Profil Kependudukan dan Pembangunan di I (1)

SAMBUTAN

Sesuai amanat Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangaan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, BKKBN mengalami pengayaan muatan program, selain menangani program Keluarga Berencana, juga program Pengendalian Penduduk.

Terkait tugas fungsi tentang Pengendalian Penduduk tersebut, diharapkan BKKBN menjadi rujukan data terutama yang berkaitan erat dengan isu kependudukan, seperti: kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian dan pangan.

Buku Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia ini diterbitkan dengan berorientasi kepada 5 bidang atau isu yang terkait erat dengan isu kependudukan tersebut. Diuraikan pengertian dan ilustrasi data dari variabel-variabel yang merepresentasikan bidang kesehatan, pendidikan, ketengakerjaan, pertanian dan pangan.

Saya menyambut gembira dengan diterbitkannya Buku Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia ini. Diharapkan melalui Buku Profil ini, dapat diidentifikasi permasalahan kependudukan di Indonesia. Selanjutnya dengan diketahuinya besaran

masalah kependudukan, diharapkan seluruh sektor pembangunan dapat merumuskan alternatif solusi pemecahannya.

Semoga penyusunan buku Profil Kependudukan dan Pembangunan di tingkat Nasional Indonesia ini memberikan manfaat bagi pengembangan program pembangunan nasional yang berwawasan kependudukan.

Jakarta, September 2013 Kepala BKKBN,

Prof. dr. H. Fasli Jalal, PhD, SpGK.

KATA PENGANTAR

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), diharapkan Indonesia mencapai kondisi Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) , yang ditandai dengan TFR sebesar 2,1 dan NRR=1.

Untuk mencapai kondisi PTS tersebut, program pembangunan nasional perlu diarahkan agar selaras dengan kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Untuk menyusun program yang berwawasan kependudukan, maka diperlukan data dasar (baseline) yang berisi profil kependudukan pada tingkat nasional. Untuk itulah disusun buku Profil Kependudukan dan Pembangunan di tingkat Nasional Indonesia.

BKKBN sebagai institusi pemerintah yang menangani bidang Pengendalian Penduduk serta Keluarga Berencana, berkewajiban menyediakan data dasar berupa Profil Kependudukan tersebut. Profil Kependudukan dan Pembangunan pada jangka panjang, hendaknya tidak saja memotret situasi kependudukan di tingkat nasional, namun juga mengerucut semakin detil pada tingkat provinsi, kabupaten/kota,kecamatan, bahkan bila memungkinkan sampai tingkat desa/ kelurahan. Tujuannya, agar secara spesifik dapat dipetakan permasalahan kependudukan terjadi pada wilayah yang mana. Dengan demikian, akan lebih memudahkan penentu kebijakan terkait dalam mengidentifikasi sekaligus menangani wilayah manakah yang memiliki permasalahan kependudukan.

Buku Profil Kependudukan dan Pembangunan di tingkat Nasional Indonesia ini disusun atas kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan (PUSDU) dengan Direktorat Perencanaan Pengendalian Penduduk (DITRENDUK). Penyajian Profil dengan menggabungkan variabel-variabel secara lintas sektor atau bidang. Untuk itu, diperlukan kesepakatan tidak saja antar komponen BKKBN, namun yang lebih penting antar sektor. Dengan demikian, dokumen buku Profil ini disepakati dan disetujui oleh seluruh pihak, dan menjadi sumber referensi atau rujukan utama dalam bidang Pengendalian Penduduk di Indonesia.

Akhir kata, kami mengharapkan masukan secara konstruktif terhadap dokumen ini, terutama menyangkut variabel-variabel yang dibahas dalam buku Profil Kependudukan dan Pembangunan tingkat Nasional Indonesia ini. Terima kasih.

Jakarta, Agustus 2013 Deputi Pengendalian Penduduk BKKBN

Dr. Wendy Hartanto, MA.

Gambar 3.11 Persentase Fasilitas Air Minum dalam Rumah Tangga........................

35 Gambar 3.12 Persentase Sumber Penerangan dalam Rumah Tangga.....................

36 Gambar 3.13 Persentase Pria dan Wanita Umur 15-49 yang Pernah Mendengar

vi ii AIDS Menurut Pendidikan, Indonesia Tahun 2012................................. 40

Gambar 3.14 Kasus HIV/AIDS dan Kematian................................................................. 47 Gambar 3.15 Angka Melek Huruf Tahun 2007-2011...................................................... 48 Gambar 3.16 Pendidikan yang Ditamatkan Penduduk 15 Tahun ke Atas.................

48 Gambar 3.17 Angka Partisipasi Sekolah Tahun 2007-2011......................................... 49 Gambar 3.18 Angka Partisipasi Murni SD/MI/Paket A Tahun 2007-2011................... 49 Gambar 3.19 Angka Partisipasi Murni SMP/MTs/Paket B Tahun 2007-2011............. 50 Gambar 3.20 Angka Partisipasi Murni SMA/MA/Paket C Tahun 2007-2011..............

50 Gambar 3.21 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2007-2011, Indonesia.................................................................... 51 Gambar 3.22 Persentase Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2007-2012.........................

52 Gambar 3.23 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2009-2013.................................... 53 Gambar 3.24 Tingkat Partisipasi Angkatan kerja Indonesia (persen)

Tahun 2007-2010...................................................................................... 54 Gambar 3.25 Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia (persen) Tahun 2007-2011...................................................................................... 55

Tabel 3.15 Persentase Penolong Persalinan Kualifikasi Tertinggi.............................. 46 Tabel 3.16

Jumlah Pendapatan per Kapita Indonesia Tahun 2007-2010.................. 52 Tabel 3.17

Jumlah Pendapatan Domestik Regional Bruto Indonesia (juta rupiah) Tahun 2007-2011...................................................................................... 53

Tabel 3.18 Tren Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja................................................... 54 Tabel 3.19

Tingkat Pengangguran Terbuka................................................................ 55 Tabel 3.20

Perkembangan Konsumsi Pangan Nasional Secara Kuantitas pada Tahun 2011-2012...................................................................................... 56

Tabel 3.21 Produktivitas Padi Tahun 2011-2012........................................................ 56 Tabel 3.22

Produktivitas Jagung Tahun 2011-2012................................................... 57 Tabel 3.23

Produktivitas Kedelai Tahun 2011-2012................................................... 57 Tabel 3.24

Produktivitas Ubi Kayu Tahun 2011-2012................................................. 57 Tabel 3.25

Volume Produksi Perikanan (ton) Tahun 2007-2012................................ 58 Tabel 3.26

Produktivitas Tanaman Perkebunan Tahun 2008-2013............................ 59 Tabel 3.27

Produktivitas Peternakan Tahun 2008-2011............................................. 59

PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG

Undang- Undang No. 52 Tahun 2009 tentang ‘Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga’ mengamanatkan bahwa penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa.

