PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGRUSAKAN POLSEK METRO KIBANG LAMPUNG TIMUR (Studi Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGRUSAKAN POLSEK METRO

KIBANG LAMPUNG TIMUR

(Studi Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd)

Oleh Deni Supriyadi

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGRUSAKAN POLSEK METRO

KIBANG LAMPUNG TIMUR

(Studi Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd) Oleh

Deni Supriyadi

Kekerasan terjadi pada mereka yang mudah terprovokasi, frustasi atau menderita stress lingkungan. Kemudian terbentuklah satu keyakinan kolektif, yang walaupun tidak sertamerta menjadi perilaku massal, merekalah kelompok potensial untuk terlibat dalam kerusuhan massa. Tindakan pengrusakan terhadap fasilitas umum ini merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hukum, dimana secara yuridis formil tindakan pengrusakan tersebut sudah diatur dalam Pasal 170 KUHP. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif danyuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh massa adalah menggunakan Pasal 170 KUHP sebagai mana yang sering digunakan penuntut umum untuk mendakwa massa yang berbuat anarkis, dan hal ini sering ditemukan pada yurisprudensi. Penggunaan Pasal 170 KUHP sudah tepat, dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, pelaku adalah lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Kekerasan dapat saja dilakukan oleh dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu. Dengan adanya pasal tersebut sangat membantu tugas penuntut umum dalam menyelesaikan kasus-kasus rumit dalam penegakkan hukumnya, seperti tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang. Pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis,


(3)

sosiologis, dan filosofis. Selain itu pertimbangan tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada pertimbangan putusan perkara tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, yuridis, serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Hendaknya diberlakukan sebuah peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, sehingga dalam penegakkan hukumnya dapat berjalan dengan lancar, sehingga paling tidak adanya keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan pertanggungjawaban yang dikenakan.


(4)

(5)

(6)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ... 13

B. Tindak Pidana Pengrusakan ... 19

C. Pertanggung Jawaban Pidana ... 27

D. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana ... 33

III. METODE PENELITIAN A. Pendeketan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Narasumber ... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV. HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 40

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur Yang Dilakukan Secara Massal ... 41

C. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur ... 53


(7)

B. Saran ... 63


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan tata tertib hukum didalamnya terkandung keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang pada ahirnya menciptakan keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat banyak, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pembrantasan dan penindakan setelah terjadi pelanggaran hukum, dengan kata lain usaha yang dilakukan secara, preentif, preventif maupun reprensif. Keadilan dan kebenaran itu sendiri merupakan suatu hal yang selalu diidam-idamkan oleh setiap insan dimana dan kapanpun dia berada sebab hal itu merupakan kebutuhan asasi manusia.

Pemerintah untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa, menyediakan fasilitas umum dan fasilitas Negara yang harus dijaga keberadaannya karena untuk kepentingan bersama dan sudah sangat jelas bahwa fasilitas umum dan fasilitas Negara itu merupakan hal yang sangat penting dalam penataan kota, masyarakat, dan kelancaran dalam menjalankan roda pemerintah. Fasilitas Negara dan umum adalah suatu sarana yang diperuntukkan bagi masyarakat luas yang mana dana yang di pakai berasal dari pajak yang dihimpun dari masyarakat. Jadi


(9)

selain masyarakat, pemerintah juga berkewajiban untuk memelihara dan menjaga keutuhan fasilitas-fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah itu sendiri dengan penuh rasa tanggungjawab dan memilikinya karena itu merupakan aset-aset yang perlu dijaga keutuhanya tanpa terkecuali.

