HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN tua TERHADAP
FAKULTAS TEKNIK PRODI TEKNIK LINGKUNGAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Achmad Yani Km. 36 FakultasTeknik UNLAM Banjarbaru 70714, Telp : (0511)
4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan, Indonesia
HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP PENULARAN TUBERKULOSIS (TB) DI DESA PASAYANGAN MARTAPURA KABUPATEN BANJAR
Disusun Guna Memenuhi Tugas Besar Mata Kuliah Epidemiologi
Dosen Pembimbing Prof. Dr. Qomariyatus S, ST., M.Kes dan Nova Annisa, M.Si.
OLEH : NURSELA ISTIQOMAH H1E114051 DINA PUSPITA SARI
H1E114208 LINDA SINAGA
H1E114230
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN BANJARBARU 2015
Ucapan t erim akasih kepada :
Rektor Universitas Lambung Mangkurat
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
NIP. 19660331 199102 1 001
Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, S.T., M.T.
NIP. 19750719 200003 1 002
Kepala Prodi Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Rony Riduan, ST., MT. NIP. 19761017 199903 1 003
Dosen Mata Kuliah Epidemiologi Dosen Mata Kuliah Epidemiologi
Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp., S.T., Mkes.
Nova Annisa, M.Si NIP. 19780420 200501 2 002
. Nursela Istiqomah
Dina Puspita Sari
Linda Sinaga
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan Laporan Penelitian Epidemiologi yang berjudul “Hubungan Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan TB Di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan Laporan Penelitian ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nova Annisa, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam pembuatan Laporan Penelitian Epidemiologi ini. Serta dari teman sekelompok dengan mencari berbagai materi-materi yang bisa dijadikan sebagai isi di dalam tugas ini dan akhirnya tantangan itu bisa teratasi dengan baik dan lancar. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Penelitian Epidemiologi ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa Laporan Penelitian Epidemiologi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan Laporan Penelitian Epidemiologi selanjutnya.
Banjarbaru, Desember 2015
PENULIS
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai Warna Kaca Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru…….………………21
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya mengarah pada kasus Multi-Drug Resistance (MDR). Tuberkulosis (TB) pada kualitas lingkungan yang buruk sangat mempengaruhi kecepatan penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis . Kualitas lingkungan sangat mempengaruhi penyebaran kuman TB di tempat tinggal masyarakat setempat.
Penyakit TB paru ini mudah menular, dan cara penularan biasanya terjadi melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei dari orang penderita TB paru yang infeksius, yaitu pasien TB paru BTA positif. Mengingat Tuberculosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka harus diperiksa 3 spesimen dalam waktu 2 hari berturut – turut yaitu Sewaktu- Pagi-Sewaktu ( SPS ). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan diketemukannya BTA (Basil Tahan Asam) pada pemeriksaan dahak. Secara mikroskopis, hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Penderita yang kumannya tidak ditemukan dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA negatif) sangat tidak menular. TB Paru BTA (-) di bagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Batuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau “milier”) dan keadaan umum penderita batuk (Depkes RI, 2007).
Faktor resiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi kelompok faktor risiko, yaitu faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan ketinggian) (Ahmadi, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah sistem sirkulasi dan sistem pernafasan. Faktor lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit termasuk tuberkulosis paru. Dari identifikasi masalah di atas dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah hubungan antara kualitas lingkungan terhadap penularan TB di Desa Pasayangan Martapuran Kabupaten Banjar ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan kualitas lingkungan tehadap penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebaran TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar
3. Pencegahan penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Bagi Masyarakat Dapat meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya para penderita TB
dalam pelaksanaan pengobatan serta meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB.
2. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai penyakit TB.
3. Bagi Instansi atau Puskesmas Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran bagi program pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru terutama untuk menentukan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi program.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Sejarah Tuberkulosis
Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang belakang manusia dengan tanda spondylitis tuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan. Galenus dokter di zaman Romawi berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin (1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB adalah penyakit menular tetapi penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882 menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895 menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. Permulaan abad ke-20 semua sarana diagnosis TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain (Lyanda, 2012).
Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini sudah ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000 – 20.000 tahun yang lalu yang dapat kita temukan dalam berbagai peninggalan Mesir kuno, beberapa bentuk kelainan tulang belakang sesuai TB spinal pada mummi. Di Indonesia catatan paling tua ditemukan pada salah satu relief candi yang menggambarkan kasus TB. Setelah ditemukannya Postulat Koch keberadaan suatu penyebab penyakit membuat manusia menyadari tentang keberadaannya merupakan masa dimana penyakit infeksi mulai mewabah dan memakan banyak korban (Global Tuberculosis Institute).
Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk dunia dan pada sebagian besar negara di dunia tidak dapat mengendalikan penyakit TBC ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan (DepKes RI, 2001). Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis tipe Humanus . Kuman tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Jenis kuman tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium Africanum dan MycobacteriumBovis . Basil tuberkulosis termasuk dalam genus Mycobacterium , suatu anggota dari family dan termasuk ke dalam ordo Actinomycetales . Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan juga penyebab terjadinya infeksi tersering (Stanford dkk, 1994).
Di Indonesia Tuberkulosis masih merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. (DepKes, 2007).
Indonesia menduduki rangking 4 dari 22 negara Negara yang mempunyai beban tinggi untuk TB dan memberikan kontribusi jumlah kasus TB di dunia sebesar prevalensi TB - 730.000/tahun. Kematian akibat TB – 67,000 orang/tahun. diobati oleh program - 44.4% dan 5 propinsi terbanyak dengan TB diobati diantaranya; DKI Jakarta 68.9%,Yogyakarta 67,3%, Jawa Barat 56,2%, Sulawesi Barat 54,2%, Jawa Tengah 50,4 %. Beban TB Global dan TB Indonesia, dari angka kesakitan TB global 25,205 sakit/hari,11.050 sakit/jam 17 sakit/menit dan TB Indonesia 1,464 sakit TB/hari, 61 sakit TB/jam, 1 sakit TB/menit. Sedangkan angka kematian TB Global 4,657 mati/hari,194 mati/jam, 3 mati/ menit dan angka kematian TB Indonesia 241 mati/hari, 10 mati/jam, 1 mati/6 menit. Fakta-fakta TB diantaranya:
1. TB membunuh satu juta pertahun dan lebih dari 250.000 mereka meninggal di usia produktif,
2. TB membunuh lebih dari100.000 anak setiap tahun,
3. 10 % wanita pada usia produktif meninggal karena TB,
4. Pembunuh wanita terbanyak dibandingkan semua kombinasi penyebab kematian pada wanita,
5. TB membunuh lebih dari 100.000 anak setiap tahunnya. Di Indonesia, penyakit ini merupakan pembunuh ke dua setelah penyakit kardiovaskuler dan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Setiap tahun diperkirakan sekitar 450.000 kasus TB Paru terjadi di Indonesia dengan jumlah kematian sekitar 175.000 per tahun. Padahal upaya untuk mengendalikannya telah dilakukan sejak lama dan tidak pernah berhenti hingga kini.
2.2 Pengertian TB
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB ( mycobacterium tuberculosis ), sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant (tidur lama) beberapa tahun (DepKes RI, 2005).
Penyakit TBC ini diakibatkan infeksi kuman mikrobakterium tuberkulosis yang dapat menyerang paru, ataupun organ-organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, sampai otak. TBC dapat mengakibatkan kematian dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan kematian tertinggi di negeri ini. (Gklinis, 2004).
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis . Penyakit ini ditularkan melalui udara yaitu lewat percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit TB paru biasanya menyerang paru dan dapat pula menyerang organ tubuh yang lain. TB paru masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif dan kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Aditama, 2002).
Basil–basil tuberkel di dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme berbentuk batang, dengan panjang berfariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter
0,3 – 0,6 mikron. Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti manik-manik atau bersegmen. Basil tuberkulosis dapat bertahan hidup selama beberapa minggu dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi terhadap antiseptik, tetapi dengan cepat menjadi inaktif oleh cahaya
matahari, sinar ultraviolet atau suhu lebih tinggi dari 60 0 C (Miller, 1982). Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas ( droplet infection ) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer. Selanjutnya menyebar ke getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks. Infeksi primer dan primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan (Soemirat, 1982).