Undang-undang no. 52 tahun 2009 memberi tanggungjawab pengendalian penduduk di Indonesia kepada BKKBN, yang dirubah namanya menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Pada tahun 201

2, BKKBN menetapkan visi “Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015”. Visi tersebut mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Kondisi penduduk tumbuh seimbang ditandai dengan angka fertilitas total (TFR) sebesar 2,1 anak per wanita atau angka reproduksi neto (NRR) sebesar 1. Misi dari BKKBN adalah mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. Visi dan misi tersebut akan diwujudkan melalui pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian, pengarahan mobilitas penduduk, serta pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya. Upaya ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam UU No. 52 Tahun 2009 diatur pula kewenangan dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota untuk mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas.

Sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, perencanaan pembangunan harus disusun berdasarkan data dan informasi kependudukan. Perencanaan pembangunan berbasis data kependudukan merupakan strategi yang penting dalam rangka meningkatkan relevansi, efektivitas serta efisiensi kebijakan dan program pembangunan di Indonesia.

Penggunaan data yang akurat dalam proses perencanaan telah diatur dalam peraturan perundangan. Pada Pasal 31 UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diatur bahwa “Perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan”. Ketentuan tersebut ditekankan kembali pada Pasal 152 UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan “Perencanaan pembangunanan daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara rinci, pada Pasal 49 UU No. 52/2009 diatur bahwa: 1) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi mengenai kependudukan dan keluarga ”; 2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sensus, survei, dan pendataan keluarga; dan 3) Data dan informasi kependudukan dan keluarga wajib digunakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai dasar penetapan kebijakan, penyelenggaraan, dan pembangunan.

1.2 TUJUAN

Publikasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi kependudukan Indonesia yang diamati dari berbagai aspek: kesehatan, pendidikan, pertanian, ketenagakerjaan dan Keluarga Berencana.

1.3 KERANGKA PIKIR

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia secara berkelanjutan, dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan sumber alam yang menopangnya dalam suatu ruang wilayah daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dengan pemanfaatan ruang wilayah beserta potensi sumber daya yang ada bagi tujuan pembangunan manusia atau masyarakatnya itu sendiri. Agenda utama pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk memadukan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga pilar utama pembangunan, yaitu ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup. Penduduk merupakan titik sentral dalam proses pembangunan berkelanjutan karena penduduk merupakan pelaku sekaligus penerima manfaat pembangunan. Konsep ini diterjemahkan lebih lanjut dalam konsep “pembangunan berwawasan kependudukan”.

Gambar 1.1

Kerangka Pikir Hubungan antara Dinamika Kependudukan

dan Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berwawasan kependudukan, yaitu pembangunan yang berpusat pada penduduk (people-centered development), adalah pembangunan yang direncanakan dengan memperhatikan kondisi dan dinamika penduduk. Semua perencanaan

pembangunan harus ‘population responsive’, yaitu memperhatikan dan mempertimbangkan data dan informasi kependudukan secara lengkap, mulai dari jumlah, pertumbuhan, struktur

umur, persebaran, maupun kualitas penduduk. Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu merumuskan kebijakan pengelolaan kependudukan agar tercapai kondisi kependudukan yang kita harapkan (population-influencing policies).

1.4 SUMBER DATA

Data yang digunakan untuk menyusun Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia dikumpulkan dari berbagai sumber yang telah dipublikasikan, seperti: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, Sensus Penduduk, Sakernas, Profil Kesehatan Indonesia, Profil Anak Indonesia, Statistik Kesejahteraan Rakyat, Human Development Report, Statistik Indonesia, Pelayanan Kontrasepsi. Disamping itu beberapa data yang disajikan juga merupakan data proyeksi sementara yang dihitung oleh Direktorat Perencanaan Pengendalian Penduduk pada tahun 2013.

DINAMIKA PENDUDUK

2.1 Kuantitas Penduduk

2.1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk

Jumlah Penduduk

Berdasarkan Sensus Penduduk (SP) tahun 1971-2010, jumlah penduduk Indonesia mengalami kenaikan menjadi dua kali lipat selama hampir 40 tahun dari sekitar 118 juta pada tahun 1971 menjadi 237 juta pada tahun 2010 (Lihat Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok

Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010

Kelompok

Jenis Kelamin

Jumlah

Laki-Laki Perempuan

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 2010

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki tercatat sebanyak 119.630.913 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa. Menurut kelompok umur, jumlah penduduk usia 0-4 tahun sebanyak 22.678.702 jiwa (9,54 persen), sedangkan penduduk usia 15-64 tahun sebanyak 156.982.218 jiwa (66 persen), dan kelompok penduduk usia 65 tahun keatas sebanyak 12.062.388 jiwa (5,1 persen).

Laju Pertumbuhan Penduduk

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dari periode 1971-1980 menurun dari 2,33 persen menjadi 1,44 persen pada periode 1990-2000. Penurunan sampai dengan 1,44 persen tersebut masih memperhitungkan Provinsi Timor-Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apabila provinsi Timor-Timur Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dari periode 1971-1980 menurun dari 2,33 persen menjadi 1,44 persen pada periode 1990-2000. Penurunan sampai dengan 1,44 persen tersebut masih memperhitungkan Provinsi Timor-Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apabila provinsi Timor-Timur

Gambar 2.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1971-2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, 2010

Berdasarkan wilayah, LPP tertinggi menurut SP tahun 2010 berada pada provinsi Papua (5,39 persen) dan terendah di provinsi Jawa Tengah (0,37 persen). LPP menurut provinsi dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.1.

2.1.2 Perubahan Struktur Umur menurut Jenis Kelamin Penduduk

Piramida Penduduk

Tren Piramida penduduk Indonesia tahun 1971 sampai dengan 2010 menggambarkan perubahan struktur umur penduduk Indonesia. Bentuk Piramida Penduduk berubah menjadi tipe expansive pada tahun 2010 dimana jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada usia dewasa maupun tua.

