Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobakterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menginfeksi pada Paru (95,9%), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain diseluruh tubuh seperti usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan lainnya serta dapat menyebar keseluruh tubuh (Kemenkes RI,2011).

Penyakit TB ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TB batuk dan percikan dahak yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap kedalam paru orang sehat, masa inkubasinya 3-6 bulan (Widoyono, 2011).

2.2 Etiologi

Penyebab penyakit Tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberkulosis

dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid terutama asam mikolat.

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam


(2)

(BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin bersifat dorman dan aerob.

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 1000Cselama 5-10 menit atau pada pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan lama 1-2 jam di udara, ditempat yang lembab dan gelap biasa berbulan-bulan, namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara (Widoyono, 2011).

2.3 Patogenesis

Mycobakterium tuberkulosis akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis ke arah

Mycobakterium tuberkulosis berada, kemudian memfagositosis Mycobakterium tuberkulosis tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan Mycobakterium tuberkulosis membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksaa Langhans) dan linfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi.

Pada orang dewasa lesi primer sering kali terdapat pada apeks atau bagian atas paru, lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfa hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfa, yang bersama-sama dengan limfanitis akan membentuk komplek primer. Dari kelenjar limfe Mycobakterium tuberkulosis dapat lansung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang


(3)

dengan resolusi, terjadi klasifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan Mycobakterium tuberkulosis

dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau TB milier, juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya. (Crofton,dkk, 2002)

2.4 Diagnosis Tuberkulosis

Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama. (Widoyono, 2011)

Semua suspek diperiksa 3 specimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua, dan P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas disarana pelayanan kesehatan serta S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan disarana pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. (Kemenkes RI, 2011)

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan


(4)

dan uji kepekaan, dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja tidak dibenarkan karena foto toraks tidak selalu memberi gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. (Kemenkes RI, 2011).

2.5 Gejala-gejala Tuberkulosis

Gejala utama Pasien TB Paru adalah batuk berdahak terus menerus selama 2-3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis lansung (Kemenkes RI, 2011).

2.6 Epidemiologi Tuberkulosis dan Riwayat Alamiahnya

Sumber penularan adalah pasien TB yang pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif, pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi diruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Daya penularan seorang pasien ditentukan


(5)

oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Widoyono, 2011).

Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi

tuberculin negatif menjadi positif. (Kemenkes RI, 2011)

Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi pasien TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB. Dari keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk, terinfeksi 1.000 orang, rata-rata terjadi 100 pasien TB setiap tahun, 50 pasien diantaranya adalah BTA positif.

Risiko menjadi sakit TB Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB


(6)

INFEKSI

TERPAJAN

TB

MATI

KRONIS/ TB RESISTEN OBAT

Risiko menjadi TB bila dengan HIV:

• 5-10% setiap tahun • >30% lifetime Jumlah kasus TB BTA+

Faktor lingkungan : Ventilasi

Kepadatan Dalam ruangan Faktor Perilaku

HIV(+)

Malnutrisi Penyakit DM,

immunosupresan

10%

Keterlambatan diagnosis dan pengobatan

Tatalaksana tak memadai Kondisi kesehatan Konsentrasi Kuman

Lama kontak

transmisi

SEMBUH

menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic infection), seperti tuberkulosis. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Perjalanan alamiah TB yang tidak diobati setelah lima tahun, 50% dari pasien TB akan meninggal, 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 20% berlanjut mengeluarkan kuman dan tetap sebagai sumber penularan untuk beberapa tahun sebelum meninggal. Pasien TB ekstraparu satu diantara dua akan meninggal dan yang lain secara spontan akan sembuh dengan meninggalkan cacat (Kemenkes RI, 2011).

Faktor risiko kejadian TB , secara ringkas dilihat pada gambar berikut:


(7)

2.7Pencegahan Tuberkulosis

Pencegahan penyakit TB didefinisikan sebagai pengindentifikasian faktor-faktor resiko dan mengendalikan sehingga tidak menyebabkan timbulnya TB pada manusia. Pencegahan terhadap terjadinya TB melalui tiga bagian yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.

1. Pencegahan primer merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindari diri dari faktor-faktor yang menyebabkan TB. Masyarakat yang melakukan pencegahan pada tingkat ini akan bebas dari penderitaan, produktivitas berjalan terus, tidak memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi serta perawatan lebih lanjut. Salah satu bagian dari pencegahan primer adalah asupan gizi seimbang, hyegine dan sanitasi, perumahan serta kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat.

2. Pencegahan sekunder penyakit TB bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini sehingga keterlambatan diagnosis dan pengobatan dapat dihindari dan penyembuhan dapat segera dilakukan. Pencegahan sekunder melalui diagnosis dini dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium bila ada gejala-gejala TB. 3. Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang bertujuan untuk mencegah

komplikasi penyakit dan pengobatan, sesudah gejala klinis berkembang dan diagnosis sudah ditegakkan. Pencegahan tersier melalui tatalaksana pengobatan yang memadai dan adekuat dan pemantauan kepatuhan berobat. Kegagalan menyelesaikan pengobatan Tuberkulosis menuju kegagalan berkepanjangan dan resistensi obat (Kemenkes RI, 2011).


(8)

2.8Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT .

Tujuan pengobatan pada penderita Tubercolusis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang penyakit ini untuk itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar pengetahuan mereka mengetahui resiko-resiko dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Dalam program DOTS ini diupayakan agar penderita yang telah menerima obat atau resep untuk selanjutnya tetap membeli atau mengambil obat, minum obat secara teratur, kembali kontrol untuk menilai hasil pengobatan.

Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat dilakukan pengawasan lansung

Diretly Observed Treatment (DOT) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO) 3. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan

Paduan OAT yang digunakan oleh program nasional pengendalian Tuberkulosis di Indonesia yaitu :


(9)

a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifamfisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifamfisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Kategori-1 ini diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif dan pasien TB ekstra paru.

b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (H), Ethambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan, Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan dalam tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai minum obat.

Obat ini diberikan untuk : a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita gagal ( fairule)

c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai ( after default). c. OAT Sisipan


(10)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. (Kemenkes RI, 2011)

2.8.1 Evaluasi Pengobatan dan Kesembuhan 1. Evaluasi Klinis

a) Pasien di evaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

b) Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

c) Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik. 2. Evaluasi Bakteriologis (0-2-6/9 bulan pengobatan)

a) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. b) Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis :

(1) Sebelum pengobatan dimulai

(2) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) (3) Pada akhir prngobatan

c) Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

3. Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada : a) Sebelum pengobatan


(11)

b) Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

4. Evaluasi efek samping secara klinis

Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5. Evaluasi keteraturan berobat

a) Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum/tidaknya obat tersebut.

b) Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. (PDPI, 2006)

Hasil pengobatan penderita TB paru dapat dikategorikan menjadi : 1. Sembuh

Penderita dikatakan sembuh jika hasil pemeriksaan ulang sputum paling sedikit 2 kali berturut-turut negatif, salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan akhir pengobatan. Apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.

2. Pengobatan Lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak ada pemeriksaan ulang sputum, khususnya pada akhir pengobatan (AP). Seharusnya semua penderita BTA positif dilakukan pemeriksaan ulang sputum.


(12)

3. Meninggal

Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun

4. Drop out

Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut: lacak penderita tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur.

5. Gagal

Penderita dikatakan gagal pengobatan TB paru apabila:

a. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum pengobatan intensif atau pada akhir pengobatan katagori 2

b. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan sputumnya pada akhir bulan kedua menjadi positif.

2.8.2 Tatalaksana Penderita yang Berobat tidak Teratur

Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan pengobatan terhadap penderita yang putus berobat tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel :


(13)

Tabel 2.1 .Tata Laksana Pengobatan Penderita tidak Teratur Berobat Lama Pengobatan Sebelumnya Lama Pengobatan Terputus Pemerik saan Dahak Hasil Pemeri ksaan Dahak Diregister Kembali Pengobatan

Kurang dari 1 bulan

< 2 Minggu Tidak - - Lanjutan kat 1

2-8 Minggu Tidak - - Kat 1 dari

awal

8 Minggu Ya Positif - Kat 1 dari

awal

Negatif - Lanjutan kat 1

1-2bulan 1-8 Minggu Ya Positif - Tambahkan

1 bulan sisipan

Negatif - Lanjutan kat 1

>8 Minggu Ya Positif Pengobatan setelah defult

Kat 2 dari awal

Negatif Pengobatan setelah defult

Lanjutan kat 1

>2 bulan < 2 Minggu Tidak - - Lanjutan kat 1

2-8 Minggu Ya Positif - Kat 2 dari

awal

Negatif - Lanjutan kat 1

>8 Minggu Ya Positif Pengobatan setelah defult

Kat 2 dari awal

Negatif Pengobatan setelah defult

Lanjutan kat 1

2.9 Faktor Internal dan Eksternal Kesembuhan Penderita TB

International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) untuk pelayanan Tuberkulosis dalam mencapai kesembuhan penderita TB adalah perlu membina dan


(14)

menilai kepatuhan pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien dan saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Sebagian besar pasien Tuberkulosis menghentikan pengobatan sebelum masa akhir pengobatan yang telah direncanakan atau meminum obat secara salah. Kegagalan menyelesaikan pengobatan Tuberkulosis menuju kegagalan berkepanjangan dan resistensi obat (Hopewel, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan kesembuhan penderita TB ditentukan oleh interaksi lima dimensi yaitu :

1. Faktor sosial dan ekonomi yaitu tidak ada jaringan dukungan sosial yang efektif dan keadaan hidup yang tidak stabil, budaya dan kepercayaan awam tentang penyakit dan pengobatan, stigma, kesukuan, gender, usia, pengobatan yang mahal, biaya transportasi yang tinggi, keterlibatan kriminal dan narkoba.

2. Faktor terkait sistem kesehatan atau tim penyelenggara pelayanan kesehatan yaitu layanan kesehatan yang kurang dikembangkan, hubungan yang tidak memadai antara penyelenggara kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan yang tidak terlatih, kebanyakan tugas atau kurang pengawasan dalam melaksanakan tugas, tidak mampu memprediksi ketidakpatuhan pasien, hubungan dokter dan pasien yang baik, ketersediaan tenaga ahli, kaitan dengan sistem pendukung pasien dan jam kerja yang fleksibel.


(15)

3. Faktor tekait kondisi yaitu yang menyebabkan pasien tidak sembuh karena ketidakpatuhan yang disebabkan penggunaan obat terlarang, gangguan mental karena ketergantungan obat, depresi dan stress psikologi.

4. Faktor terkait pengobatan yaitu paduan obat yang rumit, efek samping obat, toksisiti.

5. Faktor terkait pasien yaitu keadaan pasien yang kadang-kadang lupa, pengucilan akibat stigma dan keyakinan akan keefektifan pengobatan serta motivasi dalam menjalani pengobatan (Hopewel, 2006).

2.4.1 Faktor Internal a. Usia

Kerentanan seseorang untuk terkena penyakit bergantung pada imunitas atau daya tahan tubuh yang dimilikinya. Daya tahan tubuh pada orang dewasa lebih bagus dibandingkan dengan orang lanjut usia. Pada penderita lanjut usia sering terjadi efek samping obat hingga membuat mereka malas meminum obat padahal itu sangat mempengaruhi kesembuhannya. Risiko efek samping yang ditimbulkan oleh streptomisin yang berupa kerusakan syaraf ke delapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran dapat meningkat seiring dengan dosis yang digunakan dan umur penderita (Kemenkes RI, 2011).

b. Jenis Kelamin

Tuberkulosis menyerang sebagian besar wanita pada usianya yang paling produktif, namun pada negara berkembang diperkirakan jumlah penderita laki-laki sama banyaknya dengan perempuan, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian


(16)

tahun 2002 yang menunjukkan bahwa proporsi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu berturut-turut 49,1 % dan 50,9 % (Aditama, 2009). WHO menyebutkan bahwa kematian wanita akibat Tuberkulosis lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. (Kemenkes RI,2011). Menurut data profil Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh bahwa kesembuhan penderita TB wanita lebih tinggi yaitu 84,6 % dibandingkan dengan penderita TB laki-laki hanya 81,4% (Dinkes Aceh, 2013). Kesembuhan penderita TB paru wanita cendrung lebih besar karena tingkat kesadaran berobat lebih baik daripada pria.

c. Pendidikan

Penderita dengan pendidikan rendah dan kecerdasan yang terbatas perlu penanganan yang lebih teliti dalam instruksi tatacara penggunaan obat yang benar.

Karena pendidikan yang rendah akan menganggap aturan minum obat 3x1 sama dan 1x3, sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus. Menurut Langevelt dalam Notoatmodjo (2007) pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaaan yaitu kedewasaaan jasmani dan rohani. Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan tersebut menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah perlaku kearah yang diinginkan, maka tujuan pendidikan kesehatan mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan kearah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan.Menurut peneliti Budiman,dkk (2010) bahwa pendidikan mempengaruhi keteraturan berobat pada penderita TB . Tapi


(17)

menurut penelitian Mariana,dkk (2010) di Kota Jayapura pendidikan tidak mempunyai hubungan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita TB

d. Pekerjaan

Penderita penyakit TB yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih patuh meminum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan penderita yang tidak bekerja, karena pekerjaannya adalah sumber mata pencahariannya, sumber untuk memberikan nafkah dan berguna bagi keluarganya walaupun kondisi tubuh menderita penyakit TB, tetap bekerja. Hasil penelitian Budiman,dkk (2010) bahwa pekerjaan memberikan konstribusi yang kuat terhadap kepatuhan berobat.

e. Pengetahuan

Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007b) adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) mememori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W.Green dalam Notoatmodjo (2007b), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang diharapkan pada awal dari suatu perilaku dan pada umumnya berkorelasi positif dengan perilaku. Fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut penelitian Mariana,dkk (2010) di Kota Jayapura pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat pada penderita TB. Apabila penderita TB memiliki pengetahuan yang baik dan memadai tentang penyakit, cara pengobatannya, jenis


(18)

obat, cara memakan obat tersebut dan akibat bila tidak patuh minum obat yang akan berakibat buruk terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikan didalam kehidupannya sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita TB meningkat. Rendahnya pengetahuan tentang TB dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit TB sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat (Sukana,dkk, 2003)

f. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat lansung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007a) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tetentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : 1) Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)


(19)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi mempunyai sikap yang positif terhadap masalah tersebut. 4) Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

g. Kepercayaan

Kepercayaan adalah sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian, tanpa mewujudkan sikap pro atau anti. Berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang TB yang rendah dapat menimbulkan kepercayaan yang keliru tentang TB dan masih didapatkan stigma di masyarakat. Dari hasil penelitian oleh Machmud R,dkk (2006) di Padang, Pasaman dan Bukit Tinngi Provinsi Sumatera Barat, 31,2% menganggap TB adalah penyakit keturunan, 16,4% malah penyakit orang miskin, 7,6% TB akibat guna-guna, 3,3% penderita TB harus dikucilkan dan 3% TB adalah penyakit kutukan. Menurut Media (2011) dalam penelitiaanya tentang faktor-faktor sosial budaya yang melatarbelakangi rendahnya cakupan penemuan penderita TB Paru 23% masyarakat percaya bahwa penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan tradisional, masyarakat percaya penyakit TB karena di guna-guna, sehingga mareka tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dalam pengobatan TB.


(20)

2.4.2 Faktor Eksternal

a. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS untuk pencapaian kesembuhan penderita TB adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan lansung agar terjamin keteraturan dalam pengobatan

1) Persyaratan PMO

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien c) Bersedia membantu pasien dengan suka rela

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. 2) Siapa yang jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, PKK, tokoh masyarakat atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur samapai selesai pengobatan.

b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur

c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan


(21)

d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksa diri ke Fasyankes. Tugas seorang PMO bukanlah untuk menggantikan kewajiban pasien pasien mengambil obat di Fasyankes.

4) Informasi penting yang perlu difahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya.

a) TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.

d) Cara pemberian obat untuk pasien (tahap intensif dan lanjutan) e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya sertameminta petolongan ke fasyankes. (Kemenkes RI, 2011)

b. Dukungan Keluarga

Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi proses pendiddikan termasuk didalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap


(22)

persoalan-persoalan keluarga akan memberikan konstribusi yang positif bagi upaya kesehatan para anggotanya ( Setiadi, 2008).

Menurut Friedman dalam Setiadi (2008) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Orang-orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

c. Peran Petugas Kesehatan

Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan berperilaku positif. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama serta dan mengambil obat diperiksa dokter terlebih dahulu, maka penderita merasa dihargai dating ke puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang hanya kadang-kadang datang ke tenaga kesehatan, hampir semua orang mempunyai keluhan yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan.

Menurut DepKes RI (2007) penderita sering terputus pengobatannya karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan puskesmas yang buruk dan tidak ada petugas di puskesmas ketika mengambil obat dengan memperhatikan besarnya masalah TB yang dapat menimbulkan penularan pada masyarakat, perlunya penderita


(23)

untuk berobat, pencegahan efek samping dan keteraturan minum obat maka kegiatan penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas merupakan komponen sangat penting perlu dilanjutkan, dikembangkan, dan ditingkatkan perannya dalam pengendalian penyakit TB.

d. Lama Pengobatan

Banyak pasien yang tidak teratur dalam mengkonsumsi obat disebabkan karena lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan, selain itu masih adanya penderita TB paru yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. Pengobatan untuk TB diberikan secara teratur dalam waktu 6-8 bulan dan sedapat mungkin sampai pemeriksaan bakteri negatif pada akhir pengobatan. (Kemenkes RI, 2011)

e. Efek Samping Obat

Efek samping pengobatan kombinasi dosis tetap (KDT) yang umum akan muncul seperti air kemih berwarna merah. Ini disebabkan zat warna dari obat Rifampicin, selain itu perut mual, kembung ini berlangsung hanya beberapa jam setelah minum obat dan tidak menimbulkan bahaya,oleh karena itu penderita harus minum obat secara teratur (Kemenkes RI, 2011).

Alergi muncul pada beberapa penderita TB dapat terjadi yaitu pada salah satu dari obat kombinasi. Yang paling umum terjadi adalah gatal-gatal hebat, bintik-bintik


(24)

merah/gelap pada kulit penderita. Bila ditemui maka penderita dianjurkan untuk menghentikan sementara minum obat dan dirujuk kepuskesmas atau rumah sakit untuk terlebih dahulu mengobati alergi yang ada (Kemenkes RI, 2011).

Semua OAT dapat menyebabkan kerusakan pada hati kecuali etambutol dan sikloserin. Di negara dengan hepatitis tinggi sangat sulit untuk menentukan apakah hepatitis itu karena obat atau karena infeksi. Hepatitis sebagai efek samping mungkin dapat timbul 1% dari pasien yang berobat yang sering terjadi karena tiasetazon dan pirazinamid. Kenaikan enzim serum yang ringan merupakan hal biasa, ini bukan indikasi untuk menghentikan penobatan. Jika ada kehilangan selera makan, penyakit kuning dan pembengkakan hati, pengobatan harus dihentikan sehingga fungsi hati kembali normal. (Crofton,dkk, 2002)

f. Tersediaanya Obat TB

Salah satu untuk menjamin kesembuhan penderita TB dalam strategi DOTS adalah adalah terjamin persediaan obat dalam jumlah mencukupi dan berkualitas di fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011). Upaya pengendalian TB secara umum dikatakan mengalami kegagalan disebabkan salah satunya tidak memadainya tatalaksana pasien karena diagnosis dan paduan obat yang tidak terstandar, obat tidak terjamin penyediaannya.

g. Jarak Tempat Tinggal

Jarak merupakan salah satu faktor penyebab penderita tidak menyelesaikan pengobatan maupun memantau kemajuan pengobatan seperti mengambil obat dan memeriksa ulang dahak. Penelitian Retnaningsih (2005) menunjukkan bahwa


(25)

semakin dekat jarak tempat tinggal kepuskesmas semakin tinggi tingkat kesembuhan penderita.

Faktor biaya dan jarak pelayanan kesehatan dengan rumah berpengaruh terhadap perilaku penggunaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Makin jauh tempat pelayanan kesehatan, masyarakat semakin malas untuk datang ke tempat pelayanan tersebut. Jarak tempat tinggal penderita dengan tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas sering terjadi ketidak patuhan penderita untuk mengambil obat maupun pemeriksaan ulang, karena jarak yang jauh ke tempat pelayanan kesehatan berkaitan dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk transportasi.

2.10 Konsep Perilaku

Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor internal (dari luar diri manusia). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari faktor fisik santara lain sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Konsep H.L.Blum dalam Notoatmodjo (2007b) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu, kelompok, maupun masyarakat dikelompokkan menjadi 4. Berdasarkan urutan besarnya (pengaruh) terhadap kesehatan tersebut adalah :

1. Lingkungan yang mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya


(26)

3. Pelayanan kesehatan 4. Keturunan (hereditas)

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan.Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis.

Beberapa teori yang mengemukakan determinan perilaku berangkat dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain teori Lawrence Green , Snehandu Kar , dan WHO (Notoatmodjo,2007b)

2.10.1 Teori Lawrence Green

Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior couses) dan faktor diluar perilaku (non behavior couses). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya puskesmas, alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.


(27)

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan termasuk kesembuhan dalam suatu pengobatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, dan sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoadmodjo, 2007b).

2.10.2 Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari :

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (sosial support)

c. Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information)

d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy)

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)


(28)

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap obyek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan atau bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak. Faktor lain yang mungkin menyebabkan seseorang tidak berperilaku atau bertindak karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya alasan tidak sesuai dengan kondisi kesehatannya (action situation). (Notoadmodjo, 2007b)

2.10.3 Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap obyek (dalam hal ini adalah obyek kesehatan).

a. Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Seorang anak memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah memperoleh pengalaman, tangan dan kakinya kena api. Seorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat, karena anak tetangganya tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio b. Kepercayaan


(29)

Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa pembuktian.

c. Sikap mengambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata.

d. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang lebih–lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi oleh orang–orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya maka apa yang ia katakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah misalnya, maka gurulah yang menjadi panutan perilaku mareka. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok reference (reference group), antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya.

e. Sumber-sumber daya (resources)

Sumberdaya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumberdaya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif, misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.


(30)

f. Perilaku normal, kebiasaan, nilai–nilai dan penggunaan sumber-sumber dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat atau cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakat disini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan diatas. Perilaku yang normal adalah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat. Seseorang yang tidak mau membuat jamban keluarga, atau tidak mau buang air besar di jamban, mungkin ia mempunyai pemikiran dan perasaan yang tidak enak kalau buang air besar dijamban (thought and feeling). (Notoadmodjo,2007b)

2.11 Landasana Teori

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobakterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.


(31)

Menurut Widoyono,2011, rendahnya angka kesembuhan. disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penderita (perilaku, karakteristik, sosial ekonomi), petugas (perilaku, ketrampilan), ketersediaan obat, lingkungan (geografis), PMO (pengawas menelan obat), serta virulensi dan jumlah kuman.

Sementara itu, upaya pengendalian TB secara umum dikatakan mengalami kegagalan yang disebabkan tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat), tidak memadainya tatalaksana pasien karena diagnosis dan paduan obat yang tidak terstandar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, tidak terstandarnya pencatatan pelaporan sehingga terjadinya kegagalan menyembuhkan pasien yang diobati (Kemenkes RI, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan kesembuhan penderita TB ditentukan oleh interaksi lima dimensi yaitu : Faktor sosial dan ekonomi, faktor terkait sistem kesehatan atau tim penyelenggara pelayanan kesehatan, faktor terkait pengobatan, faktor terkait pasien (Hopewel, 2006).

Perubahan perilaku menurut Green dalam Notoadmodjo (2007b) bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan termasuk kesembuhan dalam suatu pengobatan ditentukan oleh faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya. Disamping itu, faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan fasilitas kesehatan dan faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku para petugas kesehatan yang merupakan referensi dari perilaku masyarakat.


(32)

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini yang mendasari di lakukan penelitian tentang pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.2 Landasan Teori - Faktor sosial/Ekonomi

- Dukungan sosial

- Budaya dan kepercayaan - Stigma, kesukuan, gender, usia - Pengobatan mahal

- Biaya transportasi tinggi - Faktor penderita

- Umur , jenis kelamin, pekerjaan - Pendidikan, pengetahuan , sikap - Keyakinan, kebiasaan

- Faktor Pelayanan Kesehatan - Hubungan penyelengggra Kesehatan dengan pasien - Tenaga kesehatan terlatih - Prediksi ketidak patuhan - Penyuluhan

- Faktor Penderita - Perilaku - Karakteristik - Sosial ekonomi - Faktor petugas

- Perilaku - Keterampilan - Ketersediaan obat - Lingkungan (geografis)

- Pengawas menelan obat (PMO) - Virulensi dan jumlah kuman

(Widoyono, 2011) - Komitmen politik dan pendanaan - Pelayanan Kesehatan

- Diagnosis dan paduan obat

Sembuh Tidak

Sembuh - Faktor sosial/Ekonomi

- Dukungan sosial

- Budaya dan kepercayaan - Stigma, kesukuan, gender, usia - Pengobatan mahal

- Biaya transportasi tinggi - Faktor penderita

- Umur , jenis kelamin, pekerjaan - Pendidikan, pengetahuan , sikap - Keyakinan, kebiasaan

- Faktor Pelayanan Kesehatan - Hubungan penyelengggra Kesehatan dengan pasien - Tenaga kesehatan terlatih - Prediksi ketidak patuhan - Penyuluhan

- Faktor Pengobatan - Paduan obat - Efek samping obat - Ketersediaan obat

(ISTC, 2006)

- Faktor Penderita - Perilaku - Karakteristik - Sosial ekonomi - Faktor petugas

- Perilaku - Keterampilan - Ketersediaan obat - Lingkungan (geografis)

- Pengawas menelan obat (PMO) - Virulensi dan jumlah kuman

(Widoyono, 2011) - Komitmen politik dan pendanaan - Pelayanan Kesehatan

- Diagnosis dan paduan obat - Ketersedian obat

- Pemantauan

- Pencatatan dan pelaporan


(33)

2.12 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka sebagai kerangka konsep tidak semua variabel di operasionalkan dalam penelitian ini, mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan biaya mka variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu sebagai variabel independent adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kepercayaan, peran PMO, peran petugas, dukungan keluarga, efek samping obat, lamanya minum obat, jarak tempat tinggal ke puskesmas, sebagai variabel dependen adalah kesembuhan penderita Tuberkulosis. Kerangka konsep tersebut dapat dilihat dalam bagan dibawah ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Internal 1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Pengetahuan 6. Sikap

7. Kepercayaan Faktor Eksternal

1. Peran PMO 2. Peran petugas

kesehatan

3. Dukungan keluarga 4. Efek samping obat 5. Lama pengobatan 6. Tersedianya obat 7. Jarak tempat tinggal

Kesembuhan Penderita Tuberkulosis


(1)

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap obyek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan atau bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak. Faktor lain yang mungkin menyebabkan seseorang tidak berperilaku atau bertindak karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya alasan tidak sesuai dengan kondisi kesehatannya (action situation). (Notoadmodjo, 2007b)

2.10.3 Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap obyek (dalam hal ini adalah obyek kesehatan).

a. Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Seorang anak memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah memperoleh pengalaman, tangan dan kakinya kena api. Seorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat, karena anak tetangganya tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio b. Kepercayaan


(2)

Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa pembuktian.

c. Sikap mengambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata.

d. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang lebih–lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi oleh orang–orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya maka apa yang ia katakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah misalnya, maka gurulah yang menjadi panutan perilaku mareka. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok reference (reference group), antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya.

e. Sumber-sumber daya (resources)

Sumberdaya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumberdaya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif, misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.


(3)

f. Perilaku normal, kebiasaan, nilai–nilai dan penggunaan sumber-sumber dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat atau cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakat disini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan diatas. Perilaku yang normal adalah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat. Seseorang yang tidak mau membuat jamban keluarga, atau tidak mau buang air besar di jamban, mungkin ia mempunyai pemikiran dan perasaan yang tidak enak kalau buang air besar dijamban (thought and feeling). (Notoadmodjo,2007b)

2.11 Landasana Teori

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobakterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.


(4)

Menurut Widoyono,2011, rendahnya angka kesembuhan. disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penderita (perilaku, karakteristik, sosial ekonomi), petugas (perilaku, ketrampilan), ketersediaan obat, lingkungan (geografis), PMO (pengawas menelan obat), serta virulensi dan jumlah kuman.

Sementara itu, upaya pengendalian TB secara umum dikatakan mengalami kegagalan yang disebabkan tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat), tidak memadainya tatalaksana pasien karena diagnosis dan paduan obat yang tidak terstandar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, tidak terstandarnya pencatatan pelaporan sehingga terjadinya kegagalan menyembuhkan pasien yang diobati (Kemenkes RI, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan kesembuhan penderita TB ditentukan oleh interaksi lima dimensi yaitu : Faktor sosial dan ekonomi, faktor terkait sistem kesehatan atau tim penyelenggara pelayanan kesehatan, faktor terkait pengobatan, faktor terkait pasien (Hopewel, 2006).

Perubahan perilaku menurut Green dalam Notoadmodjo (2007b) bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan termasuk kesembuhan dalam suatu pengobatan ditentukan oleh faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya. Disamping itu, faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti ketersediaan fasilitas kesehatan dan faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku para petugas kesehatan yang merupakan referensi dari perilaku masyarakat.


(5)

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar di bawah ini yang mendasari di lakukan penelitian tentang pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.2 Landasan Teori

- Faktor sosial/Ekonomi - Dukungan sosial

- Budaya dan kepercayaan - Stigma, kesukuan, gender, usia - Pengobatan mahal

- Biaya transportasi tinggi - Faktor penderita

- Umur , jenis kelamin, pekerjaan - Pendidikan, pengetahuan , sikap - Keyakinan, kebiasaan

- Faktor Pelayanan Kesehatan - Hubungan penyelengggra Kesehatan dengan pasien - Tenaga kesehatan terlatih - Prediksi ketidak patuhan - Penyuluhan

- Faktor Penderita - Perilaku - Karakteristik - Sosial ekonomi - Faktor petugas

- Perilaku - Keterampilan - Ketersediaan obat - Lingkungan (geografis)

- Pengawas menelan obat (PMO) - Virulensi dan jumlah kuman

(Widoyono, 2011) - Komitmen politik dan pendanaan - Pelayanan Kesehatan

- Diagnosis dan paduan obat

Sembuh Tidak

Sembuh - Faktor sosial/Ekonomi

- Dukungan sosial

- Budaya dan kepercayaan - Stigma, kesukuan, gender, usia - Pengobatan mahal

- Biaya transportasi tinggi - Faktor penderita

- Umur , jenis kelamin, pekerjaan - Pendidikan, pengetahuan , sikap - Keyakinan, kebiasaan

- Faktor Pelayanan Kesehatan - Hubungan penyelengggra Kesehatan dengan pasien - Tenaga kesehatan terlatih - Prediksi ketidak patuhan - Penyuluhan

- Faktor Pengobatan - Paduan obat - Efek samping obat - Ketersediaan obat

(ISTC, 2006)

- Faktor Penderita - Perilaku - Karakteristik - Sosial ekonomi - Faktor petugas

- Perilaku - Keterampilan - Ketersediaan obat - Lingkungan (geografis)

- Pengawas menelan obat (PMO) - Virulensi dan jumlah kuman

(Widoyono, 2011) - Komitmen politik dan pendanaan - Pelayanan Kesehatan

- Diagnosis dan paduan obat - Ketersedian obat

- Pemantauan

- Pencatatan dan pelaporan


(6)

2.12 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka sebagai kerangka konsep tidak semua variabel di operasionalkan dalam penelitian ini, mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan biaya mka variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu sebagai variabel independent adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kepercayaan, peran PMO, peran petugas, dukungan keluarga, efek samping obat, lamanya minum obat, jarak tempat tinggal ke puskesmas, sebagai variabel dependen adalah kesembuhan penderita Tuberkulosis. Kerangka konsep tersebut dapat dilihat dalam bagan dibawah ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Internal

1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Pengetahuan 6. Sikap

7. Kepercayaan

Faktor Eksternal

1. Peran PMO 2. Peran petugas

kesehatan

3. Dukungan keluarga 4. Efek samping obat 5. Lama pengobatan 6. Tersedianya obat 7. Jarak tempat tinggal

Kesembuhan Penderita Tuberkulosis