Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat Akibat Konsumsi Hasil Laut yang Mengandung Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Nelayan di Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar, Provinsi Bali.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat Akibat Konsumsi Hasil Laut

yang Mengandung Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Nelayan di

Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar, Provinsi

Bali

IDA AYU PUTRI WIDYA LESTARI

NIM. 1220025045

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat Akibat Konsumsi Hasil Laut

yang Mengandung Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Nelayan di

Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar, Provinsi

Bali

Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

IDA AYU PUTRI WIDYA LESTARI

NIM. 1220025045

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

(4)

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat rahmat-Nya dapat diselesaikannya skripsi yang berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat Akibat Konsumsi Hasil Laut yang Mengandung Logam Berat Merkuri (Hg) pada Nelayan di Pantai Amed

Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar, Provinsi Bali”ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih diberikan atas kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini kepada :

1. Dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Ibu Made Ayu Hitapretiwi Suryadhi, SSi., MHSc, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama penyusunan skripsi ini.

3. Para dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

4. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan motivasi selama penyusunan skripsi ini.

Demikian skripsi ini disusun semoga dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, 14 Juni 2016


(6)

iv

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Juni 2016

IDA AYU PUTRI WIDYA LESTARI

Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat Akibat Konsumsi Hasil Laut yang Mengandung Logam Berat Merkuri (Hg) pada Nelayan di Pantai Amed Karangasem

dan Pantai Sanur Denpasar, Provinsi Bali. ABSTRAK

Merkuri (Hg) merupakan logam berat yang bersifat berbahaya dan beracun. Menjamurnya industri pertambangan emas skala kecil (PESK) di berbagai pulau di Indonesia memicu peningkatan penggunaan logam berat merkuri (Hg). Impor merkuri secara illegal dan penggunaan merkuri dalam jumlah besar yang tidak disertai dengan pengelolaan limbah hasil pertambangan yang baik dan kemampuan merkuri untuk terakumulasi di dalam lingkungan berkontribusi terhadap peningkatan emisi merkuri secara nasional maupun internasional.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kandungan merkuri telah masuk ke dalam hasil laut dan risikonya terhadap masyarakat di sekitar Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar yang terletak di Provinsi Bali.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL). Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu purposive sampling

dan teknik pemilihan responden atau subjek penelitian yaitu simple random sampling. Sampel yang diambil yaitu jenis ikan yang dominan dikonsumsi oleh subjek penelitian di masing-masing lokasi penelitian, dan responden atau subjek penelitian yang digunakan yakni nelayan.

Hasil uji laboratorium terhadap sampel ikan menunjukkan bahwa kandungan merkuri (Hg) pada sampel ikan yang berasal dari Pantai Sanur memiliki kandungan rata-rata sebesar 0,162 µg/g, angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan sampel ikan yang berasal dari Pantai Amed yang memiliki kandungan merkuri sebesar 0,024 µg/g. Perhitungan analisis risiko menunjukkan Pantai Sanur memiliki nilai risk quotient sebesar 1,09 (RQ > 1), dan Pantai Amed memiliki nilai risk quotient sebesar 0,18 (RQ ≤ 1).

Simpulan dari penelitian adalah seluruh sampel ikan yang diuji terdeteksi mengandung logam berat merkuri (Hg) namun, belum melewati ambang batas aman. Berdasarkan lokasi, perhitungan analisis risiko diketahui bahwa kandungan merkuri (Hg) pada sampel ikan yang berasal dari Pantai Sanur berpotensi menimbulkan risiko kesehatan bagi responden yang mengonsumsinya.


(7)

v SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

ENVIRONMENTAL HEALTH MAJOR Skripsi, June 2016

IDA AYU PUTRI WIDYA LESTARI

Public Health Risk Analysis Due to the Consumption of Seafood Containing Heavy Metals Mercury (Hg) of Fisherman at Amed Beach Karangasem and Sanur Beach

Denpasar, Bali. ABSTRACT

Mercury (Hg) is known as a dangerous and toxic heavy metal. The increasing of small-scale gold mining in many islands in Indonesia, directly impact to the increasing of mercury used. Illegal import activity of mercury that is not accompanied by the results of mining waste management and a good ability to mercury accumulates in the environment contribute to increased mercury emissions nationally and internationally. This research aims to find out how far the mercury (Hg) content has been contaminating seafood and predict the results of health risk to fishermen in Amed beach Karangasem and Sanur beach Denpasar due to fish consumption.

This study is a descriptive observational study that uses risk analysis approach to environmental health. The sampling technique in this study is purposive sampling and the selection of the respondent or subject is simple random sampling. Samples were selected based on the type of fish that consumed by the dominant subject in each location of this study,, and the respondents are local fishermen.

The results of the laboratory test showed deposits of mercury (Hg) in fish samples derived from Sanur beach has an average content of 0,162 µg/g, that number is higher when compared to samples from Amed beach which contained 0,024 µg/g of mercury (Hg). Calculation of risk analysis showed that Sanur beach’s

value of risk quotient is 1,09 (RQ >1), and Amed beach’s value of risk quotient is

0,18 (RQ ≤1).

The conclusion of this study is the whole fish samples tested were detected to contain the mercury (Hg) heavy metal, however has not yet passed the safety limit values. Based on location, calculation of risk analysis showed that the deposits of mercury (Hg) in fish samples derived from Sanur beach potentially giving the health risk for respondents who eat it.