Gambar 2.2 Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1971-2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, 2010

Pada piramida penduduk tahun 2010, kelompok umur 20-24 tahun menunjukkan keberhasilan Program Keluarga Berencana (KB) pada tahun 1990. Apabila dibandingkan dengan kelompok umur di bawahnya (0-19 tahun) terlihat adanya peningkatan kelahiran pada periode setelah tahun 1990. Selain itu, bagian puncak piramida menunjukkan peningkatan pada jumlah penduduk lanjut usia (lihat Gambar 2.2).

Distribusi Penduduk Menurut 3 Kelompok Umur Besar

Meskipun secara absolut jumlah penduduk usia muda (umur 0-14 tahun) mengalami kenaikan, akan tetapi persentasenya terus mengalami penurunan yakni dari 30,44 persen pada SP tahun 2000, menjadi 28,87 persen pada SP tahun 2010. Disisi lain, penduduk usia produktif (umur 15-64 tahun) persentasenya mengalami peningkatan, yakni dari 65,03 persen pada tahun 2000 menjadi 66,09 persen pada tahun 2010. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap turunnya rasio ketergantungan (bonus demografi) dan membuka jendela peluang dalam bidang ekonomi sebagai akibat melonjaknya penduduk usia produktif serta menurunnya penduduk usia tidak produktif.

Gambar 2.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan 3 Kelompok Umur Besar Tahun 2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 2010

Penduduk usia lanjut (umur 65+) juga mengalami peningkatan dari 4,53 persen pada tahun 2000 menjadi 5,04 persen pada tahun 2010. Persentase ini diproyeksikan akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup, sehingga akan berdampak pada peningkatan rasio ketergantungan.

Rasio Ketergantungan

Tren rasio ketergantungan secara nasional mengalami penurunan dari data SP 1971 yaitu 86,86 per 100 orang usia produktif menjadi 51,31 per 100 orang usia produktif pada tahun 2010. Kondisi ini menggambarkan banyaknya jumlah penduduk yang harus ditanggung oleh penduduk usia kerja telah mengalami penurunan.

Gambar 2.4 Rasio Ketergantungan Tahun 1971- 2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, 2010

Tingkat rasio ketergantungan di wilayah provinsi pada saat ini berbeda-beda, provinsi DKI Jakarta dengan tingkat rasio ketergantungan terendah pada tahun 2010 yakni 36,94 per 100 orang. Sebaliknya pada Provinsi NTT dengan rasio ketergantungan 73,21 per 100 orang usia produktif masih belum memasuki peluang dimaksud. Disparitas tingkat rasio ketergantungan pada provinsi ini dipengaruhi oleh tingkat kelahiran dan kematian pada masing-masing provinsi. Lihat lampiran Tabel

2.2 untuk rasio ketergantungan menurut Provinsi. Banyaknya jumlah penduduk pada kelompok usia produktif dibandingkan kelompok

usia non-produktif dapat memberikan manfaat bagi pembangunan nasional terutama pada sektor ekonomi. Akan tetapi untuk memanfaatkan kondisi tersebut, kualitas SDM harus ditingkatkan secara maksimal antara lain melalui pendidikan, pelayanan kesehatan dan penyediaan lapangan pekerjaan.

Hasil perhitungan sementara Direktorat Perencanaan Pengendalian Penduduk BKKBN pada tahun 2013 menunjukkan bahwa window of opportunity di Indonesia diperkirakan terjadi pada rentang waktu tahun 2020 sampai tahun 2035, dengan nilai rasio ketergantungan terendah berada pada tahun 2020 sampai dengan tahun 2030 yakni 46,28 serta 46,29 per 100 orang usia produktif (lihat pada fokus Gambar 2.4).

Gambar 2.5 Proyeksi Rasio Ketergantungan Tahun 2015 - 2035

WINDO W O F DEM O GRA F I O P P O RTUNITY

15-64 Th 64+

DR

< 15 Th

Sumber data: SP 1971-2010

Perhitungan sementara Ditrenduk, BKKBN Tahun 2013

Rasio Jenis Kelamin (sex ratio)

Para Demografer menyatakan bahwa perbandingan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan pada waktu lahir berkisar antara 103-105 bayi laki-laki per 100 bayi perempuan (LDUI, 2010 Hal. 32).

Berdasarkan hasil sensus penduduk rasio jenis kelamin meningkat dari 97,18 orang laki-laki berbanding 100 orang perempuan pada tahun 1971 menjadi 101 orang laki- laki berbanding 100 orang perempuan pada tahun 2010. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jumlah laki-laki di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan jumlah perempuan.

Gambar 2.6 Tren Rasio Jenis Kelamin di Indonesia tahun 1971-2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, 2010

Besar kecilnya Rasio Jenis kelamin pada suatu daerah dipengaruhi oleh pola Mortalitas atau pola Migrasi. Provinsi Papua dengan Rasio Jenis Kelamin tertinggi tahun 2010 yakni 113 orang laki-laki berbanding 100 orang perempuan, diperkirakan terjadi karena banyaknya penduduk laki-laki yang masuk untuk bekerja pada sektor pertambangan. Sedangkan pada Provinsi NTB dengan Rasio Jenis Kelamin terendah tahun 2010 yakni 94 orang laki-laki per 100 orang perempuan, diperkirakan terjadi karena banyaknya penduduk laki-laki yang keluar dari wilayah tersebut untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri. Lebih lanjut tentang rasio jenis kelamin menurut Provinsi dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.3

2.1.3 Persebaran Penduduk

Persebaran Penduduk

Secara demografis persebaran penduduk di Indonesia juga tidak merata. Sebagian besar penduduk Indonesia berdasarkan SP tahun 2010 menghuni pulau Jawa (57,5 persen) serta sebagian kecil berada di pulau Maluku dan Papua (2,6 pesen).

Gambar 2.7 Persebaran Penduduk di Indonesia Tahun 1971-2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, 2010

Dalam waktu lima dekade terlihat adanya pengurangan persentase penduduk yang bertempat tinggal di pulau Jawa yaitu dari 63,9 persen pada tahun 1971 menjadi 57,5 persen tahun 2010. Hal ini diikuti dengan kenaikan persentase penduduk yang bertempat tinggal di pulau Sumatera dari 17,6 persen pada tahun 1971 menjadi 21,3 persen pada tahun 2010. Dengan demikian, seperti terlihat pada Gambar 2.6, kecenderungan migrasi keluar sebagian besar menuju pulau Sumatera, sedangkan di wilayah lainnya relatif tetap.