2.3 Sumber PenularanTB
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat menularkan kepada orang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita, penyebaran kuman dalam udara yang dikeluarkan bersama dahak berupa droplet di udara sekitar penderita TB. Penderita TB yang mengandung banyak sekali kuman dapat dilihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat menular. Penderita yang kumannya tidak ditemukan dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA negatif) sangat tidak menular (DepKes RI, 2005).
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatip (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita
Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya gizi buruk atau HIV/AIDS (Fatimah, 2008).
Penderita TB BTA positif menularkan kuman ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi debu yang mengandung kuman tuberculosis dan dapat bertahan di udara beberapa jam. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain. Jika kuman tersebut telah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, kemudian membelah diri (berkembang biak), maka dapat terjadi infeksi (DepKes RI, 2005).
Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif adalah besar kemungkinannya terpapar terpapar dengan kuman tuberculosis . Orang yang telah terinfeksi belum tentu langsung mejadi sakit, sementara waktu kuman berada dalam tubuh dalam keadaan dormant (tidur) dan dapat ditentukan dengan tes tuberculin . Orang menjadi sakit biasanyadalam waktu paling cepat sekitar 3–
6 bulan setelah terjadi infeksi. Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita TB sepanjang sisa hidupnya. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk atau HIV/AIDS (Murti, 2014).
Dengan diketahui penyebab penyakit tuberkulosis disebabkan oleh suatu bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat diupayakan berbagai tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang terkait dengan penyakit ini. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat menyebar dari seseorang penderita ke orang laian melalui udara. Pada umumnya menginfeksi paru paru, namun dapat juga menginfeksi bagian lain seperti otak, tulang, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini dapat diobati, namun dapat menyebabkan kematian jika tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (WHO, 2009).
2.4 Klasifikasi TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat ( undertreatment ) sehingga mencegah timbulnya resistensi
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu ( overtreatment ) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif ( cost-effective )
3. Mengurangi efek samping
Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis Paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
2. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan Berikut adalah klasifikasi TB Paru berdasarkan tingkat keparahanan penyakit :
1. TB Paru BTA Negatif Foto Toraks Positif Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” ), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB Ekstra Paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1. Kasus Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus Kambuh ( Relaps ) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus Putus Berobat ( Default/Drop Out/DO ) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus Gagal ( Failure ) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan ( Transfer In ) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (DepKes RI, 2007)
2.5 Cara Penularan TB
Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak ( droplet nuclei ), dimana sekali batuk atau bersin dapat menghasilkan 3000 percikan dahak, percikan ini dapat bertahan lama, dalam keadaan lembab namun dengan sinar matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula kuman yang dapat dikeluarkan (DepKes RI, 2006).
Penularan biasanya melalui udara, yaitu secara inhalasi “ droplet nucleus ” yang mengandung basil TB. Droplet dengan ukuran 1 – 5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas kemudian mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolu s. Beberapa penelitian menyebutkan 25 % - 50 % angka terjadinya infeksi pada kontak tertutup (Simanjuntak, 1990).
Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan awal, hal ini memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah (Djasio,1989). Sebagian basil TB difagositosis oleh makrofag di dalam alveolus tapi belum mampu membunuh basil tersebut, sehingga basil dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe regional, sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh, dan di dalam organ tersebut akan terjadi proses dan transfer antigen ke Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan awal, hal ini memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah (Djasio,1989). Sebagian basil TB difagositosis oleh makrofag di dalam alveolus tapi belum mampu membunuh basil tersebut, sehingga basil dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe regional, sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh, dan di dalam organ tersebut akan terjadi proses dan transfer antigen ke
8 minggu tubuh melakukan mekanisme pertahanan secara cepat. Pada sebagian anak-anak atau orang dewasa mempunyai pertahanan alami terhadap infeksi primer sehingga secara perlahan dapat sembuh. Tetapi kompleks primer ini dapat lebih progresif dan membesar yang pada akhirnya akan muncul menjadi penyakit tuberkulosis setelah 12 bulan. Kurang lebih 10 % individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit terutama pada balita, pubertas dan akil balig dan keadaan-keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas seperti infeksi HIV, penggunaan obat-obat imunosupresan yang lama, diabetes melitus dan silikosis. Fokus primer yang terjadi dapat melebur dan menghilang atau terjadi perkejuan sentra yang terdiri atas otolitis sel yang tidak sempurna. Lesi-lesi ini akan pulih spontan, melunak, mencair atau jika multifikasi basil tuberculosis dihambat oleh kekebalan tubuh dan pengobatan yang diberikan, maka lesi akan dibungkus oleh fibroflas dan serat kolagen. Proses terakhir yang terjadi adalah hialinasi dan perkapuran. Jika lesi berkembang, maka darah pekejutan akan membesar secara lambat dan sering kali terjadi perforasi ke dalam bronkus, mengakibatkan pengosongan bahan setengah cair tersebut sehingga terbentuk rongga di dalam paru-paru. Sebagian besar orang yang telah terinfeksi (80 – 90 %), belum tentu menjadi sakit tuberkulosis. Untuk sementara, kuman yang ada dalam tubuh berada dalam keadaan dormant (tidur), dan keberadaan kuman dormant tersebut diketahui hanya dengan tes tuberkulin. Mereka menjadi sakit (menderita tuberkulosis) paling cepat setelah 3 bulan setelah terinfeksi, dan mereka yang tidak sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberkulosis sepanjang hidupnya (Soemirat, 2000).
