Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

(1)

AIMAI DALAM IMPLIKATUR PERCAKAPAN BAHASA

JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK

TESIS

Oleh

LISAMAYASARI

117009008/LNG

117009008/LNG

TESIS

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

AIMAI DALAM IMPLIKATUR PERCAKAPAN BAHASA

JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

LISAMAYASARI

117009008/LNG

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : AIMAI DALAM IMPLIKATUR PERCAKAPAN BAHASA JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK Nama Mahasiswa : Lisamayasari

Nomor Pokok : 117009008 Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Bahasa Jepang

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Agus S. Suryadimulya, M.A.) (Dra.Siti Muharami M., M. Hum)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, MA)


(4)

Telah diuji

pada tanggal 8 Oktober 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Agus Suherman Suryadimulya, M.A. Anggota : 1. Dra. Siti Muharami Malayu, M.Hum.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. 4. Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D.


(5)

PERNYATAAN

TESIS

AIMAI DALAM IMPLIKATUR PERCAKAPAN BAHASA JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Oktober 2013


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai aimai dalam implikatur percakapan bahasa Jepang. Untuk menghindari konflik dan menyamarkan ketidaksetujuan, masyarakat Jepang menggunakan kesamaran yang disebut aimai. Implikatur terjadi karena adanya pelanggaran prinsip percakapan. Konsep aimai sebagai bagian dari budaya dan norma dalam berkomunikasi dalam masyarakat Jepang sangat erat kaitannya dengan konsep implikatur sehingga layak untuk dibahas . Sumber data dalam penelitian ini adalah film Kimi ni Todoke, dengan data berupa percakapan dalam film Kimi ni Todoke. Teori yang digunakan adalah Teori prinsip kerja sama Grice, teori prinsip kesantunan Leech, impikatur, dan aimai. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan catat, dan analisis data menggunakan teknik analisis heuristik. adapun hasil temuannya adalah: 1. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama adalah: 1) implikatur representatif, 2) implikatur direktif 3) implikatur ekspresif, dan 4) implikatur komisif. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kesantunan adalah: 1) implikatur representatif, 2) implikatur direktif, 3) implikatur ekspresif, 4) implikatur komisif. Aimai hanya terdapat dalam pelanggaran prinsip kerja sama dan muncul dalam implikatur menjelaskan, menggoda, menolak, melindungi, menjebak, menghindar, menyuruh, menolak. 2. Implikatur percakapan yang direalisasikan pada film Kimi ni Todoke dengan melanggar prinsip kerja sama terjadi karena adanya implikasi dan kepentingan penutur untuk menjelaskan, membela diri, melindungi, menjebak, menantang, menghindar, memberi tahu, menyuruh, menggoda, mengakui, memuji, menolak, berjanji, menghindar, dan menyalahkan. Adapun implikatur percakapan yang direalisasikan pada film Kimi ni Todoke dengan melanggar prinsip kesantunan terjadi karena adanya implikasi dan kepentingan penutur untuk memaksa, menyalahkan, menunjukkan, mengkritik, mengancam, dan menolak.


(7)

ABSTRACT

This research deals with aimai in Japanese conversation implicature. For hiding conflict and dissimulating disagreement, Japanese people use vagueness called

aimai. Speech implicature happens for the offense of conversation principles.

Aimai concept as the part of norm and culture of Japanese people is very related to implicature that it is proper to be investigated. The data resource for this research is Kimi ni Todoke movie, and the analized data is the conversation in the movie. The theories used in this research are the theory of cooperative principle of Grice, the theory of politeness principle by Leech, implicature, and aimai. This is a qualitative descriptive research using heuristic analysis technique. The results of this research are: 1. Conversational implicatures caused by the offense of cooperative principle are: 1) representative implicature 2) Directive implicature 3) expressive implicature 4) comissive implicature 2. The speech implicatures caused by the offense of politeness principle are: 1) representative implicature 2) Directive implicature 3) expressive implicature 4) comissive implicature and the realization is to threaten. Aimai is found only in the offense of cooperative principle seen in explaining, flirting, refusing, protecting, trapping, avoiding, and commanding implicature. Speech implicatures are realized in Kimi ni Todoke

movie by breaking the cooperative maxim for there are speaker’s implications and significancies for explaining, informing, commanding, flirting, admitting, complimenting, refusing, promising, avoiding, and blaming. Speech implicatures are realized in Kimi ni Todoke movie by breaking the politeness maxim for there are speaker’s implications and significancies for forcing, blaming, showing, critisizing, threatening, and refusing.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapat magister pada Program Studi Magister (S2) Linguistik, Konsentrasi Bahasa Jepang, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa mengucapkan salawat dan salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Selama proses, perngerjaan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena, selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Suherman Suryadimulya, M.A., sebagai Pembimbing I dan Ibu Dra. Siti Muharami Malayu, M.Hum. selaku pembimbing II. Selama penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Magister, Program Studi Linguistik beliau telah banyak memberikan pelajaran yang berharga. Beliau dengan penuh ketelitian dan perhatian memberikan bimbingan, masukan dan motivasi yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini.

Penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang konstruktif sehingga kajian ini dapat menjadi lebih baik ke depannya.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaian tesis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala doa, perhatian, bimbingan, arahan, serta dorongan yang telah diberikan kepada penulis oleh pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU beserta Staff Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Manager Linguistik Sekolah Pascasarjana USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Dr. Agus Suherman Suryadimulya, M.A. selaku Dosen Pembimbing Utama dan Ibu Dra. Siti Muharami Malayu, M.Hum. selaku Pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini serta memberikan dorongan dan motivasi.

5. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., Prof. Hamzon Situmorang, M.A., Ph.D, dan Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Dosen dan Penguji yang telah memberikan kebaikan dan dorongan serta motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan serta membangun logika berfikir penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

6. Kedua Orang tua penulis yang telah membesarkan dan membimbing dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

7. Adik Penulis, Ilham Pratama, yang telah memberikan dorongan semangat dalam penyelesaian tesis ini.

8. Angkatan 2011 Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU.

9. Dr. Balazs Huzska, M.A., yang telah memberikan dukungan dan menjadi inspirasi bagi penulis.

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki, membalas segala doa dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat meberikan kontribusi dalam kajian linguistik, khususnya yang berhubungan dengan implikatur percakapan dan aimai. Terima kasih.

Medan, September 2013 Penulis,

Lisamayasari NIM. 117009008


(11)

DAFTAR SINGKATAN bb bentuk biasa

bl bentuk lampau bn bentuk negatif bp bentuk perintah bs bentuk sopan

bsl bentuk sopan lampau bsn bentuk sopan negatif pa partikel akusatif pak partikel akhir kalimat pd partikel datif

pdi partikel direktif pg partikel genetif pi partikel instrumen pk partikel konkomitatif pkom partikel komparatif pl partikel limitatif pn penekanan ps partikel subjektif pt partikel

MC Maksim Cara

MKb Maksim Kebijaksanaan MKd Maksim Kedermawanan MKl Maksim Kualitas MKn Maksim Kuantitas MKs Maksim Kesederhanaan MKt Maksim Kesimpatian MP Maksim Penghargaan MPf Maksim Pemufakatan MR Maksim Relevansi


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR SINGKATAN ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka ... 7

2.2 Konsep ... 9

2.2.1 Kesantunan dan Konteks... 9

2.2.2 Implikatur ... 12

2.2.3 Aimai ... 14

2.3 Kerangka Teoretis... 17

2.3.1 Prinsip Kerja Sama... 17

2.3.1.1 Maksim Kuantitas... 18

2.3.1.2 Maksim Kualitas... 21

2.3.1.3 Maksim Relevansi... 22

2.3.1.4 Maksim Cara... 24

2.3.2 Prinsip Kesantunan... 25

2.3.2.1 Maksim Kesantunan Leech... 26

2.3 Deskripsi Singkat Film ‘Kimi ni Todoke’ ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 33

3.2 Data dan Sumber Data ... 34

3.3 Teknik Pengumpulan Data... 34

3.3.1 Pemilahan Data... 35

3.3.2 Teknik Analisis Data ... 36

3.4 Penafsiran dan Penyimpulan Hasil Penelitian... 37

3.5 Pemaparan Hasil Penelitian... 37

BAB IV PEMBAHASAN 4. 1 Pelanggaran Prinsip Percakapan dan Implikaturnya ... 38

4.1.1 Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikaturnya ... 38

4.1.1.1 Pelanggaran Maksim Kualitas ... 38

4.1.1.2 Pelanggaran Maksim Kuantitas ... 55

4.1.1.3 Pelanggaran Maksim Relevansi ... 60

4.1.1.4 Pelanggaran Maksim Cara ... 69

4.1.2 Pelanggaran Prinsip Kesantunan dan Implikaturnya... 79


(13)