Urbanisasi Urbanisasi menunjukkan persentase penduduk suatu wilayah yang tinggal di daerah

perkotaan. Proses urbanisasi bukan hanya proses perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan, namun juga termasuk pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah perkotaan maupun perubahan status wilayah dari daerah perdesaan ke perkotaan.

Gambar 2.8 Urbanisasi di Indonesia Tahun 1990-2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1990, 2000, 2010

Persentase penduduk di daerah perkotaan meningkat dari 42,1 persen pada tahun 2000, menjadi 49,8 persen pada tahun 2010. Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat terutama untuk beberapa provinsi khususnya Jawa dan Bali.

Provinsi DKI jakarta sebagai Ibu Kota Negara memiliki tingkat urbanisasi tertinggi, sementara provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan tingkat urbanisasi terendah tahun 2010 yakni sebesar 19,3 persen. Lebih lanjut tentang Urbanisasi menurut Provinsi dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.4.

Kepadatan Penduduk

Data kepadatan penduduk berdasarkan data SP, mengalami peningkatan dari 107 jiwa per km 2 pada tahun 2000, menjadi 124 jiwa per km 2 pada tahun 2010.

Kepadatan penduduk Indonesia antara provinsi yang satu dengan provinsi yang lain tidak seimbang. Sebagian besar penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. Padahal, luas wilayah pulau Jawa hanya 6,8 persen dari luas wilayah negara Indonesia.

Gambar 2.9 Kepadatan Penduduk di Indonesia Tahun 1971-2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, 2010

Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, tampaknya menjadi daya tarik masyarakat untuk mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik sehingga memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi

yaitu 14,469 jiwa per km 2 . Sedangkan, provinsi dengan tingkat kepadatan terendah adalah Papua Barat dengan tingkat kepadatan hanya 8 jiwa per km 2 . Lihat lampiran Tabel 2.5 untuk kepadatan penduduk menurut Provinsi.

2.2 Fertilitas dan Faktor yang Mempengaruhi

2.2.1 Kecenderungan dan Pola Fertilitas

Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate/CBR)

Angka Kelahiran Kasar (CBR) menunjukkan banyaknya kelahiran pada tahun tertentu per 1000 penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Angka kelahiran kasar di Indonesia mengalami kenaikan dari 17,4 kelahiran per 1000 penduduk (SP 2000) menjadi 17,9 kelahiran per 1000 penduduk (SP 2010).

Sementara menurut hasil SDKI, Angka Kelahiran Kasar Indonesia terus mengalami penurunan dari 25,1 pada survey tahun 1991, menjadi 20,4 pada tahun 2012.

Gambar 2.10 Angka Kelahiran Kasar di Indonesia

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1990, 2000 dan 2010

SDKI 1991, 1994, 1997, 2002, 2007, 2012

Berdasarkan wilayah, angka kelahiran Kasar tertinggi menurut SP 2010 berada pada Provinsi Kepulauan Riau yakni 22,5 kelahiran per 1000 penduduk dan terendah pada provinsi DI Yogyakarta yakni 14,4 per 1000 penduduk (data Provinsi dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.6).

Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate/TFR)

Berdasarkan data SDKI, TFR nasional mengalami penurunan dari 3,03 anak per wanita usia subur pada tahun 1991 menjadi 2,60 anak per wanita usia subur pada tahun 2002/2003. Sejak periode tahun 2002/2003 angka fertilitas total hanya mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan survey terakhir tahun 2012 yakni menjadi 2,59 anak per wanita usia subur. Menurut SDKI 2012, TFR tertinggi terdapat di provinsi Papua Barat (3,70 anak per wanita usia subur) dan TFR terendah di provinsi DIY Jogjakarta (2,10 anak per wanita usia subur). Lebih lanjut tentang TFR menurut Provinsi dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.7.

Gambar 2.11 TFR Indonesia Tahun 1991-2012

Sumber data : SDKI 1991, 1994, 1997, 2002, 2007, 2012

Angka Fertilitas Menurut Kelompok Umur (Age Specific Fertility Rate/ASFR)

ASFR adalah angka yang menunjukkan banyaknya kelahiran per 1.000 perempuan pada kelompok umur tertentu antara 15-49 tahun. Data tren Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan ada pergeseran puncak ASFR dari kelompok umur 20-24 tahun pada tahun 1991 menjadi 25-29 tahun pada tahun 2012. Pada tahun 2012, jumlah kelahiran pada kelompok umur 25-29 tahun adalah 143 per 1000 perempuan 25-29 tahun. Sedangkan kelompok umur dengan jumlah kelahiran terendah adalah kelompok umur 45-49 tahun yakni 4 per 1000 perempuan 45-49 tahun.

Tabel 2.2 Fertilitas Menurut Kelompok Umur Tahun 1991- 2012 Kel. Umur Wanita

(Age Group)

Sumber data: SDKI Tahun 1991, 1994, 1997, 2002/2003, 2007 dan 2012

Secara umum, ASFR di daerah perkotaan lebih rendah dari perdesaan, hal ini terlihat dari adanya perbedaan pada pola kelahiran, dimana puncak kelahiran di perkotaan terjadi pada kelompok usia 25-29 tahun, sedangkan di perdesaan terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah ASFR kelompok usia 15-19 tahun di Desa, dimana pada tahun 2012 kondisinya masih sangat tinggi yakni sebesar 69, angka tersebut lebih dari 2 kali lipat bila dibandingkan dengan ASFR 15-19 tahun di kota yaitu sebesar 32.

Tabel 2.3 Fertilitas Menurut Kelompok Umur dan

Tempat Tinggal Tahun 1997-2012

2012 Umur Wanita

(Age Group)

Kota Desa

Sumber Data : SDKI Tahun 1997, 2002/03, 2007, dan 2012

Rasio Anak terhadap Wanita (Child Woman Ratio/CWR)

Rasio anak terhadap wanita menggambarkan perbandingan antara jumlah anak di bawah lima tahun (0-4 tahun) terhadap 1000 penduduk perempuan usia 15-49 tahun. Berdasarkan data SP, tren rasio anak terhadap wanita usia subur mengalami penurunan dari 667 per 1000 wanita usia subur pada tahun 1971 menjadi 348 per 1000 wanita usia subur di tahun 2010.

