Perbedaan tingkat somatisasi antara karyawan kontrak dan karyawan tetap - USD Repository

  

PERBEDAAN TINGKAT SOMATISASI

ANTARA KARYAWAN KONTRAK DAN KARYAWAN TETAP

  SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

Oleh :

Maria Adriana Dewinta Christianti

NIM : 079114109

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2012

  M asa L alu dapat dijadikan pelajaran untuk melangkah di masa depan, namun bukan menjadi pedoman

  

Dan bila, aku berdiri, tegak sampai hari ini

Bukan karena kuat dan hebatku

Semua karena Cinta

# Karena Cinta

  

Or a n g y a n g si bu k d en ga n p ek er j a a n n y a , d en ga n

p r est a si n y a t a k p er n a h ber p i k i r u n t u k m en j el ek -j el ek k a n

or a n g l a i n ....

#D a l e Ca r n egi e

  

PERSEMBAHAN

S KRIPS I INI KUPERS EMBAHKAN UNTUK TUHAN YESUS KRISTUS DAN BUNDA MARIA, PAPA DAN MAMA, S ERTA ANAK DAN S UAMIKU TERCINTA....

  

PERBEDAAN TINGKAT SOMATISASI ANTARA KARYAWAN

KONTRAK DAN KARYAWAN TETAP

Maria Adriana Dewinta Christianti

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat somatisasi

antara karyawan kontrak dan karyawan tetap. Somatisasi merupakan proses penggunaan

tubuh untuk kepentingan pribadi ke dalam bentuk gejala fisik yang tidak ada dasar fisik

yang ditemukan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah tingkat somatisai karyawan kontrak

lebih tinggi daripada karyawan tetap. Subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang

karyawan PT Pulau Intan, Jakarta, terdiri dari 50 orang karyawan tetap dan 50 orang

karyawan kontrak. Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif dan menggunakan

metode pengumpulan data berupa Skala Somatisasi. Skala disusun berdasarkan 2 aspek,

yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Skala tersebut terdiri dari 32 item dengan koefisien

kesahihan bergerak antara 0,236 – 0,471 dengan koefisien reliabilitas 0,838. Analisis data

dalam penelitian ini menggunakan uji - t. Hasil analisis menunjukkan nilai t = 12,545

dengan p = 0,000. Nilai mean untukkaryawankontrakadalah 73,5 sementara untuk karyawan

tetap sebesar 59,5. Dengan demikian tingkat somatisasi karyawan tetap lebih rendah

disbanding karyawan kontrak secara sangat signifikan.

  Kata kunci : Somatisasi, Karyawan kontrak, Karyawan tetap

  vii

  

DIFFERENCE OF SOMATIZATION LEVEL BETWEEN

PERMANENT STAFF AND CONTRACT STAFF

Maria Adriana Dewinta Christianti

ABSTRACT

  This research aimed to find the difference of somatization between permanent staff

and contract staff. Somatization was a process of a body symptoms which is no physical

base to be found. The hypothesis of the research was somatization level of permanent staff

lower than the level of permanent staff. The subject of this research were 100 people staff at

PT. Pulau Intan, Jakarta consisted of 50 people of permanent staff and 50 people of

contract staff.The type of this research was comparative research and yhe data collection

method used the form of somatization scale. Scale compiled based on 2 aspect, that were

physical aspect and psychological aspect. This scale consisted of 32 item with validity

coefficient range from 0,236 – 0,471 dan reliability coefficient 0,838. Data analysis in this

research used the t – test produces t = 12, 545 with p = 0,000. Mean = 73,5 for contact staff

and 59,5 for permanent staff. The result indicate that significally the somatization level of

permanent staff lower than contract staff.

  Key Words : Somatization, Contract Staff, Permanent Staff

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan Tingkat Somatisasi antara Karyawan Kontrak dengan Karyawan Tetap”.

  Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.

  Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

  1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu membimbing dan selalu menjadi tempat curahan hati penulis.

  2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi , Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

  3. Ibu P. Henrietta PDADDS S.Psi., M. A. selaku dosen pembimbing, terimakasih atas bimbingan, pengarahan, saran serta dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi.

  4. Ibu Sylvia Carolina MYM S.Psi., M.Si. dan Ibu Dr. Tjipto Susanna M. Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang berguna bagi penulis.

  5. Ibu M.M. Nimas Eki Suprawati S.Psi., Psi., M. Si. selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih atas bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.

  6. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi., Psi., M. Si. dan Ibu Aquilina Tanti Arini S.Psi., M. Si. terima kasih atas kesediaan waktu dan tenaganya atas konsultasi skripsi, terutama dalam penyusunan skala.