Menurut Prasetyowati, I. dan Chatarina. U. W. (2009) sinar matahari dapat membunuh bakteri penyakit, virus dan jamur, hal ini sangat berguna untuk perawatan penyakit TBC, keracunan darah, asma saluran pernafasan, hingga pembinasaan beberapa virus penyebar kuman mampu dibinasakan oleh sinar ultra violet ini. Bakteri di udara mampu dibinasakan oleh sinar matahari dalam waktu singkat. Sedangkan menurut Ardi. M. dan Linda. A. (2010) menyebutkan Menurut Prasetyowati, I. dan Chatarina. U. W. (2009) sinar matahari dapat membunuh bakteri penyakit, virus dan jamur, hal ini sangat berguna untuk perawatan penyakit TBC, keracunan darah, asma saluran pernafasan, hingga pembinasaan beberapa virus penyebar kuman mampu dibinasakan oleh sinar ultra violet ini. Bakteri di udara mampu dibinasakan oleh sinar matahari dalam waktu singkat. Sedangkan menurut Ardi. M. dan Linda. A. (2010) menyebutkan
2.6 Gejala-gejala Penularan TB
Gejala-gejala Tuberkulosis adalah sebagai berikut :
1. Batuk berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih,
2. Dahak bercampur darah,
3. Sesak nafas dan rasa nyeri di dada,
4. Badan terasa lemah,
5. Kehilangan nafsu makan dan berat badan. Gejala klinis penyakit Tuberkulosis, yaitu:
1. Gejala Klinik Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
local dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat), dimana gejala tersebut adalah batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri pada bagian dada. Gejala ini sangat bervariasi: tegantung dari berat atau tidaknya luas lesi yang ditimbulkan oleh kuman tersebut. Gejala Sistemik, dapat berupa demam, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun.
2. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru Misalnya, pada lifadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran pada organ
limfa, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sesuai dengan organ yang terserang (Perhimpunan Dokter Paru, 2006). Riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis, apabila tidak mendapatkan pengobatan sama sekali, dalam kurun waktu lima tahun adalah sebagai berikut: - Pasien 50 % meninggal - 25% akan sembuh dengan daya tahan tubuh yang tinggi -
25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (DepKes RI, 2006). Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan 25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (DepKes RI, 2006). Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS) (Fatimah, 2008).
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksan dahak SPS diulang.
1. Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.
2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan dahak SPS diulangi Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spectrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 – 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
1. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.
2. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB Paru.
a. Bila hasil rontgen mendukungTB Paru, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif.
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB Paru. UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada (Fatimah, 2008).
Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru (Fatimah, 2008).