Gambar 2.12 Rasio Anak terhadap Wanita Tahun 1971 – 2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010

Berdasarkan wilayah, Provinsi Maluku merupakan Provinsi dengan Rasio Anak terhadap Wanita tertinggi menurut hasil SP 2010 yakni 484 per 1000 wanita usia subur, sedangkan DI Yogyakarta menjadi Provinsi dengan Rasio Anak terhadap Wanita terendah yakni 272 per 1000 wanita usia subur. Lihat lampiran Tabel 2.8 untuk CWR menurut Provinsi.

2.2.2 Pola Perkawinan

Umur Kawin Pertama Perempuan (Singulate Mean Age at First Marriage/SMAM)

SMAM adalah perkiraan/estimasi rata-rata umur kawin pertama berdasarkan jumlah penduduk yang tetap lajang (belum kawin). SMAM Indonesia berdasarkan SP tahun 2010 adalah 22,3 tahun, angka tersebut menurun dibandingkan hasil SP 2000 yang hanya 22,5 tahun.

Gambar 2.13 Rata-rata Umur Kawin Pertama Perempuan Tahun 1980 – 2010

Sumber data: Sensus Penduduk (SP) 1990, 2000 dan 2010 Sumber SMAM 1980: Indonesia Assessment-Population and Human Resources, Gavin W.

Jones,Terence H. Hull, Hal.2

SMAM tertinggi untuk wilayah provinsi berdasarkan SP 2010 terdapat pada Provinsi Kepulauan Riau yakni 24,4 tahun, sedangkan angka terendah berada pada Provinsi Kalimantan Tengah yakni 21,0 tahun. Lihat lampiran Tabel 2.9 untuk SMAM menurut Provinsi.

Median Usia Kawin Pertama

Usia kawin pertama adalah usia saat wanita melakukan perkawinan secara hukum dan biologis yang pertama kali. Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap wanita memiliki resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seorang wanita, maka semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun anak. Selain itu, usia kawin pertama juga berpengaruh besar pada tingkat fertilitas wanita maupun jumlah penduduk, sebagai akibat dari lamanya waktu reproduksi wanita.

Gambar 2.14 Median Usia Kawin Pertama Wanita Tahun 1991-2007

Sumber data: SDKI 1991, 1994, 1997, 2002-03, 2007, 2012

Hasil SDKI tahun 2007 menunjukkan median usia kawin pertama berada pada usia 20,1 tahun, angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan hasil SDKI 2002-2003 yakni 19,8 tahun (lihat gambar 2.13).

Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SDKI 2007 menempati posisi terendah usia kawin pertama wanita yakni pada usia 18,7 tahun, sedangkan DKI Jakarta menempati angka tertinggi yakni 22,5 tahun. Lebih jelas tentang Median Usia Kawin Pertama menurut Provinsi dapat dilihat pada lampiran Tabel 2.10.

2.2.3 Kesertaan ber KB

2.2.3.1 Pasangan Usia Subur (PUS)

Pasangan Usia Subur adalah pasangan suami-istri yang istrinya berumur antara 15 – 49 tahun, dan secara operasional pula pasangan suami-istri yang istri berumur kurang dari 15 tahun dan telah kawin atau istri berumur lebih dari

49 tahun tapi belum menopause (BKKBN, 2007). Tingkat kesertaan ber-KB diukur dari angka persentase PUS yang menjadi peserta KB.

Data BKKBN menunjukkan Pasangan Usia Subur di Indonesia berjumlah 37.766.883 pada tahun 2000, angka tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni 46.315.818 pada tahun 2010 dan 48.370.542 pada tahun 2012.

Tabel 2.4 Pasangan Usia Subur (Ribuan) Tahun 2000-2012

Sumber data: Biren dan Ditlaptik, BKKBN

2.2.3.2 Contraceptive Prevalence Rate dan Mix Kontrasepsi

Pengetahuan Mengenai Alat/Cara KB

Tabel 2.5 menunjukkan pengetahuan tentang metode kontrasepsi untuk semua wanita, wanita pernah kawin dan pria berstatus kawin. Hampir semua wanita dan wanita pernah kawin di Indonesia (98 persen dan 99 persen) pernah mendengar dan mengetahui paling tidak satu alat/cara KB. Persentase ini relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak SDKI 2007.

Suntikan dan pil merupakan alat/cara KB yang paling dikenali dan diketahui oleh wanita di Indonesia 96 persen. Diantara metode kontrasepsi modern, kontrasepsi darurat yang diketahui adalah diafragma dan metode amenore laktasi (MAL). Secara umum, pria kurang mengetahui tentang metode kontrasepsi tertentu daripada wanita, kecuali untuk kontrasepsi kondom dimana pengetahuan pria lebih tinggi daripada wanita.

Tabel 2.5 Pengetahuan Tentang Alat/Cara KB

Wanita

Wanita Umur

Subur belum Pria Berstatus Metode

Berstatus

Semua Wanita Menikah

Menikah Kawin

Suatu Alat/Cara KB

Cara KB Modern

Sterilisasi Wanita 61.4 67.0 44.4 40.3 Sterilisasi Pria

33.7 37.7 25.4 30.6 Pil

IUD 75.8 82.3 68.2 65.1 Suntikan

95.9 98.0 83.0 92.5 Susuk KB

81.8 89.0 54.1 63.1 Kondom

Diafragma 10.7 10.5 9.5 7.8 Metode Amenore Laktasi (MAL)

21.6 23.8 22.8 7.7 Kontrasepsi Darurat

Cara KB tradisional

56.8 62.6 62.9 46.7 Jumlah wanita /pria

Sumber data: SDKI 2012

Pemakaian Kontrasepsi dan Kecenderungannya Tabel 2.6 menunjukkan bahwa 62 persen wanita berstatus kawin

menggunakan kontrasepsi. Metode tradisional tidak umum digunakan di Indonesia; 58 persen wanita berstatus kawin umur 15-49 yang menggunakan metode kontrasepsi modern dan 4 persen wanita berstatus kawin menggunakan metode tradisional. Suntik KB adalah metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan, diikuti oleh pil (masing-masing sebesar 32 persen dan 14 persen).

Program yang mendorong partisipasi pria untuk ber-KB telah dilakukan selama beberapa tahun, namun penggunaan metode kontrasepsi ini masih rendah. Hanya sedikit wanita berstatus kawin umur 15-49 tahun yang suaminya menggunakan kondom pria dan sanggama terputus (masing-masing

2 persen), dan 1 persen menggunakan pantang berkala. Selanjutnya, tingkat penggunaan sterilisasi pria masih kurang dari 1 persen.

Tabel 2.6 Pemakaian Kontrasepsi Masa Kini pada Wanita

Cara Modern

Cara Tradisional

Suatu

Suatu

Pantang Sanggama Tidak Umur

Suatu cara Sterilisasi Sterilisasi

Susuk

cara

cara modern wanita

Pria

Pil IUD Suntik KB Kondom MAL Lainnya tradisional berkala terputus Lainnya pakai Total

Semua wanita

Wanita berstatus kawin 15-19 48.1 47.6 0.0 0.0 8.8 0.9 37.3 0.6

Sumber data: SDKI 2012

Pemakaian Kontrasepsi Menurut Karakteristik Latar Belakang

Tabel 2.7 menunjukkan bahwa angka prevalensi kontrasepsi hampir sama di daerah perkotaan dan pedesaan (62 persen). Suntik KB digunakan oleh wanita perkotaan dan perdesaan, tetapi wanita di perdesaan memiliki persentase penggunaan suntik KB yang lebih besar daripada wanita di perkotaan (masing-masing 35 persen dan 28 persen).

Penggunaan metode kontrasepsi juga bervariasi menurut tingkat pendidikan. Suntik KB merupakan metode yang paling populer pada semua kategori pendidikan wanita. IUD, kondom dan sterilisasi wanita lebih banyak digunakan oleh wanita berstatus kawin dengan tingkat pendidikan lebih tinggi.

Tabel 2.7 Pemakaian kontrasepsi masa kini menurut karakteristik latar belakang wanita berstatus kawin

Sumber data: SDKI 2012

Gambar 2.14 menunjukkan pemakaian alat/cara KB meningkat hampir 1 persen per tahun selama periode sebelas tahun antara SDKI tahun 1991 dan SDKI tahun 2002-2003. Selama satu dekade setelah SDKI tahun 2002-2003, peningkatan pemakaian alat/cara KB kurang dari 2 persen.

Gambar 2.15 Pemakaian Alat/Cara KB (CPR)

Sumber data: SDKI 1991, 1994, 1997, 2002-03, 2007, 2012

Gambar 2.15 menunjukkan tingkat popularitas beberapa metode kontrasepsi modern. Penggunaan IUD terus menurun selama 20 tahun terakhir, dari 28,3 persen pada tahun 1991 dan saat ini sebesar 6,7 persen. Di sisi lain, penggunaan suntikan meningkat dari 24,9 persen pada tahun 1991 menjadi 55,1 persen pada 2012. Sementara pil adalah metode modern yang paling umum digunakan pada tahun 1991 dan tahun 1994, serta suntik KB Gambar 2.15 menunjukkan tingkat popularitas beberapa metode kontrasepsi modern. Penggunaan IUD terus menurun selama 20 tahun terakhir, dari 28,3 persen pada tahun 1991 dan saat ini sebesar 6,7 persen. Di sisi lain, penggunaan suntikan meningkat dari 24,9 persen pada tahun 1991 menjadi 55,1 persen pada 2012. Sementara pil adalah metode modern yang paling umum digunakan pada tahun 1991 dan tahun 1994, serta suntik KB

Gambar 2.16 Pemakaian Alat/Cara KB Menurut Metode

Kontrasepsi Modern

Sumber data: SDKI 2012

Biaya Pemakaian Kontrasepsi

Berdasarkan SDKI 2012 sebanyak 23 persen dari seluruh pemakai kontrasepsi memperoleh cara atau alat kontrasepsi dari tempat pelayanan pemerintah, dan sebagian besar dari mereka (16 persen) membayar untuk metode dan jasa pelayanannya.

Tabel 2.8 Sumber Pembiayaan Kontrasepsi

Sumber data: SDKI 2012

Kemandirian pemakaian kontrasepsi menurut SDKI 2012 dua persen lebih rendah dibandingkan dengan SDKI 2007 (masing-masing 89 persen dan 91 persen). Pemakai kontrasepsi suntik, pil dan kondom cenderung membayar dalam mendapatkan alat/obat kontrasepsinya (masing-masing 96 persen, 95 persen dan 95 persen) dibandingkan pemakai alat/cara kontrasepsi lain. Dua per tiga dari pemakai IUD, 62 persen pemakai sterilisasi pada wanita dan 55 persen dari pemakai implan membayar untuk mendapatkan alat/metode kontrasepsinya.

Tabel 2.8 juga menjelaskan tentang sumber pelayanan kontrasepsi yang dikategorikan kedalam 3 tempat pelayanan yakni Pemerintah, Swasta, dan Lainnya. Pelayanan kontrasepsi ini diarahkan pada kemandirian dan partisipasi sektor swasta.

Gambar 2.17 Sumber Pelayanan Kontrasepsi

di IndonesiaTahun 2012

Sumber data: SDKI 2012

Gambar 2.16 menunjukkan beberapa alat/cara KB masih menjadi domainnya pemerintah seperti sterilisasi wanita dan pria, selebihnya kebanyakan dilayani oleh pihak swasta. Sedangkan alat kontrasepsi yang dapat diperoleh di toko obat adalah pil dan kondom.

2.2.3.3 Kebutuhan Pelayanan Kontrasepsi yang tidak Terpenuhi (Unmet Need)

Unmet need menggambarkan persentase wanita usia subur yang tidak menggunakan alat/cara kontrasepsi namun menginginkan penundaan kehamilan (penjarangan sampai dengan 24 bulan) atau berhenti sama sekali (pembatasan).

Gambar 2.18 Unmet Need di Indonesia Tahun 1991-2012

Sumber data: SDKI 1991, 1994, 1997, 2002- ’03, 2007, 2012

Definisi unmet need pada SDKI tahun 2012 mengalami perubahan dari definisi SDKI tahun 2007. Dalam rangka menyediakan data yang dapat dibandingkan, maka telah dilakukan perhitungan total unmet need dengan menggunakan definisi baru. Hasilnya terjadi penurunan unmet need pada wanita berstatus Definisi unmet need pada SDKI tahun 2012 mengalami perubahan dari definisi SDKI tahun 2007. Dalam rangka menyediakan data yang dapat dibandingkan, maka telah dilakukan perhitungan total unmet need dengan menggunakan definisi baru. Hasilnya terjadi penurunan unmet need pada wanita berstatus

Menurut SDKI 2012, kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) pada wanita berstatus kawin umur 15-49 tahun adalah 11,4 persen; 5 persen untuk penundaan kelahiran, dan 6,9 persen untuk membatasi kelahiran. Unmet need Provinsi dapat dilihat pada Lampiran Tabel 2.11.

