BAB II KAJIAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Inggris SMP Melalui Pemberdayaan MGMP Kabupaten Kendal
BAB II KAJIAN TEORI
2. 1 Pelatihan
2.1.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan (training) merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan, atau sikap untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja (Simamora, 2006). Menurut Undang-undang No 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 9 memberikan pengertian tentang pelatihan kerja sebagai berikut:
“Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktifitas, disipiln, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.”
Menurut Soebagio (2002: 35) pelatihan adalah “pembelajaran yang dipersiapkan agar pelaksanaan pekerjaan yang sekarang meningkat kinerjanya”.
Sedang Oemar Hamalik (2007) mengemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses yang meliputi serangakaian tindakan (upaya) yang dilaksanakan dengan sengaja dalam bentuk pemberian bantuan kepada tenaga kerja yang dilakukan oleh tenaga profesional kepelatihan dalam satuan waktu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja peserta dalam bidang pekerjaan tertentu guna meningkatkan efektivitas dan produktivitas dalam suatu organisasi.
Sedangkan Rivai (2004) menegaskan bahwa pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan.
Sikula dalam Sumantri (2000: 2) mengartikan pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Dalam hal ini para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Center for Development Management and
Productivity, pelatihan adalah belajar untuk mengubah
tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai ketrampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan usaha sadar dan terencana untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap seseorang sehingga mampu melaksanakan tugas dengan lebih baik dalam rangka meningkatkan kinerjanya.
2.1. 2 Tujuan Pelatihan bagi Guru
Diadakannya pelatihan tentunya mempunyai tujuan-tujuan tertentu, baik bagi peserta itu sendiri maupun bagi kepentingan organisasi, hal ini perlu diperhatikan karena tujuan-tujuan tersebut sesungguhnya merupakan landasan penetapan metode pelatihan mana yang akan dipakai, materi yang akan dibahas, pesertanya dan siapa saja tenaga pengajarnya untuk dapat memberi subjek yang bersangkutan. Tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan.
Menurut Simamora (2006: 276) pelatihan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan. Adapun tujuan dari pelatihan yaitu memperbaiki kinerja guru, memutakhirkan keahlian guru, mengurangi waktu pembelajaran guru agar kompeten dalam pekerjaan, membantu memecahkan masalah operasional, mempersiapkan guru untuk promosi, memotivasi guru dan mengorientasikan guru terhadap organisasi/sekolah.
Sedangkan menurut Moekijat (2003) tujuan pelatihan adalah: 1) untuk mengembangkan ketrampilan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif; 2) untuk mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional; 3) untuk mengembangkan sikap sehingga menimbulkan kemauan kerja sama dengan teman-teman pegawai dan pimpinan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2002) bahwa tujuan pelatihan dapat dibuat untuk wilayah apapun dengan menggunakan salah satu dimensi berikut: 1) kuantitas pekerjaan yang dihasilkan dari pelatihan; 2) kuantitas pekerjaan setelah pelatihan; 3) batasan waktu dari pekerjaan setelah pelatihan dan; 4) penghematan biaya sebagai hasil dari pelatihan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pelatihan adalah untuk peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap sehingga dapat meningkatkan kinerja seseorang dan kemampuan untuk bekerjasama.
2.1.3 Model-model Pelatihan
Pelatihan sebagai sebuah konsep program yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seseorang (sasaran didik), berkembang sangat pesat dan modern. Perkembangan model pelatihan saat ini tidak hanya terjadi pada dunia usaha, akan tetapi pada lembaga-lembaga profesional tertentu termasuk lembaga pendidikan.
Model-model pelatihan yang dapat diberikan kepada seorang guru tergantung dari ketrampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan, kualifikasi dari para guru dan permasalahan nyata yang sedang dan akan dihadapi oleh sekolah tersebut. Menurut Iswari (2009) model pelatihan ada empat macam yaitu pelatihan peningkatan, pelatihan penyegaran, pelatihan dalam pekerjaan (On the Job Training) dan pelatihan di luar pekerjaan (Off the Job Training).