  7. Segenap dosen Fakultas Psikologi yang pernah mengajar penulis. Terima kasih atas ilmu dunia Psikologi yang telah diberikan pada penulis.

  8. Segenap karyawan fakultas Psikologi ; Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Doni, Mas Muji, Pak Gik, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

  9. Om Dian dan teman-teman karyawan PT. Pulau Intan, Jakarta yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengisi skala yang diberikan.

  10. Isabella Maria Sri Amoura Nindya dan suamiku tercinta, Chandra, yang telah menjadi pengganggu sekaligus motivator terbesar penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Makasih banget, keluarga kecilku…

  11. Mama, Papa, Sella, Nathan, Detha, dan Paskha atas semua cinta dan kasih sayang, dukungan moril maupun materil serta doa yang selalu menyertai penulis.

  12. Semua keluarga besar penulis, Om Inton, Bulek Rani, Tante Dian, Om Nunung, Om Wina, dan masih banyak lagi. Terima kasih atas dukungan dan doanya yang tidak pernah lepas dari penulis.

  13. Lily, Gege, Niken, Galih, Danang, Chacha, Rani, Tyas, Damar, dan banyak lagi teman-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, dukungan dan masukkan yang berguna untuk skripsi ini.

  14. Mbak Lisa, Gita, Ellisa, Bruder Martin, Sr Wahyu, Sr Cresen, Pak Priyo, Bu Susan, serta teman-teman PSIBK yang lain yang selalu “ngoyak- ngoyak” penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga atas banyak pelajaran dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.

  15. Dan semua orang yang telah mendukung penulis baik secara langsung ataupun tidak langsung, terimakasih banyak.

  Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan anugrah dari Tuhan YME. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan,.AMIN.

  Yogyakarta , Agustus 2012 Penulis

  Maria Adriana Dewinta

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...................... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. iii HALAMAN MOTTO .......................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................... vi ABSTRAK .......................................................................................... vii ABSTRACT ........................................................................................ vii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........... ix KATA PENGANTAR ......................................................................... x DAFTAR ISI ....................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ............................................................................... xvi DAFTAR SKEMA ............................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xviii BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................

  1 A. Latar Belakang ...............................................................

  1 B. Rumusan Masalah ...........................................................

  7 C. Tujuan Penelitian.............................................................

  7 D. Manfaat Penelitian ...........................................................

  7 1. Manfaat Teoritis ........................................................

  7 2. Manfaat Praktis..........................................................

  8

  BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ........................................................

  9 A. Somatisasi .......................................................................

  9 1. Pengertian Somatisasi ...............................................

  9 2. Penyebab Somatisasi ................................................

  11 3. Penggunaan Somatisasi ............................................

  13 4. Kriteria Diagnostik Ganggaun Somatisasi ................

  14 5. Faktor yang Mempengaruhi Somatisasi ....................

  15 B. Karyawan Kontrak dan KaryawanTetap .........................

  19 1. Pengertian Karyawan Tetap .....................................

  20 2. Pengertian Karyawan Kontrak .................................

  21 C. Perbedaan Tingkat Somatisasi antara Karyawan Tetap dengan Karyawan Kontrak .....................................

  22 D. Hipotesis .........................................................................

  29 BAB III : METODE PENELITIAN ....................................................

  30 A. Jenis Penelitian ................................................................

  30 B. Variabel Penelitian ..........................................................

  30 C. Definisi Operasional Variabel ..........................................

  30 1. Tingkat Somatisasi ..................................................

  30 2. Karyawan ................................................................

  31 D. Subjek Penelitian .............................................................

  31 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ................................

  32 F. Validitas dan Reliabilitas .................................................

  34 1. Validitas Alat Ukur ..................................................

  34

  2. Seleksi Item .............................................................

  35 3. Reliabilitas Alat Ukur ...............................................

  36 G. Uji Asumsi ......................................................................

  37 1. Uji Normalitas .....................................................

  37 2. Uji Homogenitas ..................................................

  38 H. Analisis Data ...................................................................

  38 BAB IV : HASIL PENELITIAN ..........................................................

  40 A. Pelaksanaan Penelitian ....................................................

  40 B. Deskripsi Subjek .............................................................

  41 C. Deskripsi Data Penelitian ................................................

  42 D. Hasil Penelitian ...............................................................

  46 1. Uji Asumsi ..................................................................

  46 2. Uji Hipotesis ...............................................................

  47 E. Pembahasan.....................................................................

  48 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN..............................................

  54 A. Kesimpulan .....................................................................

  54 B. Saran ...............................................................................

  54 1. Untuk Karyawan .........................................................

  54 2. Untuk Peneliti Selanjutnya ..........................................