4.1.2.2 Pelanggaran Maksim Kedermawanan ... 82

4.1.2.3 Pelanggaran Maksim Penghargaan ... 85

4.1.2.4 Pelanggaran Maksim Kesederhanaan ... 91

4.1.2.5 Pelanggaran Maksim Pemufakatan ... 93

4.1.2.6 Pelanggaran Maksim Kesimpatian ... 98

4.2 Realisasi Penggunaan Implikatur Percakapan pada Film ‘Kimi ni Todoke’... 100

4.2.1 Realisasi Implikatur Percakapan Akibat Pelanggaran Prinsip Kerja Sama ... 100

4.2.1.1 Realisasi Implikatur Percakapan Akibat Pelanggaran Maksim Kualitas ... 100

4.2.1.2 Realisasi Implikatur Percakapan Akibat Pelanggaran Maksim Kuantitas ... 107

4.2.1.3 Realisasi Implikatur Percakapan Akibat Pelanggaran Maksim Relevansi ... 110

4.2.1.4 Realisasi Implikatur Percakapan Akibat Pelanggaran Maksim Cara ... 113

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 126

5.2 Saran ... 127


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai aimai dalam implikatur percakapan bahasa Jepang. Untuk menghindari konflik dan menyamarkan ketidaksetujuan, masyarakat Jepang menggunakan kesamaran yang disebut aimai. Implikatur terjadi karena adanya pelanggaran prinsip percakapan. Konsep aimai sebagai bagian dari budaya dan norma dalam berkomunikasi dalam masyarakat Jepang sangat erat kaitannya dengan konsep implikatur sehingga layak untuk dibahas . Sumber data dalam penelitian ini adalah film Kimi ni Todoke, dengan data berupa percakapan dalam film Kimi ni Todoke. Teori yang digunakan adalah Teori prinsip kerja sama Grice, teori prinsip kesantunan Leech, impikatur, dan aimai. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan catat, dan analisis data menggunakan teknik analisis heuristik. adapun hasil temuannya adalah: 1. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama adalah: 1) implikatur representatif, 2) implikatur direktif 3) implikatur ekspresif, dan 4) implikatur komisif. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kesantunan adalah: 1) implikatur representatif, 2) implikatur direktif, 3) implikatur ekspresif, 4) implikatur komisif. Aimai hanya terdapat dalam pelanggaran prinsip kerja sama dan muncul dalam implikatur menjelaskan, menggoda, menolak, melindungi, menjebak, menghindar, menyuruh, menolak. 2. Implikatur percakapan yang direalisasikan pada film Kimi ni Todoke dengan melanggar prinsip kerja sama terjadi karena adanya implikasi dan kepentingan penutur untuk menjelaskan, membela diri, melindungi, menjebak, menantang, menghindar, memberi tahu, menyuruh, menggoda, mengakui, memuji, menolak, berjanji, menghindar, dan menyalahkan. Adapun implikatur percakapan yang direalisasikan pada film Kimi ni Todoke dengan melanggar prinsip kesantunan terjadi karena adanya implikasi dan kepentingan penutur untuk memaksa, menyalahkan, menunjukkan, mengkritik, mengancam, dan menolak.


(15)

ABSTRACT

This research deals with aimai in Japanese conversation implicature. For hiding conflict and dissimulating disagreement, Japanese people use vagueness called

aimai. Speech implicature happens for the offense of conversation principles.

Aimai concept as the part of norm and culture of Japanese people is very related to implicature that it is proper to be investigated. The data resource for this research is Kimi ni Todoke movie, and the analized data is the conversation in the movie. The theories used in this research are the theory of cooperative principle of Grice, the theory of politeness principle by Leech, implicature, and aimai. This is a qualitative descriptive research using heuristic analysis technique. The results of this research are: 1. Conversational implicatures caused by the offense of cooperative principle are: 1) representative implicature 2) Directive implicature 3) expressive implicature 4) comissive implicature 2. The speech implicatures caused by the offense of politeness principle are: 1) representative implicature 2) Directive implicature 3) expressive implicature 4) comissive implicature and the realization is to threaten. Aimai is found only in the offense of cooperative principle seen in explaining, flirting, refusing, protecting, trapping, avoiding, and commanding implicature. Speech implicatures are realized in Kimi ni Todoke

movie by breaking the cooperative maxim for there are speaker’s implications and significancies for explaining, informing, commanding, flirting, admitting, complimenting, refusing, promising, avoiding, and blaming. Speech implicatures are realized in Kimi ni Todoke movie by breaking the politeness maxim for there are speaker’s implications and significancies for forcing, blaming, showing, critisizing, threatening, and refusing.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam sebuah percakapan, pemahaman tentang implikatur mutlak diperlukan untuk dapat memahami makna tersirat suatu ujaran. Konsep mengenai implikatur ini dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown dan Yule, 1983:11). Implikatur percakapan adalah proporsi atau ‘pernyataan’ implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Grice, 1975:43). Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud penutur yang tidak dikemukakan secara eksplisit sehingga konsep implikatur digunakan untuk dapat menerangkan perbedaan antara hal yang diucapkan dengan hal yang diimplikasikan.

Implikatur suatu ujaran ditimbulkan akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan. Teori implikatur percakapan dicetuskan oleh Grice pada tahun 1975. Pencetusan konsep implikatur ini merupakan upayanya dalam rangka menanggulangi persoalan makna yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik.

Bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat tutur (speech comunity) tentunya tidak bisa terlepas dari penuturnya. Labov dalam Wardaugh (1994:119) menyampaikan bahwa speech comunity tidak hanya berpegang pada kesamaan bentuk bahasa yang dipakai oleh sekelompok penutur, tetapi juga di dalamnya


(17)

terkandung norma-norma yang dijunjung tinggi oleh para penutur bahasa. Norma yang berlaku pada suatu masyarakat tentunya sangat bervariasi. Dengan kata lain, suatu masyarakat sangat mungkin menjunjung norma yang berbeda dari masyarakat lain dalam penggunaan bahasa.

Maka tentunya dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Untuk dapat benar-benar berbahasa asing, seseorang tidak dapat hanya menjadi orang yang dwibahasa atau

bilingual, melainkan juga harus dwibudaya atau bicultural agar tidak merusak esensi budaya dalam suatu bahasa. Demikian juga agar dapat memahami bahasa Jepang dengan baik, harus pula memahami budaya yang melatarbelakanginya. Dengan memahami budaya Jepang, akan lebih mudah lagi bagi pembelajar bahasa Jepang untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa Jepang dengan lebih natural dan tidak kaku.

Salah satu karakteristik budaya Jepang yang terkenal dan berdampak jelas pada pola komunikasi masyarakatnya adalah konsep ambiguitas atau yang lazim dikenal dengan konsep aimai. Menurut Davies (2002: 9), Konsep aimai

merupakan keadaan lebih dari satu makna yang dimaksudkan, sehingga pada akhirnya malah menimbulkan ketidakjelasan, penjelasan yang sulit dipahami maupun keadaan yang dirasa samar.

Jadi sesungguhnya untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan serta keselarasan hidup itulah konsep aimai berperan pada komunikasi mereka sehingga bisa menghindari konflik yang mungkin akan merugikan semua pihak. Dalam kelompok akhirnya mereka belajar untuk lebih berhati-hati ketika berurusan dengan pikiran dan perasaan orang lain. Masyarakat Jepang sangat


(18)

waspada dalam menjaga atmosfer lingkungan mereka agar tetap harmonis. Masyarakat Jepang menggunakan konsep aimai ini dalam komunikasi sehari-hari mereka dengan semua orang yang ada di lingkungan mereka, bahkan dalam tahap menerapkan konsep tersebut secara instingtif.

Permasalahan yang sering terjadi adalah ketika pembelajar bahasa asing khususnya bahasa Jepang hanya mempelajari bahasa Jepang berdasarkan apa yang tertera di buku sehingga kemampuan berbahasa cenderung sangat formal. Padahal dalam situasi keseharian, bentuk bahasa formal sangat jarang digunakan. Ketika dihadapkan pada komunikasi yang sebenarnya, pembelajar bahasa Jepang cenderung menemukan kesulitan karena ternyata pola komunikasi dalam budaya masyarakat penutur asli bahasa tersebut berbeda dengan pola baku yang dipelajari. Permasalahan tersebut juga sering dikarenakan kurangnya pemahaman konteks percakapan secara pragmatis dikarenakan hanya terfokus pada segi semantis saja.

Konsep aimai sebagai bagian dari budaya dan norma dalam berkomunikasi dalam masyarakat Jepang sangat erat kaitannya dengan konsep implikatur yang telah dijelaskan sebelumnya. Misalnya pada contoh dalam penggalan percakapan pada film ‘’Kimi ni todoke’ berikut:

Konteks: Kuronuma yang suka rela berperan menjadi hantu pada acara jerit malam dalam rangka menyambut liburan musim semi, bersembunyi di balik pepohonan untuk menakut-nakuti teman-temannya. Kazehaya yang bertugas sebagai koordinator menemui Kuronuma dan bertanya

Kazehaya: hitori de kono tokoro kowakunai no?


(19)

Kuronuma: yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute.

Saya suka saat malam berakhir, lagi pula saya senang bisa menjadi hantu.

Kazehaya: obake no ni?

walaupun menjadi hantu?

Kuronuma: minna ni yorokonde moraeru kara, suggoku ureshiin desu.

Karena bisa menyenangkan semua orang, saya senang sekali. Jawaban Kuronuma ‘yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute’ melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas karena pertanyaan Kazehaya sebenarnya adalah ‘hitori de kono tokoro kowakunai no?’

yang berdasarkan maksim kuantitas cukup dijawab dengan ‘uun’ (tidak) jika memang tidak takut. Namun Kuronuma tidak menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ melainkan malah menerangkan bahwa ia suka suasana malam dan senang bisa menjadi hantu karena bisa menyenangkan semua orang.

Adapun aimai yang terdapat pada pernyataan Kuronuma adalah kalimatnya yang tidak selesai, yaitu ‘ureshikute’. Bentuk kata tersebut merupakan rentaikei, yang berarti seharusnya masih disambung dengan kata atau frasa lain, namun Kuronuma menghentikan kalimatnya pada kata ‘ureshikute’. Penggunaan bentuk ini karena penutur yaitu Kuronuma menganggap mitra tutur yaitu Kazehaya mampu menebak kemungkinan kata selanjutnya yang dimaksud oleh Kuronuma, yaitu yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute, zenzen kowakunain desu.


