Pengaruh Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi Dan Stres Kerja Terhadap Intention To Leave Pada PT. Rajawali Nusindo Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teori
2.1.1 Intention to Leave (Intensi Keluar)
a. Pengertian Intention to Leave
Umumnya intention to leave adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kepergian karyawan dari sebuah organisasi. Hal ini
merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh manajer ataupun
pemimpin organisasi untuk bersaing dalam menjamin kelangsungan hidup
organisasinya. Kebanyakan teori menyatakan bahwa niat intention to leave
timbul pada diri karyawan ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi dan
pengaruh positif akan alternatif pekerjaan ditempat lain yang dianggap
dapat memenuhi lebih dari kebutuhannya (Owolabi 2012: 77).
Intention to leave yaitu niat karyawan untuk meninggalkan
organisasi sebagai sadar dan hasrat disengaja dari karyawan untuk
meninggalkan organisasi. Intention to leave pada dasarnya adalah sama
dengan keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat
kerja lainnya (Rodly 2012: 145). Pendapat tersebut menunjukan bahwa
intention to leave adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada
tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke

tempat kerja lainnya.

13

Intention to leave (intensi keluar) adalah kecenderungan atau niat
karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya serta kecenderungan sikap
atau tingkat

dimana

seorang

karyawan

memiliki

kemungkinan

untuk


meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari
pekerjaanya. Keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya
intention to leave dalam sebuah perusahaan. Intention to leave juga dapat
diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Intention to
leave dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi,
pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Semakin tinggi kepuasan kerja
dan komitmen organisasi diharapkan akan menurunkan maksud dan tujuan
karyawan untuk meninggalkan organisasi. Lebih lanjut, karyawan yang tidak
puas dengan aspek-aspek pekerjaannya dan tidak memiliki komitmen terhadap
organisasinya akan lebih mungkin mencari pekerjaan pada organisasi yang lain
(Handaru 2012: 67).
Banyak alasan yang menyebabkan timbulnya intention to leave ini dan
diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang diungkapkan
sebelumnya, bahwa intention to leave pada dasarnya adalah keinginan untuk
meninggalkan (keluar) dari perusahaan. Perputaran (intention to leave)
merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena
kejadian-kejadian

tersebut


tidak

dapat

diperkirakan,

kegiatan-kegiatan

pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar
(Harnoto 2007: 110).

14

Dengan tingginya tingkat intention to leave pada perusahaan akan
semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya baik itu biaya pelatihan
yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti
dikorbankan, maupun biaya rekrutmen dan pelatihan kembali (Clugston, 2007:
99). Keinginan untuk mengakhiri tugas atau meninggalkan organisasi
berhubungan dengan rasa puas atau tidak puas individu terhadap pekerjaannya.

Penyebab intention to leave antara lain kurang puasnya akan gaji yang diterima,
kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang rendah atas pekerjaannya yang ada
sekarang dan termotivasi untuk mencari pekerjaan lain (Andini 2013: 87).
(Robbins 2012: 145), menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar
dari suatu organisasi (intention to leave) dapat diputuskan secara 2 sebab, yaitu:

1) Sukarela (voluntary turnover)
Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk
meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor
seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif
pekerjaan lain.
2) Tidak sukarela (involuntary turnover)
Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan
keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja
dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya

15

Lebih spesifik, involuntary turnover adalah pemisahan yang dilakukan
oleh organisasi (PHK), dan voluntary turnover adalah terjadi ketika perusahaan

lebih menyukai pekerjan tetap pada pekerjaannya, contohnya pengunduran diri,
pindah, dll.
Intention to leave mengacu pada keluarnya seseorang dari keanggotaan suatu
organisasi. Faslah (2010: 76) menjelaskan bahwa biaya atau kerugian atas adanya
intention to leave meliputi:

1) Biaya langsung yang terkait dengan kegiatan rekrutmen.
2) Biaya tidak langsung misalnya biaya yang berhubungan dengan
pelatihan karyawan baru.
3) Kerugian produktivitas oleh proses pembelajaran karyawan baru.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intention to Leave
Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya intention to leave
(Novliadi, 2007), yaitu:
1) Usia
Tingkat intention to leave yang cenderung lebih tinggi terjadi
pada karyawan yang berusia muda, disebabkan karena mereka
memiliki

keinginan


untuk

mencoba-coba

pekerjaan

atau

organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih
besar melalui cara coba-coba tersebut.

16

2) Lama Kerja
Semakin lama masa kerja maka semakin rendah kecenderungan
intention to leavenya. Intention to leave lebih banyak terjadi pada
karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia,
kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang
memungkinkan keinginan untuk keluar tersebut.

3) Tingkat pendidikan dan intellegensi
Dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi
tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit
sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah
akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak
aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intellegensi
yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaanpekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan
mencari pekerjaan baru dari pada mereka yang tingkat
pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang
terbatas pula.
4) Keterikatan terhadap perusahaan
Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap
perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk
perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, tujuan dan arti
hidup serta gambaran diri positif. Akibat secara langsung adalah

17

menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan
perusahaan.


c. Jenis Intention to Leave
Ada 2 (dua) macam jenis penarikan diri dari organisasi
(organizational withdrawl) yang mencerminkan rencana individu untuk
meninggalkan organisasi baik secara temporer maupun permanen (Mueller
2008: 165-166).yaitu :
1) Penarikan diri dari pekerjaan (work withdrawl), biasa disebut
mengurangi jangka waktu dalam bekerja atau melakukan penarikan
diri secara sementara. Karyawan yang merasa tidak puas dalam
pekerjaan akan melakukan beberapa kombinasi perilaku seperti
tidak menghadiri rapat, tidak masuk kerja, menampilkan kinerja
yang rendah dan mengurangi keterlibatannya secara psikologis dari
pekerjaan yang dihadapi.
2) Alternatif mencari pekerjaan baru (search for alternatives),
biasanya karyawan benar-benar ingin meninggalkan pekerjaannya
secara permanen. Dapat dilakukan dengan proses pencarian kerja
baru, sebagai variabel antara pemikiran untuk berhenti bekerja atau
keputusan aktual untuk meninggalkan pekerjaan.