Contoh kecil fasilitas Negara yang harus di jaga adalah Markas Kepolisian Sektor Kibang, Lampung Timur, yang telah dirusak massa pada Februari 2007. Delapan rumah dinas personel Polsek Kibang juga rusak amuk massa. Diduga peristiwa ini berhubungan dengan razia kendaraan. Pengrusakan dilakukan oleh warga Desa Jati Agung, Marga Jaya, dan Jaya Asri. Mereka melempari Mapolsek Kibang hingga kaca dan gentingnya hancur. Personel Polsek Kibang yang hanya berjumlah 20 orang tak sanggup membendung amuk massa.1

Amuk massa itu terjadi hanya selang tiga jam setelah insiden pemukulan terhadap warga yang diduga dilakukan personel Polsek Kibang saat razia kendaraan. Dari rangkaian perbuatan yang dilakukan maka dalam kasus ini yang ditetapkan lima orang sebagai terdakwa. Diantara kelima terdakwa tersebut adalah Eko Pandowo bin Sapar dan Eko Handoko bin Sumaji.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Sukadana No. 73/Pid.B/2007/PN.Skd Terdakwa Eko Pandowo bin Sapar dan Eko Handoko bin Sumaji dinyatakan bersalah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP sebagaimana ditentukan “secara bersama-sama dimuka umum melakukan kekerasan terhadap barang”. Atas perbuatannya tersebut kedua terdakwa dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan.

1


(10)

Berdasarkan uraian kasus tersebut dapat diamati bahwa terdapat beberapa orang yang bersama-sama dalam surat dakwaan tidak disebutkan namanya. Dalam hal ini tidak dijadikan terdakwa oleh jaksa penuntut umum, dan kalaupun pada kasus ini dilakukan spiltsing, hendaknya disebutkan oleh Penuntut Umum bahwa nama-nama yang tercantum dinyatakan juga sebagai terdakwa dalam kasus yang sama.

Terlihat jelas dengan banyaknya pengrusakan fasilitas-fasilitas Negara oleh oknum-oknum masyarakat yang melakukan pengrusakan beberapa fasilitas umum dengan kekerasan hingga mengalami kerugian materil maupun inmateril, bukan hanya pemerintah saja yang akan mengalami kerugian tetapi tanpa disadari masyarakat juga akan mengalami kerugian dari akibat peristiwa tersebut. Timbulnya kejahatan seperti pengrusakan kantor fasilitas umum semacam ini biasanya berkaitan dengan rasa ketidak puasan masyarakat atau ketidak adilan perlakuan didapat dari para penegak hukum yang berujung dengan emosional yang akan juga berdampak pada banyaknya pengrusakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga masyarakat dengan tujuan atau penyalahgunaan aksi massa untuk kepentingan politik atau kekuasaan yang dilakukan secara tidak bertanggung jawab.

Tindakan pengrusakan terhadap fasilitas umum ini merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hukum, dimana secara yuridis formil tindakan pengrusakan tersebut sudah diatur dalam Pasal 170 KUHP. Dalam ketentuan pasal tersebut secara tegas dinyatakan bahwa barang siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.


(11)

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur (Studi Putusan No. 73/Pid.B/2007/PN.Skd)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan didalam latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur yang dilakukan secara massal?

b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur yang dilakukan secara massal dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan. Sedangkan dalam lingkup bidang


(12)

ilmu adalah bidang hukum pidana khususnya mengenai kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Sedangkan dalam lingkup lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Lampung Timur.

C. Tujuan dan kegunaan penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan di bahas maka, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur.

2. Kegunanaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan.


(13)

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.2 Tentang pengrusakan yang dilakukan secara massal berarti terjadi tindak pidana penyertaan, yaitu suatu tindak pidana yang dilakukan lebih dari 1 orang, oleh karena itu pertanggungjawaban pidananya tergantung dari kedudukan masing-masing pihak atau tergantung dari pelaku lain yang melakukan secara bersama-sama. Mengenai bentuk-bentuk penyertaan terdapat dalam Pasal 55 KUHP tentang dari penyertaan, walaupun tidak secara tegas memberikan pengertian tentang penyertaan.

