria misalnyo.”

” Perasaan saya belum rejeki, kita hanya memohon kepada-Nya, ya... dengan membaca do’a –do’a, seperti do’a Nabi Zakaria misalnya.”

Partisipan (03/Ist

” Ado urang yang mangajakan dakek awak supayo mambaco do’a yang bisa dibaco jiko awak nandak punyo anak, alah da acok awak mambaconyo kalau siap sembahyang.”

” Ada orang yang mengajarkan kepada saya untuk membaca do’a yang bisa dibaca jika kita mau punya anak, udah kita sering bacanya kalau siap shalat.”

Kondisi pasrah dan berdo’a ini juga diakui oleh suami sebagai suatu langkah yang ditempuh dalam menghadapi kondisi infertilitas.

Partisipan (01/S)


(45)

39

” Saluruh kondisi ko wak kambalikan dakek Tuhan, awak alah barusaho... alikaiko bukan kahandak awak.”

” Semua kondisi ini kita kembn kepada Tuhan, kita sudah berusaha... ini semua bukan kehendak kita.”

Partisipan (05/S)

” Itu semua bukan kita yang menentukan Yang Kuasa yang menentukan, belum dikasih ya berarti belum rejeki. Pasrah dan berdo’a sajalah.” (4). Berusaha melupakan atau mengalihkan perhatian

Usaha lain yang dilakukan partisipan dalam menghadapi kondisi infertilitas adalah melupakan atau mengalihkan perhatian. Tindakan ini diakui oleh partisipan dapat meringankan beban yang ada.

Partisipan (01/Ist)

” Wak cubo untuk jangan talampau mamikikan bana, misalnyo kini ambo ado kesibukan karajo di rumah samo bajaga. Jadi dek sibuk tu bisa ma hilangkan baban pikiran”.

” Saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, misal sekarang saya punya kesibukan dengan pekerjaan rumah dan jualan. Jadi kesibukan bisa menghilangkan beban pikiran.”

Partisipan (02/Ist)

” Ambo mancari kasibukan macam mananam bungo, karajo dirumah salain karajo di kantor, mangkonyo awak indak manyewa pambantu”


(46)

40

” Saya mencari kesibukan seperti menanam bunga, pekerjaan rumah tangga selain kita bekerja di kantor, makanya kita tidak menyewa pembantu.”

Berusaha melupakan dan mengalihkan perhatian juga dilakukan oleh suami pada pasangan infertilitas seperti pernyataan berikut ini;

Partisipan (02/S)

” Kalau ado urang yang batanyo tantang masalah tu, ambo cubo untuk mahilangkan atau wak hindari pertanyaan itu.”

” Kalau ada orang yang bertanya tentang itu, saya coba untuk mengalihkan atau menghindari pertanyaan itu.”

Partisipan (03/S)

”Ambo suko manonton tv atau film yang wak suko jadi bisa maeksploitasi pikiran, waktu tu ambo rasokan nyaman, indak ado yang mangganggu.” ” Saya suka menonton tv atau film kesukaan yang bisa mengeksploitasi pikiran, saat itu saya merasa nyaman, tidak ada yang mengganggu.”

(5). Berusaha sabar

Ketika harapan belum juga menjadi suatu kenyataan, pasangan infertilitas mengungkapkan bahwa bersabar adalah jalan terbaik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh 2 dari 5 pasangan.

Partisipan (02/Ist)

” Baapolah...sabalah kito. Kito bakarehpun itu bukan kuaso kito, kalau Tuhan mantang balun mangizinkan.”


(47)

41

” Gimanalah... sabarlah kita. Kita berkeras pun itu bukan kuasa kita, kalau Tuhan masih belum mengijinkan”.

Partisipan (03/Ist)

” Mungkin sabalah yang musti dipabanyak ,antahlah... itu sajo yang wak punyo.”

” Mungkin sabarlah yang harus di perbanyak,entahlah... itu yang saya punya.”

Suami pada pasangan ini juga melakukan hal yang sama, seperti yang terungkap berikut ini;

Partisipan (01/S)

”Basabalah kito...kalau indak stress jadinyo. Tuhan itu tahu apo yang paling elok untuk kito.”

”Bersabarlah kita.... kalau ndak stress jadinya. Tuhan itu tahu yang terbaik untuk kita.”