18


d. Dimensi Intention to Leave
Hasrat untuk keluar juga dapat pula disebabkan karena adanya
tawaran pekerjaan yang lebih baik dari persahaan atau organisasi yang
lain. Widodo (2010) menyatakan bahwa ada tiga dimensi yang dapat
digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya keinginan karyawan untuk
keluar dari organisasi.
Ketiga indikator tesebut adalah sebagai berikut:
1) Pikiran untuk keluar dari organisasi yaitu saat karyawan merasa
diperlakukan tidak adil, memiliki hubungan buruk dengan rekan
kerja, maka terlintas dalam pikiran mereka untuk keluar dari
organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakukan yang tidak
adil akan menyebabkan karyawan berpikir untuk keluar dari
organisasi.
2) Keinginan untuk mencari pekerjaan baru yaitu karna karyawan
merasa

tidak

betah


bekerja

pada

perusahaannya

serta

ketidakmampuan suatu organisasi untuk memenuhi kebutuhan
karyawan dapat memicu karyawan untuk berpikir mencari
alternatif pekerjaan pada organisasi yang lain. Hal ini merupakan
suatu konsekuensi logis saat suatu perusahaan tidak mampu
memberikan/memenuhi kebutuhan karyawan seperti kemampuan
perusahaan lain memiliki kemampuan yang baik dalam memenuhi
kebutuhan karyawan.

19

3) Kemungkinan untuk meningalkan organisasi yaitu, karyawan

memiliki motivasi untuk mencari pekerjaan baru pada organisasi
lain dalam beberapa bulan mendatang yang dianggap mampu
memenuhi kebutuhan mereka (adil terhadap karyawan).

2.1.2 Kepuasan Kerja
a. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan adalah cermin dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya.
Robbins (2009: 99) mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu sikap umum
seorang individu terhadap pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang
diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka
terima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni kerja yang secara
mental menantang, kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja yang mendukung,
serta kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
Luthans (2006: 117) menyebutkan bahwa kepuasan kerja merupakan
keadaan senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian kerja atau
pengalaman kerja seseorang. Lebih jauh dikatakan bahwa kepuasan kerja
mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya yang dapat terlihat
dari sikap positif pekerja segala sesuatu yang dihadapi pada lingkungan kerja.

Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki
perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang
yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang
pekerjaan tersebut. Kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan
individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan
ketidaksukaan dikaitkan dengan karyawan, merupakan sikap umum yang
20

dimiliki oleh karyawan yang erat kaitanyya dengan imbalan-imbalan yang
mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan
(Robbins and judge, 2009: 154).
Kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti
turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi
perusahaan. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif terhadap pekerjaan dan
segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya (Mangkunegara,
2013: 117).
b. Teori Kepuasan Kerja
Wexley dan Yukl (2007) mengemukakan tiga teori tentang kepuasan kerja,
yaitu :
a. Teori Ketidaksesuaian
Seseorang akan merasakan kepuasan kerja apabila tidak ada perbedaan
antara yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan, dalam hal ini
batas minimal kebutuhan telah terpenuhi. Jika kebutuhannya telah
terpenuhi di atas batas minimal maka seseorang akan merasa lebih puas.
Sebaliknya bila batas minimal kebutuhannya tidak terpenuhi maka
seseorang akan merasakan ketidakpuasan kerja.

21

b. Teori Keadilan
Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia
merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi yang
dialami dalam pekerjaan. Perasaan adil atau tidak adil diperoleh dengan
cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang dinilai sekelas,
jabatan sama dan masa kerja sama. Jika perbandingan itu dianggap cukup
adil maka ia merasa puas.
c. Teori Dua Faktor
Pada dasarnya kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal
yang berbeda. Menurut teori ini kepuasan dan ketidakpuasan bukan
merupakan titik yang berlawanan dengan satu titik netral pada pusatnya,
sepert pandangan teori sikap kerja konvensional, tetapi dua titik yang
berbeda. Salah satu faktor ketidakpuasan kerja tidak dapat mengubah
menjadi kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Faktor – faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Sutrisno (2009:
77-80) adalah:
a) Kesempatan untuk maju
Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan promosi untuk memperoleh
pengalaman dan peningkatan kemampuan selama bekerja.

22

b) Keamanan Kerja
Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi
karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi
perasaan karyawan selama berkerja.
c) Gaji
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang
diperolehnya.
d) Perusahaan dan manajemen
Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan
situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini sering menentukan
kepuasan kerja karyawan.
e) Faktor intrinsik dari pekerjaan
Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu,
sukar dam mudahnya serta kebanggaan akan tugas dalam meningkatkan
atau mengurangi kepuasan.
f) Kondisi kerja
Termasuk disini kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat
parkir.
g) Aspek sosial dalam pekerjaan
Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang
sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.