Pelatihan penyegaran dan peningkatan dimaksudkan supaya seorang guru selalu dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang baru sehingga seorang guru selalu up to
date pengetahuan atau ketrampilannya. Pelatihan di
luar pekerjaan (Off the Job Training) adalah pelatihan yang lebih banyak menekankan dalam mengajarkan teknik-teknik yang paling baik, sehingga menjadi terbiasa dalam pekerjaan yang rutin. Sedangkan latihan dalam pekerjaan (On the Job Training) adalah pelatihan yang ditujukan dalam hal penguasaan suatu pekerjaan yang spesifik dalam lingkup kerjanya.
Menurut Allison dan Joseph dalam Mustofa (2003), pelatihan dalam dunia pendidikan luar sekolah ada tiga yaitu:
1. Training Needs Assessmnet (TNA) artinya adalah kebutuhan pelatihan sangat berkaitan erat dengan kebutuhan belajar. Kebutuhan belajar diartikan dengan kesenjangan di antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan yang dituntut, atau dipersyaratkan dalam kehidupan sasaran didik (peserta pelatihan). Kemampuan tersebut menyangkut kemampuan pengetahuan, sikap, nilai dan tingkah laku sesuai dengan aspek yang menjadi kebutuhan dalam dunia kerjanya. Ada tiga model pelatihan TNA yaitu model induktif, deduktif dan klasik. Pendekatan yang digunakan dalam model induktif menekankan pada usaha yang dilakukan dari pihak yang terdekat, langsung dan dari bagian-bagian ke arah pihak yang luas dan menyeluruh. Sedangkan pendekatan model deduktif dilakukan secara umum, dengan sasaran yang luas. Untuk model klasik disesuaikan dengan bahan belajar yang telah ditetapkan dengan kurikulum atau program belajar dengan kebutuhan belajar yang dirasakan peserta pelatihan.
2. Subject Matter Analysis (SMA) artinya adalah pelatihan disesuaikan dengan pendekatan, strategi dan materi latihan. Model pelatihan ini proses dan langkah-langkahnya disesuaikan dengan perkembangan kemampuan peserta pelatihan, masalah-masalah yang perlu dipecahkan, kebutuhan kurikulum dan metodologi pelatihannya.
3. Approaches to Training and Development (ATD)
artinya adalah pendekatan untuk pelatihan dan pengembangan ini menyediakan pengenalan yang komprehensif dan praktis untuk bidang pelatihan dan pengembangan organisasi sumber daya manusia. Dalam hal ini adanya survei tentang metode, fungsi dan tujuan dari pelatihan; dari penilaian kebutuhan pelaksanaan serta menggambarkan setiap langkah dari program pelatihan yang efektif. Beberapa model pelatihan yang dilakukan lembaga pemerintah departemen dan non-departemen di antaranya adalah pre-service training (pra jabatan),
in-service training (latihan dalam jabatan) dan social
service training (latihan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat). Pelatihan-pelatihan tersebut di antaranya berdasar pada konsep kebutuhan jabatan (Mustofa, 2003).
Salah satu pelatihan yang menggunakan model
in-service training adalah pelaksanaan pemberdayaan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) adalah salah satu wadah atau forum pembinaan profesional guru mata pelajaran yang berada pada suatu wilayah kabupaten/kota/kecamatan/sekolah untuk meningkatkan pengetahuan, penguasaan materi, teknik mengajar, metode mengajar, mengelola kelas dan proses interaksi antara guru dan murid dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Adapun tujuan dari terbentuknya MGMP adalah: (1) untuk memotivasi guru dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru profesional, (2) untuk menyatakan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran, (3) untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya, (4) untuk membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif, (5) saling berbagi informasi dan pengalaman, (6) mampu menjabarkan dan merumuskan agenda reformasi sekolah (school reform).
MGMP juga mempunyai tujuan untuk mengubah budaya kerja anggota musyawarah kerja (meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan kinerja) dan mengembangkan profesionalisme guru melalui kegiatan-kegiatan pengembangan profesionalisme di tingkat MGMP, meningkatkan mutu proses pendidikan dan pembelajaran yang tercermin dari peningkatan hasil belajar peserta didik dan meningkatkan kompetensi guru melalui kegiatan-kegiatan di MGMP.
Selain itu MGMP mempunyai peran sebagai: 1)
reformator, dalam classroom reform, terutama dalam
reorientasi pembelajaran efektif, 2) mediator, dalam pengembangan dan penigkatan kompetensi guru, terutama dalam pengembangan kurikulum dan sistem pengujian, 3) supporting agency, dalam inovasi manajemen kelas dan manajemen sekolah, 4)
collaborator, terhadap unit terkait dan organisasi
profesi yang relevan, 5) evaluator dan developer school
reform dalam konteks MPMBS, dan 6) clinical dan
academic supervisor, dengan pendekatan penilaian
appraisal.
2.1.4 Tahap-tahap Pelatihan
Pelatihan dirasa penting manfaatnya karena tuntutan pekerjaan dan jabatan sebagai akibat dari perubahan situasi dan kondisi kerja, kemajuan teknologi dan semakin ketatnya persaingan dalam organisasi. Menurut Hasibuan (2003) bahwa proses atau langkah-langkah pelatihan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan sasaran, kurikulum, sarana, peserta, pelatihan dan pelaksanaan.
Setiap pelatihan harus terlebih dahulu ditetapkan secara jelas sasaran yang ingin dicapai agar pelaksanaan program pelatihan dapat diarahkan ke pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan Siagian (2003) menyatakan berbagai langkah yang perlu ditempuh dalam pelatihan yaitu penentuan kebutuhan, sasaran, penetapan isi program, identifikasi prinsip- prinsip belajar, pelaksanaan program, identifikasi manfaat dan penilaian pelaksanaan program.
Menurut Oemar Hamalik (2007: 78) prosedur penyelenggaraan pelatihan terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pendahuluan, pengembangan, kulminasi, dan tindak lanjut. Tahap pendahuluan merupakan tahap persiapan sebelum peserta melaksanakan keseluruhan kegiatan, yang mana peserta pelatihan melakukan kegiatan orientasi. Pada tahap pengembangan, peserta melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh panitia penyelenggara pelatihan, yaitu kegiatan tatap muka, kegiatan berstruktur, kegiatan mandiri, seminar, kunjungan instansional, laporan harian dan karyawisata. Sedangkan pada tahap kulminasi yang merupakan tahap puncak kegiatan pelatihan, peserta mengikuti kegiatan pameran, seminar akhir dan laporan individual. Dan yang terakhir yaitu pada tahap tindak lanjut yang merupakan suatu tahap transisi, dimana berlangsungnya proses penempatan dan pembinaan terhadap para lulusan pelatihan.
2.2 Kompetensi Guru
2.2.1 Pengertian kompetensi
Sardiman dalam Janawi mengartikan kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang berkenaan dengan tugasnya (Janawi 2012: 30). Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang, dalam hal ini oleh guru.
Menurut Sutadipura dalam Janawi (2012), kompetensi terbagi menjadi dua yaitu kompetensi umum dan kompetensi khusus. Kompetensi umum adalah kemampuan dan keahlian yang harus dimiliki oleh semua guru pada tiap jenjang pendidikan. Sedangkan kompetensi khusus adalah kemampuan dan keahlian yang harus dimiliki secara khusus oleh tenaga pendidik tertentu sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan yang ditekuni.
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat (10) mengartikan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Sedangkan di dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (10), mengartikan kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Menurut Finch dan Crunkliton dalam Kunandar (2007: 52), bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan pengetahuan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, ketrampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu.
Sedangkan Nasrul (2014: 37) berpendapat bahwa kompetensi adalah penilaian pengetahuan, ketrampilan, dan kecakapan atau kemampuan sebagai seorang guru dalam menentukan atau memutuskan sesuatu berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya agar proses pembelajaran berjalan dengan baik. Sementara itu Surya mengartikan kompetensi sebagai suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif (Surya 2005). Pengertian ini mengandung makna bahwa kompetensi tersebut dapat dipahami dalam dua konteks, yaitu: pertama, sebagai indikator kemampuan yang menunjukkan pada perbuatan yang diamati. Kedua, sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek kognitif, afektif dan perbuatan serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh.
Dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004, tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) menjelaskan tentang sertifikasi kompetensi kerja sebagai suatu proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan atau internasional. Pengertian Competency Based Training (CBT) adalah sebuah pendekatan pada pelatihan yang menekankan pada apa yang seorang individu dapat mendemonstrasikan pengetahuan, ketrampilan serta sikap profesionalnya di tempat kerja sesuai dengan standar industri sebagai hasil training.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah sebuah pengetahuan terhadap apa yang seseorang harus lakukan di tempat kerja untuk menunjukkan pengetahuannya, ketrampilannya dan sikapnya sesuai dengan standar yang disyaratkan. Inti dari definisi kompetensi adalah mencakup penguasaan terhadap 3 jenis kemampuan yaitu pengetahuan (knowledge, science), ketrampilan teknis (skill
technology) dan sikap perilaku (attitude). Hal ini sesuai
dengan pendapatnya Majid dalam Janawi (2012) yang mengemukakan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan inteligen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.
2.2.2 Kompetensi guru
Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru adalah kelayakan untuk menjalankan tugas, kemampuan, sebagai faktor yang penting bagi guru, oleh karena itu kualitas dan produktivitas kerja guru harus mampu memperlihatkan perbuatan profesional yang bermutu. Kemampuan atau kompetensi guru harus mampu memperlihatkan perilaku yang memungkinkan mereka dalam menjalankan tugas profesional dengan cara yang paling diingini, tidak sekedar menjalankan kegiatan pendidikan bersifat rutinitas (Nasrul, 2014).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan, saling mendukung, saling mempengaruhi dan saling mendasari satu sama lain.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kompetensi guru yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah berkenaan dengan empat kompetensi seperti dijelaskan berikut ini: a.
Kompetensi pedagogik yaitu kompetensi yang berkenaan dengan penguasaan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu lain yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru.
b.
Kompetensi profesional adalah kemampuan dasar tenaga pendidik. Guru akan disebut profesional jika ia mampu menguasai keahlian dan ketrampilan teoritik dan praktik dalam proses pembelajaran.
c.
Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan personalitas, jati diri sebagai tenaga pendidik yang menjadi panutan bagi peserta didik.
d.
Kompetensi sosial yaitu kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan guru berinteraksi dengan peserta didik dan orang yang ada di sekitar dirinya.
Cogan dalam Nasrul (2014) mengatakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan untuk memandang dan mendekati masalah pendidikan dan perspektif masyarakat global, bekerjasama dengan orang lain secara kooperatif dan bertanggung jawab, berpikir secara kritis dan sistematis serta mampu meningkatkan kemampuan intelektualnya sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
2.3 Peran dan Profesionalisme Guru Bahasa
InggrisGuru memiliki peran sangat penting dalam merangsang munculnya keterlibatan siswa dalam situasi pembelajaran. Peranan guru tersebut adalah fasilitator dari proses komunikasi, partisipan sebagai teman dan bahkan orang tua, figur otoritas, pemimpin, direktur, manajer, konselor, guide, controller dan sebagai sumber (Brown, 2001: 167-168).
Secara spesifik, bagi seorang guru bahasa Inggirs, keempat kompetensi guru seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen harus dimanifestasikan kedalam sejumlah kompetensi komunikatif yang bersifat lebih kongkrit (Celcee-Murcia dalam Helena, 2004). Kompetensi komunikatif itu meliputi kompetensi wacana (discourse competence), kompetensi tindak bahasa (actional competence), kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi sosial budaya (sociocultural competence), dan kompetensi strategis (strategic competence).
Lima kompetensi ini sangat berperan dalam mendukung guru bahasa Inggris terutama dalam mengaplikasikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sehari-hari (colloquial language) maupun komunikasi dalam dunia ilmiah (scientific language) secara wajar sesuai dengan cara native speaker of
English berkomunikasi. Selain itu, kompetensi
komunikatif tersebut berimplikasi pada bagaimana seorang guru bahasa Inggris harus mengajarkan bahasa tersebut kepada setiap peserta didik.