Pertimbangan hukum hakim dalam memutus suatu perkara tidak terlepas dari kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari

2

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 123


(14)

kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.3

Berkaitan dengan hal di atas, system pembuktian yang dianut KUHAP Pasal 183 KUHAP mengatur, menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim

memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.4

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidak cermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggungjawabkan putusannya. Hakim dalam membuat putusan berpedoman pada 3 hal, yaitu :

a. Unsur Yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama. b. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.

c. Unsur Sosiologis, yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.5

3

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 102

4

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 2003, hlm 75

5


(15)

Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan (Subjective guilt) itu. Menurut Moeljatno orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan. Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiaban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain itu, orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela.6 Adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni :

a. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu, dan

b. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.7

Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua tergantung pada yang pertama.

6

Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 2000, hlm 96.

7


(16)

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana.

b. Mampu bertanggungjawab.

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan. d. Tidak adanya alasan pemaaf.8

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

8

S.R. Sianturi,2006,Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet IV, Alumni, Bandung, hlm164-166.


(17)

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau ingin di ketahui baik dalam penelitian normatif maupun empiris.9 Agar tidak ada kesalahan terhadap permasalahan maka penulis akan memberiakan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan dari istilah yang di gunakan dalam pembahasan ini, adapun istilah yang dimaksud adalah:

a. Pertanggungjawaban Pidana adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan.10

b. Tindak Pidana adalah merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif) kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstraco dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret.11

c. Pengrusakan adalah upaya seseorang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sesuatu tersebut tidak dapat dipakai baik sebagian atau seluruhnya (milik orang lain/umum) (Pasal 406 s/d Pasal 412, bab XXVII buku II KUHP).

9

Soerjono Soekanto,Op, Cit., hlm 124

10

Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, 1983, hlm. 79

11

WirjonoProjdikoro,1981. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia, Citra AdityaBakti, Bandung, 1981, hlm.7.


(18)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi penelitian ini, maka penulisannya terbagi dalam 5(lima) Bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya dengan perincian sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang pengertian kejahatan, Pengertian Penegagakkan Hukum, dan pengertian pertanggungjawaban pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraaikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisan yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan permasalahan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang faktor penyebab pelaku tindak pidana melakukan pengrusakan fasilitas pemerintah (kantor pos polisi), pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang melakukan pengrusakan, dan upaya pihak


(19)

kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana kigen rechte atau main hakim sendiri dalam masyarakat.

V. PENUTUP

Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada, guna perbaikan dimasa yang akan datang.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Konsep hukum indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik. Sedangkan dalam bahasa Belanda

istilah tindak pidana tersebut dengan “straf baar feit” atau delict. Berikut ini pendapat beberapa sarjana mengenai tindak pidana :

Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Sedangkan menurut Tresna, peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.12

Kemudian dari beberapa pengertian tentang tindak pidana tersebut di atas dapat disamakan dengan istilah tindak pidana, peristiwa pidana atau delik. Mengenai arti straf baar feit perlu juga diketahui pendapat para sarjana. Menurut Van Hamel, straf baar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

12

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban pidana, Aksara Baru, Jakarta, 2003, hlm 53


(21)

Menurut simon straf baar feit adalah kelakuan atau hendeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.13

Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa didalam perbuatan pidana didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, atau dapat diartikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :

a. Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) Ada atau tidaknya perencanaan;

13


(22)

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku.

a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Sifat melawan hukum;

c) Kualitas si pelaku;

d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

3. Jenis Tindak Pidana

Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan

adalah “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran


(23)

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian.14

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan

percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada kejahatan.

f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

14


(24)

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud

„mengambil barang‟ tanpa mempersoalkan akibat tertentu dari pengambilan barang tersebut.

Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yang

dirumuskan sebagai perbuatan yang „mengakibatkan matinya‟ orang lain.

Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu atau keadaan yang palsu juga menitik beratkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang.

Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan dalam rumusannya. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan (sengaja), dan Pasal 187 KUHP tentang kesengajaan membakar atau menyebabkan peletusan atau banjir. Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan dalam perumusannya. Contoh : Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan orang mati atau luka.


