Pariwisata Berbasis Masyarakat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agrowisata

16 bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata. Berhubungan dengan hal tersebut, Mowforth dan Munt 1998 serta Ramukumba, et al. 2011 kemudian membagi partisipasi masyarakat dalam tujuh tingkatan, yaitu: 1. partisipasi manipulatif; adanya keterwakilan masyarakat dalam kelembagaan pariwisata, namun wakil masyarakat ini tidak mempunyai kekuasaan 2. partisipasi pasif; masyarakat hanya diinformasikan hal yang sudah diputuskan atau kejadian yang sudah berlangsung 3. konsultasi; masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pihak eksternal 4. partisipasi material insentif; masyarakat berkontribusi dengan memberikan sumber daya yang dimilikinya dan kemudian mandapat kompensasi material berupa makanan dan minuman, pekerjaan, uang, dan insentif materi lainnya 5. partisipasi fungsional; pihak eksternal menginisiasi keterlibatan masyarakat dengan membentuk kelompok untuk menentukan tujuan bersama dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi partisipasi tersebut muncul setelah adanya program dari pihak eksternal dengan tujuan untuk efektifitas dan efisiensi program 6. partisipasi interaktif; masyarakat mengadakan analisis secara bersama-sama, merumuskan program untuk mencapai tujuan, dan penguatan institusi lokal dengan difasilitasi oleh pihak eksternal. Partisipasi jenis ini sudah ideal karena masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang sistem dan struktur, sehingga mampu mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan. 7. mobilisasi sendiri; masyarakat mempunyai inisiatif sendiri dalam proses perencanaan pembangunan tanpa ada intervensi dari pihak eksternal. Peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sangat dibutuhkan dalam menyediakan dukungan kerangka kerja. Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat sering dipahami sebagai sesuatu yang berseberangan dengan pariwisata skala besar enclave, berbentuk paket all inclusive, pariwisata masal, dan minim keterkaitannya dengan masyarakat lokal. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat disebut juga sebagai pariwisata berskala 17 kecil, dibangun oleh masyarakat lokal, serta melibatkan berbagai elemen lokal seperti pengusaha, organisasi, dan pemerintah lokal Hatton, 1999 dalam Telfer dan Sharpley, 2008; Leslie, 2012. Terkait dengan pembangunan pariwisata berskala kecil, Jenkins 1982 telah melakukan perbandingan antara pariwisata skala kecil dengan skala besar untuk mengetahui dampak pembangunan pariwisata terhadap masyarakat lokal. Berdasarkan komparasi tersebut diketahui bahwa pembangunan pariwisata berskala kecil mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dari pembangunan pariwisata berskala besar. Adanya perbedaan krakteristik tentunya akan menghasilkan perbedaan dampak pula terhadap masyarakat lokal. Adapun perbedaan karakteristik tersebut dapat diilustrasikan dalam tabel berikut : Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar Skala kecil Skala besar secara fisik menyatu dengan struktur ruangkehidupan masyarakat lokal secara fisik terpisah dari komunitas lokal, namun efektif membangun citra kuat udalam rangka promosi perkembangan kawasan wisata bersifat spontantumbuh atas inisiatif masyarakat lokal spontaneous pengembangan kawasan melalui perencanaan yang cermat dan profesional well planned partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata investor dengan jaringan internasional sebagai pelaku utama usaha kepariwisataan interaksi terbuka dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal interaksi sangat terbatas antara wisatawan dengan masyarakat lokal Sumber : Diolah dari Jenkins, 1982 Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa peluang terbesar partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata, akan muncul jika pariwisata dikembangkan dengan skala kecil dan terbuka melakukan interaksi dengan wisatawan. Seringkali partisipasi masyarakat dalam pariwisata disebut sebagai strategi pembangunan alternatif yang terdengar sangat ideal namun dalam implementasinya banyak terdapat tantangan dan hambatan . Scheyvens 2002 menyebutkan ada dua tantangan terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat. 18 Pertama, pada kenyataannya masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata terbagi ke dalam berbagai faksi atau golongan yang saling mempengaruhi berdasarkan kelas masyarakat kasta, gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya saling menyatakan paling memiliki atau mempunyai hak istimewa privilege keberadaan sumberdaya pariwisata . Golongan elit masyarakat tertentu sering berada dalam posisi mendominasi pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat, lalu memonopoli pembagian atau penerimaan manfaat pariwisata Mowforth dan Munt, 1998. Berdasarkan hal tersebut, partisipasi secara adil equitable menjadi pertimbangan penting dalam mendorong pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Selain itu juga isu-isu tentang kelas masyarakat, gender, dan kesukuan penting dipertimbangkan terutama dalam perencanaan pengembangan pariwisata . Tantangan kedua adalah permasalahan dalam masyarakat untuk mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat lokal. Masyarakat pada umumnya tidak cukup punya informasi, sumberdaya, dan kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai pengambil keputusan lainnya dalam pembangunan pariwisata, sehingga masyarakat lokal rentan terhadap eksploitasi . Campbell 1999 juga menyatakan hal yang sama bahwa minimnya kesempatan berpartisipasi dalam pariwisata dan sektor lain yang terkait, akibat dari kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengidentifikasi manfaat pariwisata. Selain tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan pariwisata berbasis masyarakat juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan. Tosun 2000 mengidentifikasi tiga hambatan dalam pembangunan pariwisata berbasis masyarakat terutama di negara berkembang. Adapun hambatan-hambatan tersebut berupa : 1. keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini adalah sentralisasi administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya informasi pariwisata. 2. keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya 19 jumlah sumberdaya manusia SDM terlatih, dan minim akses ke modalfinansial. 3. keterbatasan kultural, yaitu : terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal Semua jenis keterbatasan tersebut, dapat menciptakan masalah serius dalam partisipasi masyarakat, baik untuk pengambilan keputusan atau perencanaan yang tepat maupun secara bersama-sama membagi manfaat pariwisata.

2.3. Modal

Berdasarkan pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, modal dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu maupun kelompok untuk memiliki sumber daya atau modal agar dapat bertahan hidup dalam masyarakat atau relasi sosial. Dengan kata lain, modal dapat menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat. Representasi individu maupun kelompok dalam relasi sosial terbangun dari adanya praktek-praktek pertukaran modal. Selanjutnya modal dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu: pertama; modal ekonomi mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang yang dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua; modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat. Ketiga; modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku baik individu maupun kelompok dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat; segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik. 20 Berbagai jenis modal tersebut dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Semakin besar individu atau kelompok mengakumulasi modal tertentu, maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar modal. Dari kesemua jenis modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya kuat untuk menentukan jenjang hirarkis dalam masyarakat. Prinsip hirarki dan diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi. Makin besar jumlah modal yang dikuasai dapat menunjukkan dominasi kekuasaan dan hirarki tertinggi dalam masyarakat.

2.4. Peta Jalan Penelitian

Tahun I: Hubungan pertanian dengan vila: - Kontibusi vila bagi pertanian - Sikap petani terhadap keberadaan vila di sekelilingnya - Sikap manajemen vila terhadap aktivitas pertanian di sekitarnya Tahun II: Model agrowisata terpadu di kawasan pariwisata Ubud Pariwisata dan Pertanian Tujuan: Keberlanjutan pariwisata Keberadaan vila di sekeliling areal pertanian Gambar 1. Peta Jalan Penelitian