Pengetahuan tentang tata bahasa yang benar dapat membantu guru memonitor dan mengoreksi dirinya sendiri dan peserta didik dalam proses komunikasi. Untuk mengembangkan kompetensi linguistik ini diperlukan pengetahuan dan latihan penggunaan bahasa Inggris dalam konteks tertentu agar peserta didik senantiasa memperhatikan contoh- contoh ungkapan yang biasa didengar dari segi tata bahasanya. Sedangkan kompetensi strategis akan mengarahkan guru bahasa Inggris untuk mampu menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan menarik bagi siswa. Di lain sisi, kompetensi sosiolinguistik dapat membantu guru bahasa melatih peserta didik untuk berkomunikasi menggunakan tata bahasa dan pilihan kata sesuai konteks sosial tertentu. Selanjutnya kompetensi tindak bahasa akan mengarahkan seorang guru bahasa Inggris mampu memilih peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris melalui langkah-langkah komunikasi tertentu (Helena, 2004).
2.4 Evaluasi Program
2.4.1 Pengertian Evaluasi
Worthen & Sanders dalam Suharsimi dan Safrudin (2014) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga (worth), sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu. Karenanya evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan manusia sebab hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang.
Menurut Stufflebeam (1985: 159) definisi evaluasi adalah :
“Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing desvriptive and judgemental information about the worth and merit of some object‟s goals, design, implementation, and impacts in order to guide decision making, serve needs for accountability, and promote understanding of involved phe nomena.”
Yang artinya bahwa evaluasi adalah merupakan suatu proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi deskriptif serta bersifat kebijakan tentang kelayakan dan kebermanfaatan tujuan, rancangan, implementasi dan dampak suatu program dalam rangka memberi masukan bagi pembuat keputusan, melayani kebutuhan-kebutuhan akuntabilitas dan memperoleh pemahaman terhadap fenomena yang terjadi.
Selanjutnya Suharsimi dan Safrudin (2014: 2) mengemukakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang evaluasi yang telah dikemukankan beberapa ahli diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut. Karenanya, dalam keberhasilan ada dua konsep yang terdapat di dalamnya yaitu efektifitas dan efisiensi. Efektifitas merupakan perbandingan antara output dan inputnya, sedangkan efisiensi adalah taraf pendayagunaan input untuk menghasilkan output melalui suatu proses, urutan kerja yang sesuai prosedur sehingga diperoleh hasil yang memenuhi syarat kualitas kecepatan dan jumlah.
2.4.2 Pengertian Evaluasi Program
Herman dalam Tayibnapis (2008: 9) mengemukakan bahwa program adalah segala sesuatu yang dilakukan dengan harapan akan mendatangkan hasil atau manfaat. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa semua perbuatan manusia yang darinya diharapkan akan memperoleh hasil dan manfaat dapat disebut program. Menurut Suharsimi (2009: 290) program memiliki dua pengertian yaitu secara umum dan khusus. Secara umum, program dapat diartikan dengan rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh seseorang di kemudian hari. Sedangkan pengertian khusus dari program biasanya jika dikaitkan dengan evaluasi yang bermakna suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses berkesinambunagn dan terjadi dalam satu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Selanjutnya Isaac dan Michael (1981: 6) mengemukakan bahwa sebuah program harus diakhiri dengan evalusi. Hal ini dilaksanakan untuk melihat apakah program tersebut berhasil menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa ada tiga tahap rangkaian evaluasi program yaitu: a) menyatakan pertanyaan serta menspesifikasikan informasi yang hendak diperoleh, b) mencari data yang relevan dengan penelitian, c) menyediakan informasi yang dibutuhkan pihak pengambil keputusan untuk melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan program tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut maka sebuah program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan waktu pelaksanaannya biasanya panjang. Selain itu sebuah program juga tidak hanya terdiri dari satu kegiatan melainkan rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya. Dengan demikian, evalusai program dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk mengetahui apakah sebuah program dapat direalisasikan atau tidak dengan cara mengetahui efektivitas masing-masing komponennya melalui rangkaian informasi yang diperoleh serta untuk menentukan apakah program tersebut perlu direvisi, dilanjutkan atau dijadikan rekomendasi untuk program berikutnya.
