KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KUMPULAN CERPEN SEPOTONG BIBIR PALING INDAH DI DUNIA KARYA AGUS NOOR

DALAM KUMPULAN CERPEN SEPOTONG BIBIR PALING INDAH DI DUNIA KARYA AGUS NOOR SKRIPSI

Oleh:

NIKEN SARASVATI DEVI

K1207003

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Oktober 2012

Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Niken Sarasvati Devi NIM : K1207003 Jurusan/Program Studi : PBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ”KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN SEPOTONG BIBIR PALING INDAH DI DUNIA KARYA AGUS NOOR” ini benar- benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Oktober 2012

Yang membuat pernyataan

Niken Sarasvati Devi

KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KUMPULAN CERPEN SEPOTONG BIBIR PALING INDAH DI DUNIA KARYA AGUS NOOR

Oleh: NIKEN SARASVATI DEVI K1207003

Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Oktober 2012

Niken Sarasvati Devi. KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KUMPULAN CERPEN SEPOTONG BIBIR PALING INDAH DI DUNIA KARYA AGUS NOOR. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Oktober. 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi ikon, indeks,

dan simbol yang ada di dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor; (2) menganalisis makna yang ada di balik ikon, indeks, simbol; (3) mendeskripsikan serta mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan dalam karya tersebut.

Penelitian ini beruapa penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari dokumen (Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor) dan informan (beberapa pembaca karya tersebut, dan sastrawan). Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi (content analysis) . Validitas data menggunakan teknik triangulasi metode dan triangulasi sumber. Analisis data menggunakan teknik pembacaan hermeneuitik atau retroaktif. Prosedur yang digunakan adalah analisis model interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam karya tersebut, ikon, indeks, dan simbol yang teridentifikasi sebagai berikut: ikon yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini berupa ikon metaforis, indeks dalam karya tersebut berupa indeks yang memiliki hubungan dengan teks dalam teks, dan simbol yang terdapat dalam karya tersebut berupa simbol yang diwakilkan oleh suatu benda dan gerakan tubuh para tokoh.

Simpulan dari penelitian ini adalah ikon metaforis yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini memiliki makna konotasi tertentu dari apa yang disebutkan (sesuai dengan konteks cerita). Indeks yang memiliki kaitan dengan teks dalam teks memiliki makna yang dikelompokkan menjadi tiga macam, antara lain bermakna penggambaran perasaan para tokoh dalam cerita, penggambaran latar tempat dan suasana dalam cerita, dan penggambaran watak para tokoh dalam cerita. Simbol yang diwakili oleh benda bermakna terjadinya suatu peristiwa (kematian) dan simbol berupa gerakan tubuh merupakan ekspresi yang mewakili perasaan para tokoh. Nilai- nilai pendidikan pada karya tersebut, antara lain nilai agama mengajarkan untuk selalu mengingat Tuhan dan datangnya kematian, tabah dalam menjalani ujian dan ketentuan Tuhan. Nilai sosial, tentang toleransi terhadap orang lain serta kritik sosial terhadap pemerintah dalam menangani ketimpangan sosial yang semakin tajam. Nilai moral, tentang kejujuran dan kebenaran dalam setiap langkah diambil. Nilai estetis, keindahan latar tempat yang digambarkan pengarang.

Kata kunci: kajian semiotik, sepotong bibir paling indah di dunia, nilai pendidikan.

MOTTO

Tidak semua hal dapat disampaikan dengan gamblang dan lugas. Terkadang kita membutuhkan tanda atau lambang untuk menunjukkan sikap etis dan estetis. (Penulis)

PERSEMBAHAN

Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

”Bapak dan Ibu”

Doamu yang tiada terputus, kerja keras tiada henti, pengorbanan yang tak terbatas dan kasih sayang tidak terbatas pula. Semuanya membuatku bangga memiliki kalian. Tiada kasih sayang yang seindah dan seabadi kasih sayangmu.

“ Saudara-saudaraku, Puthut Widyawan, Bayu Murti Sulaiman, dan

Ayusta Sri Nurhayati”

Terima kasih karena senantiasa memberikan semangat dan nasihat

untuk terus melakukan yang terbaik.

”Segenap keluarga Siti Soetardjo” Terima kasih atas semangat, pengertian, dan doa yang tercurah untukku agar bisa mencapai impian yang juga menjadi harapan kalian semua.

”Ranin Agung Kurniawan”

Terima kasih atas perhatian, pengertian, dan doamu yang tercurah untukku agar bisa menjadi seseorang yang kuat menghadapi

kehidupan.

”Teman-teman Bastin” Terima kasih karena telah membuatku menjadi lebih dewasa.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN SEPOTONG BIBIR PALING INDAH DI DUNIA KARYA AGUS NOOR”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah memberikan persetujuan skripsi;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

4. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M. Hum., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik;

5. Dr. Suyitno, M. Pd., Pembimbing Akademik, yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS;

Indonesia yang telah tulus memberikan ilmu dan masukan-masukan pada penulis;

7. Bapak Hanindawan, Leak Sosiawan, Rudy A.Nugroho, Bayu Murti Sulaiman, Bapak Yayat Suhiryatna, Ranin Agung Kurniawan, Yunita N.K, Fatima Z., Asri Puspitaningtyas, Tyas Sri U., atas waktu yang diluangkan untuk menjadi narasumber;

8. Rekan-rekan Bahasa dan Sastra Indonesia 2007 yang tidak dapat saya sebutkan satu demi satu yang telah membantu dan membersamai selama menjadi mahasiswa dan dalam menyelesaikan skripsi ini;

9. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

karenaa keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Oktober 2012

Penulis,

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………209

Gambar Halaman

1. Skema Tipologi Dasar Peirce…………………………………… 16

2. Skema Kerangka Pemikiran………………………………. …… 32

3. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif Milles dan Huberman……………………………………………………….. 37

Tabel Halaman

1. Trikotomi Peirce .................................................................. 18

2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan………………………... 33

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman

1. Sinopsis Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia…….209

2. Catatan Lapangan Hasil Wawancara dengan Dosen UPI Bandung ……213

3. Catatan Lapangan Hasil Wawancara dengan Sastrawan………………..215

4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara dengan Pembaca…………………219

5. Catatan Lapangan Hasil Wawancara dengan Sastrawan untuk Validasi Data……………………………………………………………………...223

6. Profil Agus Noor…………………………………………………………240

7. Surat Keputusan Dekan FKIP…………………………………………...241

8. Surat Permohonan Izin Menyusun Skripsi……………………………...242

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Apresiasi sastra merupakan salah satu mata kuliah yang diajarkan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di perguruan tinggi yang memiliki fungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa kemanusiaan, kepedulian sosial, dan menumbuhkan apresiasi mahasiswa. Hal tersebut sesuai dengan rasional dalam mata kuliah Apresiasi dan Pengkajian Prosa Fiksi yang menyebutkan bahwa mata kuliah tersebut diberikan pada mahasiswa untuk meningkatkan dan mengembangkan kepribadian, keilmuan, keterampilan akademik dan bermasyarakat khususnya dalam bidang keterampilan mengapresiasi prosa fiksi dalam khasanah sastra Indonesia dengan berbagai metode pengkajian (2004: 69). Dalam mengapresiasi sastra terdapat beberapa pendekatan, antara lain, yaitu pendekatan struktural (strukturalisme), pendekatan strukturalisme genetik, pendekatan semiotik, pendekatan strukturalisme semiotik, pendekatan intertekstual, pendekatan resepsi, pendekatan post- strukturalisme, pendekatan sosiologi sastra, pendekatan psikologi sastra, dan pendekatan feminis. Melalui pendekatan-pendekatan sastra tersebut, mahasiswa diajak untuk memahami, menikmati, dan menghayati karya sastra, salah satunya yaitu cerpen.

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang tidak hanya memberikan hiburan semata, tetapi juga sebagai media pembelajaran mengenai kehidupan yang terkandung dalam amanat atau pesan dari karya sastra tersebut sehingga pembaca bisa mendapatkan pengetahuan baru mengenai sesuatu hal melalui karya sastra yang dibacanya. Salah satu yang termasuk karya sastra, yaitu cerpen. Sebagai salah satu karya sastra, cerpen diharapkan mampu membentuk pemikiran-pemikiran yang positif bagi pembacanya sehingga pembaca peka terhadap masalah-masalah yang

Selain itu, cerpen dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk mencari pengalaman karena di dalam cerpen terkandung nilai-nilai kehidupan, pendidikan, serta pesan moral. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Teeuw dalam Ratna (2005:4-5) berpendapat bahwa sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar. Lebih lanjut, Ratna (2005:447) mengungkapkan bahwa karya sastra dan ekspansi pendidikan secara etimologis, sastra juga berarti alat untuk mendidik lebih jauh, dikaitkan dengan pesan dan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana etika.

Cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor bisa dijadikan sebagai salah satu bahan ajar apresiasi sastra di perguruan tinggi, karena cerpen-cerpen yang ada di dalamnya memuat nilai-nilai kehidupan yang terbingkai dalam kisah seseorang dari lingkup yang kecil sampai dengan lingkup yang besar. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Dosen Bahasa dan Sastra UPI, Rudy Adi Nugroho ketika peneliti mewawancarai, “Dengan kualitas permainan tanda yang dihadirkan pengarang dalam kumpulan cerpen tersebut, saya kira sangat potensial sekali karya ini menjadi bahan ajar untuk mata kuliah kajian prosa fiksi khususnya terkait materi tentang kajian semiotik”.

Selain itu, cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor juga menyajikan dunia rekaan yang menyentak realitas keseharian dan memiliki nilai-nilai reflektif atas realitas sosial. Dari segi penyampaiannya, Agus Noor menggunakan cara ungkap yang menarik, yaitu dengan nuansa surealis dan jenaka. Teks dalam cerpen Agus Noor menghadirkan eksplorasi bahasa yang meluapkan keserbamungkinan makna, sekaligus menyajikan realitas imajinasi yang bisa disentuh oleh pembacanya. Nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen-cerpen tersebut salah satunya, yaitu rasa ikhlas Selain itu, cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor juga menyajikan dunia rekaan yang menyentak realitas keseharian dan memiliki nilai-nilai reflektif atas realitas sosial. Dari segi penyampaiannya, Agus Noor menggunakan cara ungkap yang menarik, yaitu dengan nuansa surealis dan jenaka. Teks dalam cerpen Agus Noor menghadirkan eksplorasi bahasa yang meluapkan keserbamungkinan makna, sekaligus menyajikan realitas imajinasi yang bisa disentuh oleh pembacanya. Nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen-cerpen tersebut salah satunya, yaitu rasa ikhlas

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pembaca, penggunaan tanda-tanda atau simbol dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor tersebut membuat pembaca sulit memahami atau mengerti isi dan pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Banyak hal-hal yang tidak terungkap secara gamblang sehingga menyebabkan pembaca kebingungan dalam menafsirkan, apalagi pada pembaca yang tingkat pemahamannya terhadap suatu karya sastra masih rendah.

Berdasarkan beberapa penelitian yang mengkaji tentang unsur- unsur semiotik yang meliputi ikon, indeks, dan simbol yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Daru Roseno, Bambang Purwoko, Sadewo Wahyu Wardoyo, Ranin Agung Kurniawan, dan Yunita Nurul Khomsah, sedangkan penelitian pada Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah karya Agus Noor belum pernah dilakukan. Bertolak dari fakta tersebut peneliti tertantang untuk mengupas lebih dalam kumpulan cerpen tersebut yang berkaitan dengan unsur-unsur semiotik yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor. Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka peneliti mengangkat judul Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Unsur ikon, indeks, dan simbol apakah yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor?

2. Apakah makna yang terdapat di balik unsur ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor ?

3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan unsur ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor

2. Mendeskripsikan makna yang terdapat di balik unsur ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor.

3. Mendeskripsikan keterkaitan nilai yang terkandung dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor dengan pendidikan karakter di sekolah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan, yaitu mengetahui dan menemukan unsur-unsur semiotik yang di antaranya, yaitu ikon, indeks, dan simbol yang terdapat pada Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor.

manfaat sebagai berikut:

a. Bagi Dosen

Memberikan satu alternatif karya sastra yang bisa dijadikan bahan ajar apresiasi sastra di perguruan tinggi khususnya dengan menggunakan kajian semiotik.

b. Bagi Mahasiswa

Membantu mahasiswa untuk memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra khususnya cerpen yang berkaitan dengan unsur- unsur semiotik yang meliputi ikon, indeks, dan simbol.

c. Bagi Pembaca

Membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur semiotik yang meliputi ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam karya sastra.

d. Bagi Peneliti

Menambah wawasan tentang kajian semiotik dalam suatu karya sastra khususnya cerpen.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Cerpen

a. Pengertian Cerpen Cerpen adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa dengan ukuran yang pendek dan tentunya juga terdapat unsur-unsur yang membangun, karena memiliki kisah yang pendek, konflik yang terdapat di dalamnya pun tidak banyak dan cenderung fokus pada satu permasalahan saja, seperti yang diungkapkan oleh Gie dan Widyamartaya bahwa cerita pendek adalah cerita imajinatif yang berbentuk prosa pendek, biasanya di bawah 10.000 kata, dan mengandung kesan yang kuat serta mengandung unsur-unsur drama (dalam Rampan, 1995:10).

Senada dengan pendapat di atas, pandangan Asura tidak jauh berbeda dengan Gie dan Widyamartaya dalam mendefinisikan cerita pendek, yaitu sama-sama memberi tekanan pada satu kesan atau efek yang kuat serta fokus dalam penceritaan dalam suatu cerita pendek. Asura mengungkapkan bahwa prinsip dasar dari sebuah cerita pendek jika dibandingkan dengan karya sastra yang lain, yaitu cerita pendek harus memberi satu efek atau kesan pada pembaca setelah membacanya (2007:43).

Pandangan Sumardjo dan Saini mengenai cerpen lebih memfokuskan tentang asal atau inspirasi cerita pendek itu tercipta, Sumardjo dan Saini berpendapat mengenai cerpen, yaitu cerpen bukanlah cerita yang diciptakan berdasarkan kejadian yang sesungguhnya atau sesuai kenyataan tetapi hanya cerita yang imajinatif saja, meskipun cerita imajinatif tetapi ide atau cerita dalam cerpen diambil dari kehidupan (1988:36). Begitu juga seperti yang dipaparkan oleh Yudiono Ks. mengenai cerpen tidak jauh berbeda dengan pandangan Jakob Sumarjo dan Saini, yaitu lebih menekankan pada asal atau sumber cerita yang diangkat dalam cerpen, yang membedakan pendapat keduanya, yaitu Yudiono Ks. juga menyoroti pentingnya keberadaan tokoh dan unsur pembangun karya sastra lainnya, seperti yang ia paparkan, yaitu Pandangan Sumardjo dan Saini mengenai cerpen lebih memfokuskan tentang asal atau inspirasi cerita pendek itu tercipta, Sumardjo dan Saini berpendapat mengenai cerpen, yaitu cerpen bukanlah cerita yang diciptakan berdasarkan kejadian yang sesungguhnya atau sesuai kenyataan tetapi hanya cerita yang imajinatif saja, meskipun cerita imajinatif tetapi ide atau cerita dalam cerpen diambil dari kehidupan (1988:36). Begitu juga seperti yang dipaparkan oleh Yudiono Ks. mengenai cerpen tidak jauh berbeda dengan pandangan Jakob Sumarjo dan Saini, yaitu lebih menekankan pada asal atau sumber cerita yang diangkat dalam cerpen, yang membedakan pendapat keduanya, yaitu Yudiono Ks. juga menyoroti pentingnya keberadaan tokoh dan unsur pembangun karya sastra lainnya, seperti yang ia paparkan, yaitu

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai cerpen yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cerpen adalah cerita imajinatif berbentuk prosa pendek yang kisahnya diambil atau diangkat dari kehidupan dan dibawakan oleh tokoh-tokoh serta didukung oleh unsur-unsur yang membangun karya sastra yang lainnya, karena bentuknya yang pendek atau ruangnya yang sempit sehingga memberikan atau menghadirkan satu kesan yang kuat atau fokus terhadap pembacanya.

b. Unsur-unsur Pembangun Cerpen Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dapat dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah tema cerita, amanat, peristiwa cerita atau alur, penokohan dan perwatakan, latar cerita, sudut pandang pencerita, dan gaya pengarangnya.

1) Tema Cerita Tema cerita adalah ide dari sebuah cerita atau gagasan yang membawa cerita dalam cerpen sesuai dengan keinginan pengarangnya. Sumardjo dan Saini memaparkan bahwa kisah dan perbuatan dari tokoh merupakan ide dari pengarang sesuai pandangannya mengenai kehidupan ini sehingga diharapkan pembaca dapat memahami hidup ini lebih baik lagi (1988:56).

Stanton dan Kenny mengemukakan tentang definisi tema (dalam Sri Wahyuningtyas dan Wijaya Heru S., 2011:2) adalah “Makna yang dikandung oleh sebuah cerita.” Tidak jauh berbeda dengan pendapat yang disampaikan Stanton dan Kenny mengenai tema, Hartoko dan Rahmanto pun menyoroti makna yang terkandung dalam suatu karya sastra melalui tema. Hartoko dan Rahmanto (dalam Sri Wahyuningtyas, dkk., 2011:2) menyebutkan bahwa tema merupakan ide dasar yang menyangga cerita dalam karya sastra yang didalam teksnya terkandung unsur makna atau semantis.

memaparkan bahwa tema adalah ide, gagasan, atau fokus utama yang mendasari karya sastra (1988: 50). Pendapat Sudjiman ini hampir sama dengan pendapat beberapa ahli yang telah disebutkan sebelumnya secara umum, yaitu menyoroti tema sebagai gagasan dasar suatu karya sastra.

Berdasarkan beberapa pendapat yang mengungkapkan tentang tema di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan dasar atau utama yang mendasari suatu cerita dalam karya sastra yang dapat diambil dari pandangan pengarang mengenai kehidupan ini yang kemudian disampaikan melalui teks sehingga mengandung makna atau hikmah yang diharapkan dapat disikapi oleh pembaca agar memaknai hidup dengan lebih baik.

2) Amanat Dalam sebuah karya sastra, pastinya pengarang menyisipkan pesan yang ingin disampaikan pada pembaca melalui karya sastranya. Sudjiman menyebutkan bahwa amanat adalah ajaran moral yang diangkat ke dalam cerita yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca (1988: 57).

Amanat terdapat pada sebuah karya sastra dapat disampaikan secara implisit ataupun eksplisit. Sudjiman menyebutkan bahwa jika ajaran moral itu disampaikan secara tidak langsung melalui tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita disebut implisit, sedangkan eksplisit jika pada tengah atau akhir cerita amanat disampaikan secara langsung melalui nasihat, atau yang lainnya yang berkenaan dengan gagasan dasar cerita itu (1988: 58).

3) Peristiwa Cerita atau Alur Peristiwa cerita adalah alur atau jalannya penceritaan. Semi menyebutkan bahwa alur adalah kerangka utama cerita yang terpadu dengan unsur-unsur pembangun cerita yang lainnya (1988:43). Tidak jauh berbeda dengan Semi, Stanton (dalam Sri Wahyuningtyas,dkk., 2011: 5-6) menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi kejadian yang runtut 3) Peristiwa Cerita atau Alur Peristiwa cerita adalah alur atau jalannya penceritaan. Semi menyebutkan bahwa alur adalah kerangka utama cerita yang terpadu dengan unsur-unsur pembangun cerita yang lainnya (1988:43). Tidak jauh berbeda dengan Semi, Stanton (dalam Sri Wahyuningtyas,dkk., 2011: 5-6) menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi kejadian yang runtut

Berdasarkan pemaparan pendapat para ahli di atas, masing-masing pendapat secara umum sama-sama menyoroti alur sebagai susunan atau kerangka yang terdapat kejadian yang runtut, yang membedakan ketiganya, yaitu Semi lebih menekankan bahwa alur merupakan keterpaduan antara cerita dengan unsur-unsur pembangun cerita yang lainnya, sedangkan Stanton memfokuskan pada hubungan sebab akibat disetiap urutan kejadiannya. Berbeda juga dengan pendapat Abrams, dia lebih menegaskan pada pencapaian efek emosional dan artistik tertentu yang ditimbulkan dari alur cerita.

Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai alur cerita, yaitu susunan atau kerangka kejadian dalam cerita yang runtut dan memiliki hubungan sebab akibat. Selain itu, kejadian yang runtut tersebut memiliki tujuan untuk menimbulkan efek emosional dan artistik tertentu sehingga tercipta keterpaduan antara unsur pembangun cerita yang lainnya.

Telah diungkapkan sebelumnya bahwa di dalam cerpen memiliki konflik atau kesan yang kuat dan fokus sehingga alur yang terdapat dalam cerpen pun tidak banyak atau tunggal seperti yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro, alur cerpen pada umumnya tunggal yang terdiri dari satu urutan kejadian saja dan cenderung tidak berisi penyelesaian yang jelas atau bisa disebut menggantung, penyelesaian diserahkan pada interpretasi pembaca (2007:12). Di sinilah kelebihan dari cerpen, yaitu memberikan Telah diungkapkan sebelumnya bahwa di dalam cerpen memiliki konflik atau kesan yang kuat dan fokus sehingga alur yang terdapat dalam cerpen pun tidak banyak atau tunggal seperti yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro, alur cerpen pada umumnya tunggal yang terdiri dari satu urutan kejadian saja dan cenderung tidak berisi penyelesaian yang jelas atau bisa disebut menggantung, penyelesaian diserahkan pada interpretasi pembaca (2007:12). Di sinilah kelebihan dari cerpen, yaitu memberikan

Semi (1988: 44), pada umumnya alur cerita rekaan terdiri dari a) alur buka, ketika kejadian-kejadian dimulai dan berkelanjutan; b) alur tengah, ketika konflik mulai bergerak ke arah puncak; c) alur puncak, konflik sudah mencapai pada titik klimaks; d) alur tutup, konflik mulai ada penyelesaian. Pandangan tersebut tidak jauh berbeda seperti yang disampaikan oleh Tasrif (dalam Sri Wahyuningtyas, dkk., 2011: 6) membedakan tahapan plot menjadi lima tahap, yaitu: “a) situation (penyituasian); b) generating circimtances (pemunculan konflik); c) rising action (peningkatan konflik); d) climax (memuncak); e) denouement (penyesuaian)”. Melihat kedua pendapat tersebut sebenarnya secara umum hampir sama, perbedaan hanya terdapat pada tahap denouement (penyesuaian) setelah konflik mencapai puncak yang disebutkan oleh Tasrif, penyesuaian yang dimaksud adalah penyesuaian terhadap konflik yang sedang memuncak dalam cerita.

4) Penokohan dan Perwatakan Penokohan dan perwatakan merupakan dua hal yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena di dalam tokoh terdapat watak tertentu. Nurgiyantoro menyebutkan bahwa tokoh atau penokohan lebih menunjuk pada orang atau pelaku cerita, sedangkan watak menunjuk pada sikap atau tingkah laku tokoh tersebut (2007:165). Demikian juga seperti pendapat yang dipaparkan oleh Abrams, (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang-orang yang disajikan dalam karya naratif atau drama, lalu ditafsirkan oleh pembaca memiliki sikap moral tertentu yang dapat dinilai atau dilihat melalui ucapan dan tindakan. Kedua pendapat tersebut secara umum hampir sama hanya saja Abrams juga menekankan penafsiran pembaca sebagai penentu gambaran tokoh dalam cerita yang dibacanya.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam cerita naratif dan Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam cerita naratif dan

Tokoh-tokoh dalam cerita dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu: a) tokoh utama dan tambahan; b) tokoh protagonis dan antagonis; c) tokoh sederhana dan bulat; d) tokoh statis dan berkembang; e) tokoh tipikal dan netral (Nurgiyantoro, 2007: 176). Penokohan dan perwatakan ini merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah karya prosa fiksi amat penting dan bahkan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan. Arti penting dari kehadiran tokoh di dalam karya fiksi, yaitu menjadi pelaku dari pemikiran pengarangnya, seperti yang diungkapkan oleh Semi bahwa tokoh dalam cerita berperan untuk membawakan suatu watak tertentu sesuai keinginan pengarang dan dapat dideksripsikan melalui tingkah laku yang dilakukan tokoh (1993:37).

Hal tersebut senada dengan pendapat Sumardjo dan Saini hanya saja beliau lebih memberikan rincian mengenai tingkah laku tokoh yang dapat dijadikan cerminan watak yang dimiliki tokoh tersebut. Sumardjo dan Saini memaparkan mengenai cara mengenali karakter dalam sebuah cerita, yaitu: a) melalui apa yang diperbuatnya; b) melalui ucapannya; c) melalui penggambaran fisik tokoh; d) melalui pikiran-pikirannya; e) melalui penerangan langsung(1988:65-66).

Teknik penggambaran tokoh menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Sri Wahyuningtyas, dkk., 2011: 4-5) dibedakan menjadi dua cara, yaitu secara analitik dan dramatik. Analitik adalah penggambaran tokoh dengan cara pemaparan secara langsung dan dramatik adalah penggambaran tokoh melalui teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus dan kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, penggambaran latar, dan penggambaran fisik.

Abrams memaparkan bahwa latar cerita, memiliki pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial yang ditampilkan (dalam Nurgiyantoro, 2007:216). Hal tersebut juga disebutkan oleh Sumardjo dan Saini, latar cerita adalah penggambaran tentang tempat atau daerah tertentu, orang-orang berwatak tertentu karena pengaruh lingkungan tempat mereka tinggal (1988:76). Tata cara kehidupan sosial masyarakat yang mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan dan pandangan hidup dapat dilihat dari latar ceritanya Hal tersebut juga dikatakan oleh Nurgiyantoro yang membedakan latar menjadi tiga unsur pokok, yaitu: a) latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa cerita; b) latar waktu, menyaran pada kapan terjadinya peristiwa cerita; c) latar sosial, menyaran pada hal yang berhubungan dengan perilaku masyarakat di suatu tempat dalam cerita (dalam Sri Wahyuningtyas, dkk., 2011: 7).

Berdasarkan ketiga pendapat mengenai latar tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa latar adalah perwujudan atau penggambaran tempat, waktu, dan lingkungan sosial yang mengiringi tokoh dalam cerita. Melalui latar, pembaca dapat membayangkan situasi atau deskripsi tempat para tokoh diceritakan.

6) Sudut Pandang Pencerita Nurgiyantoro (2007:18) mengungkapkan bahwa sudut pandang adalah titik sentral dari mana cerita dikisahkan. Senada dengan pendapat yang dikemukakan Abrams bahwa sudut pandang pencerita adalah pandangan yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (dalam Nurgiyantoro, 2007:248). Kedua pendapat mengenai sudut pandang tersebut sama-sama memberi tekanan pada cara yang digunakan pengarang dalam memandang cerita yang diciptakan.

bahwa sudut pandang pencerita adalah cara pandang pengarang untuk menceritakan cerita yang diciptakannya. Selain itu, dari sudut mana pengarang tersebut memandang sekaligus menampilkan tokoh, tindakan, latar dan berbagai kejadian yang terdapat dalam cerita.

Sudut pandang pencerita dipilih oleh pengarang sesuai dengan pandangan pengarang mengenai cerita yang diciptakannya melalui karakter yang dia inginkan. Ada empat point of view yang asasi menurut Sumardjo dan Saini (1988: 83-85) adalah,

a)omniscient point of view (sudut pandang yang berkuasa), pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya; b) objective point of view, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti penonton melihat pementasan sandiwara; c) point of view orang pertama, bercerita dengan sudut pandang “aku”; d) point of view peninjau, pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita.

Pendapat tersebut sama dengan Semi (1988: 57) mengenai sudut pandang bahwa sudut pandang pengarang juga terdapat empat jenis, yaitu:

a) pengarang sebagai tokoh pencerita; b) pengarang sebagai tokoh sampingan; c) pengarang sebagai orang ketiga (pengamat); d) pengarang sebagai pemain dan narator. Berdasarkan penjelasan di atas, pengarang memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang sebagai teknik ketika ia menceritakan cerita karangannya.

7) Gaya Pengarang Gaya pengarang merupakan cara pengarang dalam menggunakan bahasa dalam mengisahkan cerita yang diciptakannya. Sumardjo dan Saini mengungkapkan bahwa gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang dalam memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakannya dalam sebuah cerpen (1988:92). Dengan demikian, gaya merupakan cerminan dari pribadi pengarang yang dituangkan dalam cerita karangannya.

Dalam dunia sastra, gaya penyampaian atau gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang tentunya memiliki tujuan tertentu yang

Tetapi, gaya dalam hal ini lebih luas dari gaya seperti gaya bahasa metafora, personifikasi, dan sebagainya. Gaya di sini meliputi penggunaan kalimat, penggunaan dialog, penggunaan detail, cara memandang seseorang (pengarang), dan sebagainya. Semi mengungkapkan, perbedaan penggunaan gaya penyampaian dalam karya sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: a) pribadi penutur, pengalaman dan pengetahuannya;

b) tujuan yang hendak dicapai; c) topik yang ditampilkannya; d) bentuk tutur yang dipilihnya; dan e) kondisi penangkap tutur yang dihadapi (1993: 48). Melalui gaya penyampaian pengarang dalam menciptakan karyanya mendukung tujuan yang ingin disampaikan pada pembaca.

2. Hakikat Semiotik

a. Pengertian Semiotik Secara definitif, Cobley dan Janz menyebutkan bahwa semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda (dalam Ratna, 2011: 97) di sini Cobley dan Janz berpandangan bahwa semiotika adalah penafsir tanda yang berarti sesuatu yang dijadikan alat untuk menafsirkan atau mengartikan tanda, lain halnya dengan Ratna yang tidak hanya menyoroti semiotika sebagai penafsir tanda, tetapi juga menyoroti cara kerja dan manfaatnya bagi kehidupan manusia, Ratna mengatakan bahwa dalam pengertian lebih luas, sebagai teori, semiotika merupakan studi sistematis tentang produksi dan interpretasi tanda, cara kerja tanda, dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia ( 2011:97).

Hartoko dan Rahmanto memaparkan mengenai pengertian semiotik adalah ilmu yang meneliti mengenai tanda, sistem tanda, dan proses suatu tanda dimaknai (1986:131). Begitu juga yang disampaikan oleh Sebeok (dalam M. Ikhwan Rosidi, Trisna Gumilar, Heru Kurniawan, dan Zurmailis, 2010:99-100) bahwa semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang menelaah atau mengkaji seluruh bentuk komunikasi yang terjadi akibat tanda, dan didasarkan pada sistem tanda (kode). Kedua pendapat tersebut tidak jauh berbeda seperti yang disampaikan oleh Eco secara singkat (dalam Ratna,

yang berhubungan dengan tanda. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian semiotika tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang tanda yang ada (dihasilkan), cara kerja tanda yang dihasilkan kemudian dimaknai untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Terdapat beberapa pelopor teori semiotik, salah satunya adalah Charles Sanders Peirce. Peirce mengusulkan kata semiotika sebagai persamaan kata dari logika. Peirce mengatakan, logika harus mempelajari cara orang bernalar. Penalaran itu menurut hipotesis teori Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Keberadaan tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan alam semesta (Zoest, 1992:1). Pendapat Peirce tersebut menunjukkan bahwa tanda-tanda terhampar di alam semesta, melalui tanda-tanda tersebut kita dituntut untuk berpikir mengenai makna dan maksud dari tanda-tanda yang ada tersebut.

Semiotik Peirce mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Peirce mengatakan (dalam Nurgiyantoro, 2007: 41) “Sebuah tanda yang ia sebut sebagai representatemen —haruslah mengacu (atau: mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya sebagai designatum, denotatum dan dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent).” Jadi, apabila suatu tanda mewakili acuannya, hal itu adalah fungsi utama tanda itu. Proses perwakilan tanda terhadap sesuatu yang diacunya pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili, hal itulah yang disebut interpretant , yaitu pemahaman makna yang timbul dalam penerima tanda lewat interpretasi (Nurgiyantoro, 2007: 41). Pendapat yang sama juga disebutkan oleh Peirce (dalam Endraswara, 2003: 65) bahwa analisis semiotik menawarkan sistem tanda yang harus diungkap. Ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.

tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu a) representamen, ground (tanda itu sendiri); b) object (apa yang diacu); dan c) interpretant (tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima).

Berdasarkan pemaparan di atas, Peirce tidak melihat tanda dari strukturnya, hal ini terkait dengan pendapat yang menyebutkan bahwa Peirce tidak melihat tanda sebagai suatu struktur. Tetapi, sebagai suatu proses pemaknaan tanda yang disebutnya semiosis. Semiosis merupakan proses tiga tahap antara representament, object, dan interpretant (Susanto, hlm.5)

Secara universal, Zoest (dalam Roseno, 2005: 14) mengungkapkan bahwa Peirce dalam memaknai suatu tanda bertahap-tahap, yaitu a) firstness (kepertamaan); b) secondness (kekeduaan); c)thirdness (keketigaan). Firstness (kepertamaan), yaitu saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja, keberadaan seperti adanya tanpa menunjuk sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Secondness (kekeduaan), yaitu tanda dimaknai secara individual, keberadaan seperti adanya, dalam hubungannya dengan second, tetapi tanpa adanya third (keberadaan dari yang ada). Thirdness (keketigaan), saat tanda dimaknai secara tetap sebagai konvensi. Jadi, keberadaannya berdasar hal yang berlaku umum.

Tipologi dasar dari Peirce dapat dilihat pada bagan berikut yang digambarkan Danesi dan Perron (dalam Susanto, hlm.3, gambar.1)

Representament kata Jaguar

Object

interpretant

‘mobil mewah’

‘martabat’/ ‘impian’

Gambar 2.1. Tipologi Dasar Peirce

Berdasarkan gambar 2.1. dapat dinyatakan bahwa suatu representament (tanda itu sendiri) yang dilambangkan oleh benda atau sesuatu yang lain (contoh: kata Jaguar) dapat ditafsirkan atau dimaknai sebagai sesuatu yang sesuai dengan hal yang diacu, yaitu object ( Mobil Berdasarkan gambar 2.1. dapat dinyatakan bahwa suatu representament (tanda itu sendiri) yang dilambangkan oleh benda atau sesuatu yang lain (contoh: kata Jaguar) dapat ditafsirkan atau dimaknai sebagai sesuatu yang sesuai dengan hal yang diacu, yaitu object ( Mobil

tabel.1) menyebutkan bahwa ketiga unsur di atas diperinci menjadi trikotomi seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 2.1. Trikotomi Peirce

Mode of Representation (Cara Representasi)

Type of Representament (Jenis Representament)

Relation of The Sign to its Referent (Hubungan tanda dengan yang diacu)

Type of Interpretant The Sign Evokes (Jenis tanda berdasarkan penerima tanda)

Firstness: icons (physical substitute for the referents) (Kepertamaan: ikon (pengganti fisik untuk acuan))

Qualisigns: refers to qualities of objects (adjective, colors, shape, etc.) (Qualisigns: mengacu pada kualitas objek (kata sifat, warna, bentuk, dll))

Iconic: representation through resemblance (photo, diagram, image, metaphor, etc.) (Iconic: representasi melalui kemiripan (foto, diagram, gambar, metafora, dll))

Rheme: interpretants of qualisigns (tanda sebagai kemungkinan)

Secondness: index (they are not substitute for their referents) (Kekeduaan: Indeks (sesuatu yang bukan dijadikan sebagai pengganti terhadap acuan))

Sinsigns: indicate objects in time- space (pointing finger, here, there, etc.) (Sinsigns: menunjukkan objek dalam waktu-ruang (menunjuk jari, di sini, sana, dll))

Indexical: representation through indication. (indeks: sesuatu yang mengacu berdasarkan sebab akibat)

Dicisign: interpretant of sinsigns. (Dicisign: sebagai fakta)

Thirdness: symbols (the sign-user and the referent are linked to each other by the force of historical and social convention) (Keketigaan: simbol (tanda- pengguna dan acuan yang dihubungkan satu sama lain dengan kekuatan konvensi historis dan sosial))

Legisigns: refer to objects by convention. (Legisigns: merujuk ke obyek dengan konvensi.)

Symbols: representation by convention (word, symbol, etc.). (Simbol: sesuatu yang diwakili berdasarkan konvensi (kata, simbol, dll))

Argument: interpretation of legisigns. (Argumen: tanda sebagai nalar)

(Sumber: Susanto, hlm.3, tabel.1) (Sumber: Susanto, hlm.3, tabel.1)

“Disebut firstness karena ikon adalah bentuk representamen yang paling lekat dengan objek yang diwakilinya sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Disebut secondness karena indeks merupakan sebab akibat antara tanda kedua yang memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Disebut thirdness karena representament tidak dapat terlepas dari konteks sejarah atau sosial suatu masyarakat adalah simbol yang terbentuk berdasarkan kesepakatan”.

Mode of representation (cara representasi) tersebut merupakan tahapan-tahapan dari teori Peirce yang lebih mengedepankan pada unsure objek yang terdiri dari unsur ikon, indeks, dan simbol.

Danesi dan Perron (dalam Susanto, hlm. 4) menjelaskan type of representamen berkaitan erat dengan type of interpretant the sign evokes, yaitu:

“ a) berdasarkan sudut pandang interpretant, sebuah teks adalah rheme apabila teks tersebut tidak lengkap, sebagian besar teks dipenuhi fungsi ekspresif, atau struktur dari teks memungkinkan timbulnya berbagai interpretasi, contoh: teks susastra, puisi; b) teks deskriptif, baik fiksi maupun nonfiksi memiliki ciri dicisign karena bersifat informatif; c) teks ilmiah dan hukum, sarat dengan argument .”

Sebagaimana teori yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini akan didasari oleh teori semiotik yang dipelopori Pierce. Peneliti memilih teori milik Peirce karena teori tersebut lebih rinci dan lebih luas jika dibandingkan dengan teori-teori semiotik yang lain, hal ini berarti bahwa teori semiotik milik Peirce dapat diterapkan pada segala jenis tanda. Hal tersebut juga disebutkan oleh Yani, bahwa tanda dapat berupa gerakan tubuh, mata, mulut, tipografi tulisan, warna, bendera, bentuk rumah, pakaian, karya sastra, karya seni, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Sebagaimana yang diharapkan oleh Peirce agar teorinya bersifat umum dan dapat diaplikasikan pada segala macam tanda (hlm. 3). Kerincian dari

Peirce dalam pemaknaan suatu tanda, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, ada tahap kepertamaan, kekeduaan, dan keketigaan, ketiga tahap tersebut merupakan tahap universal dari teori Peirce (Zoest dalam Roseno, 2005:14). Selain itu, Peirce dalam teorinya memaknai tanda secara terbuka, tetapi dibatasi oleh konteks, baik teks itu sendiri maupun konteks sosial budaya, serta pengetahuan atau pengalaman pembaca yang menafsirkan suatu tanda tertentu. Hal itu juga disebutkan oleh Peirce (dalam Sartini, hlm. 6) bahwa konsep tahapan pemaknaan tanda penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan tertentu kadar dalam memahami suatu tanda berbeda pada anggota kebudayaan tersebut.

Lebih lanjut, peneliti akan menganalisis teks dengan mencari dan memaknai tanda-tanda yang digunakan melalui ikon, indeks, dan simbol, hal tersebut terkait dengan teori Peirce yang lebih menekankan bahwa objek (ikon, indeks, dan simbol) memegang peranan penting dalam suatu analisis, terutama teks yang terdiri dari gambar atau nonverbal (ikon dan simbol) dan unsur verbal. Hal ini terkait dengan pendapat Ratna bahwa denotatum (object) dalam karya sastra adalah dunia yang penuh dengan keserbamungkinan makna, atas dasar pandangan bahwa segala sesuatu mempunyai kemungkinan untuk menjadi tanda, karena jumlah objek tak terbatas (2011: 114). Terkait dengan hal tersebut, peneliti akan menyoroti ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor.

b. Semiotika dalam Penelitian Karya Sastra Sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan. Ratna berpendapat bahwa pada dasarnya bahasa merupakan konservasi yang paling kuat terhadap kebudayaan manusia. Tanpa bahasa, kebudayaan atau bahkan dunia kini tidak ada (2011:111). Lebih lanjut, hal tersebut (bahasa) dapat dikaji menggunakan pendekatan semiotika, hal ini juga sependapat dengan Yani yang memaparkan bahwa semiotik menelaah sistem tanda dalam bahasa dan wacana yang

salah satu hasil dari kebudayaan, seperti yang dipaparkan oleh Lotmann bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra sebagai sistem model kedua, metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan (dalam Ratna, 2011:111). Senada dengan pendapat yang telah disebutkan sebelumnya, kehidupan manusia dibangun berdasarkan bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda. Menurut Noth (dalam Ratna, 2011: 111) di dalam teks sastra keseluruhan terdiri atas ciri-ciri tersebut. Bahasa metaforis konotatif, dengan hakikat kreativitas imajinatif pengarangnya merupakan faktor utama sebab karya sastra didominasi oleh sistem tanda. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Pradopo bahwa bahasa merupakan media karya sastra sudah sebagai sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti (1993:121). Secara tidak langsung, Pradopo mengungkapkan bahwa dalam karya sastra sudah tentu menyimpan tanda-tanda, karena karya sastra disampaikan dengan bahasa.