(20)

Jadi pelanggaran prinsip kerja sama pada konteks ini adalah pelanggaran prinsip kerja sama maksim kuantitas yang menciptakan implikasi kesantunan, sedangkan penggunaan aimai bertujuan untuk bersikap santun dengan tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Kuronuma sama sekali tidak merasa takut di malam hari. Apabila Kuronuma secara langsung menyatakan bahwa ia sama sekali tidak takut, maka hal tersebut akan melanggar prinsip kesantunan dan ia akan dianggap sombong. Apabila non penutur bahasa Jepang yang mendengar percakapan tersebut tentunya akan terasa aneh karena tidak ada jawaban secara eksplisit dari Kuronuma.

Melalui contoh yang telah dikemukakan dapat dilihat ada hubungan antara

aimai dengan implikatur percakapan yang terjadi dalam bahasa Jepang. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah implikatur percakapan dalam bahasa Jepang selalu terkait dengan aimai atau tidak. Karena itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai implikatur percakapan dan kaitannya dengan aimai dalam film ‘Kimi ni Todoke’

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

(1) Bagaimanakah konsep aimai direalisasikan dalam implikatur percakapan bahasa Jepang yang terdapat pada film Kimi ni Todoke? (2) Mengapakah implikatur tersebut direalisasikan dalam film Kimi ni


(21)

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

(1) mendeskripsikan aimai yang terdapat dalam implikatur percakapan dalam bahasa Jepang yang terdapat pada film Kimi ni Todoke, dan (2) menjelaskan penggunaan implikatur dalam film Kimi ni Todoke.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang sudah dicapai dalam penelitian ini antara lain : 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat menambah pengetahuan mengenai implikatur percakapan dan kaitannya dengan aimai dalam bahasa Jepang.

2. Dapat menjadi sumber data bagi penelitian yang berhubungan dengan bidang kajian linguistik bahasa Jepang.

1.4.2 Manfaat Praktis

1 Dapat menjadi suatu sumber pengetahuan bagi masyarakat mengenai ilmu bahasa Jepang.

2 Dapat menjadi sumber data dan pengetahuan khususnya bagi para pembelajar bahasa Jepang.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1Tinjauan Pustaka

Kajian pragmatik dan implikatur percakapan telah dibahas dalam berbagai penelitian terdahulu. Hasegawa (2010) dalam disertasinya membahas mengenai partikel fokus pada bahasa Jepang secara semantis dan pragmatis. Hasegawa menyatakan bahwa dalam bahasa Jepang terdapat tiga jenis partikel penting dalam penentuan makna pragmatis secara kontekstual, yaitu: 1) Exclusive particles berupa partikel -shika, -dake, -bakari 2) Scalar additive particles berupa partikel -sae, -desae, -made, dan 3) Contrastive particles berupa partikel -nado, -koso. Hal ini terkait dengan aimai yang dikaji penulis yang banyak di antaranya berupa partikel yang keberadaaannya dalam kalimat justru berfungsi mengaburkan makna dari kalimat itu sendiri.

Rustono (1998) dalam desertasinya meneliti implikatur percakapan sebagai penunjang pengungkapan humor di dalam wacana humor verbal lisan dalam bahasa Indonesia. Paparan dan argumentasinya mencakup pelanggaran prinsip kerja sama sebagai penyebab timbulnya implikatur percakapan yang memerankan fungsi sebagai penunjang pengungkapan humor. Tuturan para pelaku humor yang melanggar maksim-maksim kerja sama justru berpotensi menunjang pengungkapan humor karena berbagai implikatur yang dikandungnya.

Selain itu terdapat penelitian mengenai tindak tutur permintaan dalam film ‘Tokyo Love Story’ yang dikaji dalam tesis Syahri (2011). Hasil penelitian tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love


(23)

Story ini menunjukkan dalam interaksi masyarakat Jepang tuturan senioritas, yang lebih tua, majikan, atasan, gender laki-laki lebih cenderung menggunakan tuturan yang kurang sopan, sementara tuturan dalam interaksi yang digunakan oleh junior, lebih muda, pembantu, gender perempuan lebih cenderung menggunakan tuturan yang sopan dan disampaikan dengan jenis tuturan tidak langsung (ketidakterusterangan).

Dari penelitian komparatif yang dilakukan oleh Barnlund & Araki (1985:9) ditemukan bahwa bahasa Jepang menjadi lebih tidak langsung dalam situasi permohonan atau memuji. Hal ini menunjukkan bahwa ketidaklangsungan dalam bahasa Jepang terjadi tidak hanya dalam bentuk perintah. Ketidakterusterangan dan ketidaklangsungan dalam bahasa Jepang lebih lanjut akan dikaji dalam penelitian ini melalui pelangaran-pelanggaran maksim yang menghasilkan implikatur percakapan dan penggunaan aimai.

Kemudian Hadiati (2007) dalam tesisnya membahas mengenai tindak tutur dan implikatur percakapan tokoh wanita dan tokoh laki-laki pada film ‘The Sound of Music’, selain menjabarkan implikatur percakapan yang terdapat pada film ‘The Sound of Music’, Hadiati juga menemukan bahwa antara tindak tutur laki-laki dan perempuan pada film ‘The Sound of Music’ memiliki perbedaan, diantaranya perbedaan fungsi penggunaan question tag. Bagi wanita question tag berfungsi sebagai epistemic tag, facultating tag, dan softening tag. Sementara bagi laki-laki

question tag berfungsi sebagai challenging tag. Penelitian ini cukup berkaitan dengan yang akan penulis kaji dalam penelitian ini, namun pengaplikasian pada bahasa Jepang dan mengaitkannya dengan aimai tentunya akan menjadi penemuan yang berbeda.


(24)

Noguchi dan Harada (1992:219) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Semantic and Pragmatic Interpretation of Japanese Sentences with Dake (Only)’

menemukan bahwa kalimat dengan bentuk partikel+dake+kalimat selalu memiliki makna terbatas secara semantis, sementara bentuk kalimat dake+partikel+kalimat tidak selalu memiliki makna terbatas secara semantis, melainkan memiliki implikasi bahwa selain yang diikuti dengan dake, maka hal lain tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu kalimat dengan bentuk dake+partikel+kalimat dapat dipandang sebagai bentuk yang mengandung implikatur percakapan dengan pengaruh pragmatis bagi pendengarnya.

Dari penelitian-penelitian yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian mengenai pragmatik dan implikatur percakapan khususnya dalam bahasa Jepang telah banyak dilaksanakan. Akan tetapi belum ada yang mengaitkan aimai dengan implikatur percakapan dalam bahasa Jepang. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam percakapan bahasa Jepang, keberadaan aimai dalam implikatur percakapan akan dibahas dalam penelitian ini.

2.2Konsep

2.2.1 Kesantunan dan Konteks

Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Kesantunan terletak bukan pada bentuk dan kata-kata, melainkan pada fungsi dan makna sosial yang diacu. Jika penutur mengatakan bentuk yang lebih sopan daripada konteks yang diperlukan, mitra tutur akan menduga bahwa ada maksud khusus yang tersembunyi.


(25)

Kesantunan tidak sama dengan penghormatan yang menggunakan bentuk formal yang mengekspresikan adanya jarak dan penghargaan terhadap orang yang berstatus lebih tinggi, dan biasanya memasukkan unsur pilihan. Penghormatan sudah ada di dalam bahasa, seperti Korea ata Jepang, dan dapat dilihat pada kata ganti orang di beberapa bahasa di Eropa (bahasa Perancis: tu/vous). Namun sangat jarang dijumpai hal yang serupa secara gramatikal dalam bahasa Inggris, meskipun masih dapat ditemui bentuk penghormatan seperti penggunaan “Sir” dan “Madam”. Sangat dimungkinkan untuk mempraktekkan penghormatan tanpa harus menjadi sopan.

a. Konteks Situasi

Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut”. Misal, ketika kita hendak meminjam uang, kita cenderung mengatakan:

“Bisakah saya meminjam lima ratus ribu, kalau kamu sedang tidak memerlukannya sekarang?”

Jika uang yang dipinjam dalam nominal yang lebih kecil,

“apa saya bisa pinjam lima ribu rupiah untuk bayar fotokopian?” Konteks yang kedua adalah formalitas. Semakin formal sebuah situasi, semakin tidak langsung sebuah ujaran yang dihasilkan. Misal, ketika kita sedang dalam sebuah seminar dan kita terlibat dalam sebuah perdebatan, kita akan mengatakan,


(26)

“Bisakah saya melanjutkan apa yang sebelumnya saya sampaikan…”

Namun, ketika perdebatan terjadi diantara teman karib, kita akan mengatakan,

“Tunggu, aku belum selesai ngomong, …..” b. Konteks Sosial

Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas.

c. Konteks Budaya

Akan tetapi, hubungan antara ketidaklangsungan dan variabel sosial tidak sesederhana itu. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat.

2.2.2 Implikatur

Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jika hanya mengandalkan teori atau pemahaman semantik saja, makna suatu tuturan atau ujaran tidak bisa dipahami dan dimengerti dengan tepat. Ketidaktepatan pemahaman makna ujaran sangat berimbas pada tercapainya tujuan komunikasi. Tujuan komunikasi adalah agar pesan yang ingin disampaikan oleh penutur dapat diterima dengan benar oleh mitra tuturnya. Jika mitra tutur


(27)

hanya memahami pesan penutur secara semantis saja, komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik. Untuk dapat memahami dan menangkap maksud penutur, pemahaman mengenai konsep implikatur sangat diperlukan.

Dalam suatu percakapan, ujaran-ujaran yang diproduksi baik oleh penutur maupun mitra tuturnya memiliki maksud yang tidak hanya tersurat tetapi juga tersirat. Maksud tersurat suatu tuturan dapat dipahami dengan mencari arti semantis kata-kata yng membentuk ujaran tersebut dan dengan memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan dalam tuturan itu. Sementara itu, makna tersirat suatu ujaran tidak dapat dipahami hanya dengan aturan sintaksis maupun aturan semantik bahasa yang bersangkutan. Untuk itulah kemudian diperkenalkan konsep mengenai implikatur. Implikatur ini dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown and Yule, 1983:31).

Implikatur yang terdapat dalam suatu ujaran terealisasikan dalam sebuah percakapan sehingga dinamakan implikatur percakapan. Grice (1975:43) mengemukakan bahwa implikatur percakapan adalah proporsi atau ‘pernyataan’ implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

Lebih jauh Nababan (1987:28) menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi dalam proses komunikasi. Konsep ini kemudian digunakan untuk menerangkan perbedaan antara hal ‘yang


(28)

diucapkan’ dengan hal ‘yang diimplikasikan’. Jika dalam komunikasi, salah satu pihak tidak paham dengan arah pembicaraan tersebut, maka sering ditanyakan ‘Sebenarnya apa implikasi anda tadi?’. Dengan kata lain, implikatur ini digunakan untuk memecahkan permasalahan makna bahasa yang tidak bisa diselesaikan oleh pengetahuan sintaksis dan semantis saja.

Grice (1975:44) menyatakan bahwa ada dua macam implikatur yaitu (1)

conventional implicature (implikatur konvensional) dan (2) conversational implicature (implikatur percakapan).

Menurut Lyons (1995:272) implikatur konvensional adalah implikatur yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang sudah mengetahui maksud atau pengertian mengenai suatu hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Di lain pihak, implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap ‘hal yang dimaksud’ sangat bergantung pada konteks terjadinya percakapan, di mana dalam suatu percakapan ada prinsip-prinsip yang harus ditaati. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan.

Kelancaran komunikasi dalam kegiatan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan secara struktural. Akan tetapi, harus diperhatikan pula prinsip-prinsip penggunaan bahasa oleh penutur dan mitra tuturnya. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dan kesantunan dalam penggunaan bahasa, maka maksud penutur yang ingin disampaikan akan mudah diterima oleh mitra tutur. Meskipun demikian, seorang penutur tidak selamanya mematuhi prinsip-prinsip penggunaan bahasa tersebut. Ada kalanya justru seorang penutur


(29)

melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip-prinsip penggunaan bahasa. Penyimpangan ini menunjukkan adanya maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai oleh penutur. ‘Maksud-maksud tertentu’ yang muncul dalam suatu tindak percakapan inilah yang dinamakan implikatur percakapan.

Wujud implikatur berupa tindak tutur yang terbagi atas: 1) implikatur representatif dengan wujud menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, menyebutkan, memberi kesaksian, melaporkan, dan sebagainya, (2) implikatur direktif dengan wujud memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, memohon, menyarankan, mendesak, memberikan aba-aba, dan menantang, (3) implikatur ekspresif dengan wujud memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung (4) implikatur komisif dengan wujud berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul, dan (5) implikatur deklarasi dengan wujud memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, memaafkan (Rustono, 1999).

2.2.3 Aimai

Davies (2002:9) mendefinisikan aimai sebagai keadaan dimana sesuatu dirasakan samar. Untuk memahami nuansa aimai (ambigu) merupakan hal yang sulit bagi orang yang bukan penutur asli bahasa Jepang. Asal kata aimai sendiri dijelaskan oleh Haga (1996:22) bahwa 「曖昧」は「曖」も「昧」」「暗い」

という意味 (aimai wa ai mo mai kurai to iu imi), yang berarti aimai berasal dari


(30)

Oleh karena bermakna gelap dan samar-samar maka kalimat yang terucap cenderung tidak jelas apa makna yang sebenarnya ingin disampaikan dan menjadikan pendengar sulit memahami terutama bagi pembelajar bahasa Jepang karena makna yang ditimbulkan menjadi samar sehingga tercipta suasana ambigu.

Davies menjelaskan lebih jauh bahwa aimai tertanam tidak hanya pada saat penolakan, namun juga ketika menyampaikan pendapat terhadap suatu masalah, bahkan ketika membicarakan diri sendiri.

Kishie (2007) menyebutkan ada tiga alasan utama aimai sering digunakan oleh masyarakat Jepang ketika berkomunikasi, yaitu:

Mengapa kosa kata aimai dipergunakan? Alasannya adalah adanya keinginan untuk menghindari konflik-konflik yang tidak perlu terjadi dengan orang lain, keinginan untuk menciptakan jarak dengan lawan bicara, dan adanya ketakutan akan disakiti orang lain yang disebabkan oleh hubungan pertemanan yang rendah.

Tsuji (1999) menyatakan bahwa secara garis besar, tujuan penggunaan

aimai di dalam komunikasi adalah untuk memperhalus pernyataan penutur kepada mitra tutur. Selanjutnya Tsuji membagi fungsi dan penggunaan aimai ketika seseorang terlibat dalam sebuah komunikasi. Fungsi-fungsi tersebut diumpamakan sebagai sebuah siasat yang dapat memperlemah daya ikat hubungan antara individu, karena hubungan antara manusia bisa menentukan pikiran ucapan seseorang ketika berkomunikasi. Tsuji menyatakan:

‘Di sini saya akan menjelaskan tentang fungsi tersebut yang terbagi menjadi tiga bagian, pertama untuk merancukan isi pembicaraan, menjadikan subjek pembicaraan menjadi bentuk metabahasa, dan yang ketiga adalah melibatkan petutur sebagai rekan pelaku’

Dalam fungsi aimai untuk merancukan pembicaraan, Tsuji menyatakan bahwa kata-kata seperti toka, nantoka, demo, shi, dan sebagainya merupakan kata-kata yang dapat membuat makna utama dari suatu percakapan menjadi tidak jelas.


(31)

Dengan cara seperti itu maka penutur telah menggeser fokus yang dapat terkena efek samping eratnya hubungan antara individu (yaitu mempertanggungjawabkan kata-kata) dari dirinya kepada penutur.

Berikut merupakan contoh beberapa kata yang mengandung aimai yang sering digunakan dalam percakapan non formal bahasa Jepang (Kishie: 2007).

1) Kana

Contoh seperti pada kalimat berikut“chotto muzukashii kana mitaina” maupun “sono kakkou, mazui tte kanji”, juga digunakan agar pendapatkita tidak menjadi jelas.

2) Toka, Tari, dan Shi

toka’, ‘tari’ dan ‘shi’ biasanya digunakan ketika seseorang menyebutkan lebih dari dua contoh. Akan tetapi, kata-kata tersebut juga digunakan ketika menyebutkan satu buah contoh untuk membuat lawan bicara menyimpulkan sendiri contoh lainnya. ‘nanka’ juga memiliki fungsi seperti itu. Jenis-jenis ungkapan yang ambigu seperti ini sering muncul dalam percakapan.

3) Iisashi Hyougen

Keinginan dari penutur adalah petutur dapat menyimpulkan sendiri maksudnya. Hal ini adalah ciri khas dari iisashi hyougen. Biasanya digunakan pada saat menolak.

Dinyatakan juga oleh Haugh (2003:156-177) bahwa ketidakjelasan dan ketidaklangsungan tuturan dalam bahasa Jepang bisa dilihat dari:

1. Penggunaan indeksikal (misalnya are, sore, dan sebagainya) sebagai penanda subjek ujaran.


(32)

2. Penggunaan kedo;

3. Kecenderungan penggunaan pernyataan kemungkinan daripada kepastian, misalnya lebih sering digunakannya kata tabun (mungkin) dibandingkan dengan kata zettai (tentunya) sebagai ekspresi keraguan meskipun hal yang disampaikan diyakini kebenarannya.

Penggunaan pernyataan yang tidak selesai atau terpola seperti kangaete okimasu (‘Akan saya pikirkan terlebih dahulu’), atau asobi ni kite kudasai

(‘Silakan datang main ke rumah’).

2.3Kerangka Teoretis

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan teori mengenai prinsip percakapan.

2.3.1 Prinsip Kerja sama

Di dalam komunikasi yang wajar seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuntutannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise) dan selalu pada persoalan (stright forwarad) sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya saja.

Prinsip ini oleh Grice (1975) dinamakan prinsip kerja sama atau cooperative principle. Prinsip kerja sama Grice ini adalah: Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged. (Buatlah


(33)

kontribusi percakapan penutur sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang penutur ikuti).

Atau secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

Grice mengemukakan bahwa dalam melaksanakan prinsip kerja sama, ada empat maksim percakapan (conversational maxim) yang harus dipatuhi. Yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim elevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner). Maksim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2003:704) diartikan, “Pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran unum tentang sifat manusia, ...”.

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.

2.3.1.1Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Penutur akan memilih kalimat: Tetangga saya hamil, dibandingkan Tetangga saya yang perempuan hamil. Pada tuturan kedua, penggunaan yang perempuan sifatnya berlebih-lebihan. Kalimat pertama, lebih ringkas dan tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Semua orang tentu sudah tahu bahwa hanya wanitalah yang mungkin hamil.


(34)

Contoh lain dari tuturan yang melanggar maksim kuantitas adalah dalam penggalan percakapan berikut ini (Levinson, 1995:97).

X: Can you tell me the time?

Y: No, I don’t know the exact time of the presence moment, but I can provide some information from which you may be able to deduce the approximate time, namely the milkman has come.

Tuturan Y dikatakan melanggar maksim kuantitas karena kontribusinya dalam percakapan berlebihan. Dengan mengatakan ‘No, I don’t know the exact time of the presence moment, but I can provide some information from which you may be able to deduce the approximate time, namely the milkman has come’, kontribusi yang diberikan Y sangatlah berlebihan. Ketika X menanyakan waktu, Y cukup menjawab dengan mengatakan pukul berapa saat itu atau katakan ‘tidak tahu’ jika memang dia tidak tahu pasti. Jawaban X yang mengatakan bahwa dia tidak tahu secara pasti pukul berapa sekarang, tetapi dia bisa memberi petunjuk bagi X untuk bisa memperkirakan pukul berapa sekarang, misalnya dengan mengatakan bahwa tukang susu baru saja datang, sangatlah berlebihan. Hal ini melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas. Adanya pelanggaran maksim kuantitas ini memunculkan maksud tertentu. Maksud tertentu yang timbul akibat pelanggaran maksim kerja sama dalam suatu percakapan dinamakan implikatur percakapan. Implikatur percakapan yang mungkin dikandung Y pada penggalan percakapan adalah bahwa Y ingin merahasiakan sesuatu dari pihak lain sehingga Y tidak mengatakan secara langsung pukul berapa pada waktu itu.

Bagaimana maksim kuantitas ini sesungguhnya, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi. Jika Penutur membantu saya memperbaiki mobil,


(35)

saya mengharapkan kontribusi Penutur tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan Penutur mengambilkan saya empat obeng bukannya dua atau enam.

Dalam bahasa Jepang dapat dicontohkan sebagai berikut:

A: Ja, senshū no nōto mise-te-morai-tai-n-de, kyō kari-te-kaet-temo ii-desu ka?

(Jadi bolehkah saya melihat catatan minggu lalu dan meminjamnya hari ini?)

B: Senshū no nōto, a↓ hito ni kari- kashi-te-ru kara

(Catatan minggu lalu ya. Ah, soalnya sudah saya pinjamkan ke orang lain)

A: A, sō na-n-desu ka.

Oh, begitu ya.

(Xie dalam Haugh, 2008: 12)

Kontribusi B “Senshū no nōto, a↓ hito ni kari- kashi-te-ru kara” merupakan hal yang berlebihan karena A hanya bertanya apakah ia boleh meminjam catatan minggu lalu, sehingga sebenarnya B cukup menjawab boleh atau tidak. Namun yang dilakukan B adalah menyertakan alasan mengapa ia tidak bisa meminjamkan catatan tersebut, padahal A tidak bertanya. Dengan memberikan kontribusi berlebihan dalam percakapan, B bermaksud untuk tidak menyinggung A ketika B menolak permintaan A sehingga B menyebutkan alasan tanpa diminta.


(36)

2.3.1.2Maksim Kualitas

Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Dengan kata lain maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki nilai kebenaran dianggap melanggar prinsip kerja sama maksim kualitas. Dalam penggalan percakapan berikut ini, terdapat tuturan yang melanggar maksim kualitas (Levinson, 1995:110).

A: Teheran is in Turkey, isn’t it, teacher? B: And London’s in Armenia, I suppose.

Ujaran B ‘And London’s in Armenia, I suppose’ merupakan ujaran yang melanggar maksim kualitas. Ujaran B tidak menaati maksim kualitas karena ujarannya tidak memiliki nilai kebenaran. Dengan mengatakan bahwa London berada di Armenia, B melanggar maksim kualitas karena London tidak berada di Armenia. London merupakan ibu kota negara Inggris sehingga tidak mungkin berada di Armenia. Adanya pelanggaran maksim kualitas pada penggalan percakapan itu, mengindikasikan adanya implikatur percakapan. Implikatur percakapan yang muncul akibat pelanggaran ini adalah bahwa B ingin menunjukkan pada A, apa yang A katakan adalah sesuatu yang salah.

Atau pada wacana lainnya, pelanggaran maksim kualitas ditujukan untuk mendapatkan efek lucu (comic effect).


(37)

- Ayam berkepala kambing.

2.3.1.3Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikamn kontribusi yang reklevan dengan masalah pembicaraan. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar maksim relevansi. Penggalan percakapan berikut ini mengandung tuturan yang melanggar maksim relevansi (Levinson, 1995:111).

A: I do think Mrs. Jenkins is an old windbag, don’t you? B: Huh, Lovely weather for March, isn’t it?

Tuturan B ‘Huh, Lovely weather for March, isn’t it?’ dikatakan melanggar maksim relevansi karena tuturan tersebut tidak memberikan kontribusi yang relevan terhadap tuturan A. Pada saat A mengatakan bahwa Bu Jenkins adalah seorang pembual, B seharusnya memberikan respon mengiyakan jika memang B setuju dengan pernyataan A atau membantah tuturan tersebut jika memang sebaliknya. Pada kenyataannya B menjawab dengan mengatakan bahwa cuaca bulan Maret menyenangkan. Tuturan B ini jelas melanggar maksim relevansi karena tuturan tersebut tidak memberikan kontribusi yang relevan terhadap tuturan A sebelumnya. Adanya pelanggaran maksim relevansi ini memunculkan maksud lain. Maksud yang ingin disampaikan B dengan melanggar maksim relevansi ini adalah mengingatkan agar A berhati-hati karena mungkin keponakan bu Jenkins yang berdiri di belakangnya.

Untuk maksim relevansi, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi sebagai berikut. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan


(38)

apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.

Dalam bahasa Jepang dapat dilihat contohnya sebagai berikut:

Yusuke yang merupakan teman Jun, sedang membicarakan sepak bola. Y : Zerokussu Suupaa Kappu o mi-ni ika-nai?

(Nonton Xerox Super Cup, yuk.) J : Dono chiimu?

(Tim mana (yang bertanding)?) Y : Jubiro tai guranpasu

(Jubiro versus Grandpus eight)

J : Zen Nippon dat-tara tobitsuku-n-da kedo ne..

(Kalau pertandingan nasional sih saya tertarik, tapi..) Y: A, sō ka.

(Oh, begitu ya) (Haugh, 2008:14)

Dalam percakapan antara Yusuke dan Jun, terlihat bahwa pernyataan Jun “Zen Nippon dat-tara tobitsuku-n-da kedo ne..” tidak ada hubungannya dengan ajakan Yusuke sehingga dapat dikatakan Jun melanggar maksim relevansi. Yang sebenarnya diimplikasikan oleh Jun adalah bahwa ia tidak tertarik dengan ajakan Yusuke untuk menonton pertandingan sepak bola tersebut.


(39)

2.3.1.4Maksim Cara

Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Berikut tuturan yang melanggar maksim cara (Levinson, 1995:112)

a. Miss Singer produced a series of sounds corresponding closely to the score of an aria from Rigoletto.

b. Miss Singer sang an aria from Rigoletto.

Pada tuturan a terjadi pelanggaran maksim cara submaksim kontribusi percakapan harus singkat. Ketika penutur mengatakan ‘Miss Singer produced a series of sounds corresponding closely to the score of an aria from Rigoletto’, maksud yang ingin disampaikan adalah sama dengan ‘Miss Singer sang an aria from Rigoletto’. Kedua ujaran tersebut sama-sama ingin menyatakan bahwa Nona Singer menyanyikan sebuah lagu. Pada kenyataannya ujaran yang dihasilkan adalah berbeda. Ujaran a melanggar prinsip kerja sama maksim cara dengan submaksimnya yaitu kontribusi dalam percakapan haruslah singkat. Ujaran ayang mengindikasikan adanya pelanggaran maksim cara ini mengandung implikatur. Implikatur ujaran ini adalah mengejek. Dalam ujaran a penutur mengatakan bahwa Nona Singer membuat suara-suara yang menyerupai sebuah nyanyian. Penutur tidak mengatakan bahwa Nona Singer menyanyi tetapi mengatakan bahwa Nona Singer hanya memproduksi suara yang menyerupai sebuah nyanyian.

Maksim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut.


(40)

Contoh:

Margie was crying. Her ballon had burst after hitting a branch. The wind had carried into a tree. It had suddenly caught in, though she’d been holding tightly onto it. It was Sunday, and her father had bought her e beautiful new ballon.

Wacana di atas, dinilai tidak runtut. Akan lebih baik kalau menggunakan wacana berikut ini yang jauh lebih logis.

It was Sunday, and her father had bought her a beautiful new ballon. It had suddenly caught it, thought she’d been holding tightly onto it. The wind had carried it into a tree. Her ballon had burst after hitting a branch. Margie was crying.

Untuk maksim cara, Grice (dalam Wijana, 1996:53) menganalogikan sebagai berikut. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara rasional.

2.3.2 Prinsip Kesantunan

Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Penuturan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson, namun pada penelitian ini penulis hanya menggunakan teori maksim kesantunan Leech. Prinsip kesantunan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim penghargaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan (modesty maxim), maksim pemufakatan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesantunan ini


(41)

berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Wijana, 1996).

2.3.2.1Maksim Kesantunan Leech a. Maksim Kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

1) Angkat meja itu!

2) Bisa tolong saya untuk mengangkat meja itu?

Tuturan 1) dinyatakan dalam perintah langsung sehingga terkesan tidak sopan, sementara perintah yang dimaksudkan pada tuturan 2) disamarkan dalam bentuk pertanyaan sehingga tidak terkesan memerintah. Karena itu tuturan 2) dinyatakan lebih sopan daripada tuturan 1).


(42)

b. Maksim Kedermawanan

Dengan Maksim kedermawanan, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

Siswa Baru: Maaf pak, di mana letak toilet ya? Tukang Kebun : Mari Nak, saya tunjukkan.

Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa tukang kebun berusaha memaksimalkan keuntungan pihak siswa baru dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mengantarkan siswa baru ke toilet.

c. Maksim Penghargaan

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.


(43)

Ibu: Oh ya? Tadi ibu juga dengar cerita dari Pak Bowo guru musikmu. Katanya kamu cepat sekali mengerti. Ibu senang sekali.

Pemberitahuan yang disampaikan anak terhadap ibunya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari ibunya sehingga menyenangkan hati anak.

d. Maksim Kesederhanaan

Di dalam maksim kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kesederhanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

Mita: Wah, kamu pintar sekali pelajaran Matematika. Setiap ulangan selalu dapat nilai 100. Saya dapat nilai 70 saja susah sekali.

Doni: Ah, tidak juga. Saya tidak sepintar itu, kok.

Dalam contoh di atas Doni tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Doni mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan: ”Ah, tidak juga.”


(44)

e. Maksim Pemufakatan

Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat pemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

Tamu : Wah, ruangannya panas ya.

Tuan Rumah : Iya ya. Sebentar saya nyalakan AC.

Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara tamu dan tuan rumah bahwa ruangan tersebut panas. Tuan rumah mengiyakan pernyataan tamu bahwa ruangan panas dan kemudian menyalakan AC agar ruangan menjadi lebih sejuk.

f. Maksim Kesimpatian

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai penutur kesimpatian. Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.


(45)

Eka: Hana, aku lulus tes wawancara di PT. Tiga Berlian. Hana: Wah, selamat ya.

Ucapan selamat yang diucapkan Hana sebagai respon pernyataan Eka memenuhi maksim kesimpatian karena berada pada kebahagiaan lawan bicaranya dengan cara mengucapkan selamat.

2.4 Deskripsi Singkat Film Kimi ni Todoke

Kimi ni Todoke adalah sebuah film drama Jepang yang diangkat dari sebuah komik manga dengan nama judul yang sama. Film ini bercerita tentang seorang siswi SMA yang tertutup dan kurang pergaulan. Sifatnya pendiam, lugu, dan penyendiri. Ia cenderung tidak bisa menyampaikan isi hatinya dengan baik. Perbuatannya sering disalah artikan oleh teman-temannya.

Siswi SMA ini bernama Kuronuma Sawako. Karena memiliki nama panggilan Sawako yang didukung dengan penampilannya yang misterius dengan rambut panjang tergerai ke depan, ia sering dipanggil dengan julukan Sadako (Film hantu Jepang "The Ring"). Hal itu juga menyebabkan beredarnya gosip di sekolah tersebut bahwa Kuronuma memiliki kemampuan supranatural yaitu bisa mendatangkan hantu dan dapat menghadirkan kutukan apabila seseorang menatap matanya lebih dari tiga detik. Kuronumapun dijauhi oleh teman-temannya. Bahkan wali kelasnya, Pin Arai, mendatanginya untuk membuktikan gosip tersebut. Namun hal tersebut tidak berlaku terhadap Kazehaya, teman sekelas Kuronuma yang sangat ramah dan populer. Kazehaya adalah orang yang pertama kali menyapa Kuronuma, dan memperlakukan Kuronuma sama seperti ia memperlakukan orang lain tanpa rasa takut atau menganggap Kuronuma aneh.


(46)

Persahabatan Kuronuma muncul disaat ia bertemu dengan Yoshida dan Yano. Mereka menjalin persahabatan yang dapat membuat Sawako menjadi lebih percaya diri dan mulai bisa mengungkapkan isi hatinya dengan teman-temannya. Namun satu per satu masalah timbul saat teman-teman Kuronuma terkena gosip miring dan Kuronuma dituduh sebagai penyebar berita tersebut. Kuronuma merasa serba salah untuk berada bersama teman-teman yang disukainya tersebut karena Kuronuma berpikir ia menjadi penyebab dari masalah yang terjadi. Hingga akhirnya, dengan berbagai cara Kuronuma berhasil menunjukkan kepada Yano dan Yoshida bahwa ia menyayangi mereka.

Masalah lain datang ketika Kurumi, seorang gadis dari kelas lain yang sudah lama menyukai Kazehaya datang dan berpura-pura meminta pertolongan kepada Kuronuma. Ternyata Kurumi berupaya menjebak Kuronuma dan Kazehaya ke dalam situasi yang salah, dimana Kurumi mengatur agar Kazehaya melihat Kuronuma berduaan dengan Sanada, sahabat Kazehaya dan juga teman baik Kuronuma. Melalui jebakan tersebut Kurumi berharap Kazehaya akan salah paham dan tidak akan menyukai Kuronuma lagi. Akan tetapi hasilnya di luar dugaan Kurumi. Kazehaya tidak terpancing dengan jebakan tersebut. Yano dan Yoshida juga mengusut kejanggalan yang dilakukan Kurumi sehingga terbukti bahwa ternyata Kurumi adalah dalang gosip yang tidak menyenangkan mengenai Yoshida dan Yano.

Selanjutnya adalah permasalahan yang terjadi antara Kuronuma dengan Kazehaya. Kazehaya akhirnya menyampaikan perasaannya kepada Kuronuma. Namun Kuronuma butuh perjuangan ekstra untuk memahami apa yang ia rasakan


(47)

dan apa yang harus ia lakukan. Dibantu sahabat-sahabatnya, Kuronuma berusaha memahami apa yang ia rasakan dan menyampaikannya kepada Kazehaya.


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, penulis menetapkan pendekatan atau metode penelitian sesuai dengan rumusan masalah. Dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah suatu cara melaksanakan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. kekualitatifan penelitian ini berkaitan dengan data penelitian yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa kualitas bentuk verbal yang berwujud tuturan (Muhadjir, 1996:29). Tuturan yang menjadi data dalam penelitian ini terealisasi dalam penggalan percakapan film. Data verbal yang berupa penggalan percakapan ini pun tidak dikuantifikasi sehingga di dalam penelitian ini tidak digunakan perhitungan secara statis. Pendapat Muhadjir didukung oleh Arikunto (2006:195) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh simpulan. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif karena tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan topik penelitian ini adalah memaparkan atau memberi gambaran mengenai implikatur percakapan dan aimai dalam film Kimi ni Todoke.


(49)

3.2 Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang dianalisis berupa penggalan wacana percakapan dalam film Kimi ni Todoke yang diduga mengandung: (1) pelanggaran prinsip kerja sama, (2) pelanggaran prinsip kesantunan, dan (3) konsep aimai.

Korpus data penelitian ini berupa keseluruhan wacana percakapan yang ada dalam film Kimi ni Todoke yang mengandung implikatur percakapan sebagai akibat pelanggaran prinsip kerja sama dan kesantunan. Selain menganalisis implikatur percakapan akibat pelanggaran prinsip kerja sama dan kesantunan, dan akan dianalisis juga konsep aimai yang terdapat di dalam implikatur percakapan tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, yaitu menyimak percakapan yang terjadi dalam film ‘Kimi ni Todoke’. Setelah menyimak dilakukan transkripsi data, yaitu berupa pencatatan setiap dialog yang terjadi beserta konteks yang melatarbelakangi terjadinya setiap percakapan tersebut. Untuk menghindari kekeliruan dalam pencatatan, penulis mendengarkan setiap percakapan berulang-ulang dengan seksama sebelum menuliskannya dalam transkripsi data. Apabila ditemukan kesulitan karena tokoh film berbicara terlalu cepat, penulis menggunakan perangkat F4media, yaitu suatu perangkat yang dapat mengatur kecepatan data rekaman suara menjadi lebih lambat ataupun lebih cepat. Jadi penulis menggunakan perangkat ini untuk memperlambat suara tokoh film yang berbicara terlalu cepat agar dapat dipahami dan ditranskripsikan secara tepat.


(50)

Selain menggunakan perangkat F4media, penulis juga melakukan pengecekan terhadap percakapan yang ditranskripsikan terhadap penutur asli bahasa Jepang sehingga dapat dipastikan bahwa data percakapan yang dikumpulkan merupakan data yang akurat.

3.4 Pemilahan Data

Teknik identifikasi dipergunakan dalam pemilahan data. Identifikasi berarti penetapan atau penentuan identitas terhadap data yang terkumpul di dalam kartu data. Dengan teknik identifikasi pada data, didapatkan data yang mengandung pelanggaran maksim prinsip kerja sama, pelanggaran maksim prinsip kesantunan, dan konsep ekspresi aimai.

Selain teknik tersebut, di dalam kegiatan pemilahan data juga digunakan teknik klasifikasi. Klasifikasi di dalam penelitian ini berarti penggolongan data berdasarkan kesamaan dan perbedaan identitas data. Dengan klasifikasi ini, data yang sudah teridentifikasi kandungan pelanggaran maksim prinsip kerja sama, pelanggaran prinsip kesantunan, dan penggunaan konsep aimai dikelompokkan menjadi satu. Klasifikasi pertama berdasarkan kesamaan dan perbedaan pelanggaran maksim prinsip kerja sama. Klasifikasi kedua berdasarkan kesamaan dan perbedaan pelanggar maksim prinsip kesantunan. Adapun klasifikasi ketiga adalah berdasarkan keberadaan ekspresi aimai di dalam pelanggaran maksim-maksim tersebut.


(51)

3.5 Teknik Analisis Data

Di dalam kegiatan analisis data dipergunakan teknik analisis heuristik. Teknik ini merupakan metode analisis pragmatik yang dicetuskan oleh Leech (1983:40-44). Teknik ini berusaha mengidentifikasikan daya pragmatis sebuah tuturan dengan merumuskan hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data yang tersedia. Jika hipotesis tidak teruji, dibuatlah hipotesis baru. Semua proses ini terus berulang sampai tercapai suatu pemecahan masalah, yaitu berupa hipotesis yang teruji kebenarannya (yang tidak bertentangan dengan bukti yang ada).

Bagan berikut menggambarkan alur analisis heuristik yang dikemukakan oleh Leech (1983:41).

Problem Hipotesis Pengujian

Gagal

Interpretasi Berhasil

Dari problem yang berupa data mengenai ketidaksesuaian tuturan penutur dengan tanggapan dari petutur, akan diambil hipotesis berdasarkan konteks yang terjadi. Hipotesis yang diambil adalah maksud dari tanggapan yang tidak sesuai tersebut. Setelah dilakukan hipotesis, maka dilakukan pengujian berdasarkan teori


(52)

yang digunakan, yaitu teori maksim kerja sama dan maksim kesantunan. Apabila pengujian berhasil, maka dilakukan interpretasi data. Sedangkan apabila pengujian gagal, maka problem akan ditinjau ulang mengenai kelayakannya untuk diteliti

.

3.6 Penafsiran dan Penyimpulan Hasil Penelitian

Sejalan dengan teknik heuristik, proses penafsiran dan penyimpulan hasil penelitian ini didasarkan pada proses kerja heuristik. Proses kerja itu mencakupi tahap perumusan hipotesis, tahap pengujian hipotesis berdasarkan data yang tersedia, dan tahap perumusan hipotesis baru jika hipotesis pertama tidak teruju, sampai dengan pemecahan masalah, yaitu terujinya hipotesis berdasarkan bukti yang ada. Dengan demikian, penafsiran sampai dengan penyimpulan hasil analisis dapat berlangsung secara berulang. Proses itu berhenti jika tercapai pemecahan masalah, yaitu dicapainya simpulan yang berupa terujinya kebenaran hipotesis, yakni hipotesis yang tidak bertentangan dengan bukti yang ada.

3.7 Pemaparan Hasil Penelitian

Di dalam kegiatan memaparkan hasil penelitian yang berupa hasil analisis, penafsiran, dan penyimpulan dipergunakan metode informal. Dengan metode informal ini, pemaparan hasil penelitian dilakukan dengan menyajikan deskripsi khas verbal dengan kata-kata biasa tanpa lambang. Akan tetapi di bagian akhir dari pemaparan secara keseluruhan data akan ditampilkan dalam bentuk tabel.


(53)

BAB IV PEMBAHASAN

Terdapat 40 penggalan percakapan yang melanggar prinsip kerja sama maupun prinsip kesantunan. Pada bab ini penulis akan membahas implikatur yang ditimbulkan dari pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam setiap penggalan percakapan, dan menganalisis aimai yang terdapat di dalamnya.

4. 1 Pelanggaran Prinsip Percakapan dan Implikaturnya

4. 1. 1 Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikaturnya 4. 1. 1 .1 Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Maksim Kualitas a. Percakapan 4

Konteks: Sekelompok teman sekelas Kuronuma sedang membicarakan gosip tentang Kuronuma.

Soujiro: さだこってあいつ礼をいよいよ招集らしいよ。

Sadako tte aitsu rei wo

Sadako katanya orang itu arwah pa Sadako, katanya belakangan dia bisa memanggil arwah.

iyo iyo shoushuurashii yo.

belakangan memanggil-kelihatan pak.

さん病状目を負わせて、呪われる。

sanbyoujou me wo owasete, norawareru.

Tiga detik mata pa menatap, dikutuk-bb

Kalau menatap matanya selama tiga detik, kita akan dikutuk Joe: まじで?

maji de?

serius pi? Serius?


(54)

Soujiro: Un. Iya.

b. Percakapan 8

Konteks: Kazehaya dan Joe berada di ruang penyimpanan alat-alat olah raga. Joe membicarakan gosip yang beredar tentang Kuronuma.

Joe: ぜんぜん信じなかったけど、鳥原だった。

zenzen shinjinakatta kedo, samasekali tidak percaya-bl tapi,

torihada datta. merinding bl.

Tadinya aku benar-benar tidak percaya, tetapi merinding. Kazehaya: 何が?

nani ga?

Apa Apa itu?

Joe: だから、さだこだよ。

Dakara, Sadako da yo.

karena, Sadako kop pak. 黒沼さだこ。

Kuronuma Sadako.

Kuronuma Sadako.

Sadako, lho. Kuronuma Sadako.

さだこと三秒序目を負わせると、服務運だろうだって。 Sadako to sanbyoujo me wo owaseru to,

Sadako pk tiga detik mata pa menatap pk,

fukumu un darou datte.

menahan keberuntungan pak.

Kalau menatap mata Sadako selama tiga detik, akan menahan keberuntungan katanya.


(55)

何言ってんだよ?

Nani ittendayo?

apa sedang berkata-pak? Ngomong apa sih? Joe: 風早信じてないの?

Kazehaya shinjitenai no?

Kazehaya percaya-bn pak? Kazehaya tidak percaya?

Pelanggaran prinsip percakapan yang terjadi pada penggalan percakapan 8 ini adalah pernyataan Joe yang menyebutkan bahwa dengan menatap mata Kuronuma selama tiga detik akan mempengaruhi keberuntungan.

c. Percakapan 10

Konteks: Wali kelas Kuronuma, Pin Arai, bercerita pada beberapa siswa bahwa dia sudah membuktikan kemampuan Kuronuma membuat seseorang terkena kutukan dengan menatap matanya selama tiga detik tidaklah benar. Ketika sedang menasehati para siswanya untuk tidak menyebarkan cerita yang tidak-tidak, tiba-tiba Pin terjatuh karena sakit perut.

Joe: どうしたのピン。ああ、やべ!

Doushita no Pin? A, yabe! kenapa pak Pin? A, gawat! Kenapa, Pin? Hah, gawat!

さだこの呪いだ。

Sadako no noroi da. Sadako pg kutukan bb (berlari meninggalkan Pin)


(56)

Ucapan Joe tidak benar, karena Pin sakit perut bukan karena menatap mata Kuronuma, melainkan karena sebelumnya Pin memakan roti yang sudah kadaluarsa. Oleh karena tidak terbukti benar, pernyataan Joe “Sadako no noroi da!” dinyatakan melanggar maksim kualitas.

d. Percakapan 18

Konteks: Pin mencari-cari Yano dan Yoshida. Ketika melihat Kuronuma, Pin memanggil Kuronuma dan menanyakan keberadaan Yano dan Yoshida karena Pin berpikir Kuronuma berteman dengan mereka. Di saat yang sama, ada beberapa orang siswa yang pernah membicarakan gosip buruk mengenai Yano dan Yoshida di dekat Pin.

Pin: おい、黒沼。

Oii, Kuronuma.

hei, Kuronuma.

谷野と吉田知らないか?

Yano to yoshida shiranai ka?

Yano pk Yoshida tahu-bn pak?

Hei Kuronuma. Kamu tahu di mana Yano dan Yoshida? Kuronuma :いいえ。

Iie.

Tidak. Pin: 何でよ?

Nande yo?

kenapa pak?


(57)

Omae to yoshida tomodachi darou?

kamu pk Yoshida teman kan? Kenapa? Kamu dan Yoshida kan berteman? Kuronuma: 友達じゃありません。

Tomodachi ja arimasen.

teman tidak-bsn. Bukan teman saya. Pin: そうなの!

Sou na no!

begitu pak Begitu ya!

Pernyataan Kuronuma “Tomodachi ja arimasen.” melanggar maksim kualitas karena Kuronuma berbicara tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Jika Kuronuma menjawab “Hai, tomodachi desu. (Ya, teman saya)”, maka Kuronuma akan dikatakan memenuhi maksim kualitas.

e. Percakapan 22

Konteks: Kurumi bercerita pada Kuronuma bahwa ia menyukai seseorang dan berharap Kuronuma mau mendukungnya untuk mendapatkan pria yang disukainya. Awalnya Kuronuma sangat ingin membantu. Akan tetapi ketika mengetahui pria yang disukai Kurumi adalah Kazehaya, Kuronuma merasa berat untuk membantu. Setelah Kurumi menyampaikan maksudnya, ia bermaksud pergi meninggalkan Kuronuma, namun Kuronuma menangkap tangan Kurumi.


(58)

Apa?

Kuronuma: ごめなさい。でもやっぱりあたし協力できない。

Gomennasai. Demo yappari atashi

Maaf. tapi jelas aku

kyouryoku dekinai.

dukung tidak bisa-bbn

Maaf. Tapi aku tidak bisa mendukungmu. Kurumi: 何で? 協力するって言ったじゃん。

Nande? Kyouryoku suru tte

kenapa? dukung melakukan katanya

itta jan.

berkata-bl pak.

Kenapa? Kan kamu sudah bilang akan mendukung. 友達ですよ。

Tomodachi desu yo?

teman bs pak? Kita teman kan?

Kuronuma: 風早君は私にとって特別人みたいで。

Kazehaya kun wa watashi ni totte

Kazehaya ps saya pd menurut

tokubetsu na hito mitai de.

spesial orang seperti pak.

Soalnya bagiku Kazehaya sepertinya adalah orang yang spesial. Kurumi: 絵、申し貸して、付き合いとか思ってるわけ?

e, moushikashite, tsukiaitai toka

eh, jangan-jangan bergaul pt

omotteru wake?

sedang berpikir mungkin

eh, jangan-jangan kamu mungkin berpikir untuk jalan dengannya? Kuronuma: 付き合いって、どこに?

Tsukiaitai tte, doko ni?


(59)

Jalan ke mana?

Kurumi: 沢子ちゃんの言う特別って、恋愛感情じゃないでしょう?

Sawako chan no iu tokubetsu tte,

Sawako pg berkata spesial pt,

renai kanjou janai deshou?

cinta perasaan bukan kan-bs?

Spesial yang Sawako maksud itu, bukan rasa cinta kan? Kuronuma: 恋愛かんじょう?

Renai kanjou?

cinta perasaan? Rasa cinta?

Kurumi: だから、あたしのとは違うって言ってるの。

Dakara, atashi no to wa chigau tte karena, aku pg pk pa beda pt

itteru no.

berkata pak.

Makanya aku bilang, berbeda dengan yang aku rasakan.

大体特別って何で?

Daitai tokubetsu tte nande?

sangat spesial pt kenapa? Kira-kira kenapa spesial?

親切してもらったから。、

Shinsetsu shite moratta kara?

ramah melakukan menerima-bl karena? Apa karena kamu diperlakukan ramah?

Kuronuma: ええ、そう言われると。

ee, Sou iwareru to.

eh, demikian dikatakan-bb pk. eh, kalau dibilang begitu sih.

Kurumi: 爽子チャン、男子と話す平気がないから、風早のこと特別

と思うんじゃないかな?

Sawako chan, danshi to hanasu heiki


(1)

Berdasarkan tabel 1 maka dijelaskan beberapa temuan bahwa:

Pada percakapan 4, 8, 10, 22, 23, 24, 26, 31, dan 38 terdapat pelanggaran prinsip kerja sama maksim kualitas dan menimbulkan implikatur menjelaskan, membela diri, menjebak, menantang, dan menghindar. Sementara itu, pada percakapan 11, 12, 14, 32, dan 36 terdapat pelanggaran prinsip kerja sama maksim kuantitas dan menimbulkan implikatur menjelaskan, memberi tahu, menggoda, menyuruh, dan mengakui kesalahan. Yang mengandung aimai adalah percakapan 11 berupa kalimat yang tidak selesai, percakapan 14 berupa penggunaan bentuk -tari dan kalimat 32 yang menggunakan partikel –kana. Pada percakapan 3, 6, 13, 15, 30, 34, 37, dan 39 terdapat pelanggaran prinsip kerja sama maksim relevansi dan menimbulkan implikatur memuji, menolak, menjelaskan, berjanji, menghindar, menunjukkan, memberi tahu, dan menyuruh. Yang mengandung aimai adalah percakapan 30 yang menggunakan bentuk –shi. Pada percakapan 19, 20, 27, 33, dan 35 terdapat pelanggaran prinsip kerja sama maksim cara dan menimbulkan implikatur menolak, melindungi, menyalahkan, menjelaskan, dan menolak. Yang mengandung aimai adalah percakapan 19 berupa penggunaan kata anou yang tidak jelas maksudnya dan penggunaan iisashi hyougen, serta percakapan 33 berupa penggunaan iisashi hyougen.

Sementara itu, pada percakapan 25 terdapat pelanggaran prinsip kesantunan maksim kebijaksanaan dan menimbulkan implikatur menyalahkan, percakapan 9, 16, 18 melanggar prinsip kesantunan mksim kedermawanan dan menimbulkan implikatur menyalahkan dan menunjukkan.


(2)

Pada percakapan 1, 5, dan 21 terdapat pelanggaran prinsip kesantunan maksim penghargaan, dan menimbulkan implikatur menunjukkan dan mengkritik, pada percakapan 17 dan 28 terdapat pelanggaran prinsip kesantunan maksim pemufakatan dan menimbulkan implikatur menolak dan menyalahkan, dan pada percakapan 2, 7, dan 40 terdapat pelanggaran prinsip kesantunan maksim kesimpatian, dan menimbulkan implikatur menunjukkan dan menyalahkan.

Berdasarkan tabel 1 ditemukan bahwa aimai hanya terdapat dalam pelanggaran prinsip kerja sama. Aimai yang muncul adalah kalimat yang tidak selesai (bentuk –te), anou, iisashi hyougen, -tari, -shi, -kana, -janai kana, -toka dan muncul dalam implikatur menjelaskan, menggoda, menolak, melindungi, menjebak, menghindar, menyuruh, menolak. Aimai digunakan dalam implikatur tidak hanya untuk memperhalus tuturan dalam penolakan maupun perintah, melainkan juga sebagai strategi dalam percakapan untuk tujuan negatif seperti menjebak, dan juga untuk tujuan positif yaitu melindungi.


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap data yang didapat dari film ‘Kimi ni Todoke’, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama adalah: 1) implikatur representatif, 2) implikatur direktif 3) implikatur ekspresif, dan 4) implikatur komisif. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kesantunan adalah: 1) implikatur representatif, 2) implikatur direktif, 3) implikatur ekspresif, 4) implikatur komisif. Aimai hanya terdapat dalam pelanggaran prinsip kerja sama. Aimai yang muncul adalah kalimat yang tidak selesai (bentuk –te), anou, iisashi hyougen, -tari, -shi, -kana, -janai kana, -toka dan muncul dalam implikatur menjelaskan, menggoda, menolak, melindungi, menjebak, menghindar, menyuruh, menolak. Aimai digunakan dalam implikatur tidak hanya untuk memperhalus tuturan dalam penolakan maupun perintah, melainkan juga sebagai strategi dalam percakapan untuk tujuan negatif seperti menjebak, dan juga untuk tujuan positif yaitu melindungi.

2. Implikatur percakapan yang direalisasikan pada film Kimi ni Todoke dengan melanggar prinsip kerja sama terjadi karena adanya implikasi dan kepentingan penutur untuk menjelaskan, membela diri, melindungi, menjebak, menantang, menghindar, memberi tahu, menyuruh, menggoda,


(4)

mengakui, memuji, menolak, berjanji, menghindar, dan menyalahkan. Adapun implikatur percakapan yang direalisasikan pada film Kimi ni Todoke dengan melanggar prinsip kesantunan terjadi karena adanya implikasi dan kepentingan penutur untuk memaksa, menyalahkan, menunjukkan, mengkritik, mengancam, dan menolak.

5.2 Saran

Penelitian mengenai aimai dalam implikatur percakapan ini dilakukan pada film, dan hasil yang didapatkan sebatas pada film Kimi ni Todoke yang bergenre drama remaja. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah hasil yang sama juga terjadi pada film dengan genre yang lain.

Diperlukan penelitian lebih mendalam lagi mengenai kecenderungan penggunaan aimai dalam percakapan, apakah lebih banyak dalam tujuan positif atau negatif, ataukah lebih banyak untuk tujuan memperhalus perintah maupun penolakan.

Diperlukan pula cakupan penelitian yang lebih luas, misalnya dalam ruang lingkup sekolah dalam kehidupan nyata, kemudian dapat dibandingkan dengan implikatur percakapan yang terjadi di Indonesia sehingga kedepannya masyarakat Indonesia khususnya pembelajar bahasa Jepang di Indonesia dapat memahami perbandingan antara implikatur percakapan dalam bahasa Indonesia dan implikatur percakapan dalam bahasa Jepang. Dengan demikian diharapkan para pembelajar dapat memposisikan diri dalam menggunakan bahasa Jepang sebagaimana penutur asli menggunakan bahasanya dalam berkomunikasi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Barnlund, Dean, and Shoko Araki. 1985. Intercultural encounters: The management of compliments by Japanese and Americans. Journal of Cross-Cultural Psychology 16, 1: 9-26.

Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Pers.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Davies, Roger J dan Osamu Ikeno. 2002. The Japanese Mind. Boston: Tuttle Publishing.

Grice, H. Paul. 1975. Logic and Conversation dalam Davis S. Pragmatics: A Reader. New York: Oxford University Pers

Hadiati, Chusni. 2007. Implikatur Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-Laki pada Film ‘The Sound of Music’ (Tesis).

Haga, Yasushi. 1996. Aimai-go Jiten. Tokyo: Toukyoudoushuppan.

Hasegawa, Akio. 2010 The Semantics and Pragmatics of Japanese Focus Particles (Desertasi) The University at Buffalo: State University of New York.

Haugh, Michael. 2003."Japanese and Non-Japanese Perceptions of Japanese Communication” New Zealand Journal of Asian Studies 5, 6. Haugh, Michael. 2008. Utterance-Final Conjunctive Particles and Implicature in

Japanese Conversation. International Pragmatics Association. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2003. Jakarta: Balai Pustaka.

Kishie, Shinsuke. 2007. Tsukatteimasenka Aimai Kotoba. Ohayou Tokushima. Lakoff, R. 1972. Language and Women’s Place. Language in Society.

Leech, Geoffrey. 1983. Principle of Pragmatics, London: Longman. Levinson. 1995. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Pers.

Lyons, John. 1995. Semantics. Volume I. Cambridge: Cambridge University Pers. Mey, Jacob L. 1994. Pragmatics: An Introduction. Oxford UK & Cambridge

USA: Blackwell.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nababan, PWJ. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.

Nagashima, Tatsuya. 1985. A Handbook of Japanese Grammar. Tokyo: Pana-Lingua Institute of Japanese Language.

Noguchi, Naohiko dan Yasunari Harada. 1992. Semantic and Pragmatic Interpretation of Japanese Sentence with Dake (only). Coling-92.

Noth, Winfried, 1990. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal (Edisi Kedua). Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Rustono, 1998. Implikatur Percakapan Sebagai Penunjang Pengungkapan Humor di dalam Wacana Humor Verbal Lisan Berbahasa Indonesia (Disertasi). Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.


(6)

Syahri, Rosmita. 2011. Tindak Tutur Permintaan Dalam Film Tokyo Love Story (Tesis). Universitas Sumatera Utara.

Wardaugh, Ronald. 1994. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Yamamoto, Kazuhide dan Manami Saito. 用例利用型による文間接続関係の同