(25)

Tindak pidana Comissionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Contoh : Pasal 362, 338, dan 378 KUHP. Tindak pidana Omisionis yaitu tindak pidana yang berupa tidak berbuat sesuatu. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.15 Contoh : Pasal 531 KUHP tentang Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong.

Terdapat delicta commisionis perommisionem commissa yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat.16 Sebagai contoh seorang ibu sengaja tidak memberi makan kepada bayinya, lalu anak itu mati kelaparan, maka ibu tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 338 KUHP.

Tindak pidana aduan timbul karena adanya pengaduan dari korban atau keluarga korban yang dirugikan. Contoh : Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang sebagian besar telah tercantum dalam KUHP dimana dalam tindak pidana biasa tersebut tanpa ada aduan dari siapapun, pelaku dari tindak pidana tersebut dapat dituntut secara hukum.

Tindak Pidana Communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh

15

Moeljatno, Op, Cit, hlm.129

16


(26)

orang yang berkualitas tertentu.17 Contoh : Pasal 346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan kandungannya sendiri.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain terkandung pengertian yurudis dari tindak pidana tersebut, contoh Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan dalam bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

Adanya faktor yang memberatkan maupun faktor yang meringankan, maka ancaman pidana menjadi lebih berat maupun menjadi lebih ringan daripada dalam pasal bentuk pokoknya. Contoh tindak pidana yang diperberat : Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana (unsur yang memperberat ialah adanya perencanaan terlebih dahulu), contoh tindak pidana yang diperingan : Pasal 341 KUHP tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir (unsur yang memperingan yaitu terletak pada subyek hukumnya : seorang ibu).

B. Tindak Pidana Pengrusakan

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata penghancuran termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara menghancurkan. Sedangkan pengrusakan juga termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara

17


(27)

merusakkan.18 Maksud dari penghancuran dan perusakan dalam hukum pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu. Pengrusakan barang sarana umum sangat merugikan, baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian saja atau seluruhnya, sehingga masyarakat tersebut tidak dapat menggunakan lagi sarana yang disediakan oleh pemerintah lagi. Selain itu barang yang telah dirusak merupakan sesuatu yang bernilai bagi masyarakat, dengan terjadinya pengrusakan barang ini sangat mengganggu ketenangan masyarakat.

Sebagaimana aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHP, hal ini memang merupakan hasil pengembangan hukum. Masalah sanksi pidana bagi pelaku pengrusakan sarana umum ditinjau menurut Hukum pidana, khususnya penerapan Pasal 406 (1) KUHP Indonesia, ditetapkan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan,

merusak, membuat hingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah)”.

Bagi pelaku pengrusakan barang tersebut menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHP yang mengancam terdakwa dengan ancaman hukuman 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara. Pasal 406 ini juga menjadi dasar hukum bagi pelaku pengrusakan barang yang melakukan kejahatan.

18

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm.386


(28)

Adapun bentuk-bentuk pengrusakan barang yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan pidana antara lain sebagai berikut :

1. Penghancuran atau Pengrusakan Dalam Bentuk Pokok

Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 406 yang menyatakan:

(1) Barang siapa dengan sengaja dan dengan melanggar hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan barang yang seluruhnya atau sebagai kepunyaan orang lain, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.

(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.

Supaya pelaku tindak pidana pengrusakan dapat dimintakan pertanggungjawabannya, maka menurut Pasal 406 KUHP harus dibuktikan:

a. Bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu

b. Bahwa pembinasaan dan sebagainya. itu dilakukan dengan sengaja dan dengan melawan hukum;

c. Bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain.

Pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut pasal ini tidak saja mengenai barang, tetapi juga mengenai "binatang". Apabila unsur-unsur dalam


(29)

tindak pidana ini diuraikan secara terperinci, maka unsur-unsur dalam tindak pidana ini adalah sebagai berikut:

a. Unsur-unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP 1) Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

a) Menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan

b) Suatu barang, dan

c) yang seluruh atau sebagian milik orang lain

2) Unsur-unsur subyektif, yang meliputi dengan sengaja, dan melawan hukum.

b. Unsur-unsur dalam Pasal 406 ayat (2) 1) Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

a) Membunuh, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan,

b) Seekor hewan, dan

c) Yang seluruh atau sebagian atau sebagian milik orang lain. 2) Unsur-unsur subyektif, yang meliputi:

a) Dengan sengaja, dan b) Secara melawan hukum.

