Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie

(1)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PIDIE KABUPATEN PIDIE

TESIS

Oleh

AL JUWAINI 127032055/IKM

\\\\\\\\\\

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF INTERNAL AND EKSTERNAL FACTORS ON THE RECOVERY OF TUBERCULOSIS PATIENTS IN THE WORKING

AREA OF PIDIE PUSKESMAS, PIDIE DISTRIC

THESIS

BY

AL JUWAINI 127032055/IKM

\\\\\\\\\\

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PIDIE KABUPATEN PIDIE

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administarasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh AL JUWAINI 127032055/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PIDIE KABUPATEN PIDIE

Nama Mahasiswa : Al Juwaini Nomor Induk Mahasiwa : 127032055

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Ketua

) (drh. Hiswani, M.Kes

Anggota )

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 22 Juli 2014

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

2. drh. Rasmaliah, M.Kes 3. dr.Taufik Ashar, MKM


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PIDIE KABUPATEN PIDIE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulisndiacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Juli 2014 Penulis

Al Juwaini 127032055/IKM


(7)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobakterium tuberculosis. Program pengendalian penyakit TB di Puskesmas Pidie baru mencapai kesembuhan 81,2% tahun 2011 dan 79,2% tahun 2012 dari target >85%. Hal ini menunjukkan bahwa angka penularan penyakit TB masih sangat tinggi.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita TB.

Jenis penelitian survey explanatory dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini seluruh penderita TB BTA Positif yang melakukan pengobatan di triwulan 1 tahun 2011 sampai triwulan 2 2013 di wilayah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie sebanyak 102 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji chi-square, fisher exact dan regresi logistik berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita TB yang sembuh 73 orang (71,6%). Secara statistik dengan uji chi-square diperoleh p-value dan Rasio Prevalen (RP) untuk variabel pengetahuan (p=0,001, RP=1.721, 95%CI.1,200-2,469), sikap (p=0,020, RP=1.457, 95%CI.1,001-2,120), kepercayaan (p=0,001, RP=1,401, 95%CI.1,066-1,840), peran PMO (p=0,001, RP=3,178, 95%CI.1,394-7,246), peran petugas kesehatan (p=0,008, RP=1,465, 95%CI.1,036-2,072) dan dukungan keluarga (p=0,001, RP=1,457, 95%CI.1,085-1,955) berpengaruh secara signifikan terhadap kesembuhan penderita TB. Hasil uji regresi logistik berganda diperoleh variabel yang signifikan adalah pengetahuan (p=0,001, exp (β)=10,792), peran PMO (p=0,003, exp (β)=6,203), dukungan keluarga (p=0,005, exp (β)=6,636). Variabel pengetahuan memberikan pengaruh paling besar terhadap kesembuhan penderita TB dengan exp (β)=10,792.

Disarankan kepada dokter puskesmas dan petugas TB untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan memberikan penyuluhan kesehatan terutama tentang penyakit TB dan akibat tidak patuh berobat kepada penderita dan keluarga, sebelum melakukan pengobatan. Penetapan PMO dilakukan secara bersama dan disetujui penderita sehingga peran PMO benar-benar berfungsi dalam membantu penderita selama melakukan pengobatan sampai sembuh.


(8)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a direct transmitted disease, caused by Mycobacterium tuberculosis. The program for handling tuberculosis at Pidie Puskesmas had only reached the recovery of 81.2% in 2011 and 79.2% in 2012 from >85% of the target. It indicates that the rate of the transmission of tuberculosis is still very high. The objective of the research was to find out the influence of internal and external factors on the recovery of tuberculosis patients.

The type of the research was an explanatory survey with cross sectional design. The population was 102 BTA positive tuberculosis patient who were under the treatment from quarter 1 of 2011 to the quarter 2 of 2013 in the working area of Pidie Puskesmas, Pidie Distric, and all of them were used as the samples. The data were gathered by distributing questionnaires and analyzed by using chi square test,

fisher exact test and multiple logistic regression tests at α = 0.05.

The results of research showed that 73 tuberculosis patients were recovered from tuberculosis (71.6%). The result of chi square test showed that p-value and Prevalent Ratio (RP) for the variables of knowledge (p = 0.001, PR = 1.721,

95%CI.1,200-2,469), attitude (p = 0.020 , PR = 1.457, 95%CI.1,001-2,120), reliability (p = 0.001, PR = 1,401, 95%CI.1,066-1,840), role of PMO (p = 0.001, PR = 3,178, 95%CI.1,394-7,246), role of health care providers (p = 0.008, PR = 1,465,

95%CI.1,036-2,072) and family support (p = 0.001, PR = 1,457, 95%CI.1,085-1,955) had significant influence on the recovery from tuberculosis. The results of multiple logistic regression tests showed that the significant variable were knowledge (p =

0.001, exp (β) = 10,792), role of PMO (p = 0.003, exp (β) = 6.203) and family

support (p = 0.005, exp (β) = 6.636). The variable of knowledge had the most

dominant influence on the recovery from tuberculosis at exp (β)=10,792.

It is recommended that doctors at Puskesmas and health care providers in tuberculosis provide health counseling particularly about tuberculosis and about the patients’ and their families’ non-compliance before doing medication. It is also recommended that PMO was performed by all parties and agreed by the patients so that it is functioned in helping them during the medication until the recovery.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “ Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie ”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam penyusunan tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkanan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan drh.Hiswani, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 5. drh. Rasmaliah, M.Kes dan dr.Taufik Ashar, MKM, sebagai komisi penguji atau

pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat ,Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie beserta jajarannya yang telah membantu memberikan data dan izin penelitian

8. Kepala Puskesmas Pidie beserta staf program P2TB yang telah membantu memberikan izin penelitian, data dan dalam pelaksanakan penelitian.

9. Kepala Puskesmas Indrajaya beserta staf program P2TB yang telah membantu dan memberikan izin untuk melakukan uji kuesioner

10. Teristimewa buat Isteri tercinta dan anak-anakku tersayang yang penuh pengertian dan kesabaran sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.


(11)

11. Ibuku tersayang, abang, kakak dan adik yang senantiasa berdo’a serta telah banyak memberi dukungan baik moril dan materil untuk penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

12. Rekan-rekan mahasiswa(i) S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan masukan dan saran-saran dalam penyusunan tesis ini hingga selesai.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan penuh harapan semoga tesis ini bagi semua pihak.

Medan, Juli 2014 Penulis

Al Juwaini 127032055/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Al Juwaini dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1975 di Teubeng Dayah Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie. Anak kelima dari 7 (tujuh) bersaudara, dari pasangan ayahanda Muhammad Hasan (alm) dan Ibunda Maimunah. Tahun 2006 menikah dengan Siti Aminah, AMK dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Aisha Nabila dan Muhammad Luthfi.

Pendidikan formal Sekolah Dasar dimulai tahun 1981-1987 di SD Negeri 1 Teubeng, tahun 1987-1990 pendidikan SMP Negeri 2 Tijue Sigli, tahun 1990-1993 pendidikan di SMA Negeri 1 Sigli, tahun 1994-1996 pendidikan di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Universitas Jabal Ghafur Sigli, tahun 2001-2002 pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jabal Ghafur Sigli, tahun 2010-2011 pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Teuku Umar Meulaboh dan tahun 2012 sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pendidikan non formal yang pernah di ikuti antara lain pelatihan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 2003. Pelatihan nasional Wasor Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Bogor tahun 2004, Pelatihan nasional Wasor Pengendalian Penyakit Kusta di Makasar tahun 2005.

