Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

Proses pengolahan dan pengawetan pada makanan dan minuman perlu dilakukan secara tepat dan benar, disertai dengan sistem pengawasan yang ketat karena bahan makanan dan minuman berkaitan langsung dengan kesehatan konsumen. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi akibat buruk yang tidak diinginkan terhadap konsumen (Suprapti, 2005).

Dalam buku Pangan dan Gizi karangan Sagung Seto tahun 2001, konsep

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di Amerika Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics Research and Development Laboratories, The National Aeronautics and Space Administration serta US Air Force Space Laboratory Projec Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi astronot pada gravitasi nol. Misi yang paling utama dalam pembuatan produk tersebut adalah menjamin keamanan produk agar para astronot tidak jatuh sakit. Jadi, perlu dikembangkan pendekatan yang dapat memberi jaminan mendekati 100% aman.

Tim tersebut akhirnya menyimpulkan cara terbaik untuk mendapatkan jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika diterapkan dengan tepat dapat mengendalikan titik-titik yang memungkinkan menyebabkan bahaya.


(2)

Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi cemaran itu (Seto, 2001).

Pada 1985, The National Academy of Science (NAS) merekomendasikan

penerapan HACCP dalam publikasinya “An Evaluation of The Role of Microbiological Criteria for Food and Foods Ingredients.” International Commisions on Microbiological Spesification for Foods (ICMSF) juga menerima konsep HACCP dan memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat. Ketika NAS membentuk The National Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Food

(NACMCF), maka konsep HACCP semakin dikembangkan dengan disusunnya 7 prinsip HACCP yang dikenal sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai negara termasuk Indonesia (Mortimore dan Wallace, 2004).

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu program pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk menjaga agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Sistem ini merupakan pendekatan sistematis terhadap identifikasi, evaluasi pengawasan keamanan pangan secara bermakna (Arisman, 2009).

Sistem HACCP terutama diterapkan dalam industri makanan besar, tetapi WHO telah membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan hingga ke tingkat rumah tangga. Konsep HACCP merupakan penggabungan dari mikrobiologis makanan, pengawasan mutu, dan penilaian risiko. Sistem HACCP bukan merupakan sistem


(3)

jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno Koswara tentang “HACCP dan

penerapannya pada produk bakeri.” Pada tahap pembentukan adonan dan filling

(pengisian krim/vla ke dalam roti) diidentifikasi adanya mikroba salmonella aureus

yang disebabkan oleh kebersihan pekerja yang kurang. Juga terdapat salmonella dari cangkang telur yang terbawa karena pemecahan telur yang kurang hati-hati. Pad a tahap fermentasi ditemukan bakteri dan kapang yang berasal dari kontaminasi wadah. Bahaya fisik yang ditemukan yaitu rambut dan serangga.

Tahu aci adalah tahu khas daerah Tegal yang dipotong berbentuk segitiga dan diberi pulungan aci (kanji) diatasnya kemudian digoreng. Pada proses pembuatan tahu aci analisis potensi bahaya terdapat pada tahap perendaman kedelai dalam ember dengan air hangat karena air yang digunakan kurang bersih, perebusan bubur kedelai dengan suhu yang kurang tepat, pemotongan tahu secara manual menggunakan alat yang kurang bersih karena tidak dicuci terlebih dahulu menyebabkan tahu tercemar. Pemeriksaan laboratorium negatif untuk formalin, boraks dan e-coli (Andriyani, 2010).


(4)

Dalam buku karangan Thaheer tahun 2005, sistem HACCP terdiri dari 7 prinsip sebagai berikut:

Gambar 2.1 Tujuh Prinsip Sistem HACCP Melakukan analisa bahaya

Menentukan Titik Kendali Kritis (CCPs)

Menentukan batas kritis

Membuat sistem pemantauan CCP

Melakukan tindakan korektif

Menetapkan prosedur verifikasi

Melakukan dokumentasi Seluruh prosedur


(5)

Tujuan dari penerapan HACCP dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penerapan HACCP adalah memelihara kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan pangan (Haryadi, 2001). Adapun tujuan khususnya adalah:

1) Mengevaluasi cara produksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari pangan.

