Hubungan antara tingkat religiustas deng
TINDAKAN PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA SISWA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 3 SEMARANG
Skripsi Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh: Gunawan NIM: 092100982
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2014
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi yang saya susun ini tanpa plagiarisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Semarang, April 2014
Gunawan
Motto
“Menuntut Ilmu Karena Allah SWT”
Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah)
(HR. Ibnu Majah)
Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang 'abid (ahli ibadah) ibarat
bulan purnama terhadap seluruh bintang
(HR. Abu Dawud )
Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya
jalan ke surga
(HR. Muslim)
Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan
bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu
(HR. Ath-Thabrani)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
“Kedua Orang Tuaku yang selalu mendo’akan ku”
Aku mengetahui bahwa tetesan air mata disetiap sujud itu
adalah do’a dan harapan untukku, supaya aku menjadi anak
yang sholeh, berguna bagi orang lain dan berbakti kepada Engkau berdua. Kakak & Adik yang memberikan dukungan untukku serta semua keluarga besarku di lombok yang telah menjadikanku
bagian dari mereka yang istimewa. Semoga Allah SWT menjadikan kita keluarga sampai di akhirat kelak, Amin.
Semua sahabat – sahabatku di FIK Unissula yang telah sedia
memberikan doa dan motivasinya kepadaku Terimakasih semuanya
Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua. (HR. Al Hakim)
Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaklah dia bersilaturrahim (berhubungan baik dengan keluarga dekat) niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya dan Allah memasukkannya ke dalam surga yang
dijanjikanNya. (HR. Ar-Rabii')
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi berjudul:
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA SISWA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 3 SEMARANG
Dipersiapkan dan disusun oleh: Nama : Gunawan NIM : 092100982
Telah disahkan dan disetujui oleh Pembimbing pada:
Pembimbing I Tanggal : ..........................
Ns. Moch. Aspihan, M.Kep., Sp.Kep. Kom NIK. 210900008
Pembimbing II Tanggal : ..........................
Ns. Ita Hidayatullah, S.Kep NIP. 19770414 200604 2 019
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi berjudul:
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA SISWA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 3 SEMARANG
Disusun oleh: Nama : Gunawan NIM : 092100982
Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 11 April 2014 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Penguji I,
Iwan Ardian, SKM., M.Kep NIK. 210997003
Penguji II,
Ns. Moch. Aspihan, M.Kep., Sp.Kep. Kom NIK. 210900008
Penguji III,
Ns. Ita Hidayatullah, S.Kep NIP. 19770414 200604 2 019
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
Skripsi, April 2014
ABSTRAK
Gunawan
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA SISWA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 3 SEMARANG
60 Halaman + 12 tabel + xvi
Latar Belakang: AIDS sampai saat ini belum ditemukan obatnya, vaksin AIDS juga belum ada. Oleh karena itu, untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS pada remaja perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara tingkat religiusitas dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang. Metode: Desain penelitian ini adalah korelasi dengan cross sectional. Populasinya adalah semua siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang yang memenuhi kriteria inklusi, besar sampel 128 responden yang diambil dengan menggunakan proporsional stratified random sampling . Variabel independen adalah tingkat religiusitas dan variabel dependennya adalah tindakan pencegahan HIV/AIDS. Instrumen pada penelitian ini menggunakan kuesioner dan dianalisa dengan uji
korelasi chi Square, karena uji ini tidak dapat digunakan maka uji selanjutnya menggunakan uji fisher exact dengan tingkat kesalahan p-value < 0,05 dan koefisien korelasi menggunakan uji lambda . Hasil: Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (56,3%), berdasarkan umur responden adalah 15-16 tahun (62,5%), dari tingkat religiusitas adalah kategori baik (89,8%), dan sebagian besar tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa adalah kategori baik (86,7%).
Setelah dilakukan uji chi Square kemudian uji fisher exact nilai p-value 0.000 dengan nilai koefisien korelasi lambda 0,467 yang artinya H1 diterima dengan tingkat hubungan sedang. Simpulan: Ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang ( p-value < 0,05).