2. Penghancuran atau Pengrusakan Ringan

Jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 407 KUHP dengan pengecualian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 407 KUHP ayat (2) KUHP. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan bunyi Pasal tersebut. Ketentuan Pasal 407 KUHP secara tegas menyatakan:

a. Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika harga kerugian yang disebabkan tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah

b. Jika perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 406 ayat kedua itu dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan yang merusakkan nyawa atau kesehatan atau, jika hewan termasuk yang tersebut dalam Pasal 101, maka ketentuan ayat pertama tidak berlaku.


(30)

Pada waktu mengusut perkara pengrusakan ini polisi senantiasa harus menyelidiki berapakah uang kerugian yang diderita oleh pemilik barang yang telah dirusak itu. Bila tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- dikenakan Pasal 407. Demikian pula jika binatang yang dibunuh itu bukan hewan (Pasal 101), atau alat untuk membunuh dsb. binatang itu bukan zat yang dapat merusakkan nyawa atau kesehatan.

Adapun unsur-unsur pada Pasal 407 ayat 1 dan 2 jika dirinci adalah sebagai berikut

a. Unsur-unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP yaitu: 1) Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

1) Menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan

2) Suatu barang, dan seekor hewan

3) yang seluruh atau sebagian milik orang lain 4) harga kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000,- 2) Unsur-unsur subyektif, yang meliputi:

1) Dengan sengaja, dan 2) Melawan hukum

b. Unsur-unsur dalam Pasal 407 ayat (2) KUHP yaitu: 1) Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

a) Membunuh, merusak, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan,

b) Seekor hewan

c) Tidak menggunakan zat yang membahayakan nyawa atau kesehatan

d) Hewan idak termasuk hewan yang tersebut dalam Pasal 101 e) Yang seluruh atau sebagian atau sebagian milik orang lain. 2) Unsur-unsur subyektif, yang meliputi:

a) Dengan sengaja, dan b) Secara melawan hukum.

3. Penghancuran atau Pengrusakan Bangunan Jalan Kereta Api, Telegram, Telepon, dan Listrik

Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 408 KUHP yang menyatakan: "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan atau membikin tidak dapat dipakai bangunan-bangunan, kereta api, trem, telegram, telpon atau litrik, atau bangunan-bangunan


(31)

untuk membendung, membagi atau menyalurkan air, saluran gas, air atau rel yang digunakan untuk keperluan umum, diancam dengan pidana paling lama empat tahun"

Pembinasaan atau pengrusakan barang disini hanya mengenai barang-barang biasa kepunyaan orang lain. Jika yang dirusakkan itu bangunan-bangunan jalan kereta api, telegraf, atau sarana pemerintah lain. Yang dipergunakan untuk kepentingan umum, dikenakan Pasal 408. Dapat dipahami dari bunyi Pasal di atas, karena dilakukan pada benda-benda yang digunakan untuk kepentingan umum, maka ancaman hukumannya diperberat menjadi selama-lamanya empat tahun.

Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 408 KUHP adalah: a. Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

1) Menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai,

2) Bangunan jalan kereta api, bangunan jalan trem, bangunan telegram, listrik atau bangunan telepon, dan

3) Bangunan-bangunan yang digunakan untuk membendung air, membagi air, mnyalurkan keluar air, atau selokan-selokan, pipa-pipa gas dan air yang dipergunakan untuk kepentingan umum.

b. Unsur-unsur subyektif, yang meliputi unsur dengan sengaja.