2) Memperbaiki cara produksi pangan dengan memberikan perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis

3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan

4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan

2.1.1 Analisis bahaya

Bahaya ( ha zard): agen biologis, kimia atau agen fisik atau faktor yang berpotensi untuk menimbulkan efek yang merugikan bagi kesehatan (WHO, 2005). Bahaya yang ada harus ditiadakan atau dikurangi sehingga produksi pangan dinyatakan aman. Penentuan adanya bahaya berdasarkan tiga pendekatan yaitu keamanan pangan, sanitasi, dan penyimpangan secara ekonomi seperti penggunaan bahan yang tidak dibenarkan. Hazard analysis, adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi pangan yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan pangan.


(6)

Bahaya tersebut meliputi keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan mentah (Nurliana, 2004).

1) Bahaya kimia terjadi apabila bahan pangan terkontaminasi pestisida dan pupuk kimia saat di lahan pertanian, logam berbahaya. Bahaya kimia juga dapat berasal dari bahan tambahan terlarang atau bahan tambahan pangan yang melebihi takaran maksimum yang diizinkan dalam penggunaannya. Selain itu dapat juga berasal dari bahan pangan atau makanan yang tercemar racun kapang, misalnya biji-bijian atau kacang-kacangan seperti kacang kedelai yang disimpan pada kondisi yang salah.

2) Bahaya mikrobiologi meliputi: bakteri patogen (kontaminasi, pertumbuhan, ketahanan) beserta toksin-toksin yang dihasilkannya, virus, jamur dan mikotoksin, protozoa.

3) Potensi bahaya fisik seperti: serpihan gelas atau logam dari mesin atau wadah, benda-benda asing seperti pasir, kerikil atau potongan kayu, rambut, tulang, atau bagian tubuh dari serangga dan hewan lainnya yang mencemari pangan.


(7)

Tabel 2.1 Pengelompokan Bahaya Kimia Menurut National Advisory Commitee on Microbiology Criteria for Food

Pengelompokan bahaya

Penjelasan

Bahaya A bahaya yang dapat menyebabkan produk yang ditujukan untuk kelompok beresiko menjadi tidak steril. Kelompok beresiko antara lain bayi, lanjut usia, orang sakit atau orang dengan daya tahan tubuh rendah

Bahaya B yaitu produk yang mengandung bahan yang sensitif terhadap bahaya mikro biologi

Bahaya C proses yang tidak diikuti dengan langkah pengendalian terhadap mikroba berbahaya

Bahaya D produk yang terkontaminasi ulang setelah pengolahan dan sebelum pengepakan

Bahaya E bahaya yang potensial pada penanganan saat distribusi atau penanganan oleh konsumen sehingga menyebabkan produk menjadi berbahaya apabila dikonsumsi

Bahaya F yaitu bahaya yang timbul karena tidak adanya proses pemanasan akhir setelah proses pengepakan atau ketika dimasak di rumah

(Sumber: Sara dan Wallace, 2004)

Tabel 2.2 Pengelompokan Tingkat Bahaya Tingkat bahaya Penjelasan

Kategori 6 Jika bahan pangan mengandung bahaya A atau ditambah dengan bahaya yang lain

Kategori 5 Jika bahan pangan mengandung lima karakteristik bahaya (B,C,D,E,F)

Kategori 4 Jika bahan pangan mengandung empat karakteristik bahaya (antara B-F)

Kategori 3 Jika bahan pangan mengandung tiga karakteristik bahaya (antara B – F)

Kategori 2 Jika bahan pangan mengandung dua karakteristik bahaya (antara B – F)

Kategori 1 Jika bahan pangan mengandung satu karakteristik bahaya (antara B -F)

Kategori 0 Jika tidak terdapat bahaya


(8)

2.1.2 Titik Kritis

Alir makanan (food flow), yaitu perjalanan makanan dalam rangkaian proses pengolahan pangan. Titik Kritis (TK) adalah setiap titik, tahap atau prosedur pada suatu sistem pengolahan pangan yang jika tidak terkendali dapat menyebabkan risiko dan jika dikendalikan dapat mencegah, mengurangi atau menghilangkan bahaya. Titik-titik kritis/kondisi rawan dalam proses pengolahan makanan bisa saja terdapat satu atau lebih dimana kondisi rawan (critical point) tersebut harus dikendalikan untuk menghindarkan bahaya bagi konsumen (Thaheer, 2005).