Partisipan (02/S)

” Kalau indak saba, bisa rusak da rumah tangga awak.” ”Kalau ndak sabar, bisa rusak rumah tangga awak.” (6). Dukungan keluarga / teman

Dukungan keluarga / teman baik berupa saran, atau juga informasi. Dukungan ini juga berupa keinginan partisipan untuk oranglain juga mendo’akan agar pasangan segera dikaruniai keturunan. Hal ini seperti diungkapkan oleh partisipan berikut

Partisipan (02/Ist)


(48)

42

” Panah ambo titip do’a dakek bini pak kecik waktu baliau tu nandak barangkek haji. Mbo minta supayo baliu tu mando’akan awak di sinin.” ”Saya pernah menitip do’a sama istri pak kecik ketika beliau akan berangkat haji. Saya minta beliau mendo’akan saya di sana ”.

Partisipan (03/S)

” Kawan ataupun kaluarga ado juo da yang manganjurkan kito untuk basaba, habis tu mambarikan contoh misalnyo si pulan tu balun juo baranak, inyo labiah lamo lagi dari munak”.

” Teman atau keluarga ada juga yang menganjurkan kita untuk bersabar dan memberikan contoh misalnya si Pulan itu juga belum punya anak, dia bahkan lebih lama dari kalian”.

(7). Mengambil hikmah dari kondisi

Pasangan infertilitas mencoba mengambil sisi positif dari kondisi infertilitas ini dengan cara memikirkan keuntungan dari dengan tidak memiliki anak, seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut.

Partisipan (05/Ist

” Tapi kalau dipikir-pikir gini, yang betul kalau punya anak kita tidak bisa nyari setoran...(sambil tertawa)”.

Partisipan (02/Ist)

” Ado hikmahnyo juo, kasampatan awak samo laki labiah banyak, bisa awak pai kamano-kamano indak bapiki baapo”.


(49)

43

”Ada hikmahnya juga, kesempatan kita sama suami lebih banyak, bisa pergi kemana-mana tidak mikir-mikir gimana.”

(8). Mengangkat Anak

Mengangkat anak merupakan salah satu upaya yang dilakukan pasangan infertilitas, empat dari lima pasangan mengakui bahwa mengambil anak angkat merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi kerinduan mereka terhadap kehadiran anak. Namun demikian ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi pasangan dalam hal mengangkat anak ini, seperti yang diungkapkan oleh partisipan berikut ini:

Partisipan (02/Ist)

” Kini kami alah mamaliharo duo anak angkek, yang iko.. inyo indak tau karano kami maambik dari bayi. Inyo manyangko kamilah nanggaeknyo. Kalau yang sorang lagi, itu anak adik yang maningga umaknyo kapatang. Urangkolah yang mambuek rami”.

”Saat ini kami memang sudah memilihara dua anak angkat, yang ini (sambil menunjuk anak perempuan umur 4 tahun), dia tidak tahu karena kami mengambilnya dari bayi. Dia menyangka kamilah orang tuanya Kalau yang satu orang lagi, itu anak adik yang meninggal kemarin ibunya. Merakalah yang membuat suasana jadi ramai”.

Partisipan (03/Ist)

” Ado rencana maambik anak angkek, kecek urang juo sabagai pancingan, tapi bukan kini, ambo balun siap.”


(50)

44

” Ada rencana mengambil anak angkat, kata orang juga sebagai pancingan, tapi bukan saat ini, saya belum siap.”

Adapun pendapat suami pada pasangan infertilitas, tentang adopsi adalah; Partisipan (01/S)

” Ado juo kainginan maangkek anak, tapi untuk itu awak harus bapiki. Sa eloknyo wak ambik dari famili karano kalaupun alah gadang inyo pulang lai dakek nanggaeknyo, yo... indak mangapo karano mantang dunsanak.” ”Ada juga keinginan untuk mengangkat anak, tapi untuk itu kita harus pikir-pikir. Baiknya kita ambil yang dari famili karena kalaupun setelah besar dia pulang lagi kepada orang tuanya, ya ...tidak apa-apa karena masih famili.”

Partisipan (03/S)

”Ado juo rencana maambik anak angkek, Yo...itu akan kami lakukan kalau memang sagalo usaho alah indak bisa...”

”Ada juga rencana mengambi anak angkat, ya ... itu akan saya lakukan kalau memang segala usaha sudah tidak bisa..”