2.4.3 Tujuan Evaluasi Program
Worthen dan Sanders dalam Tayibnapis (2008: 2) menyatakan bahwa evaluasi memegang peranan penting dalam suatu program, salah satunya adalah memberikan informasi yang dapat dipakai sebagai dasar untuk membuat kebijaksanaan, menilai hasil yang dicapai, menilai kurikulum, memberi kepercayaan, memonitor dana yang telah diberikan dan memperbaiki materi atau program.
Suharsimi dan Safrudin (2014) mengemukakan bahwa ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan kepada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan pada masing-masing komponen. Suharsimi juga menyatakan bahwa evaluasi program merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengukur keberhasilan suatu program. Evaluasi program biasanya diukur untuk mengetahui seberapa jauh dan bagaimana dari tujuan sudah dicapai dan bagian mana yang belum tercapai dan apa penyebabnya. Tanpa adanya evaluasi keberhasilan dan kegagalan program tidak akan dapat diketahui.
Sedangkan menurut Weiss dalam Sugiyono (2014), menyatakan bahwa evaluasi program merupakan metode yang sistematis untuk mengumpulkan data, dan menggunakan informasi untuk menjawab pertanyaan tentang proyek, kebijakan dan program, khususnya yang terkait dengan efektivitas dan efisiensi. Berdasarkan pernyataan tersebut bisa diartikan bahwa tujuan dari evaluasi program adalah untuk meningkatkan efektivitas suatu kebijakan program berdasarkan umpan balik dari orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan program tersebut.
Dari penjelasan di atas, tujuan evaluasi program adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai dampak program yang telah dilaksanakan dan mengetahui fenomena yang terjadi di lapangan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil, suatu program berhasil atau tidak dapat dilihat dari produktivitas, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program.
2.4.4 Manfaat Evaluasi Program
Menurut Soebagio A (2002: 270), manfaat evaluasi pendidikan dan pelatihan adalah: a.
Memperoleh informasi tentang kualitas dan kuantitas pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan.
b.
Mengetahui relevansi program pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan instansi yang bersangkutan.
c.
Membuka kemungkinan untuk memperbaiki dan menyesuaikan program pendidikan dan pelatihan dengan perkembangan keadaan. d.
Menentukan apakah program pendidikan dan pelatihan itu perlu dilanjutkan atau tidak, sehingga dapat dijadikan alat untuk merekomendasi ada tidaknya manfaat dari program pendidikan dan pelatihan. Selanjutnya Stufflebeam dalam Tayibnapis (2008:
4) mengemukakan bahwa evaluasi berfungsi sebagai
proactive evaluation yaitu evaluasi program yang
dilakukan untuk melayani pemegang keputusan dan juga sebagai retroactive evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk keperluan pertanggungjawaban.
2.4.5 Model Evaluasi Program
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai dalam mengevaluasi program pelaksanaan pelatihan. Kirkpatrick, salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang diberi nama
Kirkpatrick’s training evaluation model
juga menunjuk model-model lain yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap sebuah program pelatihan. Model-model yang ditunjuk tersebut diantaranya adalah: A.
Evaluasi model CIPP.
Konsep evaluasi model CIPP (Context, Input,
Process and Product) pertama kali ditawarkan oleh
Stufflebeam pada tahun 1965, dengan konsep pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan dan sebagainya.
Sudjana & Ibrahim (2004: 246) menterjemahkan CIPP sebagai berikut: a.
Context : situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan.
b.
Input : sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
c.
Process : pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/model/bahan di dalam kegiatan nyata di lapangan.
d.
Product : hasil yang dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan.
Selanjutnya Sugiyono (2014: 749) menjelaskan tentang fokus dari pendekatan evaluasi model CIPP sebagai berikut:
Gambar 1 Model CIPP
ContextEvaluasi ini terkait dengan tujuan dari suatu program, mengapa program tersebut diadakan dan apakah tujuan program sesuai dengan kebutuhan lapangan .