  55 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

  56 LAMPIRAN ........................................................................................

  60

  

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Blueprint Distribusi Butir-butir Skala Somatisasi ................

  34 Tabel 4.1. Deskripsi Subjek ...............................................................

  42 Tabel 4.2. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Nilai Mean ............

  42 Tabel 4.3. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Usia pada Karyawan Tetap ........................................................

  43 Tabel 4.4. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Usia Dewasa Awal pada Karyawan Kontrak dan Karyawan Tetap ..........

  43 Tabel 4.5. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin pada Karyawan Kontrak ....................................................

  44 Tabel 4.6. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin pada Karyawan Tetap ........................................................

  45 Tabel 4.7. Deskripsi Data Penelitian pada Subjek Laki-Laki ..............

  45 Tabel 4.8. Deskripsi Data Penelitian pada Subjek Perempuan ............

  46 Tabel 4.9. Uji Normalitas ...................................................................

  47 Tabel 4.10. Uji Hipotesis .....................................................................

  47

DAFTAR SKEMA

  Skema 2.1 Perbedaan Tingkat Somatisasi pada Karyawan Kontrak dan Karyawan Tetap ...................................................................................

  28

  

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran1. Skala Somatisasi ...............................................................

  61 Lampiran 2. Reliabilitas Skala .............................................................

  67 Lampiran 3. Uji Normalitas..................................................................

  71 Lampiran 4. Uji Homogenitas ..............................................................

  71 Lampiran 5. Uji T ................................................................................

  72 Lampiran 6. Surat Keterangan Penelitian ............................................

  75 xviii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat

  menuntut individu untuk mampu menguasainya. Ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin banyak mengakibatkan kompetensi di berbagai bidang semakin berat, termasuk didalamnya dalam mencari pekerjaan. Bekerja merupakan suatu kebutuhan bagi individu, terutama individu pada usia dewasa awal. Pada usia dewasa awal, individu dituntut untuk dapat berdiri sendiri melalui pekerjaan yang dimilikinya (Santrock, 2002). Pekerjaan merupakan perwujudan dari kebutuhan, keinginan, nilai-nilai, dan cita-cita yang dimiliki oleh seseorang. Dengan memiliki pekerjaan juga seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara wajar dan merasa dirinya lebih berarti dalam lingkungannya (Mappiare, 1983). Namun ketika orang dewasa awal gagal dalam memiliki pekerjaan tetap, maka akan timbul rasa cemas yang dapat berakibat pada gangguan psikologis (Mappiare, 1983).

  Masalah kesehatan jiwa memang seringkali dipandang sebelah mata

  bahkan oleh para klinisi di bidang kesehatan. Kesehatan jiwa dianggap tidak lebih penting daripada kesehatan fisik. Penelitian yang dilakukan oleh para staf di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) di sebuah Puskesmas di Jakarta Barat memperlihatkan hasil bahwa pasien yang datang ke puskesmas dengan keluhan fisik ternyata 30 persen lebih di antaranya mengalami gangguan kesehatan jiwa dan yang paling besar adalah psikosomatik (Andi, 2011). Somatisasi menjadi salah satu penyakit dalam psikologi klinis yang

  kurang dapat ditangani. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga, sementara kasus somatisasi ini banyak terjadi di masyarakat(Bidang Studi Psikologi Klinis Masih dipahami Secara Sempit, 2010).

  Somatisasi merupakan sejumlah keluhan fisik yang telah menetap selama beberapa tahun dan menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis tetapi tidak ada dasar fisik yang ditemukan (Bootzin, Acocella, & Alloy, 1993). Somatisasi adalah suatu proses pemanfaatan tubuh (soma) yang digunakan untuk tujuan-tujuan psikologis atau untuk pencapaian-pencapaian pribadi (Ford, 1983). Ketika menghadapi situasi yang menekan dan tidak diharapkan, maka respon individu yang biasanya muncul adalah rasa gelisah, takut, dan sering diikuti gejala somatik seperti nyeri kepala, berkeringat, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan (Martaniah, 1994).