(8)

vi

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ixx

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN, LAMBANG DAN ISTILAH ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4 Tujuan... 7

1.4.1 Tujuan Umum ... 7

1.4.2 Tujuan Khusus... 7

1.5 Manfaat Penelitian... 8

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.5.2 Manfaat Praktis ... 8

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Merkuri ... 9

2.1.1 Definisi dan Sifat Merkuri... 9

2.1.2 Jenis Merkuri ... 10

2.1.3 Ambang Batas Merkuri ... 12


(9)

vii

2.1.5 Merkuri pada Ikan ... 14

2.1.6 Kejadian Akibat Merkuri ... 15

2.1.7 Risiko Kesehatan Oleh Merkuri ... 17

2.2 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan ... 18

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep ... 20

3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 21

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 23

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 23

4.3 Populasi dan Sampel ... 24

4.3.1 Populasi Penelitian ... 24

4.3.2 Sampel dan Subjek Penelitian ... 24

4.3.2.1 Sampel Penelitian – Ikan ... 24

4.3.2.2 Subjek Penelitian – Nelayan ... 25

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 26

4.3.4 Besar Sampel ... 26

4.3.4.1 Ikan ... 26

4.3.4.2 Nelayan... 26

4.4 Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data ... 28

4.4.1 Pengumpulan Data ... 28

4.4.1.1 Instrumen Penelitian ... 28

4.4.1.2 Jenis Data ... 29

4.4.2 Pengolahan Data ... 29

4.4.3 Analisis Data ... 29

4.5 Penentuan Kadar Logam Berat Merkuri (Hg) ... 31

4.5.1 Prinsip Pengujian... 31

4.5.2 Peralatan ... 31


(10)

viii

4.5.4 Preparasi Contoh ... 34

4.5.5 Prosedur ... 34

BAB V HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian ... 36

5.2 Gambaran Lokasi Penelitian ... 37

5.3 Karakteristik Responden ... 39

5.3.1 Gambaran Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 39

5.3.2 Gambaran Distribusi Frekuensi Pola Konsumsi Ikan ... 41

5.4 Pola Konsumsi Ikan ... 44

5.4.1 Jenis Ikan yang Dikonsumsi ... 44

5.4.2 Frekuensi Konsumsi Per Hari Berdasarkan Lokasi... 45

5.4.3 Frekuensi Konsumsi Per Minggu Berdasarkan Lokasi ... 46

5.4.4 Pola Konsumsi Ikan Berdasarkan Lokasi ... 47

5.5 Prosedur Pengujian Kandungan Merkuri pada Ikan ... 48

5.6 Hasil Uji Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) pada Ikan ... 52

5.7 Perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Logam Berat Merkuri (Hg) ... 53

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pola Konsumsi Nelayan Terhadap Ikan ... 566

6.2 Potensi Tercemarnya Ikan dan Lingkungan ... 588

6.3 Risiko Kesehatan Logam Berat Merkuri (Hg) pada Nelayan ... 62

6.4 Kelemahan Penelitian ... 66

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan... 677

7.2 Saran ... 688

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.3.1 Batas Maksimum SNI Cemaran Merkuri (Hg) pada Ikan ... 12

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional Variabel ... 21

Tabel 5.3.1.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 39

Tabel 5.3.2.1 Distribusi Frekuensi Pola Konsumsi Ikan ... 41

Tabel 5.4.1.1 Jenis Ikan yang Dikonsumsi Berdasarkan Lokasi... 44

Tabel 5.4.2.1 Distribusi Frekuensi Per Hari Berdasarkan Lokasi ... 45

Tabel 5.4.3.1 Distribusi Frekuensi Per Minggu Berdasarkan Lokasi ... 46

Tabel 5.4.4.1 Pola Konsumsi Ikan Berdasarkan Lokasi ... 47

Tabel 5.6.1 Hasil Uji Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) pada Ikan ... 52

Tabel 5.7.1 Perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Logam Berat Merkur ... 53

Tabel 5.7.1.1 Perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Pada Nelayan Akibat Konsumsi Ikan Tongkol ... 54

Tabel 5.7.2.1 Perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Pada Nelayan Akibat Konsumsi Ikan Kerapu ... 54

Tabel 5.7.3.1 Perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Pada Nelayan Akibat Konsumsi Ikan Jangki ... 55


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1-1 Kerangka Konsep Penelitian ... 20

Gambar 5.5-1 Sampel Ikan ... 48

Gambar 5.5-2 Penimbangan Sampel ... 48

Gambar 5.5-3 Larutan Asam Nitrat ... 49

Gambar 5.5-4 Proses Digesti Sampel ... 49

Gambar 5.5-5 Larutan Hidrogen Peroksida ... 49

Gambar 5.5-6 Pemindahan Sampel ke dalam Labu Takar ... 50

Gambar 5.5-7 Larutan Standar Primer ... 50

Gambar 5.5-8 Larutan Standar Sekunder ... 50

Gambar 5.5-9 Sampel yang Disiapkan untuk ... 51


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 ... Jadwal Penelitian Lampiran 2 ... Kuisioner Penelitian Lampiran 3 ... Data Responden Lampiran 4 ...Hasil Perhitungan STATA 12.0 Lampiran 5 ... Hasil Uji Laboratorium Lampiran 6 ... Ethical Clearance Lampiran 7 ... Dokumentasi Penelitian


(14)

xii

DAFTAR SINGKATAN, LAMBANG DAN ISTILAH

Daftar Lambang

Hg : Hydragyum

kg : Kilogram

mg : Miligram

ml : Mililiter

µg : Mikrogram

% : Persen

≤ : Kurang dari sama dengan > : Lebih dari

H2SO4 : Asam sulfat

HNO3 : Asam nitrat

NaBH4 : Natrium borohibrid

H2O2 : Hidrogen peroksida

NaOH : Natrium hidroksida

Daftar Singkatan

ARKL : Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan SNI : Standar Nasional Indonesia

WHO : World Health Organization

UNEP : United Nations Environment Programme BRI : Biodiversity Research Institute


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari banyak gugusan pulau mulai dari pulau yang berukuran besar hingga pulau-pulau kecil yang sangat banyak jumlahnya. Memiliki wilayah negara seluas 7,81 juta Km2, menjadikan Indonesia sebagai negara yang cukup besar yang didominasi oleh perairan dan juga daratan. Luasnya wilayah kemaritiman Indonesia, secara tidak langsung memberikan dampak terhadap sebagian besar dari masyarakat atau penduduk yang tinggal di pesisir pantai Indonesia hingga saat ini masih menjadikan profesi melaut dan menjual hasil laut sebagai mata pencaharian mereka (Nainggolan et al., 2014).