2.7 Faktor-faktor Penularan TB
Subaeti (2005 ) , yang melakukan penelitian tentang faktor risiko TB paru pada petugas mikroskopis di kabupaten Kebumen menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,08 dan umur berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,06. Selanjutnya, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara lingkungan fisik rumah seperti kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, kelembaban, dan jenis lantai telah dilakukan oleh Sugiharto (2004) yang menemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian Subaeti (2005 ) , yang melakukan penelitian tentang faktor risiko TB paru pada petugas mikroskopis di kabupaten Kebumen menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,08 dan umur berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,06. Selanjutnya, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara lingkungan fisik rumah seperti kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, kelembaban, dan jenis lantai telah dilakukan oleh Sugiharto (2004) yang menemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit ( agent ), pejamu ( host ), dan lingkungan ( environment ):
1. Agent Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit
timbul atau manifest , tetapi agent sendiri tidak sufficient /memenuhi/mencukupi syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest . Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis . Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya patogenitas, infektifitas dan virulensi. Patogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host . Patogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak di dalmnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host . Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
2. Host Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam (lawan dari percobaan) host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah : arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam (lawan dari percobaan) host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
b. Umur Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua. Umur produktif sangat berbahaya terhadap tingkat penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan sekitar tempat tinggal. (DepKes RI, 2001).
c. Kondisi sosial ekonomi WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (DepKes RI, 2001).
d. Kekebalan Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan. Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG ( Bacillis Calmette Guerin ). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
e. Status gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori e. Status gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori
f. Penyakit infeksi HIV Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler
( cellular immunity ) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula (Departemen Pekerjaan Umum, 1986).
3. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain (Azwar, 1995) :
a. Kepadatan Penghuni Rumah Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian
tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya (Smith dan Moss , 1994).
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO 2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis . Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO 2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis . Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB paru dengan BTA (+). Kuman TB paru cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita TB paru anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Behrman, et al 2003).
Daerah perkotaan ( urban ) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan ( rural ), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih besar. Sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan ( susceptible ) akan terpapar dengan penderita TB paru menular lebih tinggi pada wilayah yang pada penduduknya walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak padat (Karyadi et al, 2006).
Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit TB paru di dalam rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita TB paru aktif dan tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama kelompok yang rentan seperti bayi dan balita, semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar risiko penularan (Karyadi et al, 2006).
b. Kelembaban Rumah Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C – 300C (Soedjajadi, 2005). Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi (DepKes RI, 1994). Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme yang ideal antara 180C – 300C (Soedjajadi, 2005). Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi (DepKes RI, 1994). Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme
Kelembaban di dalam rumah menurut Depatemen Pekerjaan Umum (1986) dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu : - Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp ) - Merembes melalui dinding ( percolating damp ) - Bocor melalui atap ( roof leaks )
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atausaluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambunganpondasi dengan dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersediaventilasi yang cukup.
c. Ventilasi Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknyaudara
juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udaradi dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10%luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya (DepKes, 1989).
Ventilasi rumah sangat berperan dalam penularan penyakit TB Paru didalam keluarga. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu atau jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas lantai (Soesanto dkk, 2000).
Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman
keseimbangan O 2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 0 2 di dalam rumah yang berarti kadar CO 2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat, - Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban ( humidity ) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 – 70% kelembaban yang lebih dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen (penyebab penyakit),
- Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
- Lingkungan perokok dapat menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi. Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan
kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau anorganik (DepKes RI, 1994).
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan dari bakteri- bakteri,terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situselalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa olehudara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidakmemenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya prosespertukaran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
d. Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai
daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Koch (1843-
1910). Dari hasil penelitian dengan melewatkan cahaya matahari pada berbagai warna kaca terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis didapatkan data sebagaimana pada tabel berikut (Azwar, 1995). Tabel 2.1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai Warna Kaca Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru.
Warna Kaca Waktu mematikan (menit) Hijau
45 Merah
20 – 30 Biru
10 – 20 Tak Berwarna
5 – 10 Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit
tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994).
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Sri Soewati, 2000).
e. Suhu Udara Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal
pertumbuhan bakteri sangat bervariasi. Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim, 1999).
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa suhu udara bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan suhu (OR 2,674). Selanjutnya, Atmosukarto dan Soewasti (2000) yang melakukan penelitian tentang pengaruh lingkungan permukiman dengan kejadian TB paru menemukan bahwa suhu ruangan memberikan pengaruh terhadap kejadiaan TB paru dengan OR sebesar 5,126. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki rumah dengan suhu <
18 o atau > 30 memiliki risiko terkena TB paru sebesar 2,7 an 5,1 kali dibandingkan dengan suhu ruangan 18-30 o C.Suhu udara yang ideal dalam