2.2.3.4 Alasan Tidak Memakai Kontrasepsi

Sebagian besar wanita yang tidak menggunakan alat kontrasepsi pada saat survey berkaitan dengan alasan fertilitas yaitu sebesar 40,2 persen. Diantara mereka 19,1 persen adalah yang telah memasuki masa menopause, 9,2 persen ingin memiliki anak banyak, 7,4 persen abstinensi, 3 persen tidak subur dan fatalistic 1,6 persen (lihat Gambar 2.18).

Gambar 2.19 Alasan tidak ingin memakai Kontrasepsi

Sumber data: SDKI 2012

Adapun wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi berkaitan dengan alasan atau cara KB sebesar 23,4 persen, dimana 11,5 persen dari mereka adalah yang takut dengan efek samping, 7,8 persen berkaitan dengan masalah kesehatan, 2,3 persen merasa tidak nyaman menggunakan alat kontrasepsi, 1 persen menjadi gemuk atau kurus, dan selebihnya karena alasan kurangnya akses dan biaya yang terlalu mahal.

2.2.3.5 Median lama dan frekuensi menyusui secara eksklusif

Secara umum median lama menyusui di Indonesia adalah selama 21,4 bulan, dengan durasi meannya selama 20,5 bulan. Namun demikian median durasi ASI eksklusif kurang dari 1 bulan dengan durasi meannya 3 bulan. Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.19. Lampiran Tabel 2.12 untuk melihat Median lama menyusui menurut Provinsi.

Gambar 2.20 Rata-rata pemberian Asi Eksklusif

untuk Semua Anak (bulan)

Sumber data: SDKI 2012

2.3 Mortalitas dan Faktor yang Mempengaruhi

2.3.1 Kecenderungan dan Pola Mortalitas

Kematian Kasar (Crude Death Rate/CDR)

Estimasi angka Kematian Kasar berdasarkan United Nation (UN) Population Prospect menurun dari 13 per 1000 penduduk pada periode tahun 1970 sampai dengan 1975, menjadi 6 per 1000 penduduk pada periode tahun 2005 sampai dengan 2010. Penurunan angka kematian kasar ini memberikan gambaran peningkatan kesejahteraan penduduk, sebagai dampak dari kemajuan di bidang kesehatan.

Gambar 2.21 Estimasi Kematian Kasar di Indonesia

Sumber data: World Population Prospects The 2012 Revision, UN

Angka Kematian Bayi (Infant MortaIity Rate/IMR)

Kematian bayi menggambarkan peluang untuk meninggal antara kelahiran dan sebelum mencapai umur tepat satu tahun. Angka kematian Bayi dapat dibagi menjadi dua bagian yakni kematian neonatum dan post-neonatum. Kematian Neonatum menggambarkan peluang untuk meninggal dalam bulan pertama setelah lahir, sedangkan kematian post-neonatum menggambarkan peluang untuk setelah bulan pertama tetapi sebelum umur tepat satu tahun.

Gambar 2.22 Angka Kematian Bayi dan Anak Tahun 1991-2012

Sumber data: SDKI Tahun 1991, 1994, 1997, 2002, 2007 dan 2012

Kematian bayi berusia di bawah satu tahun menurun dari 67,8 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Berdasarkan data provinsi kasus kematian bayi tertinggi terdapat di Papua Barat (74 per 1000 kelahiran hidup) dan terendah di provinsi Kalimatan Timur (21 per 1000 kelahiran hidup). Lihat Lampiran Tabel 2.13 untuk Angka Kematian Bayi menurut Provinsi.

Angka Kematian Anak (1-4 Tahun)

Kematian anak menggambarkan peluang untuk meninggal antara umur satu tahun dan sebelum tepat lima tahun. Gambar 2.21 menunjukan bahwa kematian anak usia 1-4 tahun telah turun sejak tahun 1991, dari 31,7 per 1000 kelahiran anak usia 1-4 tahun menjadi 9 per 1000 kelahiran anak usia 1-4 tahun pada tahun 2012. Provinsi dengan angka kematian anak usia 1-4 tahun tertinggi adalah Papua (64 per 1000 anak usia 1-4 tahun) dan terendah adalah Jambi (3 per 1000 anak usia 1-4 tahun). Lihat Lampiran Tabel 2.13 untuk Angka Kematian Anak menurut Provinsi.

Angka Kematian Balita (Under Five Mortality Rate/U5MR)

Kematian balita menggambarkan peluang untuk meninggal antara kelahiran dan sebelum umur tepat lima tahun. Pada tahun 1991, kasus kematian balita adalah sebanyak 97,4 per 1000 anak usia dibawah 5 tahun. Angka tersebut terus menurun mencapai 40 per 1000 anak usia dibawah 5 tahun pada tahun 2012. Provinsi dengan angka kematian balita tertinggi adalah Papua (115 per 1000 anak usia dibawah 5 tahun) dan terendah adalah Riau (28 per 1000 anak usia dibawah 5 tahun). Lihat Lampiran Tabel 2.13 untuk Angka Kematian Balita menurut Provinsi.

Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate/MMR)

Kasus Kematian Ibu yang disebabkan karena komplikasi kehamilan dan kelahiran anak di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan data SDKI, angka kematian ibu mengalami tren penurunan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 yakni 390 per 100,000 kelahiran hidup pada tahun 1994, kemudian turun menjadi 228 per

100,000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Jumlah tersebut pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.

Gambar 2.23 Angka Kematian Ibu Tahun 2002-2012

Sumber data: SDKI Tahun 1994, 1997, 2002, 2007 dan 2012

Angka Harapan Hidup (Life Expectancy)

Angka harapan hidup (AHH) merupakan rata-rata tahun hidup yang akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu. Berdasarkan tren data SP, AHH di Indonesia telah meningkat dari tahun 1971 yaitu 45,7 tahun menjadi 70,7 tahun pada tahun 2010. Berdasarkan jenis kelamin, AHH perempuan lebih tinggi (72,6 tahun) daripada AHH laki-laki (68,7 tahun).

AHH disetiap provinsi pada tahun 2010 (SP2010) berbeda-beda dari yang tertinggi provinsi DKI Jakarta yaitu 74,7 tahun sampai dengan yang terendah provinsi Gorontalo yaitu 63,2 tahun (lihat Lampiran Tabel 2.14 untuk AHH menurut Provinsi).