23

h) Komunikasi
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak
dipakai alasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat
ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa
puas terhadap kerja.
i) Fasilitas
Fasilitas rumah sakit atau berobat, cuti, dana pensiun, maupun perumahan
merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan
menimbulkan rasa puas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Sutrisno
(2011:80) sebagai berikut :
1. Faktor fisiologis
Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan,
yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat,
dan keterampilan.
2. Faktor sosial
Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antar
karyawan maupun karyawan dengan atasan dan lingkungan kerja
karyawan. Hal ini meliputi rekan kerja yang kompak, pimpinan yang adil
dan bijaksana, serta penghargaan dab perintah yang wajar.
3. Faktor fisik
Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan,
meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat,
24

perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara,
kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.
4. Faktor finansial
Merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan
karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,
tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi jabatan dan sebagainya.

Kemudian menurut Mangkunegara (2013: 120) menyatakan ada 2
faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:
1) Faktor Pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis
kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,
kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi, dan sikap kerja.
2) Faktor Pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat
(golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan
promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.

d. Pentingnya Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap seseorang mengenai
pekerjaannya karena menyangkut sikap, pengertian kepuasan kerja mencakup
berbagai hal, seperti emosi dan kecenderungan prilaku seseorang.
Menurut Rivai (2008:480) kepuasan kerja merupakan salah satu faktor
penentu/keberhasilan suatu pekerjaan. Oleh karena itu, perusahaan harus

25

benar-benar memperhatikan faktor kepuasan kerja ini ada beberapa alasan
mengapa perusahaan harus memperhatikan kepuasan kerja antara lain :
1. Manusia berhak diperlakukan adil dan hormat pandangan ini menurut
perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan refleksi
perlakuan

yang

baik.

Penting

juga

memperhatikan

indikator

emosional/kesehatan psikologis pegawai.
2. Perspektif kemanusiaan bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku
yang mempengaruhi fungsi-fungsi perusahaan. Perbedaan kerja antara unit
organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan. Perusahaan yang pecaya
terhadap pegawai dapat dengan mudah diganti dan tidak berinvestasi maka
akan menghadapi bahaya. Biasanya berakibat tingginya tingkat intention
to leave diiringi dengan membengkaknya biaya pelatihan, gaji,
memunculkan perilaku yang sama dikalangan pegawai, yaitu mudah
berganti-ganti perusahaan dan dengan demikian kurang royal.
Selain itu, ada beberapa alasan yang dapat menimbulkan dan
mendorong kepuasan kerja antara lain :
1. Pekerjaan sesuai dengan bakat dan keahlian.
2. Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup.
3. Pekerjaan yang menyediakan informasi yang lengkap
4. Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil tidak
terlalu banyak/ketat melakukan pengawasan.

26

5. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai.
6. Pekerjaan yang memberikan tantangan yang lebih mengembangkan diri.
7. Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan.
8. Pekerjaan harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.
e. Dimensi Kepuasan Kerja
Kriteria kepuasan kerja dalam organisasi sangat banyak pengaruhnya,
hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ragam orang dalam bekerja dan
bagaimana cara mereka mengatasi pekerjaan yang ia miliki serta keinginan
atau kemauannya untuk bertahan dalam organisasi.
Pegawai yang merasa puas dalam bekerja, yaitu mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut (Hasibuan, 2008: 98):
1. Selalu datang tepat waktu, artinya pegawai tersebut menghargai
pekerjaannya dan bertanggung jawab atas tugas yang harus dikerjakan.
2. Senang dalam melaksanakan pekerjaannya, yaitu pegawai dalam bekerja
berusaha menyukai pekerjaan yang dikerjakannya.
3. Tidak mengeluh terhadap tugas dan pekerjaan, yaitu selalu dapat
menerima pekerjaan yang baru dan sulit dengan lapang dada.
4. Selalu

bersemangat

dalam

bekerja,

yaitu

pegawai

yang

dalam

melaksanakan pekerjaannya selalu mempunyai suatu energi yang penuh.
5. Betah berada ditempat kerja, yaitu karyawan merasa nyaman berada
ditempat kerja tersebut. Rasa betah juga akan menurunkan tingkat absensi
dan perasaan merugi apabila tidak datang ke kantor.
27

6. Kolega yang mendukung, yaitu mempunyai hubungan harmonis dengan
pegawai lain dan atasannya. Dukungan rekan kerja mampu meningkatkan
kepuasan seorang pekerja. Perilaku atasa juga sangat mempengaruhi
pekerjaan seseorang, studi membuktikan bahwa kepuasan kerja mengkat
disebabkan oeh supervisor yang bersahabat dan mau memahami,
melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja,
dan menunjukan minal personal terhadap mereka.
Menurut Stephen P. Robbins (2008:181-182), indikator kepuasan
kerja adalah :
1. Pekerjaan yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan, kemampuannya
dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan betapa baik mereka
mengerjakan serta tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan.
Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang, tetapi jika
pekerjaan yang terlalu kurang menentang menciptakan kebosanan, bahkan
yang terlalu banyak menantang akan menciptakan frustasi (stres) dan
perasaan gagalakan muncul. Namun pada kondisi tantangan yang sedang
terjadi, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan,
kepuasan kerja karyawan dapat dilakukan melalui dorongan berprestasi
sebagai wujud untuk menetapkan tujuan yang penuh tantangan terhadap
pekerjaan yang dihadapi dengan menunjukkan kemampuan dalam