Titik Kendali Kritis (TKK) atau Critical Control Point (CCP), merupakan suatu langkah/kegiatan pengendalian dan harus diterapkan untuk mencegah atau meniadakan bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Dengan menggunakan pohon keputusan (decision tree) pada setiap tahapan proses pengolahan makanan/minuman dapat ditentukan titik kritis pada alur proses.

Titik-titik pengendalian dalam alir makanan adalah pada:

1. Penerimaan bahan. Pada tahap penerimaan bahan harus diperhatikan apakah kualitas bahan baku masih bagus dan layak untuk diolah menjadi makanan/minuman

2. Pencucian bahan. Pada tahap pencucian bahan sering terjadi kontaminasi bakteri akibat penggunaan air yang tidak bersih


(9)

4. Peracikan/persiapan bahan. Pada tahap ini sering terjadi cemaran fisik baik dari pekerja maupun dari lingkungan. Penambahan zat-zat kimia berbahaya atau tidak sesuai takaran oleh produsen yang bisa membahayakan konsumen. 5. Pemasakan. Suhu pemasakan yang tidak tepat menyebabkan bakteri patogen

tidak mati dan bisa membahayakan konsumen 6. Penanganan produk jadi

7. Pengemasan dan penyajian;

8. Anjuran kondisi penyimpanan produk jadi. Produk harus disimpan pada suhu ruangan yang tepat untuk menghindari pertumbuhan kapang atau mikroba lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Nungki Nurul Aeni pada 2006 di IRT pembuatan tahu di Plamongansari Pedurungan, kota Semarang menunjukkan adanya cemaran fisik pada kedelai yang berupa ranting, kulit kayu, kulit polong, jagung, dan kedelai hitam. Pada tahu ditemukan cemaran berupa butiran berwarna hitam dan coklat. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan tidak ada formalin dan bakteri

Escherichia coli tetapi ditemukan bakteri lain yang tidak terindentifikasi. Berdasarkan penetapan Titik Kendali Kritis (TKK) diperoleh tahap pemilihan kedelai, proses perebusan, proses pembungkusan dengan kain dan proses penyimpanan dapat mempengaruhi kesehatan konsumen dan mutu tahu.


(10)

Berikut adalah pohon keputusan (decision tree) penentuan Titik Kendali Kritis (Critical Control Point) yang dibantu dengan tiga pertanyaan yaitu pertanyaan 1 (P1), pertanyaan 2 (P2), dan pertanyaan 3 (P3).

P1

P2

P3

Gambar 2.2 Pohon Keputusan Penentuan Titik Kendali Kritis Sumber: SNI-01-4852-1998 (Sistem HACCP serta pedoman penerapannya) Apakah tahap ini khusus dirancang untuk

menghilangkan/mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai batas aman?

Tidak Ya

Apakah kontaminasi bahaya dapat terjadi/meningkat sampai melebihi batas?

Ya

Tidak Bukan TK

Apakah tahap berikutnya dapat menghilangkan/ mengurangi bahaya sampai batas aman?

Ya Bukan TK Tidak Titik Kritis (TK)


(11)

2.2 Tahu

Tahu yang kaya akan protein sudah lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai lauk. Nama tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) yang secara harafiah berarti kedelai yang difermentasi. Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An, seorang bangsawan yang merupakan cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang pendiri Dinasti Han. Di Jepang tahu dikenal dengan nama tofu. Makanan ini lalu menyebar ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan akhirnya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Sarwono, 2005).

Tahu termasuk bahan pangan yang sangat mudah rusak. Secara organoleptik tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai busuk, permukaan tahu berlendir, tesktur menjadi lunak, kekompakan berkurang (Astawan, 2009).

Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya (Cahyadi, 2005). Dalam pembuatan tahu, digunakan beberapa macam bahan tambahan kimia seperti bahan pelunak dan bahan penggumpal. Bahan pelunak kedelai dapat menggunakan soda abu dengan dosis 0,3 gram atau soda kue 0,5 gram/10 liter air rendaman kedelai. Ada tiga jenis bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai bahan penggumpal protein pada proses pembuatan tahu. Ketiga bahan kimia tersebut adalah:


(12)

1) Asam cuka (CH3COOH), dengan perbandingan 2 bagian asam cuka dengan 5 bagian air,

2) Batu tahu ( CaSO4) dibakar hingga menjadi bubuk putih (tepung gips) dan dilarutkan ke dalam air sampai mengendap. Bagian yang bening kemudian digunakan sebagai bahan penggumpal,

3) Cairan sisa (whey), cairan sisa berwarna bening yang terdapat pada bagian atas saat proses penggumpalan tahu. Cairan ini disimpan terlebih dahulu selama 24 jam kemudian digunakan sebagai bahan penggumpal untuk proses pembuatan tahu selanjutnya.

2.2.1 Jenis-jenis Tahu

Tahu diperdagangkan dengan berbagai variasi bentuk, ukuran dan nama. Di pasar sudah banyak dikenal berbagai jenis tahu yang sudah memiliki nama dan berciri khas (Sarwono, 2005) diantaranya:

1. Tahu Cina

Tahu cina yaitu: tahu yang agak keras, biasanya dicetak segi empat agak besar, dibungkus dengan kain kasa, rasanya lebih enak daripada tahu biasa. Tahu Cina berupa tahu putih, teksturnya lebih padat, halus, dan kenyal. Ukurannya sekitar 12 cm x 12 cm x 8 cm. Ukuran tahu relatif seragam karena proses pembuatannya dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam pembuatannya digunakan batu tahu (kalsium sulfat) sebagai bahan penggumpal protein sari kedelainya.


(13)

2. Tahu Sumedang

Tahu Sumedang disebut juga tahu pong atau tahu kulit. Tahu ini merupakan lembaran-lembaran putih setebal kira-kira 3 cm dengan tekstur lunak dan kenyal. Tahu putih ini di simpan dalam wadah berisi air. Tahu putih yang siap olah biasanya dipotong kecil-kecil sebelum digoreng. Tahu gorengnya berupa tahu kulit yang lunak dan kenyal. Isinya kosong (kopong- bahasa Jawa) sehingga disebut tahu pong. Tahu sumedang biasanya dikonsumsi sebagai makanan ringan.

Bahan untuk membuat tahu sumedang umumnya sama dengan pembuatan jenis tahu lainnya. Hanya zat penggumpalnya yang berbeda. Pada pembuatan tahu sumedang zat penggumpal yang digunakan yaitu biang atau disebut juga whey. Whey

adalah larutan sisa penggumpalan dari proses pembuatan tahu 2-3 hari sebelumnya. 3. Tahu Bandung

Tahu Bandung berbentuk persegi (kotak), tekstur agak keras dan kenyal. Warnanya kuning karena sebelumnya telah direndam air kunyit. Tahu digoreng dengan mengoleskan sedikit minyak di wajan.

4. Tahu Kuning

Tahu Kuning mirip tahu Cina. Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning dikarenakan sepuhan atau larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam masakan Cina.

5. Tahu Takwa

Tahu Takwa merupakan tahu khas Kediri, Jawa Timur. Proses pengolahan tahu Takwa pada prinsipnya sama dengan tahu biasa hanya terdapat perbedaan dalam


(14)

perendaman dan pengepresan tahu. Bahan bakunya dipilih kedelai lokal yang berbiji kecil. Penggumpalan sari kedelai menggunakan asam cuka.

6. Tahu Sutera

Tahu ini disebut juga Tahu Jepang. Tahu ini sangat lembut dan enak. Pada proses penggumpalan digunakan kalsium sulfat. Tahu ini mudah sekali rusak, namun sekarang proses pembuatannya lebih modern sehingga produk lebih tahan lama. Oleh karena itu, tahu sutera sekarang disebut long life tofu.