  Gangguan somatisasi memiliki banyak simtom fisik dan terjadi

  berulang kali serta tidak hanya terdiri dari satu keluhan saja (Halgin & Susan, 2010). Somatisasi dicirikan dengan keluhan somatik yang biasanya muncul sebelum awal 30 tahun dan dapat berakibat pada hambatan dalam memenuhi peran sosial atau pekerjaan serta kebutuhan yang berlebihan akan pengobatan (Jeffrey, Spencer, & Beverly, 2003). Pada sebagian besar kasus, gangguan somatisasi pertama kali muncul selama masa remaja dan meningkat fluktuasinya sepanjang rentang kehidupan, khususnya ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan stres dapat meningkatkan intensifikasi munculnya simtom (Halgin & Susan, 2010). Penelitian Swartz dkk (dalam Jeffrey,dkk , 2003) menunjukkan bahwa 95% orang dengan gangguan somatisasi telah mengunjungi dokter dan 45% diantaranya masuk perawatan inap rumah sakit. Bahkan para penderita gangguan somatisasi memiliki kecenderungan untuk berpindah-pindah dokter untuk mencari jawaban atas keluhannya (Andri, 2011)

  Somatisasi pertama kali sering disebut Sindrom Briquet karena

  ditemukan oleh Piere Briquet tahun 1859. Penyakit-penyakit kompleks seperti

  kesulitan menstruasi pada wanita, nafas pendek, sakit jasmani, gangguan sensasi dalam seksual juga dapat diterangkan kemunculannya sebagai bentuk keluhan somatisasi (Comer, 1992).

  Timbulnya gangguan-gangguan somatik dapat disebabkan karena

  konflik intrapsikis, masalah hubungan interpersonal, atau masalah-masalah sosial dan lingkungan. Somatisasi merupakan kebiasaan yang telah dibentuk sejak kecil, sehingga pengaktifan pola somatisasi untuk tujuan psikologis seringkali tidak disadari lagi (Ford, 1983). Menurut Ford (1983) ada banyak tujuan seseorang menggunakan somatisasi. Salah satunya ialah untuk menghindari tugas dan tanggung jawab. Somatisasi sendiri merupakan cara yang maladaptif, karena seseorang tidak berusaha menghadapi tekanan- tekanan atau permasalahan-permasalahan dalam hidupnya tetapi hanya melarikan diri dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini berkaitan dengan pencapaian tujuan sekunder untuk mendapatkan perhatian dan pemakluman dari lingkungannya (Ford, 1983).

  Somatisasi sendiri merupakan gejala gangguan mental yang paling sering muncul akibat adanya stres kerja (Wantoro, 1996, dalam Sosrosumihardjo, Amri, & Setyawan, 2008). Pada penelitian di Swedia di tiga Pusat Kesehatan Kerja didapatkan bahwa stres kerja menyebabkan 33% kasus kecenderungan gejala gangguan mental emosional. Dalam beberapa penelitian sejenis yang melihat kaitan stres kerja dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional, somatisasi selalu menjadi 3 besar gejala gangguan mental emosional yang sering muncul (Sosrosumihardjo, dkk, 2008).

  Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja di salah satu perusahaan di Jakarta (DC, Wawancara Pribadi, 27 Desember, 2010), terjadi peningkatan jumlah absen dengan alasan sakit pada karyawan dari tahun ke tahun. Selain itu, alasan finansial juga menjadi salah satu alasan seseorang menggunakan somatisasi (Ford,1983). Menurut hasil wawancara dengan pekerja dari perusahaan yang sama (DC, Wawancara Pribadi, 27 Desember, 2010), jumlah permintaan penggantian dana kesehatan melalui asuransi yang diberikan oleh perusahaan juga semakin meningkat. Hal ini berakibat pada menurunnya produktivitas perusahaan akibat kurangnya SDM. Meskipun tampaknya individu dengan gangguan somatisasi ini secara sengaja memalsukan permasalahan medis yang kompleks, mereka sesungguhnya tidak menyadari jika permasalahan psikologis yang mereka alami diekspresikan pada tubuh (Halgin & Susan, 2010).

  Pekerjaan memang dapat membuat individu mengalami stres yang dapat berujung pada kecenderungan gejala gangguan mental emosional, namun individu tetap membutuhkan pekerjaan. Dengan memiliki pekerjaan, individu memperoleh imbalan berupa gaji yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, dengan memiliki pekerjaan individu juga dapat memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan diri melalui karir yang dimilikinya.

  Pekerjaan memang merupakan suatu kebutuhan bagi individu usia dewasa. Namun untuk memiliki suatu pekerjaan tidaklah mudah. Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2011 mencapai 119,4 juta orang, bertambah sekitar 2,9 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2010 sebesar 116,5 juta orang atau bertambah 3,4 juta orang dibanding Februari 2010 sebesar 116 juta orang (Jumlah Pengangguran di Indonesia Tersisa 812 juta orang, 2011) . Hal tersebut akan berakibat pada meningkatnya persaingan antar individu untuk mendapatkan pekerjaan. Persaingan yang semakin ketat ini juga akan membuat perusahaan lebih selektif dalam memilih karyawan. Salah satu cara bagi perusahaan supaya tidak salah dalam mengangkat karyawan ialah dengan cara melihat kinerja karyawan tersebut terlebih dahulu sebelum mengangkatnya menjadi karyawan tetap. Hal ini mengakibatkan banyak perusahaan yang memberlakukan sistem karyawan kontrak walaupun tidak menutup kemungkinan untuk mengangkat seseorang langsung menjadi karyawan tetap (Hastuti, dkk, 2003).