28

menyelesaikan pekerjaan, mampu melebihi standar yang ditentukan
perusahaan, serta mampu mengemukakan suatu ide baru.
2. Ganjaran yang pantas
Banyak karyawan yang menginginkan upah dan kebijakan promosi yang
adil sesuai dengan pengharapannya. Pemberian upah yang baik didasarkan
pada beban pekerjaan, tingkat keahlian individu dan standar pengupahan,
kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan kerja. Akan tetapi kunci
yang menghubungkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak
yang dibayarkan, yang lebih penting lagi adalah persepsi keadilan.
Demikian pula halnya, seseorang karyawan berusaha mendapatkan
kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi memberikan
kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih
banyak dan status sosial yang meningkat.
3. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik
yang tidak berbahaya atau merepotkan. Seperti misalnya keselamatan kerja
dan peralatan kerja. Di samping itu, kebanyakan karyawan lebih menyukai
bekerja dekat dengan rumah dan dalam fasilitas yang bersih dan relatif
modern serta peralatan yang memadai.

29

4. Rekan sekerja yang mendukung
Hal ini disebabkan karena karyawan merasa diterima dan dibantu dalam
menyelesaikan tugasnya. Rekan sekerja yang ramah dan mendukung
merupakan sumber kepuasan karyawan secara individual. Kepuasan kerja
dapat ditingkatkan, apabila pengawasan pimpinan bersifat ramah dan
dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik,
memberikan

motivasi

kepada

karyawan,

mendengarkan

pendapat

karyawan dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.

2.1.3 Komitmen Organisasi
a. Pengertian Komitmen Organisasi
Ketika perusahaan menawarkan pekerjaan dan pelamar kerja
menerima tawaran tersebut, pelamar kerja tersebut telah menjadi bagian
dari perusahaan. Dengan menjadi bagian dari perusahaan, karyawan
dididik untuk berkomitmen pada tujuan perusahaan. Ada banyak alasan
mengapa sebuah organisasi harus berusaha meningkatkan komitmen
organisasi para karyawannya. Sebagai contoh, banyak penelitian
menemukan bahwa semakin karyawan berkomitmen kepada perusahaan,
karyawan tersebut akan berusaha lebih baik dalam menyelesaikan tugastugasnya. Selain itu, karyawan yang berkomitmen juga akan meningkatkan
produktivitasnya karena individu tersebut merasa menyatu dengan
perusahaan dan bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan. Dengan
adanya rasa menyatu dengan perusahaan, karyawan tidak berpikir untuk

30

meninggalkan perusahaan sehingga dikatakan komitmen organisasi yang
tinggi akan menurunkan keinginan untuk pindah para karyawan (Steers
dan Porter., 2008 : 290).
Pandangan para pakar tentang pengertian komitmen dapat sangat
bervariasi. Ada yang mengatakan hanya komitmen saja, namun ada pula
yang menyatakan sebagai komitmen organisasional. Pada dasarnya,
komitmen bersifat individual, merupakan sikap atau perilaku yang dimiliki
setiap individu. Sedangkan komitmen setiap individu terhadap organisasi
dimana dia bekerja dapat dikatakan sebagai komitmen organisasi.
Komitmen organisasi merupakan suatu konstruk psikologis yang
merupakan

karakteristik

hubungan

anggota

organisasi

dengan

organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk
melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Anggota yang memiliki
komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai
bagian dari organisasi (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2008: 184).
(Luthans 2006) dalam bukunya Perilaku Organisasi mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai sikap, yaitu :
a. Keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu.
b. Keinginan untuk berusaha keras sesuai tujuan organisasi.
c. Keyakinan tertentu, serta menerima nilai dan tujuan organisasi.
Komitmen organisasional adalah perasaan, sikap dan perilaku individu
yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat
dalam proses kegiatan organisasi dan loyal terhadap organisasi dalam

31

mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, komitmen menyangkut tiga
sifat, yaitu: perasaan identifikasi dengan tujuan organisasi, perasaan terlibat
dalam tugas organisasi, dan perasaan loyal pada organisasi. Komitmen
organisasional mempengaruhi apakah pekerja tetap tinggal sebagai anggota
organisasi atau meninggalkan organisasi untuk mencari pekerjaan baru. Dalam
hal ini maka akan terjadi intention to leave (Colquit, LePine dan Wesson,
2011: 69).

b. Dimensi Komitmen Organisasi
(Kreitner dan Kinicki 2010: 167) menggambarkan tiga dimensi
komitmen organisasional, bersumber dari pendapat Jhon Mayer dan
Natalie Allen, yaitu :
1) Komitmen afektif (affective commitment)
Komitmen afektif (affective commitment) adalah suatu pendekatan
emosional dari individu dalam keterlibatan dengan organisasi, sehingga
individu akan merasa dihubungkan dengan organisasi. Komitmen afektif
berkaitan dengan emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan di
dalam suatu organisasional. Karyawan dengan afektif tinggi masih
bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi
anggota organisasi.
a) Emosional
Komitmen afektif menyatakan bahwa organisasi akan membuat karyawan
memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilai-nilai