2.2.3 Proses Pembuatan Tahu

Proses pembuatan tahu secara umum terdiri dari tahap sortasi yaitu memisahkan kedelai yang bagus dengan yang kurang bagus, kemudian kedelai yang bagus dicuci, dikupas, lalu direndam. Kemudian kedelai digiling, bubur kedelai lalu direbus dan disaring. Setelah itu diberi bahan penggumpal, lalu dicetak. Berikut adalah skema pembuatan tahu:


(15)

Gambar 2.2 Skema pembuatan tahu (Suprapti, 2005) Kedelai yang sudah disortasi

Digiling dengan mesin penggiling Dikupas

Direndam dengan air bersih selama 45 menit Dicuci

Direbus selama 30 menit pada suhu 90°C

Disaring dengan kain saring

Susu kedelai berwarna putih susu

Digumpalkan ± 10 menit dengan suhu 75°C

Gumpalan tahu

Dipres dengan alat kempa (pemberat)

tahu

Cemaran dari mesin penggiling

Bahaya

mikrobiologis dari keringat pekerja Kemungkinan

penambahan formalin

Kontaminasi e-coli


(16)

2.3 Syarat Kualitas Tahu

Tahu merupakan pekatan protein kedelai dalam keadaan basah, dengan komponen terbesarnya terdiri atas protein dan air. Persyaratan standar kualitas tahu ditetapkan dalam tabel berikut.

Tabel 2.3 Persyaratan Standar Kualitas Tahu

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Keadaan: Bau Rasa Warna Penampakan Normal Normal

Putih normal atau kuning normal Normal, tidak berlendir, dan tidak berjamur

Abu % (b/b) Maksimal 1,0

Protein % (b/b) Minimal 9,0

Lemak % (b/b) Minimal 0,5

Serat kasar % (b/b) Maksimal 0,1

Bahan tambahan makanan % (b/b) Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Menteri

Kesehatan No.711/Men/Kes/Per/IX/1988 Cemaran logam :

Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 2,0

Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 30,0

Seng (Zn) mg/kg Maksimal 40,0

Timah (Sn) mg/kg Maksimal 40,0 atau 250,0 (dalam kaleng)

Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,03

Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimal 1,0 Cemaran mikroorganisme :

E.coli APM/g Maksimal 10

Salmonella /25 g Negatif


(17)

2.3.1 Bahan Kimia

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 711/MenKes/Per/IX/88, beberapa bahan pengawet yang umum digunakan adalah : benzoat, propionat, nitrit, sorbat, dan sulfit. Bahan tambahan yang dilarang : asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, Kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin.

1. Boraks

Boraks (barie acid borax) biasa digunakan dalam industri gelas, pelicin porselain, alat pembersih dan antiseptik, dan pembasmi semut. Penggunaan boraks apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu proses pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dosis fatal boraks yaitu antara 0,1-0,5 gram/ kg BB (Cahyo dan Diana, 2006)

2. Formalin

Syarat zat pengawet adalah mampu membunuh kontaminan mikroorganisme, tidak toksik atau menyebabkan iritasi pada pengguna, stabil dan aktif, serta selektrif dan tidak bereaksi dengan bahan. Alasan para produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah digunakan dan mudah didapat, karena harga nya relatif murah dibanding bahan pengawet lain yang tidak berpengaruh buruk pada kesehatan (Yuliarti, 2007).

Dalam dunia fotografi formalin digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Dalam industri perikanan digunakan untuk menghilangkan bakteri yang


(18)

hidup di sisik ikan dan untuk mengobati kulit berlendir. Di dunia kedokteran digunakan dalam pengawetan mayat. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin dengan konsentrasi 10% (Winarno, 2004).

Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan sebagai obat penyakit kutil karena kemampuan formalin yang dapat merusak protein. Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang. Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Formalin dapat juga menyebabkan muntah dan diare (Cahyadi, 2008).

Penyimpanan tahu pada suhu rendah (15°C) hanya dapat mempertahankan umur simpan tahu selama 1-2 hari, sedangkan tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air pada suhu kamar hanya tahan sekitar 10 jam. Tahu yang mengandung formalin atau boraks berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet hingga lebih dari 3 hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, dan berbau menyengat khas formalin (Edi Afrianto, 2008).

3. Kalsium Sulfat

Secara umum terdapat dua jenis bahan pengeras makanan yang biasa digunakan yaitu bahan aluminium sulfat beserta turunan kimianya ( aluminium ammonium sulfat ataupun aluminium natrium sulfat) dan segala jenis turunan kimia dari garam kalsium seperti kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium laktat dan kalsium klorida.