  Perbedaan antara karyawan tetap dengan karyawan kontrak terletak pada hubungan kerja yang telah disepakati. Karyawan tetap terikat dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu, sedangkan karyawan kontrak terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Hal ini mengakibatkan munculnya rasa cemas pada karyawan kontrak saat menghadapi penghentian kontrak kerja. Mereka takut akan kehilangan fasilitas yang diperoleh selama mereka bekerja di perusahaan, termasuk didalamnya tidak adanya penghasilan (gaji), tunjangan, sarana, serta kesempatan. Mereka juga dapat merasa cemas dan tertekan karena sewaktu-waktu mudah di PHK atau di mutasi. Ketika seseorang merasa kurang memiliki jaminan dalam bekerja, maka akan muncul kecemasan dengan stresor pengembangan karir (Sosrosumihardjo, dkk, 2008). Namun kecemasan yang timbul ini tentu saja berbeda-beda bagi tiap karyawan kontrak. Oleh karena itu, tidak dapat dipastikan kapan karyawan kontrak ini mulai merasa cemas, apakah saat mulai bekerja, saat akan evaluasi kerja, atau bahkan saat masa kontrak akan berakhir (Widyayulianti,2006).

  Karyawan tetap pada umumnya mereka merasa lebih aman dan tidak cemas. Kepastian masa depan dalam karir ditentukan oleh kinerja mereka sendiri, bukan karena masa kontrak. Hal ini tentu menyebabkan mereka merasa aman karena merasa memiliki kontrol terhadap pekerjaannya (Meilana, 2008). Selain itu, karyawan tetap merasa lebih aman karena jika mereka harus mengalami mutasi atau PHK, akan ada kriteria yang jelas dari pihak perusahaan. Namun dari pihak perusahaan juga tentu akan lebih memikirkan kembali apabila harus melakukan PHK terhadap karyawan tetap karena hal itu berarti perusahaan harus membayar pesangon untuk karyawan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dalam hal ini Undang- Undang. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mencoba melihat perbedaan tingkat somatisasi antara karyawan kontrak dan karyawan tetap.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan tingkat somatisasi antara karyawan kontrak dan karyawan tetap ?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat somatisasi antara karyawan kontrak dan karyawan tetap.

  D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

  Penelitian ini berguna dalam memperkaya khasanah ilmu psikologi terutama psikologi klinis dan psikologi industri mengenai tingkat somatisasi pekerja. Penelitian ini juga berguna untuk menambah wawasan dan menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

  a. Bagi Karyawan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi sehingga dapat membantu para pekerja dalam upaya lebih memahami keadaan psikologis yang dialaminya.

  b. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan mengenai tingkat somatisasi karyawan tetap dan karyawan kontrak pada saat ini dan mampu menjadi bahan evaluasi dalam usaha meningkatkan produktivitas perusahaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SOMATISASI 1. Pengertian Somatisasi Gangguan somatisasi berkaitan dengan kecemasan (Jeffrey, dkk,

  2003). Gangguan somatisasi termasuk dalam gangguan somatoform bersama dengan gangguan hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, gangguan nyeri, dan gangguan konversi. Gangguan Somatisasi sebelumnya dikenal sebagai Sindrom Briquet, dicirikan dengan keluhan somatik yang beragam dan berulang dimulai pada awal masa dewasa, bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat menuntut perhatian medis dan mengalami kendala dalam memenuhi peran sosial atau pekerjaan (Cloninger et al., dalam Neale & Davidson, 2004).

  Penderita somatisasi mempunyai riwayat medis yang lama dan rumit dengan banyak diagnosis yang telah dipikirkan. Bahkan meskipun beberapa gangguan organik ringan telah didiagnosis, tetap banyak keluhan dari individu hingga individu tersebut mengalami ketidakmampuan yang parah (Puri, Laking, Treasaden. 2008).

  Somatisasi merupakan suatu proses pemanfaatan tubuh yang digunakan untuk tujuan-tujuan psikologis atau untuk pencapaian- pencapaian pribadi (Ford, 1983). Somatisasi meliputi sejumlah keluhan fisik yang telah menetap selama beberapa tahun dan menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis tetapi tidak ada dasar fisik yang dapat ditemukan (Bootzin dkk, 1993) Menurut DSM-IV-TR kriteria dari gangguan somatisasi adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami. Sedangkan menurut PPDGJ III (2003), ciri utama dalam gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bernacam- macam, berulang, dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Kebanyakan pasien memiliki riwayat pengobatan yang sangat panjang dan kompleks. Keluhan yang muncul terdapat pada bagian manapun, namun yang paling lazim terjadi ialah keluhan gastrointestinal dan keluhan perasaan abnormal pada kulit serta bercak-bercak pada kulit.