32

organisasi, dan berusaha unutk mewujudkan tujuan organisasi sebagai
prioritas utama.
b) Identifikasi
Komitmen afektif muncul karena kebutuhan, dan memandang bahwa
komitmen terjadi karena adanya ketergantungan terhadap aktivitasaktivitas yang telah dilakukan dalam organisasi pada masa lalu dan hal ini
tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan.
c) Keterlibatan karyawan dalam organisasional
2) Komitmen Normatif (Normative Comitment)
Komitmen normatif merupakan perasaan karyawan tentang kewajiban
yang harus diberikan kepada organisasional. Komponen normatif
berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari
sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan.
a) Kesetiaan yang harus diberikan karena pengaruh orang lain
Komitmen yang terjadi apabila karyawan terus bekerja untuk organisasi
disebabkan oleh tekanan dari pihak lain untuk terus bekerja dalam
organisasi tersebut. Karyawan yang mempunyai tahap komitmen
normatif yang tinggi sangat mementingkan pandangan orang lain
terhadap dirinya jika karyawan meninggalkan organisasi.
b) Kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi
Komitmen ini mengacu kepada refleksi perasaan akan kewajibanya untuk
menjadi karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif
yang tinggi merasa bahwa karyawan tersebut memang seharusnya tetap

33

bekerja pada organisasi tempat bekerja sekarang. Dengan kata lain
komitmen yang ada dalam diri karyawan disebabkan oleh kewajibankewajiban pekerjaan karyawan terhadap organisasi.
3) Komitmen Berkelanjutan (continuance commitment)
Komponen berkelanjutan berarti komponen yang berdasarkan persepsi
karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan
organisasi. Karyawan dengan dasar organisasional tersebut disebabkan
karena karyawan tersebut membutuhkan organisasi.
a) Kerugian bila meninggalkan organisasi
Komitmen berkelanjutan merujuk pada kekuatan kecenderungan seseorang
untuk tetap bekerja di suatu organisasi karena tidak ada alternatif lain.
Komitmen berkelanjutan yang tinggi meliputi waktu dan usaha yang
dilakukan dalam mendapatkan keterampilan yang tidak dapat ditransfer
dan hilangnya manfaat yang menarik atau hak-hak istimewa sebagai
senior.
b) Karyawan membutuhkan organisasi
Karyawan yang tetap bekerja dalam organisasi karena karyawan
mengakumulasikan manfaat lebih yang akan mencegah karyawan mencari
pekerjaan lain.
Setiap karyawan memiliki dasar dan perilaku yang berbeda
tergantung pada komitmen organisasi yang dimilikinya. Karyawan yang
memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku
yang berbeda dengan karyawan yang memiliki komitmen organisasi

34

dengan dasar continuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan
memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan
organisasi. Sebaliknya karyawan yang terpaksa menjadi anggota akan
menghindari kerugian financial dan kerugian lain, sehingga karyawan
tersebut hanya melakukan usaha yang tidak maksimal.
Sementara itu, komitmen normatif yang berkembang sebagai hasil
dari pengalaman sosialisasi bergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban
yang dimiliki karyawan. Komitmen normatif menimbulkan perasaan
kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa yang telah
diterima dari organisasi.

c. Jenis Komitmen Organisasi
Jenis komitmen organisasi dari (Mowday dalam Anggraini 2014: 78)
yang dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi, yang memiliki 2
komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku, yang masingmasing dijabarkan sebagai berikut :
a) Sikap, mencakup :
1) Identifikasi dengan organisasi, yaitu penerimaan tujuan organisasi,
dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi.
2) Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi
tersebut. Pegawai memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir
semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan kepadanya.

35

3) Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan
evaluasi terhadap komitmen serta adanya ikatan emosional dan
keterikatan antara organisasi dan pegawai. Pegawai berkomitmen
tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap
organisasi.
b) Kehendak untuk bertingkah laku, adalah :
1) Kesediaan untuk menampilkan usaha, tampak melalui kesediaan
bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju.
Pegawai berkomitmen tinggi ikut memperhatikan nasib organisasi.
2) Keinginan tetap berada dalam organisasi. Para pegawai yang memiliki
komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan
berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya
dalam waktu lama.

d. Faktor-faktor Komitmen Organisasi
Komitmen karyawan terhadap organisasi tidak terjadi begitu saja,
tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen
karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi antara lain
(McShane dan Glinow, 2007: 209-210):
1. Keadilan dan kepuasan kerja
Hal yang paling mempengaruhi loyalitas karyawan adalah pengalaman
kerja yang positif dan adil. Komitmen organisasi tampaknya sulit dicapai

36

ketika karyawan menghadapi beban kerja yang meningkat di perusahaan
tetapi profit yang didapatkan oleh perusahaan hanya dinikmati oleh
manajer tingkat atas. Oleh karena itu, perusahaan dapat membangun
komitmen organisasi dengan berbagi keuntungan yang diperoleh
perusahaan kepada karyawan.
2. Keamanan kerja
Karyawan membutuhkan hubungan kerja yang saling timbal balik dengan
perusahaan. Keamanan kerja harus diperhatikan untuk memelihara
hubungan dimana karyawan percaya usaha mereka akan dihargai. Di sisi
lain, ketidakamanan kerja mengakibatkan hubungan kontrak yang lebih
formal tetapi dengan hubungan timbal balik yang rendah. Tidak
mengherankan jika ancama PHK adalah salah satu pukulan terbesar bagi
loyalitas karyawan, bahkan diantara mereka yang perkerjaannya tidak
beresiko.
3. Pemahaman organisasi
Affective commitment adalah identifikasi secara perorangan terhadap
organisasi, jadi masuk akal jika sikap ini akan menguat ketika karyawan
memiliki pemahaman yang kuat tentang perusahaan. Karyawan secara
rutin harus diberikan informasi mengenai kegiatan perusahaan dan
pengalaman pribadi dari bagian lain. Seorang eksekutif dari American
Fence Corp. memperingatkan, “Ketika orang-orang tidak mengetahui apa
yang terjadi diorganisasinya, mereka akan merasa tidak nyambung.”

37

4. Keterlibatan karyawan
Karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi ketika mereka
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa
depan perusahaan. Melalui partisipasi ini, karyawan mulai melihat
perusahaan sebagai refleksi dari keputusan mereka. Keterlibatan karyawan
juga membangun loyalitas karena dengan melibatkan karyawan dalam
pengambilan keputusan berarti perusahaan mempercayai karyawannya.
5. Kepercayaan karyawan
Kepercayaan berarti yakin pada seseorang atau kelompok. Kepecayaan
juga merupakan sebuah aktivitas timbal balik. Untuk memperoleh
kepercayaan, kamu juga harus menunjukkan kepercayaan. Kepercayaan
penting untuk komitmen organisasi karena menyentuh jantung dari
hubungan kerja. Karyawan merasa wajib bekerja untuk perusahaan hanya
ketika mereka mempercayai pemimpin mereka.

2.1.4 Stres Kerja
a. Definisi Stres Kerja
Stres kerja adalah konsekuensi setiap tindakan dan situasi
lingkungan yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik yang
berlebihan pada seseorang. Stres kerja sebagai suatu ketegangan atau
tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan
yang ada pada diri kita. Stres kerja akan dialami oleh karyawan yang
merasakan tekanan emosional dalam menghadapi tuntutan yang sangat

38

besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting
yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang
(Effendi, 2002 dan Siagian, 2008: 132).
Mangkunegara (2009: 157) mengemukakan bahwa stres kerja
sebagai perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami
pegawai dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja adalah suatu kondisi
ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis,
yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang pegawai.
Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para pegawai
berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu
pelaksanaan kerja mereka. Stres merupakan pengaruh dari tuntutantuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam
lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya.
Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang
tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

b. Sumber Stres Kerja (stressor)
Suatu kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressors.
Biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi stressors. Ada dua
kategori penyebab stres, yaitu on-the-job dan off-the-job. Ada sejumlah
kondisi kerja di dalam perusahaan yang sering menyebabkan stres bagi

39

para karyawan (Handokko, 2007: 96). Di antara kondisi-kondisi kerja
yang menyebabkan stres “on-the-job” tersebut adalah sebagai berikut:
a. Beban kerja yang berlebihan.
b. Tekanan atau desakan waktu.
c. Kualitas supervisi yang jelek.
d. Iklim politik yang tidak aman.
e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai.
f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung
jawab.
g. Frustasi.
h. Konflik antar pribadi dan kelompok.
i. Perbedaan antar nilai-nilai perusahaan dan karyawan.
j. Berbagai bentuk perubahan.
Di lain pihak, stres kerja juga dapat disebabkan masalah-masalah
yang terjadi di luar perusahaan yang dapat menyebabkan stres bagi para
karyawan. Adapun penyebab-penyebab stress ”off-the-job” antara lain:
a. Ke-khawatiran finansial.
b. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak.
c. Masalah-masalah fisik.
d. Masalah-masalah perkawinan (misal: perceraian)..
e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.

40

Menurut Robbins (2008: 187), ada tiga sumber utama yang dapat
menyebabkan timbulnya stres yaitu :
1. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan
pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap
pegawai. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat
menimbulkan stres bagi pegawai yaitu ekonomi, politik dan teknologi.
Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga
hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stres. Hal ini
dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan
baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan
pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat
terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya
teknologi yang digunakannya.
2. Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan
stres yaitu Role Demands, Interpersonal Demands, Organizational
Structure dan Organizational Leadership. Pengertian dari masing-masing
faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Role Demands, peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak
jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang
pegawai untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama
dalam suatu organisasi tersebut.

41

2) Interpersonal Demands, mendefinisikan tekanan yang diciptakan
oleh pegawai dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak
jelas antara pegawai satu dengan pegawai lainnya akan dapat
menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan
kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan
kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan
pemikiran antara pegawai yang satu dengan pegawai lainnya.
3) Organizational Structure, mendefinisikan tingkat perbedaan dalam
organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi
ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan
maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang pegawai dalam
organisasi.
4) Organizational Leadership, berkaitan dengan peran yang akan
dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi.
Karakteristik pemimpin menurut Robbins (2006) dibagi dua yaitu
karakteristik

pemimpin

yang

lebih

mengutamakan

dan

menekankan pada hubungan yang secara langsung antara
pemimpin dengan pegawainya serta karakteristik pemimpin yang
hanya mengutamakan pada hal pekerjaan saja.
3. Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam
keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari
keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan

42

menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat
tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah
ekonomi

tergantung

dari

bagaimana

seseorang

tersebut

dapat

menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta
dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya.

Cooper (dikutip dari Jacinta F, 2009) menyatakan bahwa sumber stres
kerja ada empat yaitu sebagai berikut:
a. Kondisi pekerjaan
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah
jatuh sakit, jika ruangan tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang
memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih,
berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.
1) Overload
Overload dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang
ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya
karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam tegangan tinggi.
Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks
dan sulit sehingga menyita kemampuan karyawan.
2) Deprivational
Kondisi pekerjaan tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi
karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan,

43

ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur
sosial (kurangnya komunikasi sosial).
3) Pekerjaan beresiko tinggi.
Pekerjaan yang beresiko tinggi atau berbahaya bagi keselamatan,
seperti pekerjaan dipertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan
sebagainya.
b. Konflik Peran
Stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak mengetahui
apa yang diharapkan oleh manajemen. Akibatnya sering muncul
ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga ahirnya
timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang
bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal
tersebut dikarenakan wanita pekerja menghadapi konflik peran sebagai
wanita karir sekaligus ibu rumah tangga.
c. Pengembangan Karir
Setiap orang pasti punya harapan ketika mulai bekerja disuatu perusahaan
atau organisasi. Namun cita-cita dan perkembangan karir banyak sekali
yang tidak terlaksana.
d. Struktur Organisasi
Gambaran perusahaan yang diwarnai dengan struktur organisasi yang
tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran, wewenang dan
tanggung jawab, iklim politik perusahaan yang tidak jelas serta minimnya
keterlibatan atasan membuat karyawan menjadi stres.

44

Pengendalian yang buruk terhadap penyebab stres kerja dapat
berakibat pada penyakit dan menurunnya penampilan dan produktivitas.
Penyebab stres kerja terbagi menjadi 4 (Sarafino, 2007: 205). yaitu sebagai
berikut:
a. Lingkungan fisik yang terlalu menekan seperti kebisingan,
temperatur atau panas yang terlalu tinggi, udara yang lembab,
penerangan dikantor yang kurang terang.
b. Kurangnya kontrol yang dirasakan.
c. Kurangnya hubungan interpersonal.
d. Kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja. Para pekerja akan
merasa stres bila mereka tidak mendapatkan promosi yang
selayaknya mereka terima.

c. Dimensi dan Indikator Stres Kerja
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan
bagi perusahaan. Namun, pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan
dengan sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat berupa reaksi yang
bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stres akan
menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri
manusia sebagai usaha untuk mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat
berupa perilaku melawan stres (flight) atau berdiam diri (freeze).

45

Dimensi dari stres dapat dikelompokkan dalam tiga kategori umum
(Mangkunegara, 2008: 30), yaitu:
1. Fisiologis (Physiological)
Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor). Peneliian dan
fakta oleh ahli-ahli kesehatan dan kedokteran menunjukan bahwa stres
kerja dapat mengubah metabolisme tubuh, menaikan detak jantung,
mengubah cara bernafas, menyebabkan sakit kepala, dan serangan jantung.

Beberapa yang teridentifikasi sebagai gejala atau indikator fisiologis
adalah:
a. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah
b. Fisik yang mudah lelah
c. Sakit kepala dan pusing
d. Ketegangan otot
e. Gangguan pernafasan
f. Sulit tidur, gangguan tidur
g. Sering berkeringat
2. Psikologis (Psychological)
Stres kerja dan gangguan psikologis adalah hubungan yang erat dalam
kondisi kerja. Gejala yang terjadi pada aspek psikologis akibat dari stres
kerja adalah:
a. Kecemasan dan ketegangan
b. Mudah marah, sensitif dan jengkel

46

c. Kebingungan dan gelisah
d. Depresi dan mengalami tekanan perasaan
e. Kebosanan
f. Tidak puas terhadap pekerjaan
g. Menurunnya fungsi intelektual
h. Kehilangan konsentrasi
i. Hilangnya kreativitas
j. Tidak semangat dalam bekerja
3. Perilaku (Behavour)
Pada aspek ini stres kerja pada karyawan ditunjukan melalui tingkah laku
mereka. Stres yang dapat timbul karena adanya tekanan atau ketegangan
yang bersumber pada ketidakselarasannya seseorang dengan lingkungan
dan apabila saran dan tuntutan tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan
kemampuan seseorang maka ia akan mengalami stres, stres juga dapat
melahirkan tantangan bagi yang bersangkutan. Beberapa indikator perilaku
tersebut adalah:
a. Penundaan, menghindari pekerjaan dan absensi
b. Menurunnya performansi (Prestasi) dan produktivitas
c. menurunnya kekuatan kerja dan loyalitas terhadap instansi.
d. Menurunnya hubungan dengan rekan kerja dan keluarga
e. Meningkatnya perilaku negatif

47

d. Tindakan Untuk Mengurangi Stres Kerja
Menurut (Siagian, 2008: 302) ada berbagai langkah yang dapat diambil
untuk menghadapi stres para karyawan antara lain:
1. Merumuskan kebijaksanaan manajemen dalam membantu para karyawan
menghadapi berbagai stress.
2. Menyampaikan kebijaksanaan tersebut kepada seluruh karyawan sehingga
mereka mengetahui kepada siapa mereka dapat meminta bantuan dan
dalam bentuk apapun jika mereka menghadapi stress.
3. Melatih para manajer dengan tujuan agar mereka peka terhadap timbulnya
gejala-gejala stres di kalangan para bawahannya dan dapat mengambil
langkah-langkah tertentu sebelum stress itu berdampak negatif terhadap
prestasi kerja para bawahannya.
4.

Melatih para karyawan mengenali dan menghilangkan sumber stress.

5. Terus membuka jalur komunikasi dengan para karyawan sehingga mereka
benar-benar diikutsertakan untuk mengatasi stres yang dihadapinya.
6. Memantau terus-menerus kegiatan organisasi sehingga kondisi yang dapat
menjadi sumber stres dapat teridentifikasi dan dihilangkan secara dini.
7. Menyempurnakan rancang bangun tugas dan tata ruang kerja sedemikian
rupa sehingga berbagai sumber stres yang berasal dari kondisi kerja dapat
teratasi.
Umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri pegawai maupun
instansi. Pada diri pegawai, konsekuensi tersebut dapat berupa
menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan

48

sebagainya. Konsekuensi pada pegawai ini tidak hanya berhubungan
dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar
pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan
berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya (Robbins dan
Judge, 2009: 123).
Tetapi di sisi lain stres juga bersifat positif bagi individu dimana
pegawai yang mampu mengatasi dan mengubah stres menjadi motivasi
(dorongan) agar lebih maju dimana prestasi kerjanya meningkat, lebih
cekatan dalam bekerja, lebih teliti, dan mampu menyelesaikan pekerjaan
dengan memuaskan. Bagi organisasi atau instansi, konsekuensi negatif
yang timbul dari stres kerja bersifat tidak langsung adalah meningkatnya
tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis
dapat menurunkan komitmen organisasi, hingga turnover.
Sedangkan dampak positif stres terhadap organisasi atau perusahaan
adalah dimana produktivitas dan daya saing perusahaan meningkat,
kualitas output yang baik, tingkat absensi pegawai menurun, kepuasan
kerja pegawai meningkat sehingga dapat tercapainya tujuan organisasi
atau instansi. Pengelolaan stres dalam organisasi atau instansi sangatlah
penting dimana pegawai maupun instansi akan mengalami dampak dari
stres tersebut. Pengelolaan stres yang baik akan berpengaruh positif bagi
organisasi atau instansi maupun pegawai. Sedangkan pengelolaan stres
yang buruk akan berdampak negatif bagi organisasi atau instansi maupun
pegawai.

49

2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang menyangkut Pengaruh Kepuasan Kerja,
Komitmen Organisasi dan Stres Kerja terhadap Intention to leave sebagai berikut:
Tabel 2.1
Mapping Penelitian Terdahulu
NO

Nama
Peneliti

Judul
Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode
Penelitian

Hasil Penelitian

1

Abdul
Kadar
Muhammad
Masum
(2015)

Job satisfaction
and intention to
quit: an empirical
analysis of nurses
in Turkey

The aim of this study
was to identify the
facets influencing
job satisfaction and
intention
to quit of nurses
employed in Turkey.
Using a nonprobability sampling
technique, 417
nurses from six large
private hospitals
were surveyed from
March 2014 to June
2014.

Descriptive
and
bivariate
analyses
were used to
explore data,
and
multivariate
analysis was
performed
using logistic
regression

2

Abiodun,
Abolaji
Joachim
and
Omotayo
Oyeniyi
(2010)

Job satisfaction
and intention to
leave of Nigerian
Salesmen.

The objective of this
study, therefore
include
determining whether
job satisfaction of
salesmen affect
organizational
commitment and
their intention to
leave the
organization. Survey
method was used in
collecting data.
One hundred and ten
(110) respondents
were used for this
study.

Structural
Equation
Model

Nurses' job satisfaction was
found at a moderate level with
61% of the nurses intended to
quit. Nevertheless, nurses
reported a high satisfaction
level with work environment,
supervisor support, and coworkers among the selected
nine facets of job satisfaction.
They also reported a low
satisfaction level with
contingent reward, fringe
benefits, and pay. The impact
of demographic characteristics
on job satisfaction and
intention to quit was also
examined. The study revealed
a negative
relationship between job
satisfaction and intention to
quit the existing employment.
The results obtained through
Structural Equation
Model shows that job
satisfaction affect positively
organizational commitment,
while exhaustion has negative
effect on commitment.
However, exhaustion has
positive
effect on salesmen intention to
leave the organization.
Therefore, strategies should be
developed to encourage
salesmen commitment to the
organization and to reduce
burnout and exhaustion of
salesmen.

50

Tabel 2.1
Mapping Penelitian Terdahulu
(Lanjutan)
NO

Nama
Peneliti

Judul
Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode
Penelitian

Hasil Penelitian

3

Dr.
Mustafa
YILDIRIM
(2015)

The Effect of
Organizational
Commitment and
Job Commitment
to Intention to
Leave of
Employment: A
Research in Hotel
Management

The data
obtained by
means of the
survey
method were
analyzed,
samples oneway
ANOVA
and Multiple
regression
analysis

The binary and partial
correlation levels between
organizational commitment
dimensions and intention to
leave of employment is
negative, low but
reasonable. As a result, the
correlation between
organizational commitment
dimensions and
intention to leave of
employment turns out to be
negative, at a low level but
directly related. In the job
commitment dimensions;
however, it is seen that has a
correlation with the
dimensions except for job
effort and
job strain.

4

Jessica
Zara
Peterson
(2009)

Job Stress, Job
Satisvaction and
Intention to Leave
Among New
Nurses.

The aim of the study
is to determine the
effect of
Organizational
Commitment and Job
Commitment to
Intention to
Leave of
Employment in hotel
industry. In addition,
whether there is a
correlation between
organizational
commitment, job
commitment and
intention to leave of
employment in terms
of demographic
variables is also
investigated. In
accordance with this
purpose was applied
on 392 hotel
employees in
Istanbul, Taksim.
The purpose of this
study was to examine
the effects of
perceived demands,
control, social
support and selfefficacy on the job
stress, job satisfaction
and intention to leave
of new nurses.

Data were
analyzed
using
separate
hierarchical
regression
models for
each
dependent
variable

The results showed that the
main effects of job demands,
social support and selfefficacy pro