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman, kehidupan masyarakat mulai bergeser mengikuti perkembangan tersebut ditandai dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri-industri yang ada di Indonesia. Salah satu industri yang hingga saat ini masih eksis dan cukup menarik banyak minat dari berbagai kalangan masyarakat yakni industri pertambangan, khususnya pertambangan emas. Menurut Laporan Kampanye Bebas Merkuri IPEN tahun 2013 yang dilakukan di Indonesia, tercatat bahwa jumlah titik rawan pertambangan emas skala kecil (PESK) meningkat dua kali lipat dalam enam tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya harga emas saat itu. Tercatat di Indonesia pada tahun 2010, terdapat 900 hotspot yang terdiri dari kurang lebih 250.000 petambang. Isu-isu mengenai pertambangan emas sangat erat kaitannya dengan penggunaan merkuri, hal tersebut terkait dengan proses


(16)

2

pengolahan emas yang menggunakan amalgamasi dengan merkuri. Meningkatnya investasi para pengusaha emas di berbagai tempat berdampak pada maraknya perdagangan merkuri secara illegal (BaliFokus, Arnika Association, & IPEN Heavy Metals Working Group, 2013). Berdasarkan artikel mengenai isu lingkungan yang dipublikasikan oleh organisasi kampanye global, Greenpeace Indonesia pada tanggal 22 April 2015 menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang melakukan impor merkuri secara illegal dalam jumlah besar hampir mencapai 400 ton per tahun. Hal tersebut didukung juga oleh data dari UNEP’s 2013 Global Mercury Assessment yang menyatakan bahwa artisanal and small-scale gold mining

(ASGM) atau pertambangan emas skala kecil merupakan sektor yang berkontribusi sebesar 37 persen terhadap peningkatan emisi merkuri di dunia (BRI, 2014a).

Salah satu metode yang sering digunakan untuk melakukan eksploitasi dan pemisahan emas dari batuan-batuan alam yakni metode amalgamasi. Pada metode ini cairan air raksa atau merkuri berfungsi dalam proses pemurnian emas dan memisahkannya dengan kandungan logam pengotor lainnya, karena emas dapat larut dalam air raksa kemudian cairan air raksa yang telah bercampur dengan emas akan dipanaskan sehingga air raksa menguap dan akhirnya menghasilkan emas yang murni. Oleh karena metode yang sangat efektif dan mudah dilakukan, banyak penambang-penambang emas tradisional yang menggunakan metode tersebut. Namun, limbah-limbah yang dihasilkan dari proses pemisahan emas seringkali dibuang atau dialirkan langsung ke lingkungan tanpa memperhitungkan dampak negatif yang dapat mempengaruhi lingkungan khususnya pencemaran pada organisme-organisme yang hidup pada daerah dimana limbah tersebut dialirkan yang pada akhirnya seluruhnya akan bermuara di laut. Kandungan logam-logam


(17)

3

berbahaya, khususnya merkuri (Hg) diketahui dapat mengendap dan terakumulasi pada ikan sebagai salah satu organisme yang hidup di laut (Dasna, Parlan, & Susiyadi, 2013).

Merkuri (Hg) merupakan salah satu jenis logam berat yang bersifat sangat berbahaya dan beracun yang dapat menyerang ginjal dan organ tubuh lainnya termasuk jantung, sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem reproduksi maupun sistem imun (IPEN, 2014). Merkuri dapat ditemukan pada udara, air, maupun tanah yang dapat terjadi secara natural maupun karena aktifitas manusia. Senyawa logam berat merkuri dapat ditemukan dalam berbagai bentuk antara lain elemental merkuri atau merkuri dasar (Hg0), ionic merkuri ( Hg(II) atau Hg2+), dan metil merkuri (MeHg) (UNEP & WHO, 2008). Merkuri memiliki afinitas terhadap lipid sehingga mudah terakumulasi di dalam tubuh organisme bila dibandingkan dengan senyawa logam berat lainnya. Hal tersebut menjadi sangat berbahaya karena ikan merupakan predator teratas dalam ekosistem akuatik dan memilliki posisi di tengah pada rantai makanan, hingga saat ini ikan banyak dikonsumsi oleh masyarakat sehingga dapat menjadi jalan masuknya paparan merkuri ke dalam tubuh manusia (Suseno, 2011).

Menurut data yang dilaporkan oleh BaliFokus pada tahun 2013 mengenai titik rawan merkuri di Indonesia, salah satu lokasi yang menjadi titik rawan merkuri yang terletak dekat dengan pulau Bali ialah kecamatan Sekotong, yang terletak sekitar 28,7 km di sebelah barat daya kota Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini memiliki penambangan dan pengolahan emas besar yang tersebar di kecamatan tersebut, melibatkan 5000 petambang dan 100 fasilitas gelundung. Diperkirakan pada tahun 2008, masyarakat mulai menggunakan merkuri untuk mengolah volume bijih emas yang lebih besar. Hal tersebut berdampak pada


(18)

4

peningkatan jumlah pemakaian merkuri mencapai 300 – 500 gram setiap 4 jam, saat semua gelundung beroperasi diperkirakan sebanyak 20-50 gram merkuri dilepaskan ke lingkungan per harinya, dan 73 – 183 ton merkuri per tahunnya (BaliFokus et al., 2013).

Proses produksi hingga konsumsi ikan merupakan kegiatan yang mudah ditemukan dan sudah tidak asing lagi terutama untuk masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir pantai. Menurut data statistik mengenai produksi perikanan tangkap di laut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali pada tahun 2014, produksi tertinggi ditempati oleh wilayah Denpasar yang mencapai angka produksi ikan tangkap sebesar 45.651,80, lalu produksi tertinggi berikutnya ditempati oleh Kabupaten Jembrana sebesar 22.429,00 dan tertinggi ketiga ditempati oleh Kabupaten Karangasem sebesar 21.532,80, diikuti oleh Kabupaten Buleleng dengan produksi ikan sebanyak 17.711,80, Kabupaten Badung dengan produksi ikan sebanyak 6.095,30, Kabupaten Klungkung dengan produksi ikan sebanyak 2.000,90, Kabupaten Tabanan dengan produksi ikan sebanyak 762,30, dan yang terakhir Kabupaten Gianyar dengan produksi ikan sebanyak 725,30. Data produksi perikanan tangkap di laut tersebut didukung juga dengan data jumlah nelayan, pada tahun 2014 Kabupaten Jembrana memiliki jumlah nelayan terbanyak di Provinsi Bali yang jumlah totalnya mencapai 10.029 orang (nelayan penuh 7.521 orang), lalu jumlah nelayan terbanyak kedua ditempati oleh kota madya Denpasar dengan jumlah total nelayan mencapai 9.018 orang (nelayan penuh 8.240 orang), menyusul Kabupaten Buleleng dengan jumlah nelayan sebanyak 6.816 orang (nelayan penuh 4.963 orang) , Kabupaten Karangasem dengan jumlah nelayan sebanyak 6.348 orang, Kabupaten Badung dengan jumlah nelayan sebanyak 1.362 orang (nelayan penuh 404 orang),