(09). Menceritakan masalah kepada orang lain

Menceritakan atau mengungkapkan perasaan kepada orang lain adalah salah satu hal yang sering dilakukan oleh pasangan infertilitas. Umumnya pasangan lebih cenderung menceritakan masalahnya kepada suami/ istri, orang-orang yang memiliki nasib yang sama, atau orang lain yang dianggap bisa dipercaya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh istri pada pasangan infertilitas.

Partisipan (01/Ist)


(51)

45

” Bacarito paliang samo abang, kalau urang lain jarang, ado juo tapi wak liek-liek dulu urangnyo.”

” Bercerita paling sama abang (suami), kalau orang lain jarang, ada juga tapi liat-liat orangnya.”

Partisipan (02/Ist)

“ Kalau tampek curhat paling abanglah, kadang tau juo da awak inyopun banyak juo babannyo. Tapi inyo, urangnyo dapek mangarati parasaan ambo.”

” Kalau tempat curhat paling abanglah (suami), walaupun saya tahu dia pun memiliki banyak beban. Tapi dia orang yang dapat mengerti perasaan saya.”

Partisipan (03/Ist)

” Labiah lamak wak bacarito dakek urang yang sanasib jo awak, jadi bisa batuka informasi, kalau urang lain balun tantu inyo tahu baapo parasaan hati awak.”

” Lebih enak bercerita sama orang yang juga sama nasibnya sama kita, jadi bisa bertukar informasi, kalau orang lain belum tentu meraka tahu perasaan hati kita”.

Menurut suami pada pasangan infertilitas, bercerita merupakan salah satu tindakan yang dilakukan.


(52)

46

Partisipan (01/S)

” Misalnyo bacarito, yo...tapi paling samo kawan atau kaluarga yang dapek dipacayo sajo”.

”Misalnya bercerita, ya ... tapi paling sama teman atau keluarga yang dapat dipercaya saja.”

Partisipan (02/S)

” Yo... Ado juo kito bacarito tapi wak liek dulu urangnyo kalau memang bisa jadi tampek awak bacarito ya...awak batuka pikiran, sakalia cari informasilah”.

” Ya...Ada juga kita bercerita tapi kita lihat dulu orangnya kalau memang bisa sebagai tempat cerita ya... kita bertukar pikiran, sekalian cari informasilah”.

Partisipan (03/S)

” Bercerita ado juo, tapi baiko...kitokan indak bisa bacarito samo samuo urang, karano kito laki-laki ko kadang kawan-kawan suko bana yo... macam mangolok-olok awak ee..”.

”Cerita kadang ada juga, tapi gini... kita kan tidak bisa cerita sama semua orang, karena kalau kita laki-laki ni kadang kawan-kawan suka ya... semacam mengolok-olok kita.”

4.3 Pembahasan

4.3.1 Reaksi terhadap ketidaksuburan (infertilitas)


(53)

47

Infertilitas dikenali sebagai stresor utama yang dapat mempengaruhi konsep-diri, hubungan dengan pasangan, keluarga, teman-teman dan karier. Penelitian terbaru mengungkap profil ketegangan infertilitas, yang mencakup ketegangan, kekhawatiran, gejala depresi dan pengasingan diri (Berg, Wilson, 1990;Wright, dkk., 1989, dalam Bobak, dkk., 1995).

Banyak respon psikologis yang timbul ketika sebuah diagnosis kerusakan fertilitas dapat membebani pasangan dalam memberi dan menerima kedekatan fisik atau seksual. Respon psilokogis yang dialami dapat saja mengganggu integritas individu ataupun keutuhan suatu hubungan pasangan itu sendiri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan infertilitas di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil ditemukan bahwa reaksi terhadap ketidaksuburan (infertilitas) yang sering terjadi antara lain :

(1). Kesedihan

Wanita atau pasangan yang mengalami gangguan fertilitas atau masalah ketidak suburan memperlihatkan perilaku yang sama dengan proses berduka yang terkait dengan kehilangan. Kehilangan suatu kontinuitas genetik untuk generasi berikutnya menyebabkan individu kehilangan harga diri, tidak merasa adekuat sebagai seorang wanita (atau pria), kehilangan kontrol terhadap nasib seseorang dan kehilangan diri sendiri. Individu yang infertil mengalami gangguan konsep diri dan semakin merasa tidak puas dengan perkawinannya (Hirsch, Hirsch 1989, dalam Bobak dkk 1995).

Kesedihan yang dialami pasangan infertilitas dapat kita hubungkan dengan proses berduka menurut teori Kubler –Ross (1969) yang mengatakan bahwa


(54)

48

terdapat 5 fase dalam proses kehilangan / berduka yaitu : Menyangkal, marah, tawar menawar, depresi dan penerimaan. Pernyataan diatas sesuai dengan hasil temuan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan infertilitas. Namun demikian kesedihan / kehilangan yang dirasakan oleh pasangan infertilitas ini memiliki sedikit perbedaan dengan kehilangan karena kematian.

Kebanyakan orang yang tidak subur – atau mereka yang mempunyai masalah kesuburan-menderita kesedihan yang serupa dengan kehilangan karena kematian; rasa kehilangan serta intensitasnya dapat sebesar rasa kehilangan seorang anak yang pernah hidup namun tetap ada bedanya. Perbedaan pertama adalah bahwa ketika seseorang meninggal, tidak akan ada harapan bagi mereka untuk kembali hidup. Lain halnya dengan ketidak suburan. Seringkali paling tidak untuk jangka waktu yang panjang, orang masih menyimpan harapan ia akan mendapatkan seorang anak. Hal ini memperumit proses kesedihan. Kedua, pada ketidaksuburan kesedihan tersebut tidak mempunyai objek; tidak ada anak, tidak ada orang, tidak ada foto, tidak ada kenangan untuk dikenang dan ditangisi. Peter dan Diane Houghton, yang tidak mempunyai anak dan membentuk Asosiasi Nasional untuk Orang-orang Tanpa Anak di Inggris (the National Association for the Childless in Britain), menyebut pengalaman kesedihan semacam itu pada pasangan tanpa anak dengan “kesedihan yang tidak terfokus” karena tidak dapat dipusatkan pada seseorang maupun suatu peristiwa (Jones,1997).

Selain itu dalam hal kesedihan, wanita lebih mudah mengekspresikan kesedihan dengan cara menangis, hal ini jarang terjadi pada pria. Adanya perbedaan reaksi kesedihan yang dialami oleh suami dengan istri ini sesuai


(55)

49

dengan penelitian Jordan & Revenson (1999), adanya perbedaan jender dalam koping dengan infertilitas.

(2). Cemburu / iri

Iri merupakan reaksi dari gabungan/perpaduan antara berbagai bentuk emosi. Terkandung sikap membandingkan antara dirinya dengan keadaan atau orang lain. Dirinya merasa kurang, merasa kalah sehingga timbul keinginan menyamai bahkan melebihi (Sundari, 2005). Respon cemburu yang timbul pada pasangan infertilitas umumnya dialami oleh wanita, hal ini merupakan reaksi yang disebabkan karena ketidakmampuan untuk memiliki anak. Hal ini dapat dikaitkan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa wanita lebih banyak mengalami stress terhadap pemeriksaan dan pengobatan daripada pria, menempatkan kepentingan yang lebih besar dalam hal mempunyai anak dan menginginkan anak yang lebih banyak (Halman, Andrews, Abbey, 1994 dalam Bobak, 1995).

Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pasangan infertil bisa merasa iri pada orang yang dapat hamil dengan mudah (Mc Kinney et. Al., 2000 dalam Afi Darti, 2006).

(3). Marah

Respon marah dan isolasi adalah suatu respon yang juga muncul pada wanita atau pasangan infertilitas merupakan suatu respon yang diakibatkan oleh kehilangan suatu kontinuitas genetik untuk generasi berikutnya menyebabkan individu kehilangan harga diri, tidak merasa adekuat sebagai seorang wanita (atau pria), kehilangan kontrol terhadap nasib seseorang dan kehilangan diri sendiri.


(56)

50

Individu yang infertil mengalami gangguan konsep diri dan semakin tidak puas dengan perkawinannya (Hirsch, Hirsch, 1989, dalam Bobak, dkk 1995). Marah merupakan reaksi terhadap sesuatu hambatan yang menyebabkan gagalnya suatu usaha atau perbuatan. Biasanya bersamaan dengan berbagai ekspresi perilaku (Sundari, 2005).

Pada penelitian ini, peneliti menemukan marah yang dirasakan partisipan ditujukan kepada kondisi yang dialaminya. Namun peneliti tidak menemukan adanya prilaku agresif pada pasangan sebagai akibat kemarahan yang dirasakan. Marah yang dirasakan partisipan ditujukan kepada kondisi yang dialaminya. Partisipan lebih memilih untuk menyimpan atau tidak menunjukkan kemarahannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Afi Darti, (2006) tentang emosi ibu yang belum memiliki keturunan bahwa ibu menyimpan atau tidak menunjukkan kemarahan secara langsung pada orang yang membuat partisipan terganggu.

(4). Isolasi

Isolasi adalah kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkup yang amat terbatas (Desmita, 2005). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pasangan infertilitas memiliki kecenderungan untuk menghindari untuk berhubungan dengan orang lain karena merasa tidak nyaman dengan pertanyaan atau obrolan sekitar anak.

(5). Cemas

Cemas adalah keadaan tidak mudah, prihatin, rasa takut, prasangka atau prasaan tidak berdaya terhadap suatu ancaman yang akan datang dan tidak


(57)

51

teridentifikasikan (Kozier and Erb, 1987). Hal ini ditunjukkan dengan perasaan kuatir, susah dan tidak nyaman. Stress yang menganancam keamanan fisik maupun mental bisa menimbulkan cemas (Afi Darti, 2006). Kecemasan adalah suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan. Kecemasan terjadi karena individu tidak mampu mengadakan penyesuaian diri terhadap diri sendiridi dalam lingkungan pada umumnya (Sundari, 2005)

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa cemas yang dirasakan oleh partisipan adalah kekuatiran partisipan terhadap timbulnya masalah –masalah yang diakibatkan oleh kondisi infertilitas.

4.3.2 Kemampuan Mengatasi Masalah / Koping pasangan infertilitas

Dalam kehidupan sehari-hari, individu menghadapi pengalaman yang mengganggu ekuilibrium kognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami perubahan hubungan dengan orang lain dalam harapannya terhadap diri sendiri dengan cara negatif . Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan perilaku pemecahan masalah (mekanisme koping) yang bertujuan meredakan ketegangan tersebut (Suliswati, dkk, 2005). Infertilitas sendiri merupakan suatu stressor yang mempengaruhi keduanya baik istri maupun suami Jordan & Rovenson (1999). Adapun mekanisme koping yang digunakan oleh pasangan infertilitas dalam penelitian ini adalah:

A. Berusaha mencari dan mengikuti program pengobatan baik secara medis ataupun tradisional.


(58)

52

Berusaha mencari dan mengikuti program pengobatan baik secara medis maupun tradisional merupakan usaha yang dilakukan oleh pasangan. Hal diperoleh dari pernyataan pasangan dalam penelitian ini bahwa berusaha melakukan pengobatan baik secara medis atau tradisional.

Melakukan upaya pengobatan baik secara medis atau non medis merupakan salah satu mekanisme koping. Dalam hal ini pasangan menggunakan koping berorientasi pada penyelesaian masalah. Menurut Lazarus & Folkman,1984) termasuk kedalam problem-focused coping atau koping berfokus pada masalah yang mencakup bertindak secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi.

B. Mencari informasi

Mengatasi kondisi infertilitas, pasangan mencoba mencari informasi tentang pengobatan dan usaha-usaha langsung dari orang lain. Dalam hal ini pasangan bertanya kepada pasangan yang telah berhasil mengatasi masalah infertilitas dengan berbagai cara. Jika tidak mau mencari informasi, maka pasangan akan terjebak dan akan mengalami kesulitan dalam menjalani masalah infertilitas (Spedale, 1989 dalam Afi Darti 2006). Mencari informasi tentang cara mengatasi infertilitaas adalah strategi koping seeking social support.

C. Pasrah dan berdo’a

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasrah yang dilakukan oleh pasangan infertilitas adalah menyerahkan kepada Yang Maha Kuasa atas hasil dari semua usaha yang telah dilakukan. Dan ketika harapan yang diinginkan masih belum terwujud maka pasangan pasangan pasrah bahwa Tuhan belum mengijinkannya.


(59)

53

Kenyataan ini mengandung makna bahwa pasangan berusaha untuk mengatasi kondisi infertilitas, jika masalah infertilitas tersebut masih belum teratasi dan kenyataannya segala usaha tidak memberikan hasil, pasangan menyadari bahwa semua hal tersebut adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan Afi Darti (2006) tentang ibu yang belum memiliki keturunan mengendalikan perasaan dalam dirinya dengan memasrahkan keadaan dirinya. Tindakan ini juga dilakukan oleh pasangan infertilitas.

Sikap pasrah yang dilakukan pasangan tetap diiringi dengan berdo’a. Tindakan berdo’a adalah bentuk ”dedikasi-diri” yang memungkinkan individu untuk bersatu dengan Tuhan atau Yang Maha Kuasa (McCullough, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Seringkali berdoa menyebabkan seseorang merasakan perbaikan suasana hati dan merasakan kedamaian dan ketenangan. Pasrah dan berdo’a merupakan mekanisme koping self control (Folkman & Lazarus, 1989 dalam Afi Darti, 2006).

D. Berusaha sabar

Dalam penelitian ini pasangan mengembangkan sikap bersabar dalam menghadapi kondisi infertillitas. Menghadapi kondisi infertilitas dibutuhkan pengendalian emosi salah satunya dengan bersabar. Sesuai dengan penelitian ini sabar yang dilakukan oleh pasangan merupakan mekanisme koping self control. Pernyataaan ini sesuai dengan teori Folkman & Lazarus (1989).

E. Mencari dukungan dari keluarga dan teman


(60)

54

Dukungan dari teman, keluarga bahkan dari pasangan sendiri sangat dibutuhkan. Mencari dukungan dari pasangan, keluarga dan teman merupakan mekanisme koping seeking social support. Berbagi cerita memberikan suatu kelegaan bagi partisipan. Dari penelitian didapatkan suatu kecendrungan bahwa suami atau istri merupakan tempat berbagi cerita. Lebih banyak melakukan pengungkapan bersama menghasilkan ikatan keluarga yang lebih kuat (Olson, et al, 1979 dalam Friedman, 1998)

F. Mengambil hikmah dari kondisi

Memaknai bahwa kondisi infertilitas yang dialami memiliki hal yang positif atau ada hikmah dibalik kondisi tersebut. Pasangan infertilitas memakai koping positif reaprapraisal. Hal ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jordan & Revenson (1999).

G. Mengangkat anak

Hampir setiap pasangan yang mengalami infertilitas, beberapa waktu berfikir untuk mengambil anak angkat, dan merasa itu adalah jawaban terhadap ketidaksuburan yang mereka alami. Namun mengangkat anak bukan hal yang mudah, jadi menurut pengamatan peneliti tindakan untuk mengangkat anak ini membutuhkan kesiapan mental dari pasangan itu sendiri. Tindakan mengambil anak angkat adalah merupakan mekanisme koping planful problem solving.

H. Berusaha melupakan masalah

Pasangan infertilitas pada penelitian ini berusaha melupakan masalah dengan berbagai cara, misalnya dengan melakukan berbagai kesibukan. Idividu dapat melakukan usaha kognitif untuk melepaskan diri dari situasi yang dihadapi.


(61)

55

Usaha yang dilakukan dapat dengan cara tidak memikirkan masalah yang dihadapi atau mencoba menganggap situasi yang dihadapi sebagai masalah yang ringan (Saravino, 1998 dalam Afi Darti, 2007).

I. Menceritakan Masalah kepada orang lain.

Hasil penelitian didapatkan bahwa partisipan menceritakan masalah infertilitas kepada orang lain terutama kepada pasangannya sendiri hal ini lebih dapat membantu. Wanita lebih dapat mengungkapkan perasaannya dibandingkan dengan pria. Hal ini karena wanita lebih terbuka dalam hal mengungkapkan perasaan. Meskipun membicarakan masalah hampir selalu dapat menolong, namun banyak pria yang merasa lebih mudah dan enak untuk tetap menyimpan masalah itu sendiri, kecuali untuk beberapa orang yang dapat mengerti (Jones, 1997). Menceritakan masalah kepada orang lain merupakan penggunaan mekanisme koping seeking social support (Folkman & Lazarus, 1989).

Selain penggunaan mekanisme koping secara individual, peneliti mencoba melihat mekanisme koping yang digunakan pasangan infertilitas sebagai mekanisme koping keluarga. Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa pasangan infertilitas sebagai satu kesatuan dalam keluarga menggunakan mekanisme koping menurut Friedman (1989) adalah sebagai berikut:

(1). Pengungkapan bersama yang semakin meningkatkan / memelihara ikatan (penggunaan koping keluarga internal).

