Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK Pdt.Sus.Pailit 2013)

ABSTRAK
Kasus kepailitan PT.BTI, DJP Banten kehilangan haknya untuk
didahulukan dan hak tagih terhadap PT.BTI (debitur pailit) karena kurator
menolak dan membantah tagihan utang pajak yang diajukan oleh DJP Banten.
Penolakan ini didasari karena penagihan dilakukan telah melewati batas ahkir
pengajuan utang, yaitu 2 tahun setelah masa insolventie yang telah ditetapkan
Hakim Pengawas berdasarkan Pasal 113 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK). Namun
terlambatnya penagihan yang dilakukan oleh DJP Banten ini karena kurator
PT.BTI memberikan laporan pajak tidak lengkap sesuai dengan UU Perpajakan.
Sehingga DJP melakukan pemeriksaan utang pajak PT.BTI dan melakukan
penagihan pada tanggal 13 Agustus 2004 atau telah melewati batas ahkir
pengajuan utang. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana hak dan kewajiban
negara sebagai kreditur prefren pada perusahaan pailit, bagaimana penerapan
aturan hukum penagihan utang pajak PT Bestindo Tata Industri menurut UUK
dan Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP), dan bagaimana putusan utang pajak pada PT. Bestindo
Tata Industri yang telah dinyatakan pailit menurut UU KUP dan UUK.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dan bersifat
deskriftif. Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan
dan mengadakan wawancara terhadap informan yakni Kurator di Medan . Sumber

data yang dipergunakan yakni data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
skunder, dan tersier. Data-data yang didapat dianalisis dengan menggunakan
metode analisis kualitatif untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hak dan kewajiban negara dalam
melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit dilakukan berdasarkan UU
KUP. Hak tagih pajak merupakan hak istimewa yang pembayaran wajib
didahulukan atas harta dari wajib pajak. Hak penagihan ini akan daluwarsa setelah
5 tahun sesuai Pasal 21 ayat 4 UU KUP. Penerapan aturan hukum yang dilakukan
DJP Banten pada PT.BTI (debitur pailit) dengan melakukan tata cara pemeriksaan
pajak sesuai dengan ketentuan pada UU KUP sudah tepat. Namun kurator
menolak dan membantah tersebut, dengan dasar penagihan yang dilakukan
tanggal 13 Agustus 2004 telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Kemudian
Majelis Hakim dalam putusan MA No. 116 PK/Pdt.Sus/2013 terkait permohonan
DJP Banten, memutuskan DJP Banten terlambat melakukan penagihan utang
pajak pada PT.BTI, yaitu 2 tahun setelah masa insoventie. Putusan ini
bertentangan dengan Pasal 23(a) UUD 1945, dan UU KUP. Karena Pasal 113
UUK dapat diterapakan pada utang-utang lainnya kecuali utang pajak karena
ketentuan ini bersifat mengatur dan merupakan kepentingan individu. Sedangkan
utang pajak bersifat memaksa dan dilakukan demi kepentingan umum. Sehingga

DJP Banten seharusnya masih memiliki hak untuk menagih utang pajak pada
PT.BTI dan kurator wajib membayar utang pajak tersebut.
Kata Kunci: Hak Tagih Negara, Utang Pajak, Perusahaan Pailit.

Universitas Sumatera Utara