Input Evaluasi ini terkait dengan berbagai input yang akan digunakan untuk terpenuhinya proses yang selanjutnya dapat digunakan mencapai tujuan.
Evaluasi ini terkait dengan kegiatan melaksanakan rencana program dengan input yang telah disediakan, kapan program
Process dilaksanakan, bagaimana prosedurnya, apakah input yang digunakan mendukung dan apakah
program terlaksana sesuai jadwal.
Evaluasi ini terkait dengan evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari suatu program; Product seberapa jauh tujuan program tercapai, apakah program tercapai tepat waktu, apakah program perlu dilanjutkan/direvisi.
Berdasarkan penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa model evaluasi CIPP merupakan model evaluasi yang memiliki keunikan yaitu pada setiap tipe evaluasi terkait pada perangkat pengambil keputusan (decision) yang menyangkut perencanaan dan operasional sebuah program. Keunggulan model evaluasi CIPP memberikan suatu format evaluasi yang komprehensif pada setiap tahapan evaluasi yaitu tahap konteks, masukan, proses, dan produk.
B. Evaluasi Model Brinkerhoff Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli evaluasi atau evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & Cs (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yaitu:
a.
Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya dimana si pemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan. Walaupun desain fixed ini lebih terstruktur daripada desain emergent. Desain fixed juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang mungkin berubah. Kebanyakan evaluasi formal yang dibuat secara individu disusun berdasarkan desain fixed, karena tujuan program telah ditentukan dengan jelas sebelumnya, dibiayai dan melalui usulan atau proposal evaluasi.
b.
Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan diteruskan atau dihentikan. Waktu pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program (Sudjana & Ibrahim, 2004).
c.
Experimental and Quasi Experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal ini subyek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang dicobakan. Apabila siswa atau program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang agak lebih luas. Dalam beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki. Apabila proses sudah diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen, seperti mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang dilakukan. (Sudjana & Ibrahim, 2004).
C.
Evaluasi Model Kirkpatrick Menurut Kirkpatrick dalam Sudjana (2006) evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan mencakup empat level evaluasi, yaitu Reaction, Learning, Behaviour dan Result.
a.
Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta pelatihan berarti mengukur kepuasan peserta (customer
satisfaction). Program pelatihan dianggap efektif
apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta pelatihan sehingga mereka tertarik termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta pelatihan akan termotivasi apabila proses pelatihan berjalan secara memuaskan bagi peserta yng pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses pelatihan yang diikuti maka mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa keberhasilan proses kegiatan pelatihan tidak terlepas dari minat, perhatian dan motivasi peserta pelatihan dalam mengikuti jalannya kegiatan pelatihan. Orang akan belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar. (Sujana, 2006).
b.
Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988)
‘learning can be defined as the extend to which participants change attitudes,improving knowledge, and/or increase skill as a result of attending the program.’ Ada tiga
hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program pelatihan, yaitu pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta pelatihan dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan ketrampilan. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan ketrampilan pada peserta pelatihan maka program dapat dikatakan gagal.
Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar.
c.
Evaluating Behaviour
Evaluasi tingkah laku ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap. Dalam evaluasi penilaian sikap difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pelatihan dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang terjadi setelah mengikuti pelatihan juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal (Sudjana 2006).
d.
Evaluating Result
Evaluasi hasil ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program pelatihan diantaranya adalah kenaikan produksi, peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan turnover dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact kerja (Sudjana, 2014).
D.
Evaluasi Model Stake (Model Coutenance) Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent (context), transaction (process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu program pelatihan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara program dengan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu. Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi.
Stake mengatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain pihak. Dalam model ini antecendent (masukan), transaction (proses) dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program (Tayibnapis, 2000).
2.4.6 Langkah-langkah Evaluasi Program
Secara umum evaluasi program dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap monitoring pelaksanaan. Pada tahap persiapan seorang evaluator harus melakukan penyusunan desain evaluasi, penyusunan instrumen evaluasi, validasi instrumen evaluasi, menentukan jumlah sampel, dan penyamaan persepsi antarevaluator sebelum pengambilan data. Pada tahap pelaksanaan seorang evaluator memilih jenis evaluasi program apa yang akan dilakukan. Ada empat jenis evaluasi program yaitu evaluasi reflektif, evaluasi rencana, evaluasi proses dan evaluasi hasil. Sedangkan pada tahap pemantauan atau monitoring pelaksanaan evaluasi, seorang evaluator sebaiknya menentukan sasaran, teknik dan alat, pelaku yang terlibat dalam pemantauan serta perencanaan pemantaunnya (Suharsimi, 2012: 106)..
2.5 Hasil Kajian yang Relevan
Hasil penelitian Adri Margono (2007), Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru SMK Mata Pelajaran Bimbingan Konseling di LPMP DIY, menyatakan bahwa pelaksanaan diklat tergolong baik, dibuktikan dengan para pengajar telah membuat persiapan mengajar, penilaian dari responden untuk pengajarnya baik dan pengelolaan diklat juga tertangani dengan baik. Meskipun hasil dari pretest belum ditinjaklanjuti, namun sekitar 80% responden menyatakan bahwa baik untuk tingkat efektivitas pengelolaan dan penyelenggaraan diklat tersebut.
Wasimin (2009), dari hasil studinya tentang Pemberdayan Guru Bahasa Inggris Pada Sekolah Menengah Kejuruan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SMK-RSBI) Di Indonesia, menerangkan bahwa: (1) kedua lembaga pelatihan telah memiliki komitmen yang baik terkait dengan pemberdayaan tenaga pendidik/guru, termasuk guru bahasa Inggris SMK-RSBI, baik scara konseptual maupun operasionalnya, (2) pelatihan dalam rangka pemberdayaan guru bahasa Inggris masih bersifat parsial dan temporer, (3) kepemilikan empat kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa Inggris SMK-RSBI belum terwujud, (4) diperlukan pengembangan model pemberdayaan guru bahasa Inggris SMK-RSBI yang lebih baik.
Hasil penelitian dari Sumardi (2009), Efektivitas Program Revitalisasi MGMP Bahasa Inggris Sebagai Media Pembinaan Profesionalisme Guru, menyatakan bahwa (1) adanya reaksi positif setiap peserta terhadap implementasi program revitalisasi MGMP telah mempengaruhi tingkat penguasan pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai peserta, (2) penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tidak serta merta membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta program revitalisasi MGMP, (3) secara keseluruhan implementasi program revitalisasi MGMP telah mampu meningkatkan wacana pengetahuan dan ketrampilan peserta tentang landasan filosofis dan teoritis pembelajaran bahasa Inggris, (3) kurangnya motivasi sebagian peserta mengakibatkan praktik pembelajaran yang dilakukan tidak banyak berubah, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa MGMP belum mampu secara efektif dan optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai media pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru.
Hacer H. Uysal ( 2012), hasil studinya tentang „Evaluation of an In-service Training Program for Primary-
school Language Teachers in Turkey
,‟ menyatakan bahwa „Findings indicate that although the teachers’
attitudes are positive towards the course in general, the
program has limitations especially in terms of its
planning and evaluation phases, and its impact on
tecahers’ practices.‟ Artinya adalah hasil temuan
mengindikasikan bahwa meskipun secara umum sikap guru positif terhadap pelatihan, program pelatihan mempunyai keterbatasan terutama dalam hal perencanaan dan tahap evaluasi, dan pengaruhnya pada praktek guru.
Sedangkan hasil studi dari Herlina Wati (2011) tentang „The Effectiveness Of Indonesian English
Teachers Training Programs In Improving Confidence And
Motivation,‟ menyatakan bahwa „The research findings
revealed that English language training program was
highly effective in terms of overall effectiveness and in
improving teachers’ confidence and motivation as EFL
teachers. But in terms of improving the basic English
knowledge as the most important aspect for being
effective EFL teachers was still not effective yet. This
aspect becomes the essential needs of teachers for
attending the next training program as stated by the
majority of teachers that they need basic English