Analisis Fungsi Dan Makna Iroiro Dan Samazama Dalam Majalah Nipponia

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP ADJEKTIVA DAN STUDI SEMANTIK

2.1 Definisi Adjektiva

2.1.1 Pengertian Adjektiva

Sebelum menelaah tentang adjektiva dan fungsi dan makna kata sifat dalam bahasa Jepang dan pemakaian adjektiva iroiro dan samazama, penulis akan menjelaskan pengertian adjektiva secara umum. Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Adjektiva yang memberikan keterangan terhadap nomina itu berfungsi atributif. Keterangan itu dapat mengungkapkan suatu kualitas atau keanggotaan dalam suatu golongan. Contoh kata pemeri kualitas atau keanggotaan dalam suatu golongan itu ialah kecil, berat, merah, bundar, gaib, dan ganda. Selanjutnya adjektiva juga dapat berfungsi sebagai predikat dan adverbial kalimat. Fungsi predikatif dan adverbial itu dapat mengacu ke suatu keadaan. Contoh kata pemeri keadaan ialah mabuk, sakit, basah, baik, dan sadar. Adjektiva juga dicirikan oleh kemungkinannya menyatakan tingkat kualitas dan tingkat bandingan acuan nomina yang diterangkannya. Perbedaan tingkat kualitas ditegaskan dengan pemakaian kata seperti sangat di samping adjektiva. Karena dari segi bentuknya adjektiva dasar sukar dibedakan dari verba dasar, atau nomina dasar, klasifikasi adjektiva akan dipaparkan lebih dahulu berdasarkan ciri semantisnya. Perinciannya menjadi beberapa tipe pertalian dengan korelasi antara ciri semantisnya dengan proses pembentukan dan penurunan kata adjektiva secara morfologis, serta dengan perilaku sintaksisnya.


(2)

Dalam bahasa Jepang, adjektiva disebut juga dengan keiyoushi. Kata sifat adalah kata yang mengungkapkan situasi atau sifat pada suatu benda. Keiyoushi dapat mengalami perubahan, berdiri sendiri dan di dalam kalimat berfungsi sebagai predikat.

Dari defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa adjektiva (keiyoushi) adalah kata yang mengungkapkan situasi atau sifat, dapat mengalami perubahan, berdiri sendiri dan di dalam kalimat berfungsi sebagai predikat.

2.1.2 Jenis-jenis Adjektiva

Adjektiva dalam bahasa Jepang dapat di bagi menjadi dua, yaitu

I-Keiyoushi dan Na-Keiyoushi.

Dalam buku Sudjianto dinyatakan bahwa I-keiyoushi atau adjektiva-i sering disebut juga dengan keiyoushi yaitu kelas kata yang menyatakan sifat atau keadaan sesuatu, dengan sendirinya dapat menjadi predikat dan dapat mengalami perubahan bentuk (Kitahara, 1995:82). Kata-kata yang termasuk i-keiyoushi dapat membentuk bunsetsu walaupun tanpa bantuan kelas kata lain. Setiap kata yang termasuk i-keiyoushi selalu diakhiri silabel /i/ dalam bentuk kamusnya, dapat menjadi predikat, dan dapat menjadi kata keterangan yang menerangkan kata lain dalam suatu kalimat. I-keiyoushi atau adjektiva-i pada umumnya dibagi menjadi dua macam, yaitu (Shimizu, 2000:46) :


(3)

1. Zokusei keiyoushi, yaitu kelompok adjektiva-I yang menyatakan sifat atau keaadaan secara objektif, misalnya takai ‘tinggi/mahal’, nagai ‘panjang’, hayai ‘cepat’, toui ‘jauh’, futoi ‘gemuk/besar’, akai ‘merah’, omoi ‘besar’, dan sebagainya.

2. Kanjoo keiyoushi, yaitu kelompok adjektiva-i yang menyatakan perasaan atau emosi secara subjektif, misalnya ureshii ‘senang/gembira’, kanashii ‘sedih’, kowai ‘takut’, itai ‘sakit’, kayui ‘gatal’, dan sebagainya.

Na-keiyoushi sering disebut juga dengan keiyoudoshi yaitu kelas kata yang

dengan sendirinya dapat membentuk sebuah bunsetsu, dapat berubah bentuknya (termasuk yoogen), dan bentuk shuushikei-nya berakhir dengan da atau desu. Karena perubahannya mirip dengan doushi sedangkan artinya mirip dengan

keiyoushi, maka kelas kata ini disebut dengan keiyoudoshi (Iwabuchi, 1989:96).

Selain menjadi predikat, na-keiyoushi pun dapat menjadi kata keterangan yang menerangkan kata lain pada suatu kalimat. Na-keiyoushi atau keiyoudoshi pun dapat diklasifikasikan seperti i-keiyoushi seperti berikut (Shimizu, 2000 : 46-47) :

1. Keiyoudoushi yang menyatakan sifat, misalnya shizuka na ‘tenang/sepi’, kirei na ‘indah/cantik/bersih’, sawayaka na ‘segar’, akiraka na ‘jelas’, sakan na ‘makmur/populer’, kenkouteki na ‘sehat’ dan sebagainya.

2. Keiyoudoushi yang menyatakan perasaan, misalnya zannen na ‘merasa

menyesal/sayang sekali’, yukai na ‘senang hati/gembira, fushigi na ‘aneh’,

suki na ‘suka’, kirai na ‘benci’, heiki na ‘tenang/tidak memperhatikan,


(4)

Seperti yang telah disinggungkan sebelumnya, bahwa adjektiva dalam bahasa Jepang ada dua macam, yaitu yang berakhiran (gobi) I yang disebut dengan keiyoushi atau I-keiyoushi, dan yang berakhiran (gobi) DA atau NA yang dikenal dengan sebutan keiyoudoushi atau Na-keiyoushi. Bagian yang mengalami perubahan dalam adjektiva-I, yaitu fonem /i/, sedangkan pada adjektiva-Na yang juga disebut dengan adjektiva-Da, yang mengalami perubahan adalah /da/.

Jenis perubahan adjektiva dalam bahasa Jepang hampir sama dengan jenis perubahan verba, tetapi tidak ada perubahan ke dalam bentuk meireikei (perintah). Ini merupakan hal yang wajar, sebab makna adjektiva dalam bahasa Jepang, yaitu kata yang berfungsi untuk menunjukkan keadaan, sifat, atau perasaan yang diakhiri dengan huruf /i/ atau /da/. Berbagai bentuk perubahan untuk kedua jenis adjektiva tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut.

Jenis Perubahan Adjektiva-I Adjektiva-Na Keterangan Bentuk Kamus oo-i Shizuka-da Bentuk dasar Mizenkei oo-karou Shizuka-darou kemungkinan Ren-youkei oo-katta

oo-ku oo-ku-nai oo-kute

oo-u (gozaimasu)

Shizuka-datta Shizuka-ni Shizuka-de-nai Shizuka-de Shizuka-de (gozaimasu)

Lampau (+) diikuti predikat menyangkal (-) sambung/halus

Shuushikei oo-i Shizuka-da Akhir kalimat


(5)

Kateikei oo-kereba Shizuka-nara pengandaian

2.1.3 Fungsi Adjektiva Iroiro dan Samazama

Adjektiva iroiro dan samazama merupakan adjektiva berakhiran Na atau Da (keiyoudoushi). Yang berfungsi sebagai kata sifat yang menerangkan dan menjelaskan kata benda yang mengikutinya dan dapat menjadi predikat dan dapat mengalami perubahan bentuk.

Dalam kamus pemakaian bahasa Jepang dasar, Kikuo Nomoto (1988:385, 960),

Iroiro merupakan ragam lisan. Samazama merupakan ragam agak formal atau

resmi.

2.1.4 Pengertian Adjektiva Iroiro dan Samazama

Dalam kamus bahasa Jepang–Indonesia, Goro taneguchi (1999:199,488)

Iroiro artinya adalah macam-macam, berjenis-jenis, warna-warni, berbagai,

serba-serbi. Samazama artinya dalah bermacam-macam, berjenis-jenis.

Dalam kamus Jepang- Indonesia, T.Chandra (1981:59,156)

Iroiro adalah bermacam-macam, berjenis-jenis, berupa-rupa, beraneka ragam,

berbagai, serba neka, serba serbi. Samazama sama dengan Iroiro yang menunjukkan bermacam-macam, berjenis-jenis, berupa-rupa, beraneka ragam, berbagai, serba neka, serba serbi


(6)

2.2 Studi Semantik dalam Kajian Semantik

2.2.1 Definisi Semantik

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang (gengogaku) yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain untuk menyampaikan suatu makna. Penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari makna.

Sutedi (2008:111) menyebutkan bahwa objek kalimat semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna antarsatu kata dengan kata yang lainnya (go

no imi kankei), makna frase (ku no imi), dan makna kalimat (bun no imi).

1. Makna Kata (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan dengan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang, banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk bias dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu. Ditambah minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.


(7)

2. Relasi Makna (go no imi kankei)

Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya, pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara), 「言う ‘iu’」(berkata), 「しゃべる ‘shaberu’」(ngomong), dan 「食べる ‘taberu’」(makan), dapat dikelompokkan ke dalam kotoba o hassuru (bertutur) untuk tiga verba pertama, sedangkan taberu tidak termasuk ke dalamnya. Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata 「話す ‘hanasu’」dan 「言う’iu’」, 「高い ‘takai’」(tinggi) dan 「低い ‘hikui’」(rendah), 「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan 「犬 ‘inu’」(anjing) akan berlainan, sehingga perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan sinonim (hanasu dan iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui), sedangkan pasangan yang terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan inu). 3. Makna Frase (ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya, dalam bahasa Jepang ungkapan 「 本 を 読 む ‘hon o yomu’」(membaca buku), 「 靴 を 買 う’kutsu o

kau’」(membeli sepatu), dan 「 腹 が 立 つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri = marah) merupakan satu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikal (mojidouri no imi). Tetapi untuk frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikal (kanyokuteki imi).


(8)

Lain halnya dengan frase 「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna, yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatical (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya. 4. Makna Kalimat (bun no imi)

Makna kalimat juga dijadikan sebagai objek kajian semantik, karena suatu kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya memberikan kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut sama, yaitu, ‘A wa B ni C o ageru’ tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsure kalimat tersebut.

Lain halnya dengan kalimat ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o

matte iru’, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa]

[Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa objek kajian semantik adalah berupa makna kata dan frase, relasi makna antara beberapa kata, dan makna kalimat.


(9)

2.2.1.1Jenis-jenis Makna Dalam Semantik

Menurut Chaer (2002:59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya. Berikut akan dibahas pengertian makna-makna tersebut satu persatu

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (2002:60), leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat dikatakan pula bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2008:115), makna leksikal dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah 「 辞 書 的 意 味 ‘jishoteki imi’」atau 「 語 彙 的 意 味 ‘goiteki imi’」. Makna leksikal adalah makna kata yang ssungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur


(10)

gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu makna. Misalnya, dalam bahasa Jepang kata 「 猫 ‘neko’」dan kata 「 学 校 ‘gakkou’」 memiliki makna leksikal (kucing) dan (sekolah).

Makna gramatikal, menurut Chaer (2002:63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2008:115), makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut 「文法的意味 ‘bunpouteki imi’」yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Dalam bahasa Jepang, 「助詞 ‘joshi’」 (partikel) dan 「助動詞 ‘jodoushi’」 (kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersbut, misalnya pada kata 「 忙 し い ‘ishogashii’」 dan 「 食 べ る ‘taberu’, bagian gokan-nya [ishogashi] dan [tabe] bermakna leksikal (sibuk) dan (memakan), sedangkan gobi-nya, yaitu [伊/i] dan [る/ru] sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai dengan konteks gramatikalnya. Partikel

「に ‘ni’」secara leksikal tidak jelas maknanya, tetapi baru jelas kalau digunakan dalam kalimat seperti 「バンドンに住んでいる ‘Bandon ni sunde iru’」 (tinggal di Bandung).

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Menurut Chaer (2002:63), perbedaan makna referensial dan nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya refern dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, maka kata-kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.


(11)

Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mmpunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata

karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Konotatif

Menurut Chaer (2002:65), makna denotatif (sering disebut juga makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotative lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pngamatan lainnya. Jadi makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Sedangkan makna konotatif adalah makna tambahan yang mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.

Menurut Sutedi (2008:115), makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut

「明示的意味 ‘meijiteki imi’」 atau 「外延‘gaien’」, yaitu makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa, seperti suatu objek atau gagasan dan bias dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna konotatif disebut 「 暗 示 的 意 味 ‘anjiteki imi’」 atau 「 内 包 ‘naihou’」 yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya, pada kata 「父 ‘chichi’」 dan 「 親 父 ‘oyaji’」 kedua-duanya memiliki makna yang sama yaitu (ayah), tetapi keduanya memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata chichi digunakan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata oyaji terkesan lebih dekat dan lebih akrab. Begitu juga dengan conto lainnya, yaitu kata 「化粧室 ‘keshoushitsu’」 dan


(12)

dan nilai rasanya berbeda, keshoushitsu terkesan bersih, sedangkan benjo terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Menurut Chaer (2002:71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya dan kolosal. Kata

besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas daripada

kata lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar itu secara bebas. Frase Tuhan yang maha Agung dapat diganti dengan

Tuhan yang maha Besar, frase rapat akbar dapat diganti dengan rapat besar,

frase hari raya dapat diganti dengan hari besar, dan frase film kolosal dapat diganti dengan film besar. Sebaliknya frase rumah besar tidak dapat diganti dengan rumah agung, atau juga rumah kolosal.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (2002:72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Jadi, dapat dikatakan bahwa makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna suci, atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan makna berani atau juga dengan golongan komunis, kata


(13)

kalimat), yang ‘menyimpang’ dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah membanting tulang, menjual gigi, dan

meja hijau.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Menurut Sutedi (2008:116), Perubahan makna suatu kata terjadi karena berbagai faktor, seperti perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, di antaranya sebagai berikut.

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 「頭 ‘atama’」(kepala) dan 「腕 ‘ude’」(lengan) serta 「道 ‘michi’」 (jalan) yang merupakan benda konkret, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini.

頭がいい atama ga ii (kepandaian)

腕が上がる ude ga agaru (kemampuan)

日本語教師への道 nihon go kyoushi e no michi (cara/petunjuk)

b. Dari ruang ke waktu

Kata 「前 ‘mae’」(depan) dan 「長い ‘nagai’」(panjang) yang menyatakan arti (ruang), berubah menjadi (waktu) seperti pada contoh berikut.

三年前 san nen mae (yang lalu)


(14)

c. Perubahan penggunaan indra

Kata 「 大 き い ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indra penglihatan (mata), berubah ke indra pendengaran (telinga), seperti frase 「 大 き い 声 ‘ookii koe’」(suara keras), kata 「 甘 い ‘amai’」(manis) dari indra perasa menjadi karakter seperti dalam frase 「甘い子 ‘amai ko’」(anak manja). d. Dari yang khusus ke umum/generalisasi

Kata 「 着 物 ‘kimono’」yang semula berarti (pakaian tradisional Jepang) digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum 「 服 ‘fuku’」dan sebagainya.

e. Dari umum ke khusus/spesialisasi

Kata 「花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan 「卵 ‘tamago’」(telur secara umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana-mi (bunga sakura)

卵を食べる tamago o taberu (telur ayam)

f. Perubahan nilai kea rah positif

Misalnya, kata 「僕 ‘boku’」(saya) dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik, menjadi baik. g. Perubahan nilai kea rah negative

Misalnya, kata 「 貴 様 ‘kisama’」(kamu) dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata 「 あ な た ‘anata’」(anda), tetapi sekarang digunakan


(15)

hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat apa yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari. Bagi seorang wartawan, seorang reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonim, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra maupun Fakultas Bahasa dan Seni, pengetahuan semantik akan banyak member bekal teoritis untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan member manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa harus mengerti dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang


(16)

lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti (Chaer, 2002:11,12).

2.2.2 Definisi Sinonim

Dalam setiap bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya (Chaer, 2002:82). Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), ketercakupan makna (hiponim), kelainan makna (homonim), kelebihan makna (redundansi).

Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu

onoma yang berarti ‘makna’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Secara semantik

Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Chaer, 2002: 82). Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim,

bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim, mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik, yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ajuran lainnya (Chaer, 1994 : 299). Akan tetapi, meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya tidak akan persis sama.


(17)

Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Dalam bahasa Jepang, 「類義語 ‘ruigigo’」merupakan salah satu objek kajian semantik. Sinonim merupakan beberapa kata yang maknanya hampir sama. Hal ini juga banyak ditemukan dalam bahasa Jepang, sehingga menjadi salah satu penyebab kesulitan dalam mempelajari bahasa Jepang (Sutedi, 2003 : 129).

Dalam buku Sutedi, Momiyama (1998) memberikan beberapa pemikiran tentang cara mengidentifikasikan suatu sinonim, seperti berikut.

a. Chokkanteki (intuitif bahasa) bagi para penutur asli dengan berdasarkan

pada pengalaman hidupnya. Bagi penutur asli jika mendengar suatu kata, maka secara langsung dapat merasakan bahwa kata tersebut bersinonim atau tidak. b. Beberapa kata jika diterjemahkan ke dalam bahasa asing, akan menjadi

satu kata, misalnya kata oriru, kudaru, sagaru, dan furu dalam bahasa Indonesia bias dipadankan dengan kata (turun).

c. Dapat menduduki posisi yang sama dalam suatu kalimat dengan perbedaan makna yang kecil. Misalnya, pada frase 「階段を上がる ‘kaidan o

agaru’」dan 「階段を上る ‘kaidan o noboru’」 sama-sama berarti (menaiki tangga).

d. Dalam menegaskan suatu makna, kedua-duanya bias digunakan secara bersamaan (sekaligus). Misalnya, kata 「 光 る ‘hikaru’ 」 dan 「 輝


(18)

bersamaan seperti pada 「 星 が光り 輝 いてい る ‘hoshi ga hikari kagayaite

iru’」(bintang bersinar cemerlang).

Cara yang pertama bagi orang asing masih sangat sulit, karena adanya keterbatasan kemampuan berbahasa Jepang. Kecuali mereka yang sudah lama menetap di negara pemakai bahasa tersebut dan kemampuannya sudah sejajar dengan penutur asli. Cara yang paling mudah dilakukan orang asing, yaitu cara yang kedua, kendatinyapun akan melahirkan suatu pandangan yang berbeda. Misalnya ada dua kata yang bagi penutur asli mungkin saja tidak dirasakan sebagai suatu sinonim, tetapi bagi orang asing ketika dipadankan ke dalam bahasa Indonesia menjadi satu kata, yaitu kata (memakai).

Bagaimanapun juga verba-verba tersebut bisa dianggap sebagai verba yang bersinonim. Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba, tetapi pada nomina, adjketiva, bahkan ungkapan dan partikel pun bisa terjadi. Oleh karena itu, penganalisaan terhadap perbedaan dan persamaan makna suatu sinonim perlu dilakukan, dan hal ini juga merupakan objek kajian semantik.

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan diksi atau pilihan kata. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Menurut Websters dalam Bagus (2009:7), diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or


(19)

effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal

kebenaran, kejelasan, dan keefektifan. Sedangkan menurut Keraf (2006:24), dapat diturunkan tiga kesimpulan utama mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau

diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan

suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan

sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuia dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Berdasarkan konsep dari pilihan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.


(1)

c. Perubahan penggunaan indra

Kata 「 大 き い ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indra penglihatan

(mata), berubah ke indra pendengaran (telinga), seperti frase 「 大 き い 声

‘ookii koe’」(suara keras), kata 「 甘 い ‘amai’」(manis) dari indra perasa

menjadi karakter seperti dalam frase 「甘い子 ‘amai ko’」(anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/generalisasi

Kata 「 着 物 ‘kimono’」yang semula berarti (pakaian tradisional Jepang)

digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum 「 服 ‘fuku’」dan

sebagainya.

e. Dari umum ke khusus/spesialisasi

Kata 「花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan 「卵 ‘tamago’」(telur secara

umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana-mi (bunga sakura)

卵を食べる tamago o taberu (telur ayam)

f. Perubahan nilai kea rah positif

Misalnya, kata 「僕 ‘boku’」(saya) dulu digunakan untuk budak atau pelayan,

tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik, menjadi baik. g. Perubahan nilai kea rah negative

Misalnya, kata 「 貴 様 ‘kisama’」(kamu) dulu sering digunakan untuk


(2)

hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat apa yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari. Bagi seorang wartawan, seorang reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonim, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra maupun Fakultas Bahasa dan Seni, pengetahuan semantik akan banyak member bekal teoritis untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan member manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa harus mengerti dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang


(3)

lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti (Chaer, 2002:11,12).