(19)

Garam kalsium dinilai memiliki banyak kadar kalsium yang secara langsung akan menyebabkan menumpuknya kalsium dalam darah. Jika ini terjadi, maka fungsi syaraf akan memburuk, kinerja tubuh akan menurun, kerusakan ginjal dan menyebabkan terjadinya penggumpalan pada aliran darah dan cairan dalam tubuh. 2.3.2 Bahaya Mikrobiologis

Bahaya mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara lain adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora, suhu penyimpanan, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi. Bakteri yang ditemukan dalam tahu biasanya dikarenakan pada proses pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama pencemaran bakteri pada tahu biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air yang menjadi sumber utama dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan bakteri pembentuk spora seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri seperti Escherichia coli dan Salmonella (Santoso, 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Fredia dan kawan-kawan pada tahun 2012 di industri pembuatan tahu skala rumah tangga di Ketapang Kalimantan Barat yaitu bahaya mikrobiologis yang teridentifikasi adalah mikroba aspergillus flavus

penghasil aflatoksin yang mampu hidup dalam produk pangan dan menyebabkan pembusukan lebih cepat dari biasanya. Juga ditemukan bahaya mikrobiologis pada proses pengolahan. Kondisi tempat pengolahan yang panas menyebabkan pekerja


(20)

tidak menggunakan pakaian sehingga keringat bisa saja jatuh ke bahan saat proses pengolahan sedang berlangsung. Di dalam keringat terkandung berbagai macam zat sisa sekresi, bahkan dapat berpotensi sebagai migrasi virus ke produk. Bahaya kimia tidak ditemukan karena hanya menggunakan cuka, sedangkan bahaya fisik terjadi pada proses pencetakan yaitu tempat pencetakan yang kurang bersih sehingga mengakibatkan tahu menjadi kekuning-kuningan.

Salmonella sp. adalah spesies bakteri yang tidak tahan panas, dengan demikian infeksi Salmonella dapat dicegah dengan memanaskan makanan. Pemanasan yang disarankan untuk mencegah salmonellosis adalah pada suhu 66°C selama paling sedikit 20 menit. Sumber kontaminasi utama dari salmonella adalah manusia yang menangani makanan maka pengendalian yang paling penting adalah dengan memperhatikan kebersihan pekerja yang terlibat langsung dengan penanganan makanan. Pengendalian terhadap infeksi salmonella juga dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya kontaminasi silang baik antara makanan masak dengan makanan mentah, maupun kontaminasi dari peralatan yang tidak bersih. (Arisman, 2009)

Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi. Escherichia coli dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya tidak selalu melalui air, melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman.

Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan


(21)

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (Jawetz dkk, 1995). Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi Escherichia coli dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis.

Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37°C tetapi Escherichia coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 °C-45°C. Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55°C selama 60 menit dan bahkan pada suhu 60°C selama 15 menit (Willshaw dkk, 2000).

2.4 Kerangka Teori

Proses pembuatan tahu diawali dengan pemilihan mutu kedelai yaitu dengan cara memilih yang berbiji besar, kemudian dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam air yang banyak selama enam jam. Proses selanjutnya dilakukan, pengupasan, perendaman kembali agar biji kedelai menjadi lunak, penggilingan, sampai menjadi bubur kedelai yang baik. Berikutnya penyaringan, pemberian zat penggumpal, dan pemotongan (Sarwono dan Pieter, 2005).

Air sebagai bahan yang selalu terlibat pada setiap tahap proses pembuatan tahu berpeluang sebagai sumber kontaminasi oleh bakteri patogen yang berbahaya bagi konsumen apabila sanitasinya kurang baik. Air yang tidak bersih akan menurunkan mutu tahu. Air ini digunakan saat pencucian, perendaman kedelai, dan tahu yang sudah siap. Di samping itu, kebersihan diri, alat dan lingkungan kerja harus mendapat perhatian. Beberapa spesies bakteri yang umumnya terdapat di dalam air adalah peudomonas, chromobacterium, proteus, micrococcus, bacillus,


(22)

streptococcus, dan jenis enterokokus diantaranya enterobakter dan escherichia

(Santoso, 2010).