  Selain itu, keluhan mengenai seks dan haid juga lazim terjadi.

  Individu yang mengalami gangguan somatisasi biasanya lebih sensitif pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Neale & Davidson, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Neale & Davidson, 2004). Pandangan behavioral dari somatisasi menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatisasi memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stres (Neale & Davidson, 2004).

  Jadi, somatisasi merupakan suatu tipe gangguan psikologis yang melibatkan berbagai keluhan yang muncul secara berulang, namun tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik apa pun. Keluhan-keluhan ini mengakibatkan seseorang memutuskan untuk memerankan “peran sakit” sehingga secara langsung ataupun tidak langsung akan mengganggu pemenuhan peran sosial ataupun pekerjaan. Keluhan-keluhan yang sering muncul ialah jantung berdebar, sakit kepala, mual, kesulitan bernafas, sakit perut, sakit punggung, dan dada.

2. Penyebab Somatisasi

  Dalam pandangan teori belajar, simtom dari gangguan somatisasi membawa keuntungan atau hal-hal yang memberi respon positif pada ”peran sakit”. Orang dengan gangguan somatisasi dapat terbebaskan dari tugas atau tanggung jawab (Miller, 1987 dalam Jeffrey, dkk, 2003). Kebanyakan mereka tumbuh dalam rumah, tempat mereka sering menyaksikan orangtua mereka yang sering berada dalam keadaan sakit dan pada akhirnya mereka juga berada dalam kondisi sakit (Halgin & Susan, 2010). Selain itu, faktor belajar untuk mendapatkan status sakit dapat dijelaskan dengan teori operant conditioning, yaitu (Indrayanti, 2003) :

  a. Individu menunjukkan perilaku yang mengesankan bahwa dirinya sedang menderita sakit.

  b. Perilaku sakit akan meningkat bila diikuti reinforcement positif yang menyenangkan.

  c. Perilaku sakit dapat dikurangi bila reinforcement positif dihilangkan sedangkan perilaku kesembuhan diberi penguat.

  Perlakuan yang diberikan oleh lingkungan individu tersebut dapat mempengaruhi terjadinya gangguan somatisasi. Jika individu terbiasa mendapatkan perlakuan-perlakuan positif dari perilaku sakit yang ditunjukkan, maka perilaku sakit akan tetap dipertahankan untuk mendapat kepuasan (Indrayanti, 2003).

  Hal ini tidak menunjukkan bahwa orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang berpura-pura. Namun menekankan bahwa orang dapat belajar melakukan suatu peran untuk mendapatkan konsekuensi yang menyenangkan, terlepas apakah mereka secara sadar atau tidak dalam menampilkan peran itu (Jeffrey, dkk, 2003). Somatisasi biasanya mulai terbentuk sejak kecil, dimana individu belajar dari orang- orang terdekat sehingga pengaktifan pola somatisasi baik untuk tujuan psikologis maupun kepentingan pribadi tidak disadari lagi (Ford, 1983).

  Dalam pandangan sosiokultural, penggunaan somatisasi bertujuan untuk mengatasi masalah. Gangguan somatisasi sering dijumpai di kultur yang secara industri kurang maju, misalnya China, Nigeria, Libya, dimana kultur mereka kurang dapat menerima ekspresi tekanan emosi (Bootzin, dkk, 1996). Sedangkan di Amerika, gangguan somatisasi sering dijumpai pada masyarakat pedesaan dan golongan sosioekonomi rendah, dimana pengungkapan beban emosional dilarang (Durand & David, 2006).

3. Penggunaan Somatisasi

  Somatisasi merupakan suatu proses pemanfaatan tubuh yang digunakan untuk tujuan-tujuan psikologis atau untuk pencapaian- pencapaian pribadi (Ford, 1983).

  a. Tujuan Psikologis, misalnya :

  • Untuk memindahkan perasaan tidak menyenangkan ke dalam bentuk gejala fisik.
  • Untuk mengkomunikasikan ide atau perasaan.
  • Untuk mengurangi rasa bersalah.

  b. Kepentingan pribadi, misalnya : - Memanipulasi hubungan antar pribadi.

  • Menghindari tugas dan tanggungjawab.
  • Memperoleh keuntungan finansial.
  • Mendapatkan perhatian dan simpati dari orang lain.