Kata kunci: Tingkat Religiusitas, Tindakan, Pencegahan HIV/AIDS
Daftar Pustaka: 36 (2003-2013)
UNDERGRADUATE NURSING STUDY PROGRAM FACULTY OF NURSING SCIENCE SULTAN AGUNG ISLAMIC UNIVERSITY SEMARANG Mini Thesis, April 2014
ABSTRACT
Gunawan
The Relationship Between The Level of Religiosity With Precautions of HIV/AIDS on Students in High School Sultan Agung Islamic 3 Semarang
60 pages + 12 tables + xvi
Background: AIDS to date has not found a cure, AIDS vaccine also does not exist. Therefore, to prevent the spread of HIV/AIDS in teenagers were necessary precautions as early as possible. This research aims to know is there any linkage between the level of religiosity with precautions of HIV/AIDS on students in high school Sultan Agung Islamic 3 Semarang. Methods: This is a design research with cross sectional correlation. The population is all of the students in high school Sultan Agung Islamic 3 Semarang which meet the criteria of inclusion, a large sample of 128 respondents taken using proportionate stratified random sampling . The independent variable is the level of religiosity and the dependent variable is the action of prevention of HIV/AIDS. Instruments on this research using questionnaires and analyzed by chi Square correlation test, because this test cannot be used then the next test using test fisher exact with this level of error (p-value <0.05) and the correlation coefficient test using lambda . Results: Based on the results of the study showed most respondents-sex women (35%), based on the age of the respondents was 15-16 years (62.5%), the level of religiosity is a good category (89,8%), and most of the action is the prevention of HIV/AIDS on students is a good category (86,7%). The chi Square test is done once
then use the test results obtained by test fisher exact p-value of 0.000, and correlation coefficient value of lambda 0,467. It means the H1 level relationship is being received. Conclusion: There is a relationship between the level of religiosity with precautions of HIV/AIDS on students in high school Sultan Agung Islamic 3 Semarang (p-value <0.05).
Keywords: Level of Religiosity, Action, HIV/AIDS Prevention Bibliography: 36 (2003-2013)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, nikmat dan ridhoNya, sehingga penulis telah diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi penelitian tentang hubungan antara tingkat religiusitas dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung Semarang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Dalam menjalani proses penyusunan skripsi ini tidak sedikit kendala yang penulis hadapi.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi perbaikan penelitian ini. Atas bantuan, arahan, dan motivasi yang senantiasa diberikan selama ini, dengan segala kerendahan hati penulis menghanturkan segenap ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak H. Anis Malik Toha, MA, Ph.D selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
2. Ibu Ns. Retno Setyawati, M.Kep., Sp.KMB selaku Dekan Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
3. Ibu Ns. Sri Wahyuni, M.Kep., Sp.Kep. Mat. selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
4. Bapak Ns. Moch. Aspihan, M.Kep., Sp.Kep. Kom selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat yang sangat berharga guna penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Ns. Ita Hidayatullah, S.Kep selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen pengajar dan Staf Fakultas Ilmu Keperwatan Universitas Islam Sultan Agung yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan serta bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
7. Bapak, Ibu, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga tercinta dengan kasih sayang dan segala pengorbanannya yang telah memberikan do’a serta dukungan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu dengan terbuka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Dan harapan penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, April 2014
Penulis
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Total Jumlah Sampel ................................................................
29 Tabel 3.2 Definisi Operasional ................................................................
30 Tabel 3.3 Tingkat Keeratan Hubungan ....................................................
37 Tabel 4.1 Tingkat Pengetahuan Siswa Tentang HIV/AIDS dan Sikap Siswa Terhadap Pencegahan HIV/AIDS ................................
44 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ..............
45 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
45 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Religiusitas (3 kategori). .........................................................
46 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Religiusitas (2 kategori). .........................................................
46 Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS ...........................................................
47 Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS (tabel 3x2) ............................................................
48 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS (tabel 2x2) ............................................................
49 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keeratan
Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS ...........................................................
50
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran. 1. Surat ijin penelitian Lampiran. 2. Surat Balasan Penelitian Lampiran. 3. Surat Keterangan Lolos Uji Etik Lampiran. 4. Surat Permohonan Menjadi Responden Lampiran. 5. Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran. 6. Surat jin Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran. 7. Surat Balasan Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran. 8. Instrumen Penelitian Lampiran. 9. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran. 10. Hasil Uji Penelitian Lampiran. 11. Jadwal Penelitian Lampiran. 12. Daftar Riwayat Hidup
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus Human Immuno Deficiency Virus (HIV) yang mudah menular dan mematikan. Human Immuno Deficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia, dengan berakibat yang bersangkutan kehilangan daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terinfeksi dan meninggal karena berbagai penyakit infeksi kanker dan lain-lain (Estelita, 2011) dalam Warta KB dan KS (BKKBN Prov. Sumatera Barat, 2011).
Prevalensi penyakit ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut WHO (2007) jumlah penderita HIV/AIDS di dunia ada sebanyak 33.300.000 dan di asia ada sebanyak 4.900.000 kasus. Di Indonesia sendiri menurut data Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2012, jumlah penderita HIV 21.511 kasus, AIDS 5.686 kasus, dan meninggal 1.146 kasus, jika dibandingkan pada tahun 2011 terdapat peningkatan pada kasus HIV dan jumlah meninggal karena HIV/AIDS, sementara kasus AIDS mengalami penurunan. Pada tahun 2011 jumlah penderita HIV 21.031 kasus, AIDS 7.004 kasus, dan meninggal 1.021 kasus. Berdasarkan laporan dari Januari sampai dengan Maret 2013 jumlah penderita HIV 5.369 kasus, AIDS 460 kasus, dan meninggal 53 kasus (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukan sejak Januari hingga September 2012, 110 kasus HIV/AIDS tercatat di Semarang dan menjadikan sebagai kota tertinggi jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa Tengah dan tercatat 108 penderita meninggal dunia. Jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah mencapai 946 orang dan 580 sudah positif AIDS (www.jawaban.com). Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. WHO Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukan sejak Januari hingga September 2012, 110 kasus HIV/AIDS tercatat di Semarang dan menjadikan sebagai kota tertinggi jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa Tengah dan tercatat 108 penderita meninggal dunia. Jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah mencapai 946 orang dan 580 sudah positif AIDS (www.jawaban.com). Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. WHO
Penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual, parental dan transplasental, sehingga upaya pencegahan perlu diarahkan untuk merubah perilaku seksual masyarakat (terutama yang memilikiki resiko tinggi), menghindari infeksi melalui donor darah, dan upaya pencegahan infeksi perinatal sebelum ibu hamil (Siregar, 2004). Menurut Aisyaroh (2010), remaja memiliki resiko tinggi terinfeksi penyakit menular seksual, HIV/AIDS serta penyalahgunaan narkoba karena remaja berada dalam situasi yang sangat peka terhadap pengaruh nilai baru, terutama bagi remaja yang tidak mempunyai daya tangkal. Remaja cenderung lebih mudah melakukan penyesuaian dengan arus globalisasi dan arus informasi yang bebas yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku menyimpang karena adaptasi terhadap nilai-nilai yang datang dari luar. Data dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI (2013), menunjukkan sejak 1 April 1987 – 31 Maret 2013 tercatat jumlah orang yang menderita AIDS sebanyak 43.347 orang, diantaranya pada rentang umur 15 – 19 tahun sebanyak 1.412 orang, sementara pada tahun 2012 terdapat 1.134 orang. Berdasarkan data di atas dapat di simpulkan bahwa sejak akhir tahun 2012 sampai dengan 31 Maret 2013 tercatat 278 orang menderita AIDS pada rentang umur 15 – 19 tahun.
AIDS sampai saat ini belum ditemukan obatnya, vaksin AIDS juga belum ada. Oleh karena itu, untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS pada remaja perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI dalam Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), (2011) sebanyak 7% populasi remaja mengaku pernah berhubungan seks, 51% diantaranya mengaku menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir. Selain itu, 4% remaja mengaku pernah mencoba menggunakan Napza, dan yang paling sering dicoba adalah ganja. Sebanyak 0,4% remaja mengaku menggunakan Napza suntik. Menurut Singale (2012), dalam penelitiannya AIDS sampai saat ini belum ditemukan obatnya, vaksin AIDS juga belum ada. Oleh karena itu, untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS pada remaja perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI dalam Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), (2011) sebanyak 7% populasi remaja mengaku pernah berhubungan seks, 51% diantaranya mengaku menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir. Selain itu, 4% remaja mengaku pernah mencoba menggunakan Napza, dan yang paling sering dicoba adalah ganja. Sebanyak 0,4% remaja mengaku menggunakan Napza suntik. Menurut Singale (2012), dalam penelitiannya
Berdasarkan persoalan remaja diatas diharapkan pendidikan agama lebih berperan dalam mengatasi masalah remaja. Pendidikan agama yang paling intensif bagi remaja saat ini adalah di sekolah (Husamah & Dyah, 2005). Pemahaman tingkat agama (religiusitas) sangat penting untuk mengurangi perilaku menyimpang pada remaja yang berdampak terhadap penyebaran Virus HIV/AIDS. Berdasarkan hasil penelitian Aini, (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemahaman tingkat agama ( religiusitas ) dengan perilaku seks bebas pada remaja. Semakin tinggi religiusitas remaja maka makin negatif sikapnya terhadap perilaku seks bebas, sebaliknya makin rendah religiusitas remaja maka makin positif sikapnya terhadap perilaku seks bebas.
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 19 juli 2013 menggunakan Wawancara tentang “tingkat pengetahuan HIV/AIDS” pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang dengan jumlah sampel 20 responden, didapatkan data bahwa 20% berpengetahuan baik dengan kriteria, responden mampu menjawab pertanyaan dengan benar antara 8-10 dari 10 pertanyaan, 45% berpengetahuan cukup dengan kriteria, responden mampu menjawab pertanyaan dengan benar antara 5-7 dari 10 pertanyaan, dan 35% berpengetahuan kurang dengan kriteria, responden hanya mampu menjawab pertanyaan dengan benar <5 dari 10 pertanyaan. Meskipun remaja mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS, belum menjamin remaja tersebut mempunyai tindakan yang positif dalam pencegahan penularan HIV/AIDS. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan “Apakah terdapat Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang ?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian adalah untuk mengetahui “hubungan
antara tingkat religiusitas dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agun g 3 Semarang”.
2. Tujuan Khusus
A. Mengetahui karakteristik responden yang terdiri dari umur dan jenis kelamin
B. Mengetahui tingkat religiusitas pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang.
C. Mengetahui tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang.
D. Mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang.
E. Mengetahui kekuatan hubungan antara tingkat religiusitas dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa di SMA Islam Sultan Agung 3 Semarang.
D. Manfaat penelitian
1. Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi Institusi Pendidikan untuk melakukan peningkatan pendidikan mengenai pemahaman tentang agama ( religiusitas ) di kalangan siswa dan bahaya- bahaya dari HIV/AIDS.
2. Petugas Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas-petugas kesehatan setempat dalam rangka menurunkan angka kejadian penyakit menular seksual (PMS) dan mencegah penyebaran HIV/AIDS.
3. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang untuk dapat melakukan penyuluhan tentang HIV/AIDS di sekolah-sekolah.
4. Peneliti Untuk mengembangkan kemampuan peneliti di bidang penelitian dan mengasah daya analisa peneliti.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Konsep Religiusitas
a. Definisi Religiusitas Religiusitas berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat (Gazalba, 1985). Ini mengandung makna bahwa dalam religi atau agama pada umumnya memiliki aturan- aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya (Wahyuni, 2009).
Religiusitas menujuk pada tingkat keterikatan individu pada agamanya. Hal ini menunjukan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya (Wahyuni, 2009). Religiusitas memiliki pengaruh baik pada sikap dan perilaku manusia (Weaver dan Agle, 2002) dalam (Febby, 2010). Matdarwan (1986) dalam (Febby, 2010) mengemukakan bahwa religure berarati melaksanakan dengan sangat teliti atau dapat pula dirartikan menyatukan diri. Disamping istilah religi sering pula dalam masyarakat digunakan istilah lain, seperti agama (Bahasa Indonesia), dien (Bahasa Arab) atau religion (Bahasa Inggris).
Meskipun masing-masing mempunyai terminologis sendiri-sendiri akan tetapi dalam arti terminologis dan teknis yang berbeda semua istilah tersebut berartikan makna yang sama (Anshari, 1987) dalam (Febby, 2010). Delener (1994) dalam (Febby, 2010) juga mengungkapkan bahwa religiusitas merupakan nilai penting dalam struktur kognitif individu yang dapat mempengaruhi perilaku individu.
Sulaiman (1984) dalam (Febby, 2010) merumuskan secara sederhana pengertian dari religi atau religion yaitu :
1) Percaya pada kekuatan gaib yang mengikuti alam semesta dan bersifat suci
2) Bersikap terhadap kekuatan gaib itu untuk menerima kebaikan- kebaikan dan mencari keselamatan
3) Membentuk pribadi dalam kehidupan karena kepercayaan itu (pada masing-masing kelompok). Menurut Glock & Stark (1986) dalam (Nasikhah, 2013) Religiusitas
adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati dimana di dalamnya terdapat penghayatan dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Kepercayaan ini kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari (Febby, 2010).
b. Dimensi Religiusitas Menurut Glock dalam (Febby, 2010) mengatakan bahwa terdapat lima dimensi dalam religiusitas, yaitu:
1) Religious Belief ( The Ideological Dimension ) Religious belief ( the idiological dimension ) atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Adapun dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan 1) Religious Belief ( The Ideological Dimension ) Religious belief ( the idiological dimension ) atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Adapun dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan
2) Religious Practice ( The Ritual Dimension ) Religious practice ( the ritual dimension ) yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah prilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya (Ancok dan Suroso, 1995)
3) Religious Feeling ( The Experiental Dimension ) Religious Feeling ( The Experiental Dimension ) atau bisa disebut dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan Suroso (1995) mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah. Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat- ayat Al Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
4) Religious Knowledge ( The Intellectual Dimension ) Religious Knowledge ( The Intellectual Dimension ) atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi pengetahuan agama 4) Religious Knowledge ( The Intellectual Dimension ) Religious Knowledge ( The Intellectual Dimension ) atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi pengetahuan agama
5) Religious Effect ( The Consequential Dimension ) Religious effect ( the consequential dimension ) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya. Pendapat itu sesuai dengan lima aspek dalam pelaksanaan ajaran
agama Islam tentang aspek-aspek religiusitas yaitu aspek Iman sejajar dengan religious belief; aspek Islam sejajar dengan religious practice; aspek Ihsan sejajar dengan religious feeling; aspek Ilmu sejajar dengan religious knowladge; dan aspek Amal sejajar dengan religious effect (Subandi, 1988) dalam Wahyuni, (2009).
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
1) Pengalaman Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu. Menurut Hendra (2008), pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahauan, atau pengetahuan itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran 1) Pengalaman Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu. Menurut Hendra (2008), pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahauan, atau pengetahuan itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran
2) Kehidupan Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat (Thouless, 2000) dalam (Febby, 2010), yaitu:
a) Kebutuhan akan keamanan atau keselamatan,
b) Kebutuhan akan cinta kasih,
c) Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan
d) Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.
3) Intelektual Intelektual diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru. Intelektual merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar. Intelektual bagi seseorang merupakan salah satu modal berfikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia mampu menguasai lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan intelektual dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuan (Thouless, 2000) dalam (Febby, 2010).
4) Lingkungan Lingkungan dapat mempengaruhi tingkat religiusitas remaja, baik lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat (sosial) dan lingkungan sekolah.
a) Lingkungan Keluarga Lingkungan
berperan terhadap perkembangan religiusitas siswa seperti hasil penelitian yang ditemukan oleh Yanta, (1995) dalam Wahyuni, (2009) bahwa ada pengaruh konsistensi orang tua dalam mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dengan tingkat religiusitas. Semakin konsisten orang tuanya, maka semakin baik tingkat religiusitas remaja.
keluarga
sangat sangat
c) Lingkungan Sekolah Lembaga sekolah merupakan sistem sosial kecil tempat siswa mempelajari aturan moral, aturan sosial, dan cara bergaul dengan orang lain. Lembaga pendidikan sekolah mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian anak didik terutama aspek religiusitas. Substansial dari tujuan pendidikan itu mencerminkan hakekat
usaha membina dan mengembangkan semua potensi siswa seperti intelektual, keterampilan sosial, dan religiusitas (Wahyuni, 2010).
pendidikan
sebagai
Wahyuni, (2009) dalam penelitiannya menemukan adanya perbedaan religiusitas antara siswa yang belajar di Pesantren, Madrasah Aliyah Negeri (MAN), dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Tingkat religiusitas yang tinggi terdapat pada siswa yang belajar di Pesantren dengan nilai perbedaan 967,875. Religiusitas tingkat menengah adalah siswa yang belajar di MAN dengan nilai perbedaan 684,122. Tingkat religiusitas terendah terdapat pada siswa yang belajar di SMU dengan nilai perbedaan 74,242.
Wahyuni, (2009) mengatakan bahwa lingkungan sekolah merupakan faktor penunjang yang dapat mempengaruhi tingkat religiusitas, karena faktor yang terpenting adalah faktor intern dari siswa itu sendiri seperti motivasi untuk meningkatkan keimanan, peribadatan, pengamalan dan pengetahuan beragama dalam kehidupannya.
5) Pendidikan atau pengajaran Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam perkembangan religiusitas seseorang. Menurut Singgih Gunarsa dalam Puspita, (2012:22), pengaruh pendidikan formal terhadap religiusitas dapat dibangun melalui tiga kelompok, yaitu kurikulum dan siswa, hubungan guru dan siswa, dan hubungan antar siswa. Selain pendidikan formal, pendidikan non formal juga memberi pengaruh dalam perkembangan religiusitas seseorang termasuk pendidikan dari orang tua (Thouless, 2000) dalam (Febby, 2010).
Pendidikan juga dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Mubarak (2007), Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai baru yang diperkenalkan.
2. Tindakan dalam pencegahan HIV/AIDS
a. Definisi tindakan (praktik) Tindakan (praktik) adalah seseorang yang telah mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (di nilai baik) (Notoatmodjo, 2007). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan ( overt behavior ). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap remaja yang sudah positif terhadap pencegahan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) tersebut harus mendapat a. Definisi tindakan (praktik) Tindakan (praktik) adalah seseorang yang telah mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (di nilai baik) (Notoatmodjo, 2007). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan ( overt behavior ). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap remaja yang sudah positif terhadap pencegahan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) tersebut harus mendapat
b. Tingkatan tindakan atau praktik Tingkatan tindakan terbagi menjadi (Notoatmodjo, 2007) :
1) Persepsi ( Perception ) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya remaja dapat memilih perilaku yang dapat menghindarkan diri dari infeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ).
2) Respon Terpimpin ( Guided Respons ) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indicator praktik tingkat dua. Misalnya, proses-proses perjalanan HIV dari proses stadium 1, stadium 2, stadium 3 hingga stadium 4, dan sebagainya.
3) Mekanisme ( Mecanism ) Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Misalnya, seorang remaja dalam upaya melakukan pencegahan agar tidak tertular penyakit Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).
4) Adaptasi ( Adaptation ) Adaptasi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.
c. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah HIV/AIDS belum ditemukan, maka alternatif untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS yang terus meningkat ini adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat dalam c. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah HIV/AIDS belum ditemukan, maka alternatif untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS yang terus meningkat ini adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat dalam
1) Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus HIV/AIDS, sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Ada 3 pola pencegahan virus HIV:
a) Pencegahan melalui hubungan seksual HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara:
1) Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.
2) Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV ( monogami ).
3) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
4) Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.
5) Tidak melakukan hubungan anogenital.
6) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV (Siregar, 2004).
b) Pencegahan melaui darah Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah: (1) Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas
HIV dengan jalan memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.
(2) Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus di buang.
(3) Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan
secara baku setiap kali habis dipakai. (4) Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan secara baku. (5) Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.
(6) Gunakan jarum suntik sekali pakai ( disposable ). (7) Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV (Siregar,
c) Pencegahan melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil.
2) Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan orang asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri ke suami dianggap sama (Siregar, 2004).
Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi hubungan seksual yang dilakukan suami istri. Mengingat masalah seksual masih merupakan barang tabu di Indonesia, karena norma- norma budaya dan agama yang masih kuat, sebetulnya masyarakat kita tidak perlu risau terhadap penyebaran virus AIDS. Namun demikian kita tidak boleh lengah sebab negara kita merupakan negara terbuka dan sangat rentan terhadap penularan penyakit AIDS (Siregar, 2004).
Upaya jangka panjang yang harus dilakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab, yang meliputi tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV ( monogamy ), menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila, menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra seksual, mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin, hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS, tidak melakukan hubungan anogenital Upaya jangka panjang yang harus dilakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab, yang meliputi tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV ( monogamy ), menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila, menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra seksual, mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin, hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS, tidak melakukan hubungan anogenital
Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-tokoh agama, penyebarluasan informasi tentang AIDS dengan bahasa agama, melalui penataran dan lain-lain yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-norma agama menuju perilaku seksual yang bertanggung jawab. Dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit AIDS di Indonesia.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan pencegahan HIV/AIDS
1) Faktor Internal
a) Umur Pada umur muda lebih dimungkinkan banyak melakukan perilaku seks tidak aman yang beresiko terhadap penularan HIV/AIDS, karena pada golongan umur muda merupakan masa penemuan, muncul perasaan bebas dan eksplorasi hubungan dan perilaku baru. Dalam artian kalangan muda mengambil risiko dan pengalaman, terutama pada perilaku seksual yang merupakan bagian terpenting dari risiko infeksi HIV dan melakukan tindakan mencoba-coba dengan memakai narkoba (Stine, 2011). Pada hasil analisis statistik oleh Kambu, (2012) menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara umur dengan tindakan pencegahan penularan HIV ( P =0,040).
b) Pengetahuan tentang HIV/AIDS Pada siswa yang memiliki pengetahuan yang baik tentunya akan berusaha untuk mempraktikkan apa yang telah diketahui berkaitan dengan penyakit HIV/AIDS beserta bahaya dan faktor-faktor penyebabnya. Berdasarkan penelitian Singale (2012), menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa SMK Negeri 3 Tahuna ( p= 0.000 ).
Penelitian ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Muhlisin (2009), yang juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada anak remaja usia sekolah. Hal ini berarti bahwa semakin baik pengetahuan tentang HIV/AIDS, maka semakin baik pula tindakan pencegahannya dan sebaliknya.
c) Sikap terhadap HIV/AIDS Sikap menggambarkan reaksi atau respon tertutup dari responden terhadap penyakit HIV/AIDS. Singale (2012), dalam penelitiannya menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara sikap terhadap HIV/AIDS dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada siswa SMK Negeri 3 Tahuna ( p= 0.000 ).. Penelitian ini sejalan juga dengan yang diungkapkan oleh Muhlisin (2009), yang juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sikap terhadap HIV/AIDS dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS pada anak remaja usia sekolah.
2) Faktor Eksternal
a) Lingkungan Keluarga Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang disharmoni keluarga maka resiko anak untuk berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (Penelitian & Pengembangan Kab. Pati, 2013). Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli, antara lain: (1) Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation,
divorce ). Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga tanpa ayah lebih mungkin untuk mencari hubungan seks bebas sebagai alat untuk menemukan afeksi dan persetujuan sosial, dari pada remaja yang tumbuh dengan adanya ayah. Peran ayah sebagai figur yang disegani dan divorce ). Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga tanpa ayah lebih mungkin untuk mencari hubungan seks bebas sebagai alat untuk menemukan afeksi dan persetujuan sosial, dari pada remaja yang tumbuh dengan adanya ayah. Peran ayah sebagai figur yang disegani dan
(2) Kesibukan orang tua yang menyebabkan ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dengan anak di rumah. Pada keluarga yang berada di kota besar, merupakan suatu pola kehidupan yang wajar dimana ayah dan ibu bekerja. Hal tersebut seringkali mengakibatkan kehidupan anak-anak mereka kurang mendapatkan pengawasan orang tua dan memiliki kebebasan yang terlalu besar termasuk kebebasan dalam mengeksplorasi masalah seksual. Padahal ekspresi kebebasan mereka masih membutuhkan bimbingan agar tetap sesuai dengan standar nilai yang baik dan benar.
(3) Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu- anak) yang tidak baik (buruk). Baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih menganggap tabu mengenai seks menyebabkan orang tua tidak terbuka untuk membicarakan masalah seks pada anaknya. Padahal disaat ini dunia remaja semakin mencari kebebasan. Hal ini cenderung membuat anak mencari informasi mengenai seksual dari sumber lain, misal teman atau internet.
(4) Substitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak, dalam bentuk materi dari pada kejiwaan (psikologis).
b) Teman sebaya ( Peers Group ) Remaja cenderung untuk membuat standar seksual sesuai dengan standar teman sebaya secara umum. Pengaruh kelompok teman sebaya pada perilaku seksual remaja terjadi melalui dua cara yang berbeda namun saling mendukung. Pertama, ketika kelompok teman sebaya melakukan seks bebas, mereka menciptakan suatu standar normatif bahwa hubungan seks bebas adalah suatu yang dapat diterima. Kedua, teman sebaya menyebabkan perilaku seksual satu sama lainnya secara b) Teman sebaya ( Peers Group ) Remaja cenderung untuk membuat standar seksual sesuai dengan standar teman sebaya secara umum. Pengaruh kelompok teman sebaya pada perilaku seksual remaja terjadi melalui dua cara yang berbeda namun saling mendukung. Pertama, ketika kelompok teman sebaya melakukan seks bebas, mereka menciptakan suatu standar normatif bahwa hubungan seks bebas adalah suatu yang dapat diterima. Kedua, teman sebaya menyebabkan perilaku seksual satu sama lainnya secara
c) Pacar Remaja yang memiliki pacar lebih mungkin untuk melakukan hubungan seks bebas dibanding remaja yang belum memiliki pacar. Remaja yang memiliki kencan lebih awal atau cepat dari remaja yang seumurannya memiliki kemungkinan untuk bersikap permisif dalam hubungan seks bebas, memiliki hubungan dengan lebih banyak pasangan dari pada mereka yang mulai pacaran pada usia dewasa (Penelitian & Pengembangan Kab. Pati, 2013). Sementara menurut Rosyidah, (2011) bahwa transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks bebas.
d) Sekolah Kementrian Pendidikan Nasional RI (2009) dalam Indonesian National Commission for UNESCO, mengatakan bahwa sekolah dan guru memiliki peran penting dalam membangun generasi muda masa depan yang terbebas dari HIV. Sekolah memainkan peranan penting dalam pembentukan sikap, cara pandang dan perilaku generasi muda. Sementara itu HIV dan AIDS telah ada di hampir setiap negara di dunia. Karena orang muda umumnya kurang informasi dan cenderung suka bereksperimen dengan perilaku baru yang berisiko tinggi, maka mereka biasanya lebih cepat tertular virus daripada kelompok usia yang lebih tua.