Gambar 2.24 Angka Harapan Hidup Indonesia Tahun 1971-2010

Sumber data: SP Tahun 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010

2.3.2 Penyebab Kematian

Pada tahun 2011, berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI, jenis penyakit dengan jumlah kematian tertinggi di Indonesia disebabkan oleh demam berdarah dengue (DBD) yaitu sebanyak 816 jiwa. Kasus tertinggi terjadi di provinsi Jawa Barat dengan 167 jiwa (data provinsi dapat dilihat pada Lampiran Tabel 2.15).

Tabel 2.9 Jenis Penyakit dan Penyebab Kematian tahun 2011

Jenis Penyakit

Jumlah Penderita Jumlah Kematian

Tetanus Neonatorum

Flu Burung

Campak

Sumber: Dirjen PP dan PL, Profil Kesehatan Indonesia 2012

2.4 Migrasi

2.4.1 Kecenderungan dan Pola Migrasi Risen

Berdasarkan SP tahun 2010, angka migrasi risen baik keluar maupun masuk mengalami penurunan. Migrasi risen masuk pada tahun 2000 sebesar 5,536,317 jiwa, menurun menjadi 5,396,419 jiwa pada tahun 2010. Sedangkan data migrasi risen keluar pada tahun 2000 adalah 5,440,239 jiwa, menurun menjadi 5,235,778 jiwa pada tahun 2010. Sementara berdasarkan jenis kelamin, Jumlah penduduk Laki- laki Migran masuk risen pada tahun 2010 berjumlah 2.830.114 jiwa, sedangkan Perempuan berjumlah 2.566.305 jiwa.

Tabel 2.10 Tren Data Parameter Kependudukan

yang terkait dengan Migrasi Risen Indonesia, 2000-2010

Migrasi Risen (jiwa):

Sumber data: BPS, Sensus Penduduk 2000 dan 2010 Provinsi Jawa Barat mendapatkan migran masuk risen terbanyak yaitu 1,048,964

jiwa sedangkan terendah adalah provinsi Maluku Utara (24,462 jiwa). Untuk migran keluar risen terbanyak terdapat di Provinsi Jawa tengah (979,860 jiwa) dan yang terendah adalah Maluku Utara (14,887 jiwa). Lihat Lampiran Tabel 2.16 untuk Angka Migrasi Risen Menurut Provinsi.

2.4.2 Kecenderungan dan Pola Migrasi Seumur Hidup

Angka migrasi seumur hidup mengalami kenaikan baik keluar maupun masuk. Migrasi seumur hidup masuk pada tahun 2000 adalah 20,260,484 jiwa, meningkat menjadi 27,975,612 jiwa pada tahun 2010. Sedangkan data migrasi seumur hidup keluar pada tahun 2000 adalah 20,161,012 jiwa, meningkat menjadi 27,736,130 jiwa Angka migrasi seumur hidup mengalami kenaikan baik keluar maupun masuk. Migrasi seumur hidup masuk pada tahun 2000 adalah 20,260,484 jiwa, meningkat menjadi 27,975,612 jiwa pada tahun 2010. Sedangkan data migrasi seumur hidup keluar pada tahun 2000 adalah 20,161,012 jiwa, meningkat menjadi 27,736,130 jiwa

Tabel 2.11 Tren Data Parameter Kependudukan yang terkait dengan Migrasi

Seumur Hidup Indonesia, 2000-2010

Migrasi Seumur Hidup (jiwa):

Sumber data: BPS, Sensus Penduduk 2000 dan 2010 Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan migran masuk seumur hidup

terbanyak yaitu 5,225,271 jiwa sedangkan terendah adalah provinsi Gorontalo (64,585 jiwa). Untuk migran keluar seumur hidup terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah (6,829,637 jiwa) dan yang terendah adalah Papua (48,955 jiwa).

PEMBANGUNAN BERWAWASAN KEPENDUDUKAN

3.1 Pencapaian Pembangunan Manusia

Persoalan pembangunan manusia di Indonesia sudah mendapat perhatian y a n g serius. Berbagai masalah mengenai pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan mulai terlihat bergeser dan berkembang ke arah kondisi yang lebih baik. Sebagai gambaran tentang perkembangan tersebut, kondisi Indonesia dapat diperbandingkan dengan negara ASEAN.

Indeks Pembangunan Manusia adalah salah satu indeks yang mengukur tentang tingkat pembangunan manusia berdasarkan tiga indikator yaitu kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Pada tahun 2012 IPM Indonesia berada pada peringkat 121 dari 187 Negara. IPM Indonesia antara tahun 1980 sampai dengan 2012 mengalami peningkatan sebesar 49 persen yakni dari 0,422 menjadi 0,629, angka tersebut menunjukkan rata-rata peningkatan sebesar 1,3 persen setiap tahunnya.

Tabel 3.1 Tren IPM Indonesia Tahun 1980 – 2012 Tahun

Life

Expected

Mean years

GNI per

HDI value

expectancy

years of

of schooling capita (2005

at birth

Sumber data: Human Development Report, UNDP

Tabel 3.1 Menunjukkan tren peningkatan pada masing-masing indikator IPM di Indonesia. Harapan hidup saat lahir antara tahun 1980 sampai dengan 2012 meningkat sebesar 12,2 tahun, sedangkan lama waktu bersekolah yang diharapkan meningkat sebesar 2,7 tahun dan diharapkan akan meningkat sampai dengan 4,6 tahun. Di Indonesia Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per Kapita juga mengalami peningkatan sekitar 225 persen antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2012.

Perbandingan IPM antar negara ASEAN menunjukkan disparitas yang cukup tinggi sejak tahun 1990. Peningkatan IPM tidak secara langsung menggambarkan peringkat kualitas pembangunan manusia. Sebagai contoh, meskipun selama dua dekade IPM Myanmar telah meningkat secara signifikan, namun Myanmar tetap menjadi negara dengan IPM terkecil dikawasan ASEAN. Angka IPM Myanmar merupakan yang terkecil dibandingkan Negara ASEAN lainnya yaitu 0,498 pada tahun 2012. Peringkat terendah berikutnya adalah Laos dan Cambodia dengan nilai IPM di tahun 2012 yakni 0,543. Di sisi lain, Negara-negara dengan nilai IPM tinggi di kawasan ASEAN berturut-turut adalah Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia masing-masing dengan IPM 0,895, 0,855, dan 0,769 untuk tahun 2012. Untuk

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24