2.2.2 Definisi Sinonim

Dalam setiap bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya (Chaer, 2002:82). Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), ketercakupan makna (hiponim), kelainan makna (homonim), kelebihan makna (redundansi).

Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘makna’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Chaer, 2002: 82). Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim, bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim, mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik, yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ajuran lainnya (Chaer, 1994 : 299). Akan tetapi, meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya tidak akan persis sama.


(4)

Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Dalam bahasa Jepang, 「類義語 ‘ruigigo’」merupakan salah satu objek

kajian semantik. Sinonim merupakan beberapa kata yang maknanya hampir sama. Hal ini juga banyak ditemukan dalam bahasa Jepang, sehingga menjadi salah satu penyebab kesulitan dalam mempelajari bahasa Jepang (Sutedi, 2003 : 129). Dalam buku Sutedi, Momiyama (1998) memberikan beberapa pemikiran tentang cara mengidentifikasikan suatu sinonim, seperti berikut.

a. Chokkanteki (intuitif bahasa) bagi para penutur asli dengan berdasarkan pada pengalaman hidupnya. Bagi penutur asli jika mendengar suatu kata, maka secara langsung dapat merasakan bahwa kata tersebut bersinonim atau tidak. b. Beberapa kata jika diterjemahkan ke dalam bahasa asing, akan menjadi

satu kata, misalnya kata oriru, kudaru, sagaru, dan furu dalam bahasa Indonesia bias dipadankan dengan kata (turun).

c. Dapat menduduki posisi yang sama dalam suatu kalimat dengan perbedaan makna yang kecil. Misalnya, pada frase 「階段を上がる ‘kaidan o

agaru’」dan 「階段を上る ‘kaidan o noboru’」 sama-sama berarti (menaiki

tangga).

d. Dalam menegaskan suatu makna, kedua-duanya bias digunakan secara bersamaan (sekaligus). Misalnya, kata 「 光 る ‘hikaru’ 」 dan 「 輝 く ’kagayaku’ 」 kedua-duanya berarti (bersinar), bisa digunakan secara


(5)

bersamaan seperti pada 「 星 が光り 輝 いてい る ‘hoshi ga hikari kagayaite

iru’」(bintang bersinar cemerlang).

Cara yang pertama bagi orang asing masih sangat sulit, karena adanya keterbatasan kemampuan berbahasa Jepang. Kecuali mereka yang sudah lama menetap di negara pemakai bahasa tersebut dan kemampuannya sudah sejajar dengan penutur asli. Cara yang paling mudah dilakukan orang asing, yaitu cara yang kedua, kendatinyapun akan melahirkan suatu pandangan yang berbeda. Misalnya ada dua kata yang bagi penutur asli mungkin saja tidak dirasakan sebagai suatu sinonim, tetapi bagi orang asing ketika dipadankan ke dalam bahasa Indonesia menjadi satu kata, yaitu kata (memakai).

Bagaimanapun juga verba-verba tersebut bisa dianggap sebagai verba yang bersinonim. Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba, tetapi pada nomina, adjketiva, bahkan ungkapan dan partikel pun bisa terjadi. Oleh karena itu, penganalisaan terhadap perbedaan dan persamaan makna suatu sinonim perlu dilakukan, dan hal ini juga merupakan objek kajian semantik.

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan diksi atau pilihan kata. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Menurut Websters dalam Bagus (2009:7), diction diuraikan


(6)

effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan. Sedangkan menurut Keraf (2006:24), dapat diturunkan tiga kesimpulan utama mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuia dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Berdasarkan konsep dari pilihan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.