Selain bahaya mikrobiologis, bahaya kimia seringkali ditemukan pada produk tahu akibat penambahan bahan pengawet seperti fomalin karena sifat tahu yang tidak tahan lama. Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) tahu hanya tahan 1-2 hari saja. Formalin merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi manusia karena merupakan racun. Pada umumnya, alasan para produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah digunakan dan mudah didapat (Edi Afrianto, 2008).

2.5 Prosedur Kerja

Gambar berikut adalah prosedur kerja identifikasi titik kritis pada proses produksi tahu.

Gambar 2.3 Prosedur Kerja Penggunaan air yang tercemar

Bahaya kimia

bahaya fisik Proses

Pembuatan Tahu

-Penggunaan formalin

– Penggunaan bahan pengumpal

- Logam berat

-peralatan yang tidak bersih -cemaran dari lingkungan - cemaran dari bahan baku

Bahaya mikrobiologi s


(23)

Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa pada proses pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang akan ditemukan titik kritis yang bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan seperti ditemukannya bahaya kimia akibat penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang. Bahaya mikrobiologis kemungkinan dari air tercemar yang digunakan selama proses pembuatan tahu. Bahaya fisik diakibatkan peralatan yang digunakan tidak bersih, juga adanya cemaran dari lingkungan dan cemaran dari bahan baku yaitu kedelai.


(1)

hidup di sisik ikan dan untuk mengobati kulit berlendir. Di dunia kedokteran digunakan dalam pengawetan mayat. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin dengan konsentrasi 10% (Winarno, 2004).

Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan sebagai obat penyakit kutil karena kemampuan formalin yang dapat merusak protein. Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang. Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Formalin dapat juga menyebabkan muntah dan diare (Cahyadi, 2008).

Penyimpanan tahu pada suhu rendah (15°C) hanya dapat mempertahankan umur simpan tahu selama 1-2 hari, sedangkan tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air pada suhu kamar hanya tahan sekitar 10 jam. Tahu yang mengandung formalin atau boraks berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet hingga lebih dari 3 hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, dan berbau menyengat khas formalin (Edi Afrianto, 2008).

3. Kalsium Sulfat

Secara umum terdapat dua jenis bahan pengeras makanan yang biasa digunakan yaitu bahan aluminium sulfat beserta turunan kimianya ( aluminium ammonium sulfat ataupun aluminium natrium sulfat) dan segala jenis turunan kimia dari garam kalsium seperti kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium laktat dan


(2)

Garam kalsium dinilai memiliki banyak kadar kalsium yang secara langsung akan menyebabkan menumpuknya kalsium dalam darah. Jika ini terjadi, maka fungsi syaraf akan memburuk, kinerja tubuh akan menurun, kerusakan ginjal dan menyebabkan terjadinya penggumpalan pada aliran darah dan cairan dalam tubuh. 2.3.2 Bahaya Mikrobiologis

Bahaya mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara lain adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora, suhu penyimpanan, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi. Bakteri yang ditemukan dalam tahu biasanya dikarenakan pada proses pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama pencemaran bakteri pada tahu biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air yang menjadi sumber utama dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan bakteri pembentuk spora seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri seperti Escherichia coli dan Salmonella (Santoso, 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Fredia dan kawan-kawan pada tahun 2012 di industri pembuatan tahu skala rumah tangga di Ketapang Kalimantan Barat yaitu bahaya mikrobiologis yang teridentifikasi adalah mikroba aspergillus flavus

penghasil aflatoksin yang mampu hidup dalam produk pangan dan menyebabkan pembusukan lebih cepat dari biasanya. Juga ditemukan bahaya mikrobiologis pada proses pengolahan. Kondisi tempat pengolahan yang panas menyebabkan pekerja


(3)

tidak menggunakan pakaian sehingga keringat bisa saja jatuh ke bahan saat proses pengolahan sedang berlangsung. Di dalam keringat terkandung berbagai macam zat sisa sekresi, bahkan dapat berpotensi sebagai migrasi virus ke produk. Bahaya kimia tidak ditemukan karena hanya menggunakan cuka, sedangkan bahaya fisik terjadi pada proses pencetakan yaitu tempat pencetakan yang kurang bersih sehingga mengakibatkan tahu menjadi kekuning-kuningan.

Salmonella sp. adalah spesies bakteri yang tidak tahan panas, dengan demikian infeksi Salmonella dapat dicegah dengan memanaskan makanan. Pemanasan yang disarankan untuk mencegah salmonellosis adalah pada suhu 66°C selama paling sedikit 20 menit. Sumber kontaminasi utama dari salmonella adalah manusia yang menangani makanan maka pengendalian yang paling penting adalah dengan memperhatikan kebersihan pekerja yang terlibat langsung dengan penanganan makanan. Pengendalian terhadap infeksi salmonella juga dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya kontaminasi silang baik antara makanan masak dengan makanan mentah, maupun kontaminasi dari peralatan yang tidak bersih. (Arisman, 2009)

Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi. Escherichia coli dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya tidak selalu melalui air, melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman.


(4)

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (Jawetz dkk, 1995). Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi Escherichia coli dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis.

Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37°C tetapi Escherichia coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 °C-45°C. Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55°C selama 60 menit dan bahkan pada suhu 60°C selama 15 menit (Willshaw dkk, 2000).

2.4Kerangka Teori

Proses pembuatan tahu diawali dengan pemilihan mutu kedelai yaitu dengan cara memilih yang berbiji besar, kemudian dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam air yang banyak selama enam jam. Proses selanjutnya dilakukan, pengupasan, perendaman kembali agar biji kedelai menjadi lunak, penggilingan, sampai menjadi bubur kedelai yang baik. Berikutnya penyaringan, pemberian zat penggumpal, dan pemotongan (Sarwono dan Pieter, 2005).

Air sebagai bahan yang selalu terlibat pada setiap tahap proses pembuatan tahu berpeluang sebagai sumber kontaminasi oleh bakteri patogen yang berbahaya bagi konsumen apabila sanitasinya kurang baik. Air yang tidak bersih akan menurunkan mutu tahu. Air ini digunakan saat pencucian, perendaman kedelai, dan tahu yang sudah siap. Di samping itu, kebersihan diri, alat dan lingkungan kerja harus mendapat perhatian. Beberapa spesies bakteri yang umumnya terdapat di dalam air adalah peudomonas, chromobacterium, proteus, micrococcus, bacillus,


(5)

streptococcus, dan jenis enterokokus diantaranya enterobakter dan escherichia

(Santoso, 2010).

Selain bahaya mikrobiologis, bahaya kimia seringkali ditemukan pada produk tahu akibat penambahan bahan pengawet seperti fomalin karena sifat tahu yang tidak tahan lama. Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) tahu hanya tahan 1-2 hari saja. Formalin merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi manusia karena merupakan racun. Pada umumnya, alasan para produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah digunakan dan mudah didapat (Edi Afrianto, 2008).

2.5 Prosedur Kerja

Gambar berikut adalah prosedur kerja identifikasi titik kritis pada proses produksi tahu.

Gambar 2.3 Prosedur Kerja Penggunaan air yang tercemar

Bahaya kimia

bahaya fisik Proses

Pembuatan Tahu

-Penggunaan formalin

– Penggunaan bahan pengumpal

- Logam berat

-peralatan yang tidak bersih -cemaran dari lingkungan - cemaran dari bahan baku

Bahaya mikrobiologi s


(6)

Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa pada proses pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang akan ditemukan titik kritis yang bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan seperti ditemukannya bahaya kimia akibat penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang. Bahaya mikrobiologis kemungkinan dari air tercemar yang digunakan selama proses pembuatan tahu. Bahaya fisik diakibatkan peralatan yang digunakan tidak bersih, juga adanya cemaran dari lingkungan dan cemaran dari bahan baku yaitu kedelai.


Dokumen yang terkait

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

19 269 107

Higiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Formalin Pada Tahu Hasil Industri Rumah Tangga di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Kota Medan Tahun 2016

9 41 129

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

0 0 13

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

0 0 2

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

0 1 7

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Chapter III VI

1 4 47

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

0 3 3

Analisis Bahaya dan Identifikasi Titik Kritis pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia

0 0 12

Higiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Formalin Pada Tahu Hasil Industri Rumah Tangga di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Kota Medan Tahun 2016

0 0 17

Higiene Sanitasi Pengolahan dan Pemeriksaan Formalin Pada Tahu Hasil Industri Rumah Tangga di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia Kota Medan Tahun 2016

0 0 2