4. Penghancuran atau Pengrusakan Tidak dengan Sengaja

Jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 409 KUHP yang menyatakan: "Barang siapa yang karena kealpaannya menyebabkan bangunan-bangunan tersebut dalam pasal di atas dihancurkan, dirusakkan, atau dibikin tidak dapat dipakai diancam dengan kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak seratus rupiah".

Jenis tindak pidana dalam pasal 409 adalah merupakan delik culpa atau tindak pidana karena kealpaan. Apabila pada perbuatan tersebut tidak ada unsur kesengajaan, tetapi hanya culpa atau kurang berhati-hati, maka menurut pasal di


(32)

atas hukumannya diringankan menjadi kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah.

Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 409 KUHP adalah: a. Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

1) Menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai,

2) Bangunan jalan kereta api, bangunan jalan trem, bangunan telegram, listrik atau bangunan telepon, dan

3) Bangunan-bangunan yang digunakan untuk membendung air, membagi air, mnyalurkan keluar air, atau selokan-selokan, pipa-pipa gas dan air yang dipergunakan untuk kepentingan umum.

b. Unsur-unsur subyektif, yang meliputi kealpaan/tidak sengaja.

5. Penghancuran atau Pengrusakan Terhadap Bangunan dan Alat Pelayaran Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 410 KUHP yang menyatakan: "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan atau membikin tak dapat dipakai, suatu gedung atau kapal yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun". Pasal ini mengancam dengan maksimum hukuman penjara lima tahun yaitu bagi orang-orang yang dengan sengaja dan dengan melanggar hukum melakukan penghancuran atau pengrusakan barang tersebut dalam Pasal di atas. Maksud dari sipelaku tidaklah perlu ditujukan terhadap sifat perbuatan yang melawan hukum dan cukuplah bila perbuatan itu telah dilakukan dengan sengaja dan perbuatan itu adalah melawan hukum kata dan pada Pasal 410 berdiri berdampingan, yang mengindikasikan bahwa unsur yang terakhir itu tidak diliputi oleh unsur yang pertama. Adapun unsur-unsur dalam Pasal 410 KUHP adalah: a. Unsur-unsur obyektif, yang meliputi:

1) Menghancurkan atau membuat tak dapat dipakai, 2) Suatu bangunan gedung atau alat pelayaran, dan


(33)

3) Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

b. Unsur-unsur subyektif, yang meliputi dengan sengaja dan melawan hukum.

Pasal 411

Ketentuan Pasal 367 berlaku bagi kejahatan yang diterangkan dalam bab ini. Adapun ketentuan Pasal 367 adalah :

(1.) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.

(2.) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.

(3.) Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas, berlaku juga bagi orang itu.

Merusak barang dalam kalangan kekeluargaan tunduk pada Pasal 367 jo. 411 yaitu antara lain merupakan delik aduan. Tindak pidana dari title XXVII ini menjadi relative klachtdelict seperti halnya pencurian.

Pasal 412

"Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, maka pidana ditambah sepertiga, kecuali dalam hal tersebut Pasal 407 ayat pertama."

Jika pengrusakan barang itu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama, diancam hukuman yang lebih berat, yaitu maksimum hukuman ditambah dengan sepertiga. Adapun unsur-unsur dari Pasal 412 serupa dengan unsur-unsur yang


(34)

terdapat pada Pasal 406, hanya saja yang membedakan adalah dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

C. Pertanggungjawaban Pidana

1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatakan mampu bertanggung jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu? Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”.

Pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.19

19

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media. Jakarta, 2006,hlm. 165.


(35)

Pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam tumbuhnya.20

2. Kesengajaan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809

dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarangatau diperintahkan oleh undang-undang”. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan

Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan : “sengaja” diartikan:“dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. de will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua

teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori

pengetahuan atau membayangkan.21 Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

20Ibid

.

21

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. SinarGrafika. Jakarta., 2008, hlm. 12-13.


(36)

Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A

adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B.