Dalam penelitian didapatkan bahwa pasangan infertilitas membagi cerita tentang kondisinya kepada pasangannya, keluarga dan teman. Tindakan pengungkapan yang paling penting adalah antara suami-istri. Sebuah hubungan


(1)

website http://radarsulteng.com pada 17 Februari 2007

Prawirohardjo, Sarwono.1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka-Sarwono Prawirohardjo.

Stuart, Gail. W.,& Laraia, M..T. 2001. Principles and Practice of Psychiatric Nursing (7th Edition).Missauri : Mosby

Sugiyono.2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sufi, R., Dallly, R.A.,Azward.R.2002. Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Dibuka pada website http://www.pustaka nad.go.id diakses pada 26 Februari 2007 Suara Merdeka, 2005. Kasus Infertilitas (Kemandulan). Dibuka pada website

http://www.suara merdeka.com diakses 17 Februari 2007

Sundari Siti, 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Tjokronegoro, A. 2006. “Pria dan Kesehatan Reproduksi”,dibuka pada website http://pikas.bkkbn.go.id/gema pria/, diakses 17 Februari 2007

Wirawan, H.E., Arief. S.I.2004. Penyesuaian diri suami yang Mengalami Infertilitas diakses http:www.psikologi-untar.com/skripsiphp maret 2007 Zamralita dan Wirawan, H.E. 2003. Dampak Psikologis pada diri Seorang istri

yang mengalami infertilitas, dibuka pada website http//www.psikologi-tarumanegara.go.id. diakses maret 2007


(2)

Lampiran I

KUISIONER DATA DEMOGRAFI

1. Pengkajian Data Demografi Petunjuk Pengisian :

a. Saudara diharapkan bersedia menjawab semua pertanyaan yang tertera dalam kuisinoner.

b. Gunakan tanda ceklist (√) pada kolom yang tersedia untuk menjawab pertanyaan yang dianggap sesuai dengan kondisi.

c. Apabila terdapat item yang kurang jelas dapat bertanya kepada peneliti Contoh menjawab soal :

Jenis kelamin : √ perempuan Laki-laki Data demografi

Umur : < 25 thn 25 – 45 thn > 45 thn Jenis Kelamin : Lk Pr

Agama : Islam Kristen Katolik Kristen

Protestan Budha Hindu dll

Pendidikan : SD/ yg sederajat DIII

Lain SMP/yg sederajat SI


(3)

Jawa Minang Pak-pak dll * tuliskan

Usia Perkawinan : 1 thn – 2 thn

2 thn,1bln – 3 thn

3 thn,1bln – 4 thn

4 thn, 1bln - 5 thn

Diatas 5 thn

Pekerjaan :

PNS lain-lain

Wiraswasta

Ibu rumah tangga

Penghasilan : < 500.000 perbulan

: = 500.000 - 610.000 perbulan : 620.000 - 820.000 perbulan : > 820.000 perbulan


(4)

Lampiran 2

PANDUAN WAWANCARA

MEKANISME KOPING PASANGAN INFERTILITAS

1. Menurut anda , bagaimana perasaan anda dengan keluarga yang belum dikarunia anak ?

2. Ceritakan kepada saya, apa yang anda lakukan mengahadapi kondisi itu? 3. Apakah tindakan membuat anda merasa nyaman?


(5)

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas

Saya adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping pasangan infertilitas. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Saya mengharapkan saudara bersedia untuk berpartisipasi dalam memberikan jawaban atas wawancara sesuai dengan pendapat saudara tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Saya akan menjamin kerahasiaan identitas dan jawaban saudara. Informasi yang saudara berikan hanya untuk pengembangan Ilmu Keperawatan.

Partisipasi saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela, saudara bebas menerima untuk menjadi partisipan atau menolak tanpa sanksi apapun. Jika saudara bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini, silahkan menandatangani surat persetujuan ini sebagai bukti kesediaan saudara .

Terima kasih atas partisipasi saudara untuk penelitian ini.

Tanda tangan : No. Kode Responden

Tanggal : (Diisi oleh peneliti)


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

Nama : Eva Nurfita Tempat/Tgl Lahir : 27 Februari 1978

Agama : Islam

Alamat : Jln. Mandolin 61 Padang Bulan, Medan

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun Pendidikan

1983 – 1989 SDN Jorong Hulu

1989 – 1992 SMPN I Tapak Tuan

1992 – 1995 SMAN I Tapak Tuan

1995 – 1998 AKPER Dep Kes RI Banda Aceh 2006 – sekarang Mahasiswa PSIK- USU, Medan