Skrining Golongan senyawa Bioaktif Dalam Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) Dengan variasi Ketinggian Tempat Tumbuh di Bali terhadap Candida albicans ATCC 10231 Menggunakan Metode KLT-Bioautografi.

(1)

i

SKRINING GOLONGAN SENYAWA BIOAKTIF

ANTIFUNGI DALAM MINYAK ATSIRI DAUN SIRIH

HIJAU (

Piper betle

L.) DENGAN VARIASI KETINGGIAN

TEMPAT TUMBUH DI BALI TERHADAP

Candida albicans

ATCC 10231 MENGGUNAKAN METODE

KLT BIOAUTOGRAFI

SKRIPSI

I GUSTI AYU ARYA TRISNADEWI 1208505089

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SKRINING GOLONGAN SENYAWA BIOAKTIF ANTIFUNGI DALAM MINYAK ATSIRI DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) DENGAN VARIASI KETINGGIAN TEMPAT TUMBUH DI BALI TERHADAP

Candida albicans ATCC 10231 MENGGUNAKAN METODE KLT

BIOAUTOGRAFI” tepat pada waktunya.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, saran dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ni Luh Putu Vidya Paramita, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan motivasi, semangat, bimbingan dan saran dengan sabar selama penulis mengikuti pendidikan di Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, khususnya dalam penyusunan skripsi ini.

2. Putu Sanna Yustiantara, S.Farm., M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing II yang dengan penuh perhatian telah memberikan motivasi, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan di Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, khususnya dalam penyusunan skripsi ini.


(4)

iv

iv

3. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M. Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

4. Dr. rer. nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt., selaku Ketua Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

5. Seluruh dosen dan staff pegawai di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penyusunan skrispi ini.

6. Orang tua kandung yang sangat saya cintai dan hormati, I Gusti Ngurah Agung, S.E. dan Gusti Ayu Warni yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, membimbing dan memberi motivasi dalam penyusunan skrispi ini.

7. Kakak kandung saya yaitu I Gusti Ayu Ngurah Lestari, S.E., I Gusti Ayu Agung Adi Putri, S.Pd., dan adik kandung saya I Gusti Ngurah Agung Pengalasan yang selalu memberi motivasi dan dukungan.

8. Seluruh rekan mahasiswa Jurusan Farmasi angkatan 2012, mahasiswa Bahan Alam 2012 yang saya banggakan, khususnya Tim penelitian sirih: Sulys, Kak Suas, Cahyani, Utik, Pebri, Dek in, Budi, Inggrid serta sahabat seperjuangan geng giri kencana: Gek in, Dwi, Eling, Cokti, Cahyani, dan Nila yang selalu membantu dan memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini.


(5)

v

9. Teman terdekat I Nyoman Triadnyana, S.Ikom., yang telah memberikan motivasi, dukungan, doa, dan selalu setia membantu dalam penyusunan skripsi ini.

10.Para laboran Kak Anggi, Kak Pasek dan Mbok Dwi yang banyak membantu dalam penyusunan skrispi ini.

11.Semua pihak yang terlibat dan telah membantu penulis dalam penyusunan skrispi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skrispi ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sehingga di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik. Penulis berharap semoga skrispi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bukit Jimbaran, Mei 2016


(6)

vi

vi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan ... 5

1.4. Manfaat ... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Sirih Hijau (P. betle L.) ... 6

2.1.1. Klasifikasi ... 6

2.1.2. Deskripsi tanaman ... 7

2.1.3. Kandungan kimia ... 7


(7)

vii

2.3. Minyak Atsiri Daun Sirih (P. betle L.) ... 9

2.3.1. Sifat Fisika-Kimia ... 9

2.3.2. Kandungan Kimia ... 9

2.3.3. Aktivitas Antifungi ... 10

2.4. Kandidiasis ... 10

2.5. Candida albicans ... 12

2.5.1. Klasifikasi ... 12

2.5.2. Morfologi dan Karakteristik ... 13

2.6. Destilasi Air ... 14

2.7.Bioautografi Kontak ... 15

BAB III. METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Rancangan Penelitian ... 17

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.3. Obyek Penelitian ... 18

3.4. Bahan Penelitian ... 18

3.5. Alat Penelitian ... 18

3.6. Batasan Operasional ... 19

3.7. Prosedur Penelitian ... 20

3.7.1. Preparasi Tanaman dan Ekstraksi ... 20

a. Determinasi tumbuhan ... 20

b. Ekstraksi Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau (P. betle L.) 20 3.7.2. Preparasi Jamur C. albicans ... 21


(8)

viii

viii

b. Pembuatan Suspensi ... 21

3.7.3. Penyiapan Sampel Uji... 21

3.7.4. KLT Bioautigrafi Kontak ... 21

a. Pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis... 21

b. Karakterisasi dengan Pereaksi Pendeteksi ... 22

c. Uji Aktivitas Antifungi ... 23

3.8. Analisis Data ... 23

3.9.Skema Penelitian ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1. Determinasi Tanaman ... 26

4.2. Ekstraksi Minyak Atsiri dari Daun Sirih Hijau ... 26

4.3. Optimasi Jumlah Penotolan Sampel Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau ... 30

4.4. Pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis ... 31

4.5. Karakterisasi dengan Pereaksi Pendeteksi ... 32

4.6. Uji Aktivitas Antifungi ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1. Kesimpulan ... 39

5.2. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(9)

ix

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome ATS 4 : Automatic TLC Sampler 4

ATTC : American Type Culture Collection C. albicans : Candida albicans

CFU : Colony FormingUnit

GC : Gas Chromatography

HIV : Human Immunodeficiency Virus

hRf : Hundred Retardation Factor

KLT : Kromatografi Lapis Tipis LAF : Laminar Air Flow

MIC : Minimum Inhibition Concentration

MTCC : Microbial Type Culture Collection

MS : Mass Spectrometry

p.a. : pro analisis

P. betle L. : Piper betle Linn pH : Power of Hydrogen

SDA : Saboraud Dextrose Agar

SDB :Saboraud Dextrose Broth

UPCC : University of Portsmouth Culture Collection

UV : Ultraviolet


(10)

x

x

DAFTAR ISTILAH

Kandidiasis : Istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh jamur dari genus Candida.

Candiduria : Invasi Candida pada saluran kemih yang dapat diketahui dengan ditemukannya Candida pada urin.

Gastrointestinal

candidiasis

: Penyakit jamur Candida yang mengenai saluran pencernaan.

Fungi opportunistik : Organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk.

Hifa : Struktur biologis berupa berkas-berkas halus yang merupakan bagian dari tubuh vegetatif berbagai fungi.

Blastospora : Tunas yang tumbuh menjadi spora.

Pseudohifa : Rantai-rantai pertunasan yang memanjang dari blastospora.

Sistem kohobasi : Air kondensat yang keluar dari separator masuk kembali secara otomatis ke dalam ketel agar


(11)

xi

meminimkan kehilangan air.

Resistensi : Perlawanan yang terjadi ketika jamur secara bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat yang sebelumnya membunuh mereka.

Autoklaf : Alat pemanas tertutup yang digunakan untuk mensterilkan suatu benda menggunakan uap bersuhu dan bertekanan tinggi (121oC, 1 atm) selama kurang lebih 15 menit.

Bioautografi : Suatu metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, dan antiviral.

Inkubasi : Suatu teknik perlakuan bagi mikroorganisme yang telah diinokulasikan pada media (padat atau cair), kemudian disimpan pada suhu tertentu untuk dapat melihat pertumbuhannya. Inokulasi : Suatu proses penenaman jamur atau

memindahkan jamur dari suatu media ke media lainnya.

Patogen : Agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya.


(12)

xii

xii

terjadi dalam organisme hidup, dimana substrat diubah menjadi senyawa lain (produk) yang biasanya memiliki struktur lebih kompleks

Pour plate : Mencampur sejumlah suspensi bahan pada media agar yang dicairkan, lalu dituang pada cawan petri steril secara aseptik dan dibiarkan memadat

Determinasi tumbuhan : Pedoman yang digunakan dalam pengidentifikasian tumbuhan yang belum diketahui dengan cara membanding-bandingkan morfologi dan anatominya


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Pereaksi Pendeteksi Golongan Senyawa Bioaktif... 22


(14)

xiv

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Tanaman sirih hijau (P. betle L.) ... 6 Gambar 2.2 Candida albicans dan Ilustrasi morfologi Candida ... 12 Gambar 3.1 Skema Umum Prosedur Penelitian ... 24 Gambar 3.2 Skema Skrining Golongan Senyawa Bioaktif Antifungi


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil Determinasi Tanaman Sirih Hijau Dataran Rendah ... 47

Lampiran 2 Hasil Klasifikasi Tanaman Sirih Hijau Dataran Rendah ... 48

Lampiran 3 Hasil Determinasi Tanaman Sirih Hijau Dataran Sedang ... 49

Lampiran 4