Sejak tahun 2003 sampai sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat.


(13)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK…….………... ABSTRACK... KATA PENGANTAR………... RIWAYAT HIDUP………... DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL.………..………... DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR LAMPIRAN………. BAB 1. PENDAHULUAN………...

1.1 Latar Belakang………... 1.2 Permasalahan……..……… 1.3 Tujuan Penelitian……… 1.3.1 Tujuan Umum………..

1.3.2 Tujuan Khusus……….. 1.4 Hipotesis………... 1.5 Manfaat Penelitian ………. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………...

2.1 Definisi Tuberkulosis……….……… 2.2 Etiologi ……….. 2.3 Patogenesis………. 2.4 Diagnosis Tuberkulosis……….. 2.5 Gejala-gejala Tuberkulosis………. 2.6 Epidemiologi Tuberkulosis dan Riwayat Alamiahnya…… 2.7 Pencegahan Tuberkulosis………... 2.8 Pengobatan Tuberkulosis………..……. 2.8.1 Evaluasi Pengobatan……...……….. 2.8.2 Tatalaksana Penderita yang Berobat tidak

Teratur………... 2.9 Faktor Internal dan Eksternal Kesembuhan Penderita

Tuberkulosis………...………… 2.9.1 Faktor Internal……...………... 2.9.2 Faktor Eksternal……..………... 2.10 Konsep Perilaku………

2.10.1 Teori Lawrence Green……….…... 2.10.2 Teori Snehandu B.Kar………... 2.10.3 Teori WHO……….………

i ii iii vi vii x xii xiii 1 1 10 11 11 11 12 13 14 14 14 15 16 17 18 20 21 24 26 28 29 35 41 42 43 44


(14)

2.11 Landasan Teori…………... ……….……… 2.12 Kerangka Konsep………... BAB 3. METODE PENELITIAN………...………... 3.1 JenisPenelitian……….…………... 3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian……… 3.2.1 Lokasi Penelitian... 3.2.2 Waktu Penelitian……… 3.3 Populasi dan Sampel………...…….…..

3.3.1 Populasi………..

3.3.2 Sampel………

3.4 Metode Pengumpulan Data …..………... 3.4.1 Data Primer….……….….. 3.4.2 Data Sekunder...……..….……….. 3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner……… 3.5 Variabel dan Definisi Operasional ………...……... 3.6 Metode Pengukuran……….………... 3.7 Metode Analisis Data………... 3.7.1 Analisis Univariat………... 3.7.2 Analisis Bivariat………... 3.7.3 Analisis Multivariat……… BAB 4. HASIL PENELITIAN………...………... 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………. 4.1.1 Kondisi Geografi... 4.1.2 Demografi……… 4.2 Analisis Univariat.………...…….….. 4.2.1 Kesembuhan Penderita Tuberkulosis……...……….. 4.2.2 Faktor Internal …………..….……… 4.2.3 Faktor Eksternal …………..….……… 4.3 Analisis Bivariat…….. ……….………...

4.3.1 Hubungan Faktor Internal dengan Kesembuhan Penderita TB...……….……….….. 4.3.2 Hubungan Faktor Eksternal dengan Kesembuhan

Penderita TB...……….……….….. 4.4 Analisis Multivariat……. ………...……... BAB 5. PEMBAHASAN…….…….………...………...

5.1 Kesembuhan Penderita Tuberkulosis (TB)………. 5.2 Hubungan Faktor Internal dengan Kesembuhan Penderita

TB……..………... 5.2.1 Hubungan Umur dengan Kesembuhan Penderita

TB……..………... 47 49 51 51 51 51 51 52 52 52 52 52 53 53 56 58 61 61 61 63 65 65 65 65 67 67 68 70 72 72 76 80 85 85 86


(15)

5.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kesembuhan Penderita TB……..……….…………. 5.2.3 Hubungan Pendidikan dengan Kesembuhan

Penderita TB……..……… 5.2.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kesembuhan Penderita

TB……..……….. 5.2.5 Hubungan Pengetahuan dengan Kesembuhan

Penderita TB……..……….. 5.2.6 Hubungan Sikap dengan Kesembuhan Penderita

TB……..……….. 5.2.7 Hubungan Kepercayaan dengan Kesembuhan

Penderita TB……..………... 5.3 Hubungan Faktor Eksternal dengan Kesembuhan Penderita

TB……..………..……… 5.3.1 Hubungan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)

dengan Kesembuhan Penderita TB………... 5.3.2 Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan

Kesembuhan Penderita TB……..……….….. 5.3.3 Hubungan Dukungan Keluarga dengan

Kesembuhan Penderita TB……….….………...

5.3.4 Hubungan Efek Samping Obat dengan Kesembuhan Penderita TB……..……….

5.3.5 Hubungan Lama Pengobatan dengan Kesembuhan Penderita TB……..………. 5.3.6 Hubungan Ketersediaan OAT dengan Kesembuhan

Penderita TB……..………. 5.3.7 Hubungan Jarak Tempat Tinggal dengan

Kesembuhan Penderita TB……..………... 5.4 Keterbatasan Penelitian……… BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN…...………...

6.1 Kesimpulan……….. 6.2 Saran……….………...…….….. DAFTAR PUSTAKA……… LAMPIRAN………... 86 88 89 90 92 94 96 97 97 99 100 102 104 105 106 111 112 112 113 115 119


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 3.1 3.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10

Tata Laksana Pengobatan Penderita tidak Teratur Berobat……….…. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian………. Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Dependen………... Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2013………….. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2013………. Jenis dan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2013………. Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2013……… Distribusi Responden Berdasarkan Kesembuhan di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014.………... Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Internal Kesembuhan di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014.……... Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Eksternal Kesembuhan di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014.……... Hubungan Faktor Internal terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014………....……… Hubungan Faktor Eksternal terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014………....……… Pengaruh Pekerjaan Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan, Peran PMO, Peran Petugas Kesehatan, Dukungan Keluarga terhadap Kesembuhan

27 54 59 65 65 66 67 68 69 70 73 76


(17)

4.11

Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014………. Pengaruh Pengetahuan, Peran PMO, Dukungan Keluarga terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie Tahun 2014………

80


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. 2.2. 2.3.

Faktor Risiko Kejadian TB…….………... LandasanTeori……… Kerangka Konsep Penelitian………...

20 49 50


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12. 13. 14.

Surat Pernyataan Kesediaan Responden……….... Kuesioner Penelitian……….………. Tabel Skor……….. Jadwal Penelitian………... Master Data Penelitian……….., Analisis Univariat……….. Analisis Bivariat……… Analisis Multivariat……….. Uji Validitas dan Reliabilitas………. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan……… Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie………...……… Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Puskesmas Pidie…...……… Surat Keterangan Selesai Uji Kuesioner dari Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie………..…...…….. Peta Kecamatan Pidie ……….

119 120 129 130 131 132 138 157 164 170 171 172 173 174


(20)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobakterium tuberculosis. Program pengendalian penyakit TB di Puskesmas Pidie baru mencapai kesembuhan 81,2% tahun 2011 dan 79,2% tahun 2012 dari target >85%. Hal ini menunjukkan bahwa angka penularan penyakit TB masih sangat tinggi.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita TB.

Jenis penelitian survey explanatory dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini seluruh penderita TB BTA Positif yang melakukan pengobatan di triwulan 1 tahun 2011 sampai triwulan 2 2013 di wilayah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie sebanyak 102 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji chi-square, fisher exact dan regresi logistik berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita TB yang sembuh 73 orang (71,6%). Secara statistik dengan uji chi-square diperoleh p-value dan Rasio Prevalen (RP) untuk variabel pengetahuan (p=0,001, RP=1.721, 95%CI.1,200-2,469), sikap (p=0,020, RP=1.457, 95%CI.1,001-2,120), kepercayaan (p=0,001, RP=1,401, 95%CI.1,066-1,840), peran PMO (p=0,001, RP=3,178, 95%CI.1,394-7,246), peran petugas kesehatan (p=0,008, RP=1,465, 95%CI.1,036-2,072) dan dukungan keluarga (p=0,001, RP=1,457, 95%CI.1,085-1,955) berpengaruh secara signifikan terhadap kesembuhan penderita TB. Hasil uji regresi logistik berganda diperoleh variabel yang signifikan adalah pengetahuan (p=0,001, exp (β)=10,792), peran PMO (p=0,003, exp (β)=6,203), dukungan keluarga (p=0,005, exp (β)=6,636). Variabel pengetahuan memberikan pengaruh paling besar terhadap kesembuhan penderita TB dengan exp (β)=10,792.

Disarankan kepada dokter puskesmas dan petugas TB untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan memberikan penyuluhan kesehatan terutama tentang penyakit TB dan akibat tidak patuh berobat kepada penderita dan keluarga, sebelum melakukan pengobatan. Penetapan PMO dilakukan secara bersama dan disetujui penderita sehingga peran PMO benar-benar berfungsi dalam membantu penderita selama melakukan pengobatan sampai sembuh.


(21)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a direct transmitted disease, caused by Mycobacterium tuberculosis. The program for handling tuberculosis at Pidie Puskesmas had only reached the recovery of 81.2% in 2011 and 79.2% in 2012 from >85% of the target. It indicates that the rate of the transmission of tuberculosis is still very high. The objective of the research was to find out the influence of internal and external factors on the recovery of tuberculosis patients.

The type of the research was an explanatory survey with cross sectional design. The population was 102 BTA positive tuberculosis patient who were under the treatment from quarter 1 of 2011 to the quarter 2 of 2013 in the working area of Pidie Puskesmas, Pidie Distric, and all of them were used as the samples. The data were gathered by distributing questionnaires and analyzed by using chi square test,

fisher exact test and multiple logistic regression tests at α = 0.05.

The results of research showed that 73 tuberculosis patients were recovered from tuberculosis (71.6%). The result of chi square test showed that p-value and Prevalent Ratio (RP) for the variables of knowledge (p = 0.001, PR = 1.721,

95%CI.1,200-2,469), attitude (p = 0.020 , PR = 1.457, 95%CI.1,001-2,120), reliability (p = 0.001, PR = 1,401, 95%CI.1,066-1,840), role of PMO (p = 0.001, PR = 3,178, 95%CI.1,394-7,246), role of health care providers (p = 0.008, PR = 1,465,

95%CI.1,036-2,072) and family support (p = 0.001, PR = 1,457, 95%CI.1,085-1,955) had significant influence on the recovery from tuberculosis. The results of multiple logistic regression tests showed that the significant variable were knowledge (p =

0.001, exp (β) = 10,792), role of PMO (p = 0.003, exp (β) = 6.203) and family

support (p = 0.005, exp (β) = 6.636). The variable of knowledge had the most

dominant influence on the recovery from tuberculosis at exp (β)=10,792.

It is recommended that doctors at Puskesmas and health care providers in tuberculosis provide health counseling particularly about tuberculosis and about the patients’ and their families’ non-compliance before doing medication. It is also recommended that PMO was performed by all parties and agreed by the patients so that it is functioned in helping them during the medication until the recovery.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. TB merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2011).

Situasi TB didunia semakin memburuk sejak tahun 1990, jumlah kasus TB meningkat setiap tahunnya dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Pada tahun 1993 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (WHO, 2010).

Berdasarkan data WHO situasi penyakit TB global pada tahun 2012 dilaporkan 8,6 juta orang penderita TB, 33,7% adalah perempuan, 13% dengan HIV positif, 6% anak-anak dibawah 15 tahun dan 15% meninggal akibat penyakit ini.


(23)

Pada tahun 2011 ada 5,4 juta kasus baru TB, termasuk 20% kasus TB pada orang dengan HIV, diperkirakan 3,4% dari kasus TB baru adalah TB MDR atau TB resistan obat (WHO, 2013).

Kawasan Asia Tenggara pada tahun 2012 angka kejadian TB merupakan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lain dunia yaitu 2,5 juta kasus (29%), Afrika 2,3 juta kasus (27% ) dan Pasifik Barat 1,6 juta kasus (19%). Meskipun pada tahun 2012 tingkat kematian karena TB menurun sebesar 45% , dimana angka case fatality rate (CFR) di Asia Tenggara mencapai 20% setiap tahunnya (WHO, 2013).

Penemuan dan pengobatan kasus TB sampai sembuh merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994 WHO telah mengembangkan suatu strategi pengendalian TB yang dikenal Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Lima elemen strategi DOTS sebagai berikut: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan dana, 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, 3) Pengobatan yang standar, untuk semua kasus TB dengan manajemen kasus yang tepat dengan supervisi dan dukungan bagi pasien, 4) Sistem pengelolaan dan ketersedian obat yang efektif dan dijamin kualitasnya, 5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil kinerja keseluruhan program (WHO, 2009a)

Strategi DOTS telah berhasil membantu tercapainya dua sasaran yang dideklarasikan Word Health Assembly (WHA) tahun 1991, yaitu deteksi kasus baru


(24)

85% dari kasus pada tahun 2000. Meskipun demikian kecepatan kemajuan sampai saat ini diperkirakan tidak cukup untuk mencapai target penurunan prevalensi dan mortalitas TB dari Milenium Devolopment Goals (MDG) menjadi 50% pada tahun 2015. Karena itu diperlukan kontinuitas implimentasi strategi DOTS agar program itu dapat mencapai target dan bahkan meningkatkan target indikator-indikator keberhasilan program hingga tahun 2015 (WHO, 2009b).

Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB di Indonesia mulai menerapkan strategi DOTS. Strategi DOTS ini dan dilaksanakan di puskesmas secara bertahap, sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar, sampai tahun 2009 keterlibatan dalam program pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98% puskesmas, sementara rumah sakit umum dan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) mencapai sekitar 50% (Kemenkes RI, 2012a).

Fakta menunjukkan bahwa TB sampai saat ini masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain:

a. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 didunia setelah India, Cina, Afika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2009a). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan CFR mencapai 14,5%.

b. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit


(25)

kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi;

c. Hasil survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka

insidensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional insidensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah yaitu: 1) wilayah Sumatera angka insidensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa angka insidensi TB adalah 110 per 100.000 Penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka insidensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. 4) khusus untuk Provinsi DIY dan Bali angka

insidensi TB adalah 64 per 100.000 penduduk. Hasil survei mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) tentang TB tahun 2004 juga menunjukkan bahwa 76% keluarga pernah mendengar tentang TB, 26% dapat menyebutkan dua tanda gejala utama, hanya 51% memahami cara penularannya dan 19% yang mengetahui bahwa program penanggulangan TB menyediakan obat TB secara gratis (Kemenkes RI, 2011).

Sementara itu, upaya pengendalian TB secara umum dikatakan mengalami kegagalan, walaupun kuman TB telah ditemukan pada tahun 1882 dan OAT telah ditemukan sejak tahun 1944. Sebab utama kegagalan tersebut antara lain: tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB karena kurang terakses oleh masyarakat, tidak memadainya tatalaksana pasien karena diagnosis dan paduan obat yang tidak terstandar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, tidak terstandarnya


(26)

pencatatan pelaporan sehingga terjadinya kegagalan menyembuhkan pasien yang diobati (Kemenkes RI, 2011).

Secara nasional situasi TB di Indonesia tahun 2011 tercatat bahwa angka

prevalensi TB 284 per 100.000 penduduk dengan penemuan kasus 82,30%, hal ini sudah menurun dibandingkan pada tahun 2010 prevalensinya 289 per 100.000 penduduk dengan kesembuhannya sebesar 86,7% dan tahun 2009 prevalensi 285 per 100.000 penduduk, dimana tahun 2009 dan 2010 insidensi penyakit TB tetap 189 per 100.000 penduduk dan mortalitas 27 per 100.000 penduduk.(Kemenkes RI,2012).

Berdasarkan laporan program P2TB dalam profil Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh Tahun 2010 prevalensi TB adalah 99,9 per 100.000 dengan penemuan penderita BTA Positif atau Case Detection Rate (CDR) 49,9% dan kesembuhan 81,0 %, tahun 2011 prevalensi TB 94,3 per 100.000 penduduk dengan CDR 48,6% dan kesembuhan sebanyak 86,2%, pada tahun 2012 prevalensi TB 103,9 per 100.000 penduduk dengan CDR 53,3% dan kesembuhan 83%, pencapaian ini masih jauh dari target nasional yang diharapkan CDR sekurang-kurangnya 70% dan kesembuhan lebih dari 85% (Dinkes Aceh, 2013).

Demikian pula halnya dengan Kabupaten Pidie yang merupakan salah satu dari 23 kabupaten /kota yang ada di wilayah Pemerintah Aceh. Berdasarkam profil Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie tahun 2012, jumlah puskesmas yang ada di Kabupaten Aceh Pidie berjumlah 26 unit, terdiri dari Puskesmas rawat inap 8 unit,


(27)

Puskesmas rawat jalan 18 unit , Puskesmas pembantu (Pustu) 70 unit, Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) 84 unit (Dinkes Pidie, 2013).

Berdasarkan data laporan Program Pengendalian Penyakit TB Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie sejak tahun 2011 prevalensi TB 113 per 100.000 penduduk dengan CDR 69,8% dengan kesembuhan 80,1%, tahun 2012 prevalensi

TB 114 per 100.000 penduduk dengan CDR 66,6% dan kesembuhan 80,3% dan tahun 2013 prevalensinya 101 per 100.000 penduduk dengan CDR 58,1% yang belum dievaluasi kesembuhannya (Dinkes Pidie, 2013).

Hal tersebut diatas juga menunjukkan bahwa penemuan penderita TB lebih dari 70% dan kesembuhan penderita TB lebih dari 85% belum mencapai target yang diharapkan. Rendahnya penemuan kasus dan angka kesembuhan. disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penderita (perilaku, karakteristik, sosial ekonomi), petugas (perilaku, ketrampilan), ketersediaan obat, lingkungan (geografis), pengawas menelan obat (PMO), serta virulensi dan jumlah kuman (Widoyono,2011).

Keberhasilan pengobatan TB sangat ditentukan oleh adanya keteraturan atau kepatuhan minum OAT. Hal ini dapat dicapai dengan adanya PMO yang memantau dan mengingatkan penderita untuk minum obat secara teratur. Koloborasi petugas kesehatan, dukungan keluarga dan PMO yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat kesembuhan (Purwanta, 2005).

Banyak pasien yang tidak teratur dalam mengkonsumsi obat disebabkan karena lamanya waktu pengobatan TB yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat


(28)

saja merupakan beban bagi penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan, selain itu masih adanya penderita TB yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB yang mempunyai kemungkinan lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB (Widoyono, 2011).

Hasil penelitian Budiman,dkk (2010) di Rumah Sakit Umum Cibabat Cimahi dalam meningkatkan kesembuhan penderita TB sangat tergantung dari kepatuhan minum obat pasien TB, dimana variabel umur mempunyai korelasi (hubungan) yang sangat kuat (r=0,76), pendidikan mempunyai korelasi yang kuat (r=0,65), penghasilan mempunyai korelasi yang kuat (r=0,72), sikap mempunyai korelasi yang kuat (r=0,56), sedangkan PMO mempunyai korelasi yang sedang (r=0,34) terhadap kepatuhan minum obat pasien TB.

Puskesmas Pidie termasuk salah satu Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) di Kabupaten Pidie yang merupakan puskesmas rawat jalan. Wilayah kerja Puskesmas ini meliputi 64 desa. Sarana kesehatan lainnya yang terdapat diwilayah Puskesmas Pidie antara lain 4 unit Puskesmas Pembantu (Pustu), 8 unit Polindes/Poskesdes. Sedangkan tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Pidie terdiri 2 orang dokter umum, 1 orang dokter gigi, 1 orang sarjana kesehatan masyarakat, 72 orang bidan, 20 orang perawat, 10 orang sanitarian, 1 orang analis, 1 orang asisten apoteker dan 1 oarang perawat gigi (Puskesmas Pidie, 2013).

Cakupan pelayanan kesehatan khususnya program P2 TB di Puskesmas Pidie belum mencapai target yang ditetapkan. Pada tahun 2011 cakupan penemuan


(29)

penderita TB BTA positif hanya 57, 3% dengan kesembuhan 81,2%. Sedangkan pada tahun 2012 penemuan penderita TB BTA positif yaitu 52,1% dengan kesembuhan 79,2%, tahun 2013 terjadi penurunan penemuan penderita yaitu 31,8% yang masih dalam pengobatan, adapun target penemuan penderita yang diharapkan harus >70% dengan kesembuhan >85% . Hal ini menunjukkan bahwa angka penularan penyakit TB diwilayah kerja Puskesmas Pidie masih sangat tinggi (Puskesmas Pidie, 2013).

Masih rendahnya kesembuhan penderita TB yang melakukan pengobatan banyak faktor yang mempengaruhinya, sebagaimana hasil dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap 10 orang penderita TB BTA positif yang melakukan pengobatan pada tahun 2012 diwilayah kerja Puskesmas Pidie, didapatkan bahwa 2 orang (20%) yang tidak menyelesaikan pengobatan karena telah merasa sembuh setelah minum obat 3 bulan dan merasa bosan minum obat cukup lama, 8 orang (80%) menyatakan bahwa petugas tidak pernah datang untuk melakukan kunjungan rumah serta hanya 5 orang (50%) yang menyatakan dengan benar cara penularan TB.

Faktor demografi juga didapatkan bahwa sebagian besar penderita TB tersebut bekerja sebagai petani dan tukang dan hanya menyelesaikan pendidikan SMP dan tamat SD. Hal ini berdampak pada pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan sikap terhadap pengobatan TB sampai selesai, dimana masih banyak penderita TB yang tidak memahami pentingnya pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui kemajuan pengobatan.

Pengobatan yang lama yang di lakukan penderita TB untuk mencapai kesembuhan juga sangat dibutuhkan dukungan keluarga. Menurut informasi dari


(30)

petugas kesehatan, sangat sedikit sekali penderita TB yang didampingi keluarga saat memeriksa dan mengambil OAT ke puskesmas dengan alasan sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petugas juga jarang melakukan kunjungan rumah untuk melakukan pelacakan bila penderita putus berobat dan melakukan pemeriksaan kontak serumah dengan alasan tidak ada biaya.

Faktor lain yang ikut berperan dalam kepatuhan berobat penderita TB dalam menjalani pengobatan adalah efek samping obat dan jarak fasilitas kesehatan. Menurut informasi dari petugas kesehatan banyak penderita TB tidak menyelesaikan pengobatan karena setelah minum obat merasa lemas, tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut dan nyeri sendi. Disamping itu jarak rumah penderita TB juga jauh dari fasilitas kesehatan. Hal ini terjadi karena tidak ada angkutan umum ke fasilitas kesehatan dan banyak penderita TB yang keluarganya tidak memiliki alat transportasi.

Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie.

1.2 Permasalahan

Masih rendahnya kesembuhan penderita TB yang melakukan pengobatan dapat berakibat pada tingginya angka penularan TB dan belum diketahuinya pengaruh faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kepercayaan) dan faktor eksternal (peran PMO, peran petugas kesehatan,


(31)

dukungan keluarga, efek samping obat, lamanya pengobatan, ketersediaan obat, jarak tempat tinggal) terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

2. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

3. Untuk mengetahui pengaruh sikap terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis. 4. Untuk mengetahui pengaruh peran PMO terhadap kesembuhan penderita

Tuberkulosis.

5. Untuk mengetahui pengaruh peran petugas terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

6. Untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.


(32)

7. Untuk mengetahui pengaruh efek samping obat terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

8. Untuk mengetahui pengaruh lama pengobatan terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

9. Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan obat terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

10.Untuk mengetahui pengaruh jarak tempat tinggal ke puskesmas terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kepercayaan ) dan faktor eksternal ( peran PMO, peran petugas, dukungan keluarga, efek samping obat, lama pengobatan, tersedianya obat, jarak tempat tinggal) terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis di Puskesmas Pidie Kabupaten Pidie.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap kesembuhan penderita Tuberkulosis

1. Kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie dan Puskesmas Pidie dalam rangka melakukan kebijakan, perencanaan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya pengendalian penyakit Tuberkulosis.

ke berbagai pihak antara lain :


(33)

2. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan ilmu dan penelitian lebih lanjut mengenai pengendalian penyakit Tuberkulosis.

3. Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis untuk mengembangkan disiplin dalam ilmu kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit Tuberkulosis.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobakterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menginfeksi pada Paru (95,9%), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain diseluruh tubuh seperti usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan lainnya serta dapat menyebar keseluruh tubuh (Kemenkes RI,2011).

Penyakit TB ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TB batuk dan percikan dahak yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil Tuberkulosis tersembur dan terhisap kedalam paru orang sehat, masa inkubasinya 3-6 bulan (Widoyono, 2011).

2.2 Etiologi

Penyebab penyakit Tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberkulosis

dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid terutama asam mikolat.

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam


(35)

(BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin bersifat dorman dan aerob.

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 1000Cselama 5-10 menit atau pada pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan lama 1-2 jam di udara, ditempat yang lembab dan gelap biasa berbulan-bulan, namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara (Widoyono, 2011).

2.3 Patogenesis

Mycobakterium tuberkulosis akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis ke arah

Mycobakterium tuberkulosis berada, kemudian memfagositosis Mycobakterium tuberkulosis tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan Mycobakterium tuberkulosis membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksaa Langhans) dan linfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi.

Pada orang dewasa lesi primer sering kali terdapat pada apeks atau bagian atas paru, lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfa hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfa, yang bersama-sama dengan limfanitis akan membentuk komplek primer. Dari kelenjar limfe Mycobakterium tuberkulosis dapat lansung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang


(36)

dengan resolusi, terjadi klasifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan Mycobakterium tuberkulosis

dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau TB milier, juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya. (Crofton,dkk, 2002)

2.4 Diagnosis Tuberkulosis

Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama. (Widoyono, 2011)

Semua suspek diperiksa 3 specimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua, dan P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas disarana pelayanan kesehatan serta S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan disarana pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. (Kemenkes RI, 2011)

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan


(37)

dan uji kepekaan, dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja tidak dibenarkan karena foto toraks tidak selalu memberi gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. (Kemenkes RI, 2011).

2.5 Gejala-gejala Tuberkulosis

Gejala utama Pasien TB Paru adalah batuk berdahak terus menerus selama 2-3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis lansung (Kemenkes RI, 2011).

2.6 Epidemiologi Tuberkulosis dan Riwayat Alamiahnya

Sumber penularan adalah pasien TB yang pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif, pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi diruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Daya penularan seorang pasien ditentukan


(38)

oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Widoyono, 2011).

Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi

tuberculin negatif menjadi positif. (Kemenkes RI, 2011)

Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi pasien TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB. Dari keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk, terinfeksi 1.000 orang, rata-rata terjadi 100 pasien TB setiap tahun, 50 pasien diantaranya adalah BTA positif.

Risiko menjadi sakit TB Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB


(39)

INFEKSI

TERPAJAN

TB

MATI

KRONIS/ TB RESISTEN

OBAT

Risiko menjadi TB bila dengan HIV:

• 5-10% setiap tahun • >30% lifetime Jumlah kasus TB BTA+

Faktor lingkungan :

Ventilasi

Kepadatan

Dalam ruangan Faktor Perilaku

HIV(+)

Malnutrisi

Penyakit DM, immunosupresan

10%

Keterlambatan diagnosis dan pengobatan

Tatalaksana tak memadai

Kondisi kesehatan Konsentrasi Kuman

Lama kontak

transmisi

SEMBUH menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic infection), seperti tuberkulosis. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Perjalanan alamiah TB yang tidak diobati setelah lima tahun, 50% dari pasien TB akan meninggal, 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 20% berlanjut mengeluarkan kuman dan tetap sebagai sumber penularan untuk beberapa tahun sebelum meninggal. Pasien TB ekstraparu satu diantara dua akan meninggal dan yang lain secara spontan akan sembuh dengan meninggalkan cacat (Kemenkes RI, 2011).

Faktor risiko kejadian TB , secara ringkas dilihat pada gambar berikut:


(40)

2.7 Pencegahan Tuberkulosis

Pencegahan penyakit TB didefinisikan sebagai pengindentifikasian faktor-faktor resiko dan mengendalikan sehingga tidak menyebabkan timbulnya TB pada manusia. Pencegahan terhadap terjadinya TB melalui tiga bagian yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.

1. Pencegahan primer merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindari diri dari faktor-faktor yang menyebabkan TB. Masyarakat yang melakukan pencegahan pada tingkat ini akan bebas dari penderitaan, produktivitas berjalan terus, tidak memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi serta perawatan lebih lanjut. Salah satu bagian dari pencegahan primer adalah asupan gizi seimbang, hyegine dan sanitasi, perumahan serta kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat.

2. Pencegahan sekunder penyakit TB bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini sehingga keterlambatan diagnosis dan pengobatan dapat dihindari dan penyembuhan dapat segera dilakukan. Pencegahan sekunder melalui diagnosis dini dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium bila ada gejala-gejala TB. 3. Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang bertujuan untuk mencegah

komplikasi penyakit dan pengobatan, sesudah gejala klinis berkembang dan diagnosis sudah ditegakkan. Pencegahan tersier melalui tatalaksana pengobatan yang memadai dan adekuat dan pemantauan kepatuhan berobat. Kegagalan menyelesaikan pengobatan Tuberkulosis menuju kegagalan berkepanjangan dan resistensi obat (Kemenkes RI, 2011).


(41)

2.8 Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT .

Tujuan pengobatan pada penderita Tubercolusis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang penyakit ini untuk itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar pengetahuan mereka mengetahui resiko-resiko dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Dalam program DOTS ini diupayakan agar penderita yang telah menerima obat atau resep untuk selanjutnya tetap membeli atau mengambil obat, minum obat secara teratur, kembali kontrol untuk menilai hasil pengobatan.

Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat dilakukan pengawasan lansung

Diretly Observed Treatment (DOT) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO) 3. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan

Paduan OAT yang digunakan oleh program nasional pengendalian Tuberkulosis di Indonesia yaitu :


(42)

a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifamfisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifamfisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Kategori-1 ini diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif dan pasien TB ekstra paru.

b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (H), Ethambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan, Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan dalam tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai minum obat.

Obat ini diberikan untuk : a) Penderita kambuh (relaps) b) Penderita gagal ( fairule)

c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai ( after default). c. OAT Sisipan


(43)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. (Kemenkes RI, 2011)

2.8.1 Evaluasi Pengobatan dan Kesembuhan 1. Evaluasi Klinis

a) Pasien di evaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

b) Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

c) Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik. 2. Evaluasi Bakteriologis (0-2-6/9 bulan pengobatan)

a) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. b) Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis :

(1) Sebelum pengobatan dimulai

(2) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) (3) Pada akhir prngobatan

c) Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

3. Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada : a) Sebelum pengobatan


(44)

b) Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

4. Evaluasi efek samping secara klinis

Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5. Evaluasi keteraturan berobat

a) Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum/tidaknya obat tersebut.

b) Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. (PDPI, 2006)

Hasil pengobatan penderita TB paru dapat dikategorikan menjadi : 1. Sembuh

Penderita dikatakan sembuh jika hasil pemeriksaan ulang sputum paling sedikit 2 kali berturut-turut negatif, salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan akhir pengobatan. Apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.

2. Pengobatan Lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak ada pemeriksaan ulang sputum, khususnya pada akhir pengobatan (AP). Seharusnya semua penderita BTA positif dilakukan pemeriksaan ulang sputum.


(45)

3. Meninggal

Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun

4. Drop out

Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut: lacak penderita tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur.

5. Gagal

Penderita dikatakan gagal pengobatan TB paru apabila:

a. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum pengobatan intensif atau pada akhir pengobatan katagori 2

b. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan sputumnya pada akhir bulan kedua menjadi positif.

2.8.2 Tatalaksana Penderita yang Berobat tidak Teratur

Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan pengobatan terhadap penderita yang putus berobat tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel :


(46)

Tabel 2.1 .Tata Laksana Pengobatan Penderita tidak Teratur Berobat Lama Pengobatan Sebelumnya Lama Pengobatan Terputus Pemerik saan Dahak Hasil Pemeri ksaan Dahak Diregister Kembali Pengobatan

Kurang dari 1 bulan

< 2 Minggu Tidak - - Lanjutan kat 1

2-8 Minggu Tidak - - Kat 1 dari awal

8 Minggu Ya Positif - Kat 1 dari awal

Negatif - Lanjutan kat 1

1-2bulan 1-8 Minggu Ya Positif - Tambahkan 1 bulan sisipan

Negatif - Lanjutan kat 1

>8 Minggu Ya Positif Pengobatan setelah defult

Kat 2 dari awal

Negatif Pengobatan setelah defult

Lanjutan kat 1

>2 bulan < 2 Minggu Tidak - - Lanjutan kat 1

2-8 Minggu Ya Positif - Kat 2 dari awal

Negatif - Lanjutan kat 1

>8 Minggu Ya Positif Pengobatan setelah defult

Kat 2 dari awal

Negatif Pengobatan setelah defult

Lanjutan kat 1

2.9 Faktor Internal dan Eksternal Kesembuhan Penderita TB

International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) untuk pelayanan Tuberkulosis dalam mencapai kesembuhan penderita TB adalah perlu membina dan


(47)

menilai kepatuhan pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien dan saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Sebagian besar pasien Tuberkulosis menghentikan pengobatan sebelum masa akhir pengobatan yang telah direncanakan atau meminum obat secara salah. Kegagalan menyelesaikan pengobatan Tuberkulosis menuju kegagalan berkepanjangan dan resistensi obat (Hopewel, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan kesembuhan penderita TB ditentukan oleh interaksi lima dimensi yaitu :

1. Faktor sosial dan ekonomi yaitu tidak ada jaringan dukungan sosial yang efektif dan keadaan hidup yang tidak stabil, budaya dan kepercayaan awam tentang penyakit dan pengobatan, stigma, kesukuan, gender, usia, pengobatan yang mahal, biaya transportasi yang tinggi, keterlibatan kriminal dan narkoba.

2. Faktor terkait sistem kesehatan atau tim penyelenggara pelayanan kesehatan yaitu layanan kesehatan yang kurang dikembangkan, hubungan yang tidak memadai antara penyelenggara kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan yang tidak terlatih, kebanyakan tugas atau kurang pengawasan dalam melaksanakan tugas, tidak mampu memprediksi ketidakpatuhan pasien, hubungan dokter dan pasien yang baik, ketersediaan tenaga ahli, kaitan dengan sistem pendukung pasien dan jam kerja yang fleksibel.


(48)

3. Faktor tekait kondisi yaitu yang menyebabkan pasien tidak sembuh karena ketidakpatuhan yang disebabkan penggunaan obat terlarang, gangguan mental karena ketergantungan obat, depresi dan stress psikologi.

4. Faktor terkait pengobatan yaitu paduan obat yang rumit, efek samping obat, toksisiti.

5. Faktor terkait pasien yaitu keadaan pasien yang kadang-kadang lupa, pengucilan akibat stigma dan keyakinan akan keefektifan pengobatan serta motivasi dalam menjalani pengobatan (Hopewel, 2006).

2.4.1 Faktor Internal a. Usia

Kerentanan seseorang untuk terkena penyakit bergantung pada imunitas atau daya tahan tubuh yang dimilikinya. Daya tahan tubuh pada orang dewasa lebih bagus dibandingkan dengan orang lanjut usia. Pada penderita lanjut usia sering terjadi efek samping obat hingga membuat mereka malas meminum obat padahal itu sangat mempengaruhi kesembuhannya. Risiko efek samping yang ditimbulkan oleh streptomisin yang berupa kerusakan syaraf ke delapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran dapat meningkat seiring dengan dosis yang digunakan dan umur penderita (Kemenkes RI, 2011).

b. Jenis Kelamin

Tuberkulosis menyerang sebagian besar wanita pada usianya yang paling produktif, namun pada negara berkembang diperkirakan jumlah penderita laki-laki sama banyaknya dengan perempuan, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian


(49)

tahun 2002 yang menunjukkan bahwa proporsi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu berturut-turut 49,1 % dan 50,9 % (Aditama, 2009). WHO menyebutkan bahwa kematian wanita akibat Tuberkulosis lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. (Kemenkes RI,2011). Menurut data profil Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh bahwa kesembuhan penderita TB wanita lebih tinggi yaitu 84,6 % dibandingkan dengan penderita TB laki-laki hanya 81,4% (Dinkes Aceh, 2013). Kesembuhan penderita TB paru wanita cendrung lebih besar karena tingkat kesadaran berobat lebih baik daripada pria.

c. Pendidikan

Penderita dengan pendidikan rendah dan kecerdasan yang terbatas perlu penanganan yang lebih teliti dalam instruksi tatacara penggunaan obat yang benar.

Karena pendidikan yang rendah akan menganggap aturan minum obat 3x1 sama dan 1x3, sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus. Menurut Langevelt dalam Notoatmodjo (2007) pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaaan yaitu kedewasaaan jasmani dan rohani. Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan tersebut menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah perlaku kearah yang diinginkan, maka tujuan pendidikan kesehatan mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan kearah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan.Menurut peneliti Budiman,dkk (2010) bahwa pendidikan mempengaruhi keteraturan berobat pada penderita TB . Tapi


(50)

menurut penelitian Mariana,dkk (2010) di Kota Jayapura pendidikan tidak mempunyai hubungan terhadap kepatuhan minum obat pada penderita TB

d. Pekerjaan

Penderita penyakit TB yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih patuh meminum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan penderita yang tidak bekerja, karena pekerjaannya adalah sumber mata pencahariannya, sumber untuk memberikan nafkah dan berguna bagi keluarganya walaupun kondisi tubuh menderita penyakit TB, tetap bekerja. Hasil penelitian Budiman,dkk (2010) bahwa pekerjaan memberikan konstribusi yang kuat terhadap kepatuhan berobat.

e. Pengetahuan

Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007b) adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) mememori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W.Green dalam Notoatmodjo (2007b), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang diharapkan pada awal dari suatu perilaku dan pada umumnya berkorelasi positif dengan perilaku. Fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut penelitian Mariana,dkk (2010) di Kota Jayapura pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat pada penderita TB. Apabila penderita TB memiliki pengetahuan yang baik dan memadai tentang penyakit, cara pengobatannya, jenis


(51)

obat, cara memakan obat tersebut dan akibat bila tidak patuh minum obat yang akan berakibat buruk terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikan didalam kehidupannya sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita TB meningkat. Rendahnya pengetahuan tentang TB dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit TB sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat (Sukana,dkk, 2003)

f. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat lansung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007a) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tetentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : 1) Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)


(52)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi mempunyai sikap yang positif terhadap masalah tersebut. 4) Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

g. Kepercayaan

Kepercayaan adalah sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian, tanpa mewujudkan sikap pro atau anti. Berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang TB yang rendah dapat menimbulkan kepercayaan yang keliru tentang TB dan masih didapatkan stigma di masyarakat. Dari hasil penelitian oleh Machmud R,dkk (2006) di Padang, Pasaman dan Bukit Tinngi Provinsi Sumatera Barat, 31,2% menganggap TB adalah penyakit keturunan, 16,4% malah penyakit orang miskin, 7,6% TB akibat guna-guna, 3,3% penderita TB harus dikucilkan dan 3% TB adalah penyakit kutukan. Menurut Media (2011) dalam penelitiaanya tentang faktor-faktor sosial budaya yang melatarbelakangi rendahnya cakupan penemuan penderita TB Paru 23% masyarakat percaya bahwa penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan tradisional, masyarakat percaya penyakit TB karena di guna-guna, sehingga mareka tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dalam pengobatan TB.


(53)

2.4.2 Faktor Eksternal

a. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS untuk pencapaian kesembuhan penderita TB adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan lansung agar terjamin keteraturan dalam pengobatan

1) Persyaratan PMO

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien c) Bersedia membantu pasien dengan suka rela

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. 2) Siapa yang jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, PKK, tokoh masyarakat atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur samapai selesai pengobatan.

b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur

c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan


(54)

d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksa diri ke Fasyankes. Tugas seorang PMO bukanlah untuk menggantikan kewajiban pasien pasien mengambil obat di Fasyankes.

4) Informasi penting yang perlu difahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya.

a) TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.

d) Cara pemberian obat untuk pasien (tahap intensif dan lanjutan) e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya sertameminta petolongan ke fasyankes. (Kemenkes RI, 2011)

b. Dukungan Keluarga

Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi proses pendiddikan termasuk didalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap


(55)

persoalan-persoalan keluarga akan memberikan konstribusi yang positif bagi upaya kesehatan para anggotanya ( Setiadi, 2008).

Menurut Friedman dalam Setiadi (2008) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Orang-orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

c. Peran Petugas Kesehatan

Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan berperilaku positif. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama serta dan mengambil obat diperiksa dokter terlebih dahulu, maka penderita merasa dihargai dating ke puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang hanya kadang-kadang datang ke tenaga kesehatan, hampir semua orang mempunyai keluhan yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan.

Menurut DepKes RI (2007) penderita sering terputus pengobatannya karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan puskesmas yang buruk dan tidak ada petugas di puskesmas ketika mengambil obat dengan memperhatikan besarnya masalah TB yang dapat menimbulkan penularan pada masyarakat, perlunya penderita


(56)

untuk berobat, pencegahan efek samping dan keteraturan minum obat maka kegiatan penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas merupakan komponen sangat penting perlu dilanjutkan, dikembangkan, dan ditingkatkan perannya dalam pengendalian penyakit TB.

d. Lama Pengobatan

Banyak pasien yang tidak teratur dalam mengkonsumsi obat disebabkan karena lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan, selain itu masih adanya penderita TB paru yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. Pengobatan untuk TB diberikan secara teratur dalam waktu 6-8 bulan dan sedapat mungkin sampai pemeriksaan bakteri negatif pada akhir pengobatan. (Kemenkes RI, 2011)

e. Efek Samping Obat

Efek samping pengobatan kombinasi dosis tetap (KDT) yang umum akan muncul seperti air kemih berwarna merah. Ini disebabkan zat warna dari obat Rifampicin, selain itu perut mual, kembung ini berlangsung hanya beberapa jam setelah minum obat dan tidak menimbulkan bahaya,oleh karena itu penderita harus minum obat secara teratur (Kemenkes RI, 2011).

Alergi muncul pada beberapa penderita TB dapat terjadi yaitu pada salah satu dari obat kombinasi. Yang paling umum terjadi adalah gatal-gatal hebat, bintik-bintik


(57)

merah/gelap pada kulit penderita. Bila ditemui maka penderita dianjurkan untuk menghentikan sementara minum obat dan dirujuk kepuskesmas atau rumah sakit untuk terlebih dahulu mengobati alergi yang ada (Kemenkes RI, 2011).

Semua OAT dapat menyebabkan kerusakan pada hati kecuali etambutol dan sikloserin. Di negara dengan hepatitis tinggi sangat sulit untuk menentukan apakah hepatitis itu karena obat atau karena infeksi. Hepatitis sebagai efek samping mungkin dapat timbul 1% dari pasien yang berobat yang sering terjadi karena tiasetazon dan pirazinamid. Kenaikan enzim serum yang ringan merupakan hal biasa, ini bukan indikasi untuk menghentikan penobatan. Jika ada kehilangan selera makan, penyakit kuning dan pembengkakan hati, pengobatan harus dihentikan sehingga fungsi hati kembali normal. (Crofton,dkk, 2002)

f. Tersediaanya Obat TB

Salah satu untuk menjamin kesembuhan penderita TB dalam strategi DOTS adalah adalah terjamin persediaan obat dalam jumlah mencukupi dan berkualitas di fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011). Upaya pengendalian TB secara umum dikatakan mengalami kegagalan disebabkan salah satunya tidak memadainya tatalaksana pasien karena diagnosis dan paduan obat yang tidak terstandar, obat tidak terjamin penyediaannya.

g. Jarak Tempat Tinggal

Jarak merupakan salah satu faktor penyebab penderita tidak menyelesaikan pengobatan maupun memantau kemajuan pengobatan seperti mengambil obat dan memeriksa ulang dahak. Penelitian Retnaningsih (2005) menunjukkan bahwa


(58)

semakin dekat jarak tempat tinggal kepuskesmas semakin tinggi tingkat kesembuhan penderita.

Faktor biaya dan jarak pelayanan kesehatan dengan rumah berpengaruh terhadap perilaku penggunaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Makin jauh tempat pelayanan kesehatan, masyarakat semakin malas untuk datang ke tempat pelayanan tersebut. Jarak tempat tinggal penderita dengan tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas sering terjadi ketidak patuhan penderita untuk mengambil obat maupun pemeriksaan ulang, karena jarak yang jauh ke tempat pelayanan kesehatan berkaitan dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk transportasi.

2.10 Konsep Perilaku

Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor internal (dari luar diri manusia). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari faktor fisik santara lain sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Konsep H.L.Blum dalam Notoatmodjo (2007b) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu, kelompok, maupun masyarakat dikelompokkan menjadi 4. Berdasarkan urutan besarnya (pengaruh) terhadap kesehatan tersebut adalah :

1. Lingkungan yang mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya


(59)

3. Pelayanan kesehatan 4. Keturunan (hereditas)

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan.Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis.

Beberapa teori yang mengemukakan determinan perilaku berangkat dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain teori Lawrence Green , Snehandu Kar , dan WHO (Notoatmodjo,2007b)

2.10.1 Teori Lawrence Green

Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior couses) dan faktor diluar perilaku (non behavior couses). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya puskesmas, alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.


(60)

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan termasuk kesembuhan dalam suatu pengobatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, dan sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoadmodjo, 2007b).

2.10.2 Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari :

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (sosial support)

c. Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information)

d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy)

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)


(61)

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap obyek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan atau bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak. Faktor lain yang mungkin menyebabkan seseorang tidak berperilaku atau bertindak karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya alasan tidak sesuai dengan kondisi kesehatannya (action situation). (Notoadmodjo, 2007b)

2.10.3 Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap obyek (dalam hal ini adalah obyek kesehatan).

a. Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Seorang anak memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah memperoleh pengalaman, tangan dan kakinya kena api. Seorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat, karena anak tetangganya tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio b. Kepercayaan


(62)

Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa pembuktian.

c. Sikap mengambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata.

d. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang lebih–lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi oleh orang–orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya maka apa yang ia katakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah misalnya, maka gurulah yang menjadi panutan perilaku mareka. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok reference (reference group), antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya.

e. Sumber-sumber daya (resources)

Sumberdaya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumberdaya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif, misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.


(63)

f. Perilaku normal, kebiasaan, nilai–nilai dan penggunaan sumber-sumber dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat atau cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakat disini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan diatas. Perilaku yang normal adalah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat. Seseorang yang tidak mau membuat jamban keluarga, atau tidak mau buang air besar di jamban, mungkin ia mempunyai pemikiran dan perasaan yang tidak enak kalau buang air besar dijamban (thought and feeling). (Notoadmodjo,2007b)

2.11 Landasana Teori

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobakterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.


(1)

SIKAP

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.900 10

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

SKP1 21.10 17.679 .730 .885

SKP2 21.10 17.955 .755 .884

SKP3 21.07 17.168 .600 .896

SKP4 21.30 18.148 .571 .895

SKP5 21.17 18.489 .651 .890

SKP6 21.23 17.633 .705 .886

SKP7 21.23 18.530 .528 .898

SKP8 21.17 17.523 .779 .882

SKP9 21.27 18.478 .550 .896


(2)

KEPERCAYAAN

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.812 5

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

PCY1 2.77 .568 30

PCY2 2.60 .770 30

PCY3 2.70 .596 30

PCY4 2.70 .535 30


(3)

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

PCY1 10.13 4.878 .383 .831

PCY2 10.30 3.252 .834 .691

PCY3 10.20 4.166 .675 .756

PCY4 10.20 4.234 .745 .743

PCY5 10.77 4.116 .458 .829

PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


(4)

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

PMO1 2.20 .714 30

PMO2 1.53 .681 30

PMO3 2.13 .776 30

PMO4 2.10 .759 30

PMO5 1.93 .785 30

PMO6 1.63 .765 30

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

PMO1 9.33 10.092 .653 .898

PMO2 10.00 10.276 .647 .898

PMO3 9.40 9.628 .693 .893

PMO4 9.43 8.875 .911 .859

PMO5 9.60 9.007 .837 .870

PMO6 9.90 9.748 .677 .895

PERAN PETUGAS KESEHATAN

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %


(5)

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.882 6

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

PPK1 9.83 4.833 .837 .835

PPK2 10.90 5.886 .502 .890

PPK3 9.80 4.786 .847 .833

PPK4 9.83 4.902 .806 .841

PPK5 9.77 5.289 .834 .842


(6)

DUKUNGAN KELUARGA

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.819 5

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

DK1 9.53 5.982 .451 .826

DK2 9.73 5.030 .581 .792

DK3 9.83 4.075 .778 .727

DK4 9.83 4.764 .575 .795