(19)

5

Kabupaten Klungkung dengan jumlah nelayan sebanyak 1.296 orang, Kabupaten Tabanan dengan jumlah nelayan sebanyak 936 orang (nelayan penuh 525 orang), dan yang terakhir Kabupaten Gianyar dengan jumlah nelayan sebanyak 724 orang (nelayan penuh 269 orang) (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2014). Berdasarkan data yang dipublikasikan Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam buku Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014 mengenai konsumsi ikan per kapita nasional, untuk di Bali khususnya rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional pada rentang tahun 2010 hingga 2014 hampir selalu melebihi 100 persen dari jumlah yang ditargetkan oleh Ditjen P2HP (Nainggolan et al., 2014).

Sebagai pulau yang lokasinya dikelilingi oleh pulau-pulau lain yang memiliki banyak hotspot pertambangan emas, masih belum banyak dilakukan studi mengenai keberadaan kandungan logam berat merkuri di wilayah Bali. Berdasarkan pergerakan ikan yang cenderung mengikuti arus migrasi dan sebagai salah satu hasil laut yang sering dikonsumsi oleh masyarakat maka ingin dilakukan suatu analisis terhadap potensi risiko terhadap masyarakat yang mengkonsumsinya.


(20)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan isu-isu terkait dengan keberadaan logam berat merkuri (Hg) pada lingkungan, yang telah dipaparkan pada bagian 1.1, diketahui bahwa kesadaran akan bahaya logam berat merkuri masih kurang khususnya untuk masyarakat Indonesia. Semakin menjamurnya industri tambang emas dengan skala kecil, tidak disertai dengan penggunaan metode yang bersahabat dengan lingkungan dan pembuangan limbah hasil mengandung merkuri secara langsung ke bentang alam. Berbagai studi atau penelitian baik di dalam maupun di luar Indonesia menyatakan bahwa kandungan logam berat merkuri (Hg) dapat berpindah jauh dari sumbernya dan secara tidak langsung masuk ke dalam rantai makanan serta terakumulasi di lingkungan. Sebagai biota laut yang sering dikonsumsi oleh manusia, ikan diketahui merupakan salah satu pembawa kandungan logam berat merkuri yang besar. Dalam berbagai kasus terkait merkuri di berbagai belahan dunia, konsumsi ikan yang telah terkontaminasi merkuri dalam jumlah tinggi memberikan efek negatif bagi kesehatan hingga menyebabkan kematian. Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah yang ingin diangkat pada studi ini adalah bagaimana kandungan logam berat merkuri pada ikan dan risikonya terhadap masyarakat khususnya yang berprofesi sebagai nelayan di wilayah Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar yang terletak di Provinsi Bali.


(21)

7

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kandungan logam berat merkuri (Hg) pada ikan di wilayah Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar Provinsi Bali ? 2. Bagaimana risiko konsumsi ikan terhadap masyarakat yang berprofesi

sebagai nelayan di sekitar Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar Provinsi Bali ?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui sejauh mana kandungan merkuri telah masuk ke dalam hasil laut dan risikonya terhadap masyarakat di sekitar Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar yang terletak di Provinsi Bali.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran kandungan logam berat merkuri (Hg) pada ikan di wilayah Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar yang terletak di Provinsi Bali.

2. Mengetahui besar risiko konsumsi ikan terhadap masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di sekitar Pantai Amed Karangasem dan Pantai Sanur Denpasar yang terletak di Provinsi Bali.


(22)

8

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Dapat digunakan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan studi kandungan logam berat merkuri (Hg) khususnya untuk di wilayah Bali

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Membantu perencanaan upaya pencegahan atau pengendalian masuknya logam berat merkuri (Hg) melalui ikan sebagai perantara.

2. Memicu penelitian-penelitian serupa yang terkait dengan logam berat merkuri untuk di wilayah Bali khususnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian di bidang kesehatan lingkungan dengan menggunakan ruang lingkup sebagai berikut :

1. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL) yang mengacu pada penelitian – penelitian serupa.

2. Penelitian menggunakan ikan sebagai sampel yang akan diuji parameter kandungan logam berat merkurinya.

3. Penelitian ini menggunakan nelayan sebagai responden yang akan dianalisis potensi risikonya terhadap konsumsi ikan.


(23)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Merkuri

2.1.1 Definisi dan Sifat Merkuri

Merkuri atau yang dikenal dengan simbol kimia Hg, merupakan logam berat yang dapat terjadi secara alami dan dapat ditemukan pada udara, air, maupun tanah. Merkuri dapat terdistribusi di lingkungan melalui proses oleh alam maupun oleh aktivitas manusia (UNEP & WHO, 2008). Menurut BPOM (2004) dalam Junita (2013), merkuri atau yang dikenal dengan air raksa adalah logam dalam bentuk senyawa organik maupun anorganik yang ditemukan tersebar dalam bebatuan, air, udara maupun biji tambang (Junita, 2013). Menurut Mason et al (2012) dalam

Patterns of Global Seafood Mercury Concentrations and their Relationship with Human Health and the Environment menyatakan bahwa merkuri menjadi salah satu polutan yang bersifat global yang memiliki efek negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Konsentrasi merkuri pada lingkungan meningkat tiga kali lipat dan laut merupakan reservoir primer yang dapat menjadi tempat merkuri mengendap (BRI, 2014b). Menurut Widowati et.al (2008) dalam Junita (2013) menyatakan bahwa selain memiliki sifat yang mudah menguap pada suhu ruangan dan dapat memadat pada tekanan 7.640 Atm, merkuri juga dapat larut dalam asam sulfat atau asam nitrit dan tahan terhadap basa. Senyawa logam dengan nomor atom 80 dan berat atom 200,59 g/mol, memiliki titik lebur pada suhu -38,90C dan titik


(24)

10

didih sebesar 356,60C (Junita, 2013). Sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan yang luas dan didukung dengan produksi ikan tangkap di laut yang cukup besar, banyaknya pertambangan emas skala kecil hampir di berbagai pulau-pulau besar di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah yang memiliki risiko terhadap kontaminasi logam berat merkuri(UNEP, 2013).

2.1.2 Jenis Merkuri

Menurut jenisnya, merkuri terdiri dari tiga jenis yaitu : a. Merkuri Elemental (Hg0)

Merkuri elemental merupakan logam perak-putih yang memiliki berat atom 200.59 g/mol, dengan titik lebur -38,870C dan titik didih 356,720C. Merkuri elemental merupakan jenis merkuri yang mudah menguap dan memiliki berat jenis 13.534 g/cm3 pada suhu 250C (World Health Organization (WHO), 2003). Merkuri elemental yang bersifat tidak terlihat serta tidak berbau, kerap digunakan dalam thermometer, barometer, lampu, proses industri, baterai, dll. Paparan tinggi oleh merkuri elemental sering terjadi melalui proses inhalasi. Merkuri elemental diketahui mengakibatkan beberapa gangguan kesehatan seperti kerusakan ginjal, insomnia, sakit kepala, hingga penurunan fungsi kognitif (EPA, 2013).

b. Merkuri Inorganik (Hg2+ , Hg (II) )

Merkuri inorganik merupakan senyawa merkuri yang memiliki bentuk bubuk dan garam merkuri yang berwarna putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida yang memiliki warna merah. Senyawa merkuri inorganik kerap digunakan


(25)

11

sebagai antiseptik atau disinfektan, fungisida, pestisida, cat tembok, krim – krim pencerah kulit, hingga beberapa obat-obatan tradisional (EPA, 2013). c. Merkuri Organik

Senyawa merkuri organik yang paling sering ditemukan di lingkungan adalah metilmerkuri (MeHg). Metilmerkuri merupakan senyawa merkuri organik yang palig berbahaya karena bersifat toksik akumulatif, tidak mudah terurai, dan tidak menembus membran. Penyerapan metilmerkuri yang tinggi terdapat pada sel darah merah, usus, plasenta, hingga otak. Hal ini dapat mempengaruhi susunan saraf pusat. Senyawa merkuri organik berupa metilmerkuri dapat terbentuk saat merkuri bergabung dengan karbon (EPA, 2013).


(26)

12

2.1.3 Ambang Batas Merkuri

Menurut standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia yang dipublikasikan dalam SNI 7387:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan Tahun 2009, menyebutkan bahwa batas maksimum cemaran merkuri (Hg) dalam ikan dan produk perikanan seperti yang disajikan dalam tabel berikut (SNI, 2009) :

Tabel 2.1.3.1 Batas Maksimum SNI Cemaran Merkuri (Hg) pada Ikan

No Kategori Pangan

Kategori Pangan Batas Maksimum

09.0

Ikan dan hasil olahannya 0,5 mg/kg

Ikan Predator (cucut, tuna, marlin, dll)

1,0 mg/kg

Kekerangan (bivalve) Moluska dan Teripang

1,0 mg/kg

Udang dan krustasea lainnya 1,0 mg/kg

Hal yang sama juga disebutkan dalam Codex Alimentarius Guideline dan The European Community yang menetapkan batas kandungan merkuri khususnya metilmerkuri sebesar 0,5 mg/kg pada ikan non-predator dan 1 mg/kg pada ikan predator (UNEP & WHO, 2008).


(27)

13

2.1.4 Sumber dan Kegunaan Merkuri

Merkuri yang terdapat di lingkungan berasal dari berbagai sumber, diantaranya yang berasal dari proses yang menggunakan merkuri atau proses pengolahan limbah, emisi merkuri yang berasal dari penggunaan mineral dalam industri seperti batu bara, produksi energi yang menggunakan bahan bakar fosil, pertambangan emas serta logam lainnya dan merkuri yang berasal dari alam seperti aktivitas vulkanik, perubahan iklim, kebakaran hutan, dll (Nordic Council, 2002). Tambang emas skala kecil merupakan sektor terbesar yang bergantung pada penggunaan merkuri. Menurut estimasi Mercury Watch oleh UNEP (2012), penggunaan merkuri dalam tambang emas skala kecil atau artisanal and small-scale gold mining (ASGM) mencapai 1400 ton pada tahun 2011 dan akan bertambah seiring dengan meningkatnya harga emas. Industri VCM merupakan industri terbesar kedua pengguna merkuri. Industri yang memproduksi polyvinyl chloride (PVC) yang umumnya digunakan pada plastik ini menggunakan merkuri sebagai katalis dalam proses produksinya (UNEP, 2013).

Merkuri, di dalam kehidupan sehari-hari banyak dimanfaatkan di berbagai bidang. Seperti merkuri elemental yang umumnya digunakan di dalam thermometer, barometer, lampu, baterai, amalgamasi dalam dunia kedokteran gigi, penyulingan, dan berbagai proses industri lainnya. Sedangkan merkuri inorganic umumnya dimanfaatkan sebagai campuran bahan baku cat, krim pencerah kulit, sabun, disinfektan, maupun perstisida (EPA, 2013).


(28)

14

2.1.5 Merkuri pada Ikan

Merkuri di lingkungan terdiri dari berbagai bentuk kimia yang berbeda. Selain merkuri elemental, merkuri dapat diklasifikasikan sebagai merkuri inorganik dan merkuri organik. Merkuri diklasifikasikan sebagai merkuri organik ketika ia berikatan dengan senyawa kimia yang sebagian besar terdiri dari karbon. Merkuri di lingkungan dapat berubah sesuai dengan proses dari berbagai senyawa kimia yang bervariasi. Contoh dari merkuri organik adalah metilmerkuri dengan rumus kimia CH3Hg+ yang disebabkan oleh aktivitas mikrobakteri, metilmerkuri umumnya

ditemukan dalam lingkungan perairan. Metilmerkuri merupakan salah satu bentuk merkuri yang utama pada ikan. Bentuk kimia dari metilmerkuri membuatnya dapat dengan cepat menyebar dan terikat dalam protein dari biota air, termasuk protein dari jaringan otot ikan. Menurut Yamashita et al (2005) dalam berbagai spesies tuna kandungan dari total merkuri dalam bentuk metilmerkuri mencapai 70 hingga 77 persen (HealthCanada, 2007).

Menurut Sorensen (1991) dalam Suseno (2011), proses akumulasi logam pada ikan diawali dengan proses pengambilan (uptake) melalui insang dan kemudian diserap ke dalam seluruh jaringan tubuh yang kemudian tersimpan di dalamnya. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses uptake merkuri dan jumlah akumulasinya antara lain kecepatan metabolism, ukuran, jenis, alkalinitas, pH, suhu, tingkat kontaminasi, sumber, serta tingkat kehidupan organisme itu sendiri. Menurut Heath (1987), masuknya merkuri ke dalam jaringan tubuh ikan terjadi ketika merkuri diangkut oleh darah dan berikatan dengan protein hemoglobin dalam sel darah merah ikan (Suseno, 2011).


(29)

15

Beberapa penelitian terkait kandungan merkuri pada ikan telah dilakukan di Indonesia. Seperti yang dilaporkan dalam penelitian oleh Athena (2009) beberapa hasil laut seperti ikan di daerah Kepulauan Seribu, Jakarta cukup bervariasi hingga mencapai angka 3,05 ppm (Athena & Inswiasri, 2009). Penelitian yang serupa di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara melaporkan bahwa kadar merkuri pada ikan kakap merah yang tertangkap di Tanjung Taolas mencapai 0,12 ppm, dan ikan belanak yang tertangkap di Tanjung Akesone mencapai angka 0,13 ppm (Simange, 2011). Penelitian di Teluk Manado dalam Jurnal Pesisir dan Laut Tropis oleh Narasiang (2015) menyimpulkan bahwa kandungan merkuri tertinggi terdapat pada ikan Gora (Myriptis hexagona) dengan nilai mencapai 0,43 ppm dan ikan Capungan (Apogon compresseus) dengan nilai mencapai 0,3 ppm (Narasiang, Lasut, & Kawung, 2015).

2.1.6 Kejadian Akibat Merkuri

Merkuri khususnya metil merkuri (MeHg) yang bersifat toksik pada awalnya dikenal luas saat terjadi tragedi di Teluk Minamata, Kumamoto prefektur, Jepang pada tahun 1956. Berawal pada tahun 1950, fenomena aneh seperti kerang yang mulai mati, ikan mengapung di permukaan air, rumput laut yang gagal tumbuh, dan juga kucing yang mati dengan tidak wajar mulai terjadi di sekitar teluk. Lalu berlanjut pada 21 April 1956, seorang anak dari Tsukinoura di Kota Minamata mengalami ketidakmampuan berjalan dan makan. Hingga akhirnya pada tanggal 12 November 1959 kementerian kesehatan menyatakan bahwa merkuri organik yang terkandung dalam ikan dan kerang di sekitar Teluk Minamata merupakan penyebab utama terjadinya Minamata Disease yang menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat dan dilaporkan telah terjadi pada 2.268 orang pada Agustus 2007. Masuknya


(30)

16

merkuri organik ke lingkungan disebabkan oleh produk sampingan dari pabrik kimia penghasil klorida vinil dan formaldehida milik Perusahaan Chisso yang dibuang ke dalam teluk. Setelah mengalami proses bioakumulasi dan biomagnifikasi yang terjadi secara alamiah, akhirnya organisme yang terdapat di dalam teluk mengakumulasi metil merkuri pada konsentrasi tinggi yang berakhir dengan keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya (Minamata Disease Municipal Museum, 2007).

Untuk di wilayah Indonesia, salah satu kejadian yang berkaitan dengan pencemaran merkuri yakni kejadian pencemaran Teluk Buyat, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. Sejak beroperasinya perusahaan tambang Newmont Minahasa Raya pada tahun 1996, nelayan yang bermukim di sekitar Teluk Buyat mendapati puluhan ikan mati secara tidak wajar dan diikuti dengan gejala penyakit secara misterius yang dialami oleh warga desa seperti sakit kepala yang berulang-ulang, gatal-gatal, mual, muntah, pembengkakan beberapa bagian tubuh, hingga pingsan mendadak. Pembuangan secara langsung 2.000 ton limbah sisa olahan emas yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) ke laut setiap harinya, terindikasi mengakibatkan pencemaran di Teluk Buyat. Laporan audit internal yang dipublikasikan oeh New York Times menyebutkan bahwa 17 dari 33 ton merkuri terlepas di udara dan sisanya sebanyak 16 ton dibuang secara langsung ke dalam teluk (Lutfillah, 2011).

Selain melalui produk atau hasil laut, merkuri juga dapat masuk ke rantai makanan melalui produk-produk agrikutural atau pertanian. Diketahui pada tahun 1971 sebanyak 459 orang meninggal akibat penggunaan fungisida yang mengandung merkuri pada padi sebagai bahan baku pembuatan tepung terigu di wilayah pedesaan Irak (UNEP, 2013). Konsumsi diperkirakan berlangsung pada awal Oktober hingga


(31)

17

November tahun 1971. Insiden ini berkembang menjadi epidemik katastropik dengan 6530 orang yang tercatat masuk rumah sakit dan 459 orang meninggal dunia (Takizawa, 2002).

2.1.7 Risiko Kesehatan Oleh Merkuri

Sekali merkuri dilepaskan ke lingkungan, merkuri dapat pergi menempuh jarak yang jauh dan bertahan lama di dalam sirkulasi melalui udara, air, endapan, tanah, maupun mahluk hidup. Merkuri dengan konsentrasi tinggi dapat ditemukan pada ikan yang bersifat predator yang sangat berpotensi dikonsumsi oleh manusia. Hal tersebut dapat memberi pengaruh serius pada ekosistem serta produktifitas burung dan hewan mamalia. Paparan merkuri dalam jumlah besar dapat memberi risiko yang serius terhadap kesehatan manusia. Merkuri dengan mudah dapat terabsorbsi melalui pembuluh darah maupun terhirup, dan dapat menyerang sistem saraf pusat, kelenjar tiroid, ginjal, paru-paru, sistem imun, mata hingga kulit. Kelainan pada saraf dan perilaku dapat menjadi pertanda adanya kontaminasi dari merkuri dan dengan gejala-gejala lain seperti insomnia, pusing, kehilangan memori, disfungsi kognitif, motorik, dll. Kasus yang menimpa Teluk Minamata di Jepang, keracunan akibat merkuri juga menimbulkan gejala seperti otot yang lemah dan gangguan pada pendengaran serta berbicara. Jika keracunan telah mencapai tingkat parah dapat menimbulkan koma hingga kematian (UNEP, 2013).


(32)

18

2.2 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

Keputusan Menteri Kesehatan No. 876 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) mendefinisikan ARKL sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk mencermati potensi besarnya risiko dengan mendeskripsikan suatu masalah lingkungan dan melibatkan penetapan risiko pada kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah lingkungan tersebut. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) atau yang dikenal dengan risk assessment

memberikan suatu estimasi risiko, menawarkan suatu kerangka yang sistematis untuk mendefinisikan suatu masalah, memberi prioritas, mitigasi risiko, dan memberikan jawaban mengenai risiko yang dapat diterima atau ditoleransi dan disertai bentuk pengelolaan risiko yang diperlukan terkait dengan ranah pengambilan keputusan kesehatan masyarakat dan lingkungan (DEPKES RI, 2012). Menurut WHO (2004) dalam Basri et al (2007), analisis risiko didefinisikan sebagai proses untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada suatu organisme sasaran baik sistem maupun sub populasi setelah terpapar oleh agent tertentu. Analisis risiko saat ini kerap digunakan untuk menilai risiko kesehatan pada manusia yang dapat disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan (Basri, Bujawati, & Amansyah, 2014).

Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama dalam ARKL yang berguna untuk mengetahui agen risiko yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan. Setelah diidentifikasi, dilanjutkan dengan analisis dosis respon dengan merujuk pada literature yang tersedia. Kemudian analisis pemajanan dilakukan dengan menghitung asupan dari agen risiko dengan perhitungan Intake yang juga menggunakan hasil pengkuran konsentrasi agen risiko pada media lingkungan yang dapat dilakukan sendiri maupun menggunakan data sekunder. Langkah yang terakhir yaitu


(33)

19

karakterisasi risiko untuk menentukan atau menetapkan apakah suatu agen risiko pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan pada masyarakat yang terpajan (DEPKES RI, 2012).


(1)

2.1.5 Merkuri pada Ikan

Merkuri di lingkungan terdiri dari berbagai bentuk kimia yang berbeda. Selain merkuri elemental, merkuri dapat diklasifikasikan sebagai merkuri inorganik dan merkuri organik. Merkuri diklasifikasikan sebagai merkuri organik ketika ia berikatan dengan senyawa kimia yang sebagian besar terdiri dari karbon. Merkuri di lingkungan dapat berubah sesuai dengan proses dari berbagai senyawa kimia yang bervariasi. Contoh dari merkuri organik adalah metilmerkuri dengan rumus kimia CH3Hg+ yang disebabkan oleh aktivitas mikrobakteri, metilmerkuri umumnya ditemukan dalam lingkungan perairan. Metilmerkuri merupakan salah satu bentuk merkuri yang utama pada ikan. Bentuk kimia dari metilmerkuri membuatnya dapat dengan cepat menyebar dan terikat dalam protein dari biota air, termasuk protein dari jaringan otot ikan. Menurut Yamashita et al (2005) dalam berbagai spesies tuna kandungan dari total merkuri dalam bentuk metilmerkuri mencapai 70 hingga 77 persen (HealthCanada, 2007).

Menurut Sorensen (1991) dalam Suseno (2011), proses akumulasi logam pada ikan diawali dengan proses pengambilan (uptake) melalui insang dan kemudian diserap ke dalam seluruh jaringan tubuh yang kemudian tersimpan di dalamnya.

Berbagai faktor yang mempengaruhi proses uptake merkuri dan jumlah

akumulasinya antara lain kecepatan metabolism, ukuran, jenis, alkalinitas, pH, suhu, tingkat kontaminasi, sumber, serta tingkat kehidupan organisme itu sendiri. Menurut Heath (1987), masuknya merkuri ke dalam jaringan tubuh ikan terjadi ketika merkuri diangkut oleh darah dan berikatan dengan protein hemoglobin dalam sel darah merah ikan (Suseno, 2011).


(2)

Beberapa penelitian terkait kandungan merkuri pada ikan telah dilakukan di Indonesia. Seperti yang dilaporkan dalam penelitian oleh Athena (2009) beberapa hasil laut seperti ikan di daerah Kepulauan Seribu, Jakarta cukup bervariasi hingga mencapai angka 3,05 ppm (Athena & Inswiasri, 2009). Penelitian yang serupa di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara melaporkan bahwa kadar merkuri pada ikan kakap merah yang tertangkap di Tanjung Taolas mencapai 0,12 ppm, dan ikan belanak yang tertangkap di Tanjung Akesone mencapai angka 0,13 ppm (Simange, 2011). Penelitian di Teluk Manado dalam Jurnal Pesisir dan Laut Tropis oleh Narasiang (2015) menyimpulkan bahwa kandungan merkuri tertinggi terdapat pada ikan Gora (Myriptis hexagona) dengan nilai mencapai 0,43 ppm dan ikan Capungan (Apogon compresseus) dengan nilai mencapai 0,3 ppm (Narasiang, Lasut, & Kawung, 2015).

2.1.6 Kejadian Akibat Merkuri

Merkuri khususnya metil merkuri (MeHg) yang bersifat toksik pada awalnya dikenal luas saat terjadi tragedi di Teluk Minamata, Kumamoto prefektur, Jepang pada tahun 1956. Berawal pada tahun 1950, fenomena aneh seperti kerang yang mulai mati, ikan mengapung di permukaan air, rumput laut yang gagal tumbuh, dan juga kucing yang mati dengan tidak wajar mulai terjadi di sekitar teluk. Lalu berlanjut pada 21 April 1956, seorang anak dari Tsukinoura di Kota Minamata mengalami ketidakmampuan berjalan dan makan. Hingga akhirnya pada tanggal 12 November 1959 kementerian kesehatan menyatakan bahwa merkuri organik yang terkandung dalam ikan dan kerang di sekitar Teluk Minamata merupakan penyebab

utama terjadinya Minamata Disease yang menyebabkan gangguan pada sistem saraf


(3)

merkuri organik ke lingkungan disebabkan oleh produk sampingan dari pabrik kimia penghasil klorida vinil dan formaldehida milik Perusahaan Chisso yang dibuang ke dalam teluk. Setelah mengalami proses bioakumulasi dan biomagnifikasi yang terjadi secara alamiah, akhirnya organisme yang terdapat di dalam teluk mengakumulasi metil merkuri pada konsentrasi tinggi yang berakhir dengan keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya (Minamata Disease Municipal Museum, 2007).

Untuk di wilayah Indonesia, salah satu kejadian yang berkaitan dengan pencemaran merkuri yakni kejadian pencemaran Teluk Buyat, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. Sejak beroperasinya perusahaan tambang Newmont Minahasa Raya pada tahun 1996, nelayan yang bermukim di sekitar Teluk Buyat mendapati puluhan ikan mati secara tidak wajar dan diikuti dengan gejala penyakit secara misterius yang dialami oleh warga desa seperti sakit kepala yang berulang-ulang, gatal-gatal, mual, muntah, pembengkakan beberapa bagian tubuh, hingga pingsan mendadak. Pembuangan secara langsung 2.000 ton limbah sisa olahan emas yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) ke laut setiap harinya, terindikasi mengakibatkan pencemaran di Teluk Buyat. Laporan audit internal yang dipublikasikan oeh New York Times menyebutkan bahwa 17 dari 33 ton merkuri terlepas di udara dan sisanya sebanyak 16 ton dibuang secara langsung ke dalam teluk (Lutfillah, 2011).

Selain melalui produk atau hasil laut, merkuri juga dapat masuk ke rantai makanan melalui produk-produk agrikutural atau pertanian. Diketahui pada tahun 1971 sebanyak 459 orang meninggal akibat penggunaan fungisida yang mengandung merkuri pada padi sebagai bahan baku pembuatan tepung terigu di wilayah pedesaan Irak (UNEP, 2013). Konsumsi diperkirakan berlangsung pada awal Oktober hingga


(4)

November tahun 1971. Insiden ini berkembang menjadi epidemik katastropik dengan 6530 orang yang tercatat masuk rumah sakit dan 459 orang meninggal dunia (Takizawa, 2002).

2.1.7 Risiko Kesehatan Oleh Merkuri

Sekali merkuri dilepaskan ke lingkungan, merkuri dapat pergi menempuh jarak yang jauh dan bertahan lama di dalam sirkulasi melalui udara, air, endapan, tanah, maupun mahluk hidup. Merkuri dengan konsentrasi tinggi dapat ditemukan pada ikan yang bersifat predator yang sangat berpotensi dikonsumsi oleh manusia. Hal tersebut dapat memberi pengaruh serius pada ekosistem serta produktifitas burung dan hewan mamalia. Paparan merkuri dalam jumlah besar dapat memberi risiko yang serius terhadap kesehatan manusia. Merkuri dengan mudah dapat terabsorbsi melalui pembuluh darah maupun terhirup, dan dapat menyerang sistem saraf pusat, kelenjar tiroid, ginjal, paru-paru, sistem imun, mata hingga kulit. Kelainan pada saraf dan perilaku dapat menjadi pertanda adanya kontaminasi dari merkuri dan dengan gejala-gejala lain seperti insomnia, pusing, kehilangan memori, disfungsi kognitif, motorik, dll. Kasus yang menimpa Teluk Minamata di Jepang, keracunan akibat merkuri juga menimbulkan gejala seperti otot yang lemah dan gangguan pada pendengaran serta berbicara. Jika keracunan telah mencapai tingkat parah dapat menimbulkan koma hingga kematian (UNEP, 2013).


(5)

2.2 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

Keputusan Menteri Kesehatan No. 876 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) mendefinisikan ARKL sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk mencermati potensi besarnya risiko dengan mendeskripsikan suatu masalah lingkungan dan melibatkan penetapan risiko pada kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah lingkungan tersebut. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) atau yang dikenal dengan risk assessment

memberikan suatu estimasi risiko, menawarkan suatu kerangka yang sistematis untuk mendefinisikan suatu masalah, memberi prioritas, mitigasi risiko, dan memberikan jawaban mengenai risiko yang dapat diterima atau ditoleransi dan disertai bentuk pengelolaan risiko yang diperlukan terkait dengan ranah pengambilan keputusan kesehatan masyarakat dan lingkungan (DEPKES RI, 2012). Menurut WHO (2004) dalam Basri et al (2007), analisis risiko didefinisikan sebagai proses untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada suatu organisme sasaran baik sistem maupun sub populasi setelah terpapar oleh agent tertentu. Analisis risiko saat ini kerap digunakan untuk menilai risiko kesehatan pada manusia yang dapat disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan (Basri, Bujawati, & Amansyah, 2014).

Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama dalam ARKL yang berguna untuk mengetahui agen risiko yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan. Setelah diidentifikasi, dilanjutkan dengan analisis dosis respon dengan merujuk pada literature yang tersedia. Kemudian analisis pemajanan dilakukan dengan menghitung asupan dari agen risiko dengan perhitungan Intake yang juga menggunakan hasil pengkuran konsentrasi agen risiko pada media lingkungan yang dapat dilakukan sendiri maupun menggunakan data sekunder. Langkah yang terakhir yaitu


(6)

karakterisasi risiko untuk menentukan atau menetapkan apakah suatu agen risiko pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan pada masyarakat yang terpajan (DEPKES RI, 2012).