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah: Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya.22

Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa. Dari uraian tersebut, menurut hemat penulis, pembuktian terhadap teori kehendak itu

22


(37)

tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur perbuatan yang dilakukannya saja tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau mengerti perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan, kesengajaan dengan sadar kemungkinan (doluseventualis).23 Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Menurut hemat penulis, praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

3. Kealpaan

Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif

23


(38)

kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:

Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut.dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.24

Berdasarkan apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berpendapat bahwa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.25

4. Alasan Penghapus Pidana

Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau

24

Moeljatno, Op.Cit., hlm. 198.

25Ibid


(39)

memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana. Memorie van Toelichting(M. v. T) mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya

seseorang”. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan

b. Alasan tidak dapat diprtanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu.26

Selain perbedaan yang dikemukakan dalam M. v. T, ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu :

a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.

b. Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, missal Pasal 221 ayat (2) KUHP : “menyimpan orang yang

melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di sini ia tidak dituntut jika ia hendak

menghindarkan penuntutan dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya

26Ibid


(40)

perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2(dua) jenis alas an penghapus pidana , yaitu :

a. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.

b. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan , meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana.

D. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Penjatuhan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat


(41)

tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah

Indonesia disebut “pemidanaan”. Dibeberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang sistem pemerintahannya telah maju atau berkembang pesat telah dikembangkan beberapa dasar alasan pemidanaan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-mata didasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang diperdapat dan dikumpul di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis. Misalnya, dengan jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial, rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana.


(42)

Tidak kalah penting perlu diketahuinya sebab-sebab yang mendorong dan motivasi melakukan tindak pidana, apakah semata-mata didorong untuk melakukan kejahatan, misalnya benar-benar didorong untuk balas dendam atau memperoleh kepuasan batin dan sebagainya. Semua hal-hal dan keadaan tersebut ikut dipertimbangkan sebagai faktor menentukan pemidanaan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.


(43)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang dikumpulkan guna menunjang hasil penelitian adalah data primer dan data sekunder yang dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian (field Risearch) yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai Implementasi Penggunaan Alat Bukti Petunjuk Dalam Pembuktian Tinjak Pidana Pengrusakan.


(44)

2. Data sekunder adalah data yang merupakan bahan baku penelitian yuridis normatif yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, seperti meliputi peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan mentri dan keputusan hakim.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti : kamus, karya ilmiah, literatur-literatur, hasil penelitian yang akan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penetuan Narasumber

Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu : 1. Hakim Pengadilan Negeri Sukadana = 2 orang

2. Akademisi Fakultas Hukum UNILA = 1 orang

3. Penyidik Polsek Metro Kibang Lamtim = 1 orang+ Jumlah = 4 orang


(45)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder.

Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(46)

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis secara menyeluruh. Tujuan analisis ini adalah menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Pada penganalisaan data, dipergunakan analisis kualitatif dengan cara mendiskripsikan data yang diperoleh data bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat. Setelah data dianalisis, maka ditarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir dari hal-hal bersifat umum, kemudian diambil kesimpulan secara umum.


(47)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Selain itu pertimbangan tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada pertimbangan putusan perkara tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, yuridis, serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

2. Pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh massa adalah menggunakan Pasal 170 KUHP sebagai mana yang sering digunakan penuntut umum untuk mendakwa massa yang berbuat anarkis, dan hal ini sering ditemukan pada yurisprudensi. Penggunaan Pasal 170 KUHP sudah tepat,


(48)

dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, pelaku adalah lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Kekerasan dapat saja dilakukan oleh dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu. Dengan adanya pasal tersebut sangat membantu tugas penuntut umum dalam menyelesaikan kasus-kasus rumit dalam penegakkan hukumnya, seperti tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang.

B. Saran

1. Permasalahan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal selama ini kurang mendapatkan tempat dalam konstitusi khususnya hukum pidana, baik hukum pidana Formil maupun hukum pidana materiil, jadi hendaknya diberlakukan sebuah peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir perbuatan tersebut, sehingga dalam penegakkan hukumnya dapat berjalan dengan lancar, sehingga paling tidak adanya keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan pertanggungjawaban yang dikenakan. 2. Pemidanaan dijatuhkan sebagai upaya untuk tujuan refresif dan preventif, dan khususnya pada model perbuatan pidana hendaknya diberlakukan sistem pertanggungjawaban pidana seperti pada korporasi yaitu dimana yang dipidana adalah para ketua atau pemimpin dalam melakukan perbuatan pidana massal khususnya massa yang jumlahnya tidak jelas serta terorganisir , karena adalah dalam kasus-kasus seperti inilah sering sekali dalam melakukan penegakkan hukumnya.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung.

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media. Jakarta. Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Marpaung, Leden, 2008, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. SinarGrafika. Jakarta.

Projdikoro, Wirjono, 1981. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 2003, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Sianturi, S.R. 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Patehaem.

Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung.

Widodo, J. Pajar, 2013, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publising, Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(1)

37

2. Data sekunder adalah data yang merupakan bahan baku penelitian yuridis normatif yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, seperti meliputi peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan mentri dan keputusan hakim.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti : kamus, karya ilmiah, literatur-literatur, hasil penelitian yang akan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penetuan Narasumber

Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu : 1. Hakim Pengadilan Negeri Sukadana = 2 orang

2. Akademisi Fakultas Hukum UNILA = 1 orang

3. Penyidik Polsek Metro Kibang Lamtim = 1 orang+ Jumlah = 4 orang


(2)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder.

Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(3)

39

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis secara menyeluruh. Tujuan analisis ini adalah menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Pada penganalisaan data, dipergunakan analisis kualitatif dengan cara mendiskripsikan data yang diperoleh data bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat. Setelah data dianalisis, maka ditarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir dari hal-hal bersifat umum, kemudian diambil kesimpulan secara umum.


(4)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Putusan Nomor 73/Pid.B/2007/PN.Skd berdasarkan dari tiga sudut pandang hakim dalam menentukan lamanya pidana, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Selain itu pertimbangan tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada pertimbangan putusan perkara tindak pidana pengrusakan Polsek Metro Kibang Lampung Timur mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, yuridis, serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

2. Pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh massa adalah menggunakan Pasal 170 KUHP sebagai mana yang sering digunakan penuntut umum untuk mendakwa massa yang berbuat anarkis, dan hal ini sering ditemukan pada yurisprudensi. Penggunaan Pasal 170 KUHP sudah tepat,


(5)

63

dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, pelaku adalah lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Kekerasan dapat saja dilakukan oleh dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu. Dengan adanya pasal tersebut sangat membantu tugas penuntut umum dalam menyelesaikan kasus-kasus rumit dalam penegakkan hukumnya, seperti tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang.

B. Saran

1. Permasalahan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal selama ini kurang mendapatkan tempat dalam konstitusi khususnya hukum pidana, baik hukum pidana Formil maupun hukum pidana materiil, jadi hendaknya diberlakukan sebuah peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir perbuatan tersebut, sehingga dalam penegakkan hukumnya dapat berjalan dengan lancar, sehingga paling tidak adanya keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan pertanggungjawaban yang dikenakan. 2. Pemidanaan dijatuhkan sebagai upaya untuk tujuan refresif dan preventif, dan khususnya pada model perbuatan pidana hendaknya diberlakukan sistem pertanggungjawaban pidana seperti pada korporasi yaitu dimana yang dipidana adalah para ketua atau pemimpin dalam melakukan perbuatan pidana massal khususnya massa yang jumlahnya tidak jelas serta terorganisir , karena adalah dalam kasus-kasus seperti inilah sering sekali dalam melakukan penegakkan hukumnya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung.

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Huda, Chairul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada

pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media. Jakarta.

Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Marpaung, Leden, 2008, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah

Prevensinya. SinarGrafika. Jakarta.

Projdikoro, Wirjono, 1981. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 2003, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Sianturi, S.R. 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Patehaem.

Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung.

Widodo, J. Pajar, 2013, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publising, Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).