4. Kriteria Diagnostik Gangguan Somatisasi

  Dalam PPDGJ III, ciri utama dari gangguan somatisasi ialah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam, berulang, dan sering berubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Keluhannya dapat mengenai setiap sistem atau bagian tubuh manapun. Namun yang biasanya muncul adalah berupa keluhan gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, berdahak, muntah, mual, dsb), keluhan perasaan abnormal pada kulit, serta keluhan mengenai seks dan haid.

  Sedangkan dalam DSM IV TR (2004) beberapa kriteria diagnostik untuk mendeteksi gangguan somatisasi ialah : a. Empat gejala nyeri : riwayat yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat, misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, rektum, dada atau fungsi yang berlainan, misalnya selama menstruasi, selama berhubungan seksual.

  b. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri, misalnya mual, kembung, muntah selain kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan.

  c. Satu gejala seksual : Riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain nyeri, misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, pendarahan menstruasi yang berlebihan, muntah sepanjang kehamilan. d. Satu gejala pseudoneurologis : riwayat sekurangnya satu gejala yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri, misalnya sulit menelan, pandangan ganda, sensasi sentuh berkurang, ketulian, halusinasi, gejala disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran selain pingsan.

  Selain sejumlah keluhan somatis, individu juga memiliki keluhan-keluhan psikologis (Adler, dll, 1994; Kirmayer & Robbins, 1991; Lieb, dkk, 2002; Rief, dkk, 1998; Durand & David, 2006). Seseorang dengan gangguan somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distres dalam bentuk simtom yang dianggap sebagai indikasi penyakit serius dan cenderung membuat keluhan somatis meskipun tidak ditemukan dasar secara medis (Kendall & Hammen, 1998).

5. Faktor yang Mempengaruhi Somatisasi

  Ada beberapa hal yang mempengaruhi somatisasi, diantaranya (Ford, 1983):

  a. Jenis Kelamin Penelitian Woodruff, Calyton, dan Guze menyatakan bahwa sekitar 2-10% populasi wanita menunjukkan gangguan somatisasi dan jarang ditemukan pada laki-laki. Rasio perbandingan antara wanita dan laki-laki ialah 5 banding 1, gangguan ini juga bukan gangguan yang jarang ditemukan (Kaplan, Sadock, Grebb, 1997). Wanita dikatakan memiliki kemungkinan mengalami gangguan somatisasi yang lebih besar karena wanita sangat rentan terhadap konflik dalam tanggung jawab perannya (Ford, 1983).

  b. Usia Penelitian Petroni (Ford, 1983) menunjukkan bahwa usia seseorang mempengaruhi hak penerimaan seseorang untuk berperan sakit. Semakin tua usia seseorang, maka ia semakin akan merasa berhak untuk berperan sakit daripada orang yang masih berusia muda.

  Orang yang lebih tua akan semakin dimaklumi jika mengeluh sakit. Namun, mereka yang berusia muda juga ternyata lebih banyak mengalami stres daripada yang tua. Pada usia muda, individu sedang dihadapkan pada situasi atau lingkungan sosial yang cukup menekan dan penuh tantangan (Prawirohusodo, 1991 dalam Indrayanti, 2003).

  Hal ini mengakibatkan usia dewasa awal (20-40 tahun) disebut sebagai “masa bermasalah” dan “masa tegang” karena mereka memiliki kebebasan-kebebasan baru yang seringkali menimbulkan masalah. Pada masa ini mereka menghadapi banyak masalah dan ketegangan emosional terutama dalam hal pekerjaan, karir, jabatan, dan kesempatan.Sedangkan pada usia dewasa madya (40-60 tahun) disebut sebagai “masa berprestasi”. Orang dewasa madya mempunyai kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan mencapai puncak dan memungut hasil dari masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya (Hurlock, 1990). c. Tingkat Pendidikan dan Sosial Ekonomi Orang-orang kelas ekonomi rendah memiliki harapan hidup yang pendek (Ford, 1983). Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrayanti (2003) yang menemukan bahwa siswa dengan tingkat ekonomi menengah ke atas memiliki tingkat somatisasi yang rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa gangguan somatisasi berkorelasi negatif dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi.

  Semakin rendah tingkat pendidikan dan sosial ekonomi seseorang, maka semakin tinggi kemungkinan tingkat somatisasinya.

  d. Budaya Latar belakang budaya seseorang mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengambil peran sakit. Hal ini disebabkan karena pandangan individu terhadap peran sakit akan dipengaruhi oleh pandangan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, budaya yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda kepada masyarakat yang ada di dalamnya tentang sikap terhadap peran sakit dan implikasinya (Eskobar & Corino dalam Bootzin, Acocella, Alloy, 1993). Ada juga budaya yang memberikan sedikit penekanan dalam mengekspresikan emosi dan lebih memahami untuk mengekspresikannya dalam bentuk simtom fisik (Halgin & Susan, 2010). e. Kepercayaan Diri Salah satu faktor yang mengakibatkan timbulnya rasa percaya diri ialah perasaan aman (Surfini, 1995). Jika seseorang merasa aman, maka akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri yang dimilikinya. Kepercayaan diri sebagai suatu perasaan yang melingkupi segala permasalahan seseorang merupakan faktor yang mampu mengurangi keinginan seseorang untuk mengeluhkan sakit (Philips dalam Ford, 1983). Orang yang tidak percaya diri akan bereaksi secara negatif dalam menghadapi masalah, salah satunya dengan menghindarkan diri dari masalah atau tanggungjawab, dalam hal ini mereka menggunakan peran sakit atau keluhan-keluhan fisik (Darmawati, 2003, dalam Natalia, 2004).

  f. Tekanan Psikososial Perubahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar individu menuntut individu mampu menyesuaikan diri secara cepat. Individu yang tidak mampu menyesuaikan diri akan merasa tertekan (Ford, 1983). Selain itu, individu dapat menggunakan peran sakit atau keluhan-keluhan fisik sebagai salah satu bentuk penyesuaian yang dianggap paling menguntungkan (Natalia, 2004).

  g. Dukungan Sosial Dukungan sosial yang rendah dapat menyebabkan individu mencari pertolongan medis dan hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk mengunjungi dokter walaupun sebenarnya tidak ada keluhan yang gawat (Blake dkk, dalam Ford 1983). Dengan adanya keluhan-keluhan fisik, individu bermaksud untuk mengatakan bahwa ia tidak tahu bagaiman ia harus berhubungan dengan orang lain kecuali dalam konteks mendiskusikan keluhan-keluhan yang dialaminya (Durand & David, 2006).

B. KARYAWAN KONTRAK DAN KARYAWAN TETAP

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, batas usia seseorang diperbolehken bekerja ialah 18 tahun. Dengan kata lain, seseorang mulai bekerja ketika ia memasuki masa dewasa awal. Dalam usia dewasa awal, memiliki pekerjaan tidak hanya memiliki arti individual, namun juga memiliki arti penting bagi kehidupan sosialnya (Mappiare, 1983). Pekerjaan ialah penentu utama status sosial ekonomi dan kelas sosial bagi seseorang di usia dewasa awal (Lemme, 1995). Maka tidak heran ketika seseorang memsuki usia dewasa awal, ia akan berusaha mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya sehingga memperoleh status sebagai pekerja. Pekerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik secara internal maupun eksternal dalam hubungan kerja guna menghasilkan jasa dan atau barang dalam memnuhi kebutuhan bagi dirinya dan masyarakat (Soepomo, 1982). Seseorang yang bekerja dalam suatu instansi atau organisasi sering disebut sebagai karyawan.

  Seorang individu dapat dikatakan memiliki hubungan kerja apabila terdapat perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan adanya dua status pekerja, yaitu pekerja tetap (karyawan tetap) dan pekerja kontrak (karyawan kontrak). Karyawan tetap terikat dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Sedangkan karyawan kontrak terikat dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Kedua status karyawan ini sama-sama memiliki peran dan bekerja untuk menghasilkan output yang memuaskan pada perusahaan (Meilana, 2008).

1. Pengertian Karyawan Tetap

  Karyawan tetap memiliki ketentuan sebagai berikut (UU RI no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan): a. Hubungan kerja dibuat dalam Perjanjian Kerja untuk waktu tidak tertentu.

  b. Perusahaan dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan.

  c. Tidak ada batasan jangka waktu lamanya bekerja.

  d. Masa kerja karyawan dihitung sejak masa percobaan.

  e. Jika terjadi pemutusan hubungan kerja bukan karena pelanggaran berat atau karyawan mengundurkan diri maka karyawan tetap mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

2. Pengertian Karyawan Kontrak

  Karyawan kontrak memiliki kententuan sebagai berikut (UU RI no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan): a. Hubungan kerja dibuat dalam Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu

  b. Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk batas waktu tertentu dimana batas masa kerja paling lama 3 tahun.

  c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

  d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, bukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap yaitu :

  • Pekerjaan yang sekali selesai atau sifatnya sementara.
  • Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun) Pekerjaan yang bersifat musiman - Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan - baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

  e. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena adanya pelanggaran dari kesepakatan bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

  f. Jika masa kerja berakhir dan perusahaan memutuskan untuk mengangkat karyawan tersebut menjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja.