Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK Pdt.Sus.Pailit 2013)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, hingga kini masih terus
melakukan perbaikan di berbagai bidang, baik dalam bidang politik, ekonomi dan
hukum. Di bidang ekonomi, pemerintah memberi perhatian khusus pada sektor
pembangunan mulai dari sisi infrastruktur, pertanian, industri, dan lainnya
sehingga pembangunan ini dapat mendorong peningkatan sektor ekonomi. Hal ini
perlu dilakukan agar perbaikan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan rencana
pembangunan pemerintah. Untuk mendukung pembangunan ini salah satu upaya
pemerintah adalah dengan mencari investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
Berbagai rencana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah disusun
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebelumnya harus
disetuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam rapat
Paripurna. Dalam hal ini pemerintah harus memiliki anggaran yang disimpan pada
kas negara yang dihimpun dari berbagai sumber yang salah satunya, berasal dari
sektor pajak. Pengertian pajak ini memilik beberapa defenisi, yakni Menurut
P.J.A. Andriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang tertuang oleh wajib pajak membayaranya menurut peraturanperaturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali

yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintah.1

Sementara R. Santoso Brotoddiharjo, memberikan defenisi pajak yang
berbeda ditinjau dari sudut pandang peralihan aset dari sektor privat ke sektor
publik :
Pajak adalah keseluruhan dan peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah, untuk mengambil kekeayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan1

Ida Zurida dan L.Y Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak, ( Bogor: Ghalia Indonesia,
2011 ) hal 4

Universitas Sumatera Utara

badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut
Wajib Pajak)”


Dari dua pengertian para sarjana tersebut dapat diketahui pentingnya
pendapatan pajak untuk kelangsungan negara serta untuk pembangunan
pemerintahan sesuai dengan rencana pembangunan yang disusun pada Anggaran
Pengeluaran dan Belanja Negara dan juga memperlihatkan hubungan masyarakat
sebagai wajib pajak dengan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara sangat jelas
pentingnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja negara untuk rencana
pembangunan negara. Ini memperlihatkan bahwa pentingnya hubungan antara
masyarakat dan pemerintah dalam hal pembangunan negara. Penetapan pajak
tentang Objek dan siapa Subjek dalam penagihan pajak juga sudah jelas diatur
oleh undang-undang perpajakan, yakni tentang wajib pajak. Pengertian wajib
pajak menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah, Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.2
Subjek atau siapa saja yang terkena wajib pajak telah diatur secara khusus
oleh undang-undang adalah orang pribadi atau badan. Pasal 1 angka 3 Undangundang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyebutkan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang

merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.3
Pemungutan pajak pada subjek atau yang terkena wajib pajak ini jumlah
kewajiban pajaknya dilihat dari kegiatan, keadaan, ataupun hasil yang diterima
wajib pajak tersebut. Objek pajak pada wajib pajak yakni :

2

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan
3
Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan

Universitas Sumatera Utara


a.

Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah

b.

Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan
atau import barang kena pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak, dan dapat dikenakan berkali-kali setiap ada
pertambahan nilai dan dapat dikreditkan.4
Pajak penjualan atas barang mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap
penyerahan impor barang-barang mewah yang tergolong mewah.
Pajak Bumi dan Bangunan

c.

Yakni pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi/ tanah dan/ atau bangunan. Keadaan subjek
tidak ikut menentukan besar pajak.5

Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan

d.

Bea Materai6

Pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak baik
perorangan maupun badan di Indonesia menganut sistem Self Assessment System.
System ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak boleh
menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Sistem
ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam
menyetorkan pajaknya.7
Khususnya pada kasus perusahaan yang sudah dinyatakan pailit oleh
pengadilan maka untuk melakukan pemberesan kewajiban pajak diwakilkan oleh
kurator, yang didasari pada Pasal 69 ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Secara umum
tugas utama kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
utang pailit. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari sejak tanggal
putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator mengumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia, dan dalam sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar harian
yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas.8

4

Erly Suandy, Hukum Pajak, ( Jakarta: Salemba Empat, 2009 ), hal 57
Ibid, hal 59
6
Ibid, hal 60
7
Rimsky K.Judisseno Pajak & Strategi Bisnis, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
2005)hal 27
8
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaj, Kepailitan, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2004 ), hal 64.
5

Universitas Sumatera Utara

Pengurusan dan pemberesan utang-utang debitor yang telah pailit ini

selanjutnya akan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.
Proses pembayaran harta debitur pailit pada kreditur pailit dimulai dari proses
pendaftaran kreditur, pencocokan hutang, hingga saat pembayaran bagi para
kreditur dan untuk menyatakan seseorang atau badan pailit harus memenuhi syarat
-syarat sebagai berikut:
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
b. Tidak dapat membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih9
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran hutang, pada Pasal 2 ayat 1 UUK juga menerangkan
untuk syarat pengajuan pailit “ Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”10. Ini menegaskan
bahwa didalam perusahaan yang akan diajukan pailit, harus memiliki dua atau
lebih kreditur dimana salah satunya telah jatuh tempo dan kreditur memiliki hak
untuk menagih.
Utang-utang debitor pailit pada para kreditor, termasuk seluruh
kewajibannya akan diselesaikan pengurusannya oleh kurator. Kurator bertugas
sejak kepailitan diputuskan oleh pengadilan, karena debitor tidak berhak lagi
untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Kurator merupakan satusatunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pengurusan dan pemberesan

harta pailit.
Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kreditor maupun debitor.11 Dalam
melakukan pengurusan harta pailit, kurator akan melakukan rapat dengan para
kreditor untuk menentukan utang-utang dari debitor pailit dan penggolongan
kreditur. Namun sebelum dilakukan pemberesan harta pailit maka, wajib pajak
yang dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang
atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan
harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likudasi kepada pemegang saham

9

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang : UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang, 2008) hal 27
10
Pasal 2 angka 1 Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
11
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009) hal 117.

Universitas Sumatera Utara


atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang
pajak dari wajib pajak bersangkutan.12
Keberadaan negara dalam perusahaan pailit yakni melakukakan penagihan
utang pajak, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak
(DJP). Hak tagih negara pada perusahaan pailit masuk dalam status kreditur
preferen dan haknya di istimewakan dibanding dengan para kreditur lainnya
karena hak tagihnya harus didahulukan. Hal ini berdasakan Undang-undang Pasal
41 ayat 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah perbuatan hukum debitor
yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undangundang.13 Dalam penjelasannya dikatakan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan
karena Undang-undang, misalnya kewajiban membayar pajak14.
Pada prinsipnya dalam pelaksanaan penagihan pajak terhadap perusahaan
pailit, pemerintah telah membuat aturan khusus sejak awal-awal kemerdekaan.
Aturan ini dimulai sejak tahun 1944, dimana pemerintah dengan menerbitkan
Ordonantie Pajak Pendapatan, yang diatur dalam Pasal 19 ayat 2 dinyatakan
bahwa untuk pajak, negara mempunyai hak utama terhadap barang gerak dan
barang tak gerak (yang dimaksud pada ayat 1)15. Kini dalam pelaksanaanya
pemerintah membuat aturan yang lebih khusus untuk melakukan penagihan pajak

baik pada perorang ataupun badan yang melakukan penunggakan maupun
perusahaan yang dinyatakan pailit. Aturan tersebut tertuang pada Undang-undang
No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pelunasan utang pajak pada perusahaan pailit juga diatur pada Pasal 21
ayat 3 Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
12

Billiy Ivan Tansuria, Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan, ( Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010 ),hal 303.
13
Pasal 41 angka 3 Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
14
Penjelasan Pasal 41 angka 3 Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

15
Pasal 19 ayat (2) Ordonansi Padjak Pendapatan 1944, Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 41.

Universitas Sumatera Utara

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/
atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.16
Hal ini menunjukan bahwa utang pajak pada perusahaan pailit tetap sama
kedudukannnya dengan utang pajak lainnya pada subjek pajak. Hal ini disebabkan
karena terdapat kepentingan negara yang harus didahulukan dibanding dengan
para kreditur lainnya.
Meskipun Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dan Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sudah mengatur secara
jelas tentang status utang pajak pada perusahaan pailit yang harus didahulukan.
Namun dalam prakteknya DJP, yang dalam hal ini mewakili pemerintah untuk
melakukan penagihan pajak tidak jarang mendapat beberapa kendala dalam
melakukan penagihan bahkan hingga kehillangan haknya untuk menagih pajak
yang melakukan perlawanan dengan maksud tidak melakukan kewajiban
membayar pajak. Beberapa kendala dan perlawanan terhadap pajak.
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan pajak secara pasif ini berkaitan erat dengan keadaan sosial
ekonomi masyarakat dinegara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat
tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat
penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.17
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan serangkaian yang dilakukan oleh
Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi pajak yang
seharusnya dibayar. Perlawanan ini dibagi dua menjadi:
a. Penghindaran Pajak ( Tax Avodiance )
Suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara
memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal.
b. Penggelapan pajak (Tax Avasion)
16

Pasal 21 ayat 3 Undang-undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan
17
Erly Suandy, Op,Cit. hal 21

Universitas Sumatera Utara

Pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan perpajakan,
seperti memberikan data-data palsu atau menyembunyikan data.18
Perlawanan aktif ini meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.
Diantaranya dapat dibedakan cara-cara sebagai berikut:
1. Penghindaran dari pajak
2. Pengelakan/penyeludupan pajak
3. Melalaikan pajak19
Penagihan pajak dan cara penagihan yang di lakukan DJP pada wajib
pajak sudah memiliki aturan tersendiri yakni melalui Undang-undang No.16
Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun hal ini
masih saja dapat menyebabkan hak tagih negara mengalami kendala bahkan
hingga kehilangan haknya untuk melakukan penagihan pajak. Seperti yang di
jelaskan di atas tentang adanya perlawanan aktif dari wajib pajak untuk
melakukan kewajibannya membayar pajak pada negara. Dalam aturan penagihan
pajak, kewajiban wajib pajak dapat berahkir atau hapus, yakni dengan beberapa
cara, yaitu :
1. pembayaran
2. kompensasi
3. daluwarsa dan
4. penghapusan20
Seperti pada kasus kepailitan PT. Bestindo Tata Industri yang dinyatakan
pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada Putusan Nomor:
69/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST pada tanggal 17 Oktober 2000. DJP
menggugat Kurator karena diduga melakukan kelalaian dalam melakukan
pengurusan harta debitor pailit. Pasal 67(C) Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyebutkan kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalainnya
dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan yang menyebabkan
18

Erly Suandy, Op, Cit hal 22
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ( Jakarta : PT Refika
Aditama, 2003 ), hal 14
20
Wirawan B. Iliyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat,
2011), hal.54
19

Universitas Sumatera Utara

kerugian terhadap harta pailit. Dari ketentuan diatas, kurator bukan saja
bertanggung jawab karena perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi
karena kelalainnya.21
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta, PT Bestindo Tata Industri yang
dinyatakan pailit memiliki total aset perusahaan Rp. 11.718.784.593 dan total
kewajiban atau utang pada para kreditur sebanyak Rp. 31.892.246.648, dengan
memiliki 5 kreditur yang terdaftar pada saat persidangan di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat.
Akan tetapi setelah putusan Pengadilan Niaga Pusat tersebut, Kementerian
Keuangan RI Dirjen Pajak Wilayah DJP Banten KPP Pratama Serang pada
tanggal 21 Juni 2001 mengeluarkan Surat Pemeriksaan Pajak dan Surat
Pemberitahuan Pajak pada tanggal 23 Agustus 2003. Pihak DJP KPP Serang
menemukan utang pajak sebesar Rp. 2.264.694.817. Namun utang pajak ini tidak
termasuk utang debitur PT.BTI yang terdaftar pada putusan Pengadilan Jakarta
Pusat.
Kementerian Keuangan RI, yang dalam hal ini diwakili oleh DJP KPP
Serang Banten melakukan gugatan, dan menutut kurator untuk bertanggung jawab
dan membayar utang pajak PT. Bestindo Tata Industri. Namun upaya hukum
tersebut kandas, dan negara kehilangan haknya untuk didahulukan bahkan
kehilangan hak tagih pajak pada perusahaan pailit tersebut.
Hak tagih negara pada perusahaan pailit ini hilang, sesuai dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 Tahun 2013. Dimana
posisi negara dalam melakukan penagihan pajak diwakili Kementerian Keuangan
RI Direktorat Jendral Pajak KPP Serang Banten melawan kurator PT. Bestindo
Tata Industri. Dalam pertimbangan putusan Hakim Agung, menyatakan bahwa
Dirjen Pajak Serang Banten terlambat melakukan penagihan atau pemberitahuan
kepada kurator, yakni telah melewati 2 tahun setelah verifikasi.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 13 ayat 1 Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 2009, dimana
terhadap wajib pajak dapat dilakukan penagihan kurang dari 5 tahun sejak
dikeluarkannya surat ketetapan pajak pada wajib pajak. Artinya hak tagih negara
terhadap wajib pajak dapat dilakukan DJP, apabila tidak melewati kurun waktu
selama 5 tahun, terhitung sejak penerbitan surat tagihan pajak, surat ketetapan
pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat
keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan
21

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, ( Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004 ),

hal 223.

Universitas Sumatera Utara

peninjauan kembali, sesuai dengan Pasal 22 Undang-undang No. 19 Tahun 2009
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan22.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini akan menganalisis permasalahan
penagihan pajak terhadap perusahaan pailit dalam perkara PT. Bestindo Tata
Industri dengan Kementerian Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah
Direktorat Jendral Pajak Banten KPP Pratama Serang dengan judul “Analisis
Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 116 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan
diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hak dan kewajiban negara sebagai kreditur prefren pada
perusahaan pailit?
2. Bagaimana penerapan aturan hukum penagihan utang pajak PT Bestindo
Tata Industri menurut Undang -undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undangundang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan ?
3. Bagaimana putusan utang pajak pada PT. Bestindo Tata Industri yang telah
dinyatakan pailit menurut UU 16 Tahun 2009 dan UU 37 Tahun 2004?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan maka yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Mengetahui status dan menganalisis hak negara sebagai kreditur dalam
hal melakukan penagihan pada perusahaan pailit.

22

Pasal 22 Undang-undang No. 19 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajak an

Universitas Sumatera Utara

2. Mengetahui dan menganalisis penerapan aturan hukum penagihan utang
pajak pada perusahaan pailit menurut Undang - undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
3. Mengetahui dan menganalisis penyelesaian utang pajak pada PT.
Bestindo Tata Industri yang telah dinyatakan pailit.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan dapat memberikan manfaat baik
dari segi teoritis dan praktis.
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
dasar pemikiran dalam mengembangkan substansi ilmu hukum, khususnya
pada ilmu hukum pajak dan kepailitan. Sehingga penelitian ini membawa
pemikiran baru bagi kalangan akademis dalam mempelajari ilmu di bidang
Hukum.
2. Secara Praktis, hasil penelitan ini diharapkan dapat menjadi informasi
yang baik bagi kalangan praktisi hukum maupun ekonomi bahkan untuk
Legislatif dan Eksekutif dalam membuat Undang-undang. Begitu juga
untuk para penegak hukum, yang sedang mengikuti proses hukum
dibidang kepailitan dan pajak, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai informasi bagi hakim, petugas pajak, maupun kurator.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan,
dilingkungan perpustakaan Univeristas Sumatera Utara, maupun perpustakaan

Universitas Sumatera Utara

cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh bagian
Biro Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian yang
berjudul : “Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan
Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK/Pdt.Sus-Pailit 2013) baik
dalam judul maupun rumusan masalah belum pernah dilakukan. Dari hasil
pemeriksaan ditemukan penelitian yang mengkaji tentang hak mendahului dan
kreditur preferen, yaitu dengan judul dan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Albert Richi Aruan, tesis pada tahun 2010 dengan judul “ Kedudukan Negara
Atas utang Pajak PT. Artika Optima Inti Dalam Kasus Kepailitan, dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana penerapan hak mendahulu (preferen) yang dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak atas penagihan utang pajak perusahaan pailit
dalam perkara kepailitan PT. AOI?
b. Bagaimana pengaturan Perundangan Perpajakan terhadap penagihan
utang pajak perusahaan dalam proses pailit?
c. Sejauh mana Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 t entang UUK dan
PKPU mengatur pelunasan tagihan utang pajak perusahaan dalam proses
pailit?
2. Paulus Herdianto Manurung, tesis pada tahun 2015, dengan judul Hak
Mendahului Tagihan Utang Pajak Untuk Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit,
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana penetapan hak mendahului pada fiskus dalam pelaunasan utang
pajak, atas wajib pajak yang dinyatakan pailit ?
b. Bagaimana tata cara penagihan utang pajak atas wajib yang dinyatakan
pailit?

Universitas Sumatera Utara

c. Bagaimana hambatan-hambatan dalam hak mendahului pada fiskus terhadap
pelunasan utang pajak atas wajib pajak yang dinyatakan pailit?
3. Dian Puspita Sari Siregar, tesis pada tahun 2010 dengan judul Hak
Eksekutorial Kreditur Prefren Dalam Kepailitan Debitor, dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan kreditur prefren dalam kepailitan ?
b. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap objek Hak Tanggungan?
c. Bagaimana kreditur prefren dapat melakukan eksekusi terhadap harta pailit?
Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya
secara akademis dan tidak ada kesamaan atau plagiat dengan penelitian yang
sudah ada.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Penelitan hukum membutuhkan kerangka teori dan kerangka konsep untuk
menentukan arah penelitan. Penyusunan kerangka teori menjadi kewajiban, guna
rumusan permasalahan yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan
objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang
menunjukan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.23 Teori yang
dipergunakan dalam penelitian ini yakni teori :
a. Teori negara hukum.
Negara hukum adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur
oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan
pemberi suara rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat)24. Teori ini mendudukan hukum
sebagai panglima pada suatu negara untuk menjalankan roda pemerintahan, agar
terciptanya tujuan negara tersebut.
Penggagas negara hukum ini pertama kalinya dikemukankan oleh Plato
dan Aristoteles. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahaan yang baik ialah
23

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010) hal 93.
24
Nukthoh Arfawie Kurde, Teori Negara Hukum, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),
hal 13.

Universitas Sumatera Utara

yang diatur oleh hukum. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara
yang diperintah dengan konsitusi dan berkedaulatan hukum. Bagi Aristoteles yang
memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil dan
kesusilaanlah yang menentukan baik-buruknya suatu hukum25. Dalam melakukan
penagihan pajak pemerintah yang dalam hal ini ditangani oleh Direktorat Jendral
Pajak, harus melakukan penagihan berdasarkan undang-undang atau hukum yang
berlaku, sehingga terjadi keadilan bagi seluruh rakyat.
A.V. Dicey salah seorang pemikir inggris, mengemukakan tiga unsur
pemerintah yang kekekuasaanya dibawah hukum (the rule of law) yaitu :
a. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di
dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum)
b. Equality Before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi
semua warga negara baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai
pejabat negara.
c. Constitution Based on Individual Rights, artinya konstitusi itu bukan
merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu
diletakan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus
dilindungi.26
Negara hukum mempertegas bahwa kedudukan seluruh warga negara
sama dihadapan hukum sehingga tidak ada perbedaan penerapan hukum yang
dilakukan para penegak hukum. Indonesia merupakan negara hukum yang
dituangkan dengan jelas pada Undang-undang Dasar 1945 yakni dalam Pasal 1
ayat 3 yang menyebutkan bahwa, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Kemudian hal ini juga dipertegas kembali dalam Pasal 27 UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa, segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada perkecualiannya. Sehingga pemerintah
dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan hukum yang belaku.
Frans Magnis Suseno, menjelaskan alasan utama agar negara
diselanggarakan berdasarkan hukum :
1. Kepastian hukum
2. Tuntuan perlakukan yang sama
3. Legitimasi demokratis
25
26

Ibid, hal 14
Ibid, hal 19.

Universitas Sumatera Utara

4. Tuntutan akan budi27
Alasan digunakannya teori ini dalam penelitian ini adalah terjadinya
perbedaan penerapan hukum yang digunakan para penegak hukum saat
menentukan batas ahkir pengajuan utang pajak pada PT.BTI. DJP Banten
melakukan penagihan utang pajak pada PT.BTI, berdasarkan UU KUP yang
menyatakan bahwa hak mendahului daluwarsa terhadap penagihan pajak
merupakan 5 tahun sejak diterbitkannya SPT sesuai dengan Pasal 21 UU KUP.
Sementara kurator menerapakan aturan terkait batas ahkir pengajuan utang
pajak, berdasarkan Pasal 113 UUK. Pada kasus kepailitan PT.BTI, sudah
ditetapakan batas ahkir pengajuan tagihan utang pajak yakni 2 tahun sejak
memasuki masa insolventie yaitu 14 Juni 2003. Sementara DJP melakukan
penagihan pajak dengan mengeluarkan Surat Paksa diterima kurator 13 Agustus
2004.
b. Teori tujuan negara.
Para sarjana memiliki beberapa pengertian tentang teori tujuan negara ini
Menurut Machiavelli Tujuan negara adalah untuk memupuk kekuasaan guna
mencapai kemakmuran rakyat. Pemerintah atau raja sebagai tehknik memupuk
dan menggunakan kekuasaan.28
Menurut Mac Iver
Fungsi negara adalah ditinjau dari segi intern, artinya dilihat menurut
kebutuhan negara itu sendiri. Ia mengatakan fungsi negara dilihat dari
kepentingan intern, mencakup :
1). Memelihara ketertiban dan menghormati kepribadian warga negara
yang merupakan tugas negara secara positif maupun negatif. Tugas
negara secara positif artinya negara melindungi dan mensejahterakan
warga negaranya, sedangkan tugas negara yang negatif artinya negara
mempunyai wewenang menindak, menghukum setiap orang yang
melanggara aturan hukum.
2). Perlindungan fungsi ini perlu diperluas untuk perkembangan
(development) dan konservasi (conservation). Melalui fungsi
perlindungan yang mencakup pengembangan dan konservasi atau
pelestarian, dan apabila negara dan aparatnya menjalankan fungsi ini
dengan baik, maka akan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Misalnya pelestarian sumber-sumber alam, seperti pemeliharaan hutanhutan, pemeliharaan sumber mineral, pemeliharaan kekayaan laut,
27
28

Ibid, hal 21.
I Dewa Gede Atmadja SH, MS, Ilmu Negara, (Jatim : Setara Press, 2012), hal 52.

Universitas Sumatera Utara

sehingga generasi yang akan datang dapat memanfaatkan warisan berupa
kekayaan alam.29

Indonesia juga mempunyai tujuan bernegara, yakni berdasarkan Pancasila
dengan mencipatakan masyarakat adil dan makmur. Didalam alinea keempat
pembukaan UUD 1945 dirumuskan unsur-unsur masyarakat adil dan makmur,
berdasarkan Pancasila tersebut secara dinamis dan tidak terminal utopistis. Unsurunsur tersebut ialah :
a. Melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah (wilayah)
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan,
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi,
kemerdekaan dan keadilan sosial.30
Teori tujuan negara ini berkaitan dengan penagihan pajak, karena hasil
pemungutan pajak yang dilakukan petugas Direktorat Jendral Pajak akan
seluruhnya dipergunakan untuk mencapai tujuan negara, yakni menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur. Dalam hal melakukan penagihan pajak pada
perusahaan pailit, negara yang berkedudukan sebagai kreditur preferen ini, haknya
harus didahulukan.
Kedudukan pajak, pada dasarnya merupakan utang wajib pajak pada
negara. Menurut hukum perdata, seseorang dapat dikatakan mempunyai utang bila
telah terjadi perikatan di antara para pihak. Perikatan tersebut bisa terjadi karena
UU atau karena perjanjian. Perikatan yang timbul karena UU dapat timbul karena
UU saja atau karena UU dengan perbuatan manusia. Sementara itu, menurut
hukum pajak, utang pajak yang timbul karena UU saja, berarti haruslah terlebih
dahulu ada UU yang menjadi dasar hukum pemungutan pajak. Dengan lahirnya
Undang-undang. No 9 Tahun 1994 (tentang PPh), Undang-undang No.11 Tahun
1994 (tentang PPN dan PPnBM), Undang-undang No.12 Tahun 1994 (tentang
PBB), dan Undang-undang No. 21 Tahun 1997 (tentang Bea Perolehan Hak atas

29

Ibid. hal 56.
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara, ( Jakarta, PT. Rineka
Cipta, 2003) hal.74
30

Universitas Sumatera Utara

Tanah dan Bangunan-BPHTB), maka sejak saat itu timbul utang pajak dari subjek
hukum pajak yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak.31
Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh DJP, yang menjadi petugas
melakukan pemungutan pajak banyak mengalami kendala saat melakukan
penagihan sesuai yang diamanahkan undang-undang. Seperti hilangnya hak tagih
negara pada perusahaan pailit, dengan alasan bahwa ini merupakan kelalaian
petugas dalam melakukan pemungutan pajak. Selain mengabaikan aturan hukum
yang berlaku, dan tidak mempertimbangkan jika hasil pemungutan pajak
dilakukan untuk mengisi kas negara. Dimana kas negara ini akan digunakan untuk
melaksanakan kegiatan dan rencana pemerintah, seperti pembangunan pelayanan
umum, infrastruktur dan yang terpenting tujuannya menciptakan kesejahteraan
rakyat.
c. Teori bakti atau kewajiban pajak mutlak
Menurut W.H.Van de Berge sebagai penganut teori ini mengutarakan,
bahwa negara sebagai groepsverband (organisasi dari golongan) dengan
memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan
umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukannya, termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak32.
Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang
mengajarkan bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan)
dari individu-individu, maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak33.
Negara yang melakukan pemungutan pajak memiliki hak mutlak untuk
melakukan penagihan pajak terhadap rakyat, maupun subjek hukum lainnya yang
berada di Indonesia, sesuai dengan asas tempat tinggal atau asas domisili. Ini
merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili
seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang
bertempat tinggal atau berdomisili dinegara bersangkutan atau seluruh
penghasilan dimana pun diperoleh , tanpa memperhatikan apakah orang yang
bertempat tinggal tesebut warganya atau warga negara asing.34
Pajak yang merupakan salah satu sumber keuangan negara, menjadi salah
satu penyumbang anggaran terbesar untuk pembangunan suatu negara. Peranan
yang sangat penting, sehingga negara memiiki hak mendahului untuk pembayaran
31
32

Wirawan B.Iliyas dan Richard Burton, Op.Cit, hal 86
R.Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu HukumPajak, (Bandung, PT Refika, 2003),

hal 35.
33
34

Wirawan B.Iliyas dan Richard Burton, Op.Cit, hal 23.
Ibid, hal 24.

Universitas Sumatera Utara

pajak seperti pada perusahaan pailit. Alasan inilah sehingga penelitan ini
menggunakan teori ini, agar pada permasalahan saat penagihan pajak terhadap
perusahaan pailit dapat dilakukan berdasarkan aturan dan asas yang tepat.
Ketiga teori yang digunakan saling berkaitan, dimana teori negara hukum
mendudukan hukum sebagai panglima tertinggi pada suatu negara hukum seperti
Indonesia. Dalam hal melakukan penagihan utang pajak seperti pada kasus
PT.BTI, aturan hukum terkait ini sudah jelas dan secara tegas menyebutkan
bahwa pajak bersifat memaksa yang dilakukan untuk keperluan negara diatur oleh
undang-undang (Pasal 23 (a) UUD 1945). Sehingga berdasarkan UUD 1945 yang
menjadi dasar hukum negara, maka semestinya kita taat dan tunduk terhadap
aturan tersebut.
Undang-undang yang dimaksud pada Pasal 23(a) UUD 1945 tersebut
adalah undang-undang perpajakan, yaitu UU KUP. Sehingga penerapan hukum
mengenai pajak harus berdasarkan UU ini. Seperti halnya pada kasus kepailitan
PT.BTI, tindakan DJP Banten dengan melakukan tugasnya dan melakukan
penagihan utang pajak berdasarkan UU KUP sudah tepat. Penagihan utang pajak
tidak dapat diterapkan ketentuan yang mengatur batas waktu pengajuan utang
terahkir, seperti pada Pasal 113 UUK.
Ketentuan ini dapat diterapkan pada kreditur atau utang lainnya kecuali
utang pajak. Karena penagihan utang pajak harus berdasarkan UU KUP yang
menyebutkan bahwa hak mendahului dan penagihan pajak daluwarsa setelah 5
tahun sejak diterbitkan STP (Pasal 21 ayat 4 UU KUP). Hak istimewa yang
diberikan dalam melakukan penagihan pajak ini, merupakan tindakan yang
dilakukan untuk kepentingan umum yaitu keperluan negara yang dipergunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan teori tujuan negara dimana tujuan negara Indonesia
berdasarkan UUD 1945 adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Sehingga kewajiban dalam membayar pajak merupakan kewajiban mutlak yang
harus dilakukan oleh wajib pajak berdasarkan ketentuan pada UUD 1945 dan UU
Perpajakan.
3. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara
konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsepkonsep tersebut adalah dengan membuat defenisi. Defenisi merupakan suatu
pengertian yang lengkap tentang suatu istilah bertitik tolak pada referensi.

Universitas Sumatera Utara

Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikan semata-mata dengan
pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, tetapi demi juga menuntun
peneliti sendiri dalam menangani proses penelitian. Konsep ini bertujuan untuk
menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini.
a. Kreditor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang
– undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.35
b. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang
– undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.36
c. Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan. 37
d. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor
pailit dibawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan Undang–undang
ini.38
e. Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan
pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.39
f. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena
Pasal 1 angka 2 Undang – undang Nomor 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
36
Pasal 1 angka 3 Undang – undang Nomor 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
37
Pasal 1 angka 4 Undang – undang Nomor 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
38
Pasal 1angka 5 Undang – undang Nomor 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
39
Pasal 1 angka Undang – undang Nomor 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
35

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Universitas Sumatera Utara

perjanjian atau undang – undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.40
g. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung”.41
h. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan.42
i. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap
dan terus-menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba bersih, baik
yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia43
j. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pengurusannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang ini.44

Pasal 1 angka 6 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
41
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
42
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No 19 tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa
43
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
44
Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang .
40

Universitas Sumatera Utara

k. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah
Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai
akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.45

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu
penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan.46 Penelitian hukum normatif menggunakan teoriteori yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.47 Selain mengacu pada
teori-teori hukum, penelitian normatif juga mengacu pada doktrin-doktrin, normanorma, asas-asas, serta kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan.48
Pada penelitian ini meneliti apa yang berdasarkan pada putusan pengadilan
yaitu berkaitan dengan hilangnya hak tagih negara pada perusahaan pailit studi
putusan Mahkamah Agung Nomor 116 pada tingkat Peninjauan Kembali/
Pdt.Sus-Pailit/2013, dan telah memilki kekuatan hukum tetap.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah
suatu cara yang digunakan bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan
jawaban terhadap suatu obyek penelitian yang diteliti melalui data yang telah
terkumpul dan membuat suatu kesimpulan terhadap suatu obyek penelitian.49
Objek dalam penelitian ini adalah hak tagih negara pada perusahaan pailit dengan
sifat penelitian dapat memberikan kesimpulan mengenai aturan hukum hak tagih
negara pada perusahaan yang telah dinyatakan pailit.

45

Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara.
46

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2005) hal.6
Ibid, hal 51,
48
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:
Bayumedia, 2008) hal. 282.
49
Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005), hal 30.
47

Universitas Sumatera Utara

2. Sumber Bahan Hukum
Sebagai penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini
menggunakan data sekunder sebagai bahan hukumnya yang terdiri atas :
a. Bahan hukum primer, adalah suatu bahan hukum yang bersifat otoritas atau
bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian. 50 Suatu bahan hukum primer
yaitu terdiri dari aturan – aturan atau hukum yang terdapat berbagai perangkat
hukum baik itu undang – undang peraturan pemerintah , putusan pengadilan.
Bahan hukum primer yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Undang –
undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang berupa buku – buku hukum,
majalah hukum, jurnal – jurnal hukum yang memiliki kaitannya dengan
pembayaran hutang pada negara atau hak tagih negara pada perusahaan pailit dan
memberikan pendapat – pendapat ataupun masukan – masukan dalam hal
melakukan penelitian. Bahan hukum sekunder juga merupakan bahan – bahan
hukum yang mendukung bahan hukum primer misalnya hasil – hasil penelitian,
pendapat ahli hukum.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan,
bahan hukum tersier misalnya kamus hukum, kamus umum, majalah, internet
yang menjadi bahan tambahan dalam melakukan penelitian.51
3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Tehnik pengumpulan terhadap bahan hukum didalam penelitian ini adalah:
a.

Studi kepustakaan (Library research)

50

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hal 91.
51
Abdurahman, Sosiologi dan Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta :PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal 71.

Universitas Sumatera Utara

Studi kepustakaan adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam
penelitian hukum normatif.52 Informasi itu dapat diperoleh peraturan perundang–
undangan, putusan pengadilan, mengumpulkan bahan–bahan hukum sekunder
yaitu hasil penelitian hukum, pendapat ahli hukum serta mengumpulkan bahan–
bahan hukum tersier yaitu dokumen–dokumen hukum, buku–buku hukum,
majalah hukum, internet.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan
dengan mempergunakan teknik pengumpulan data.53 Tujuannya untuk menjawab
rumusan permasalahan didalam penelitian ini. Metode ini menggunakan
pendekatan pencarian data secara kualitatif.
Pengumpulan data dari lapangan berupa wawancara terhadap informan
dalam hal ini Kurator di Medan, guna mendapatkan data tambahan untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Melakukan suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang
memiliki manfaat untuk memberikan suatu jawaban terhadap permasalahanpermasalahan yang sedang diteliti. Analisis data adalah suatu proses mengatur
urutan data, membuatnya kedalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar.54
Analisis data dalam penelitian menggunakan metode kualitatif yang memiliki arti
prosedur penelitian yang menghasilkan suatu data deskriptif dalam bentuk kata –
kata tertulis atau lisan dari orang – .orang yang perilakunya diamati.55
Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif yang berdasarkan
asumsi mengenai realitas atau fenomena hukum yang memiliki sifat untuk dan
komplek bahwa terdapat regulasi atau pola tertentu namun penuh keragaman atau
variasi.56 Suatu data sekunder yang sudah diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (Library Research) dan sudah diperoleh juga data lapangan (field
research) yang kemudian disusun berurutan dan sistematis serta selanjutnya
dianalisis menggunakan suatu metode kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh
suatu gambaran mengenai pokok permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian menggunakan metode deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu
52

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Jakarta : Sinar Grafika , 1996 ),

hal 50.
53

Ibid hal 18.
Lexy J .Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2004), hal 103.
55
Ibid, hal 3.
56
Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : PT. Grafindo Persada.2003), hal 53.
54

Universitas Sumatera Utara

permasalahan yang bersifat umum ke khusus sehinga menjadi acuan menjawab
permasalahan dalam penelitian. Tahapan analisis data dilakukan :
a. Mengumpulkan data sekunder yang sesuai dengan permasalahan penelitian
b. Menemukan asas, norma dan hukum serta teori yang sesuai dengan
permasalahan penelitian.
c. Menguraikan dan menyusun secara sistematis hasil – hasil analisis data
sekunder.
d. Menarik kesimpulan secara deduktif untuk menjawab masalah dalam
penelitian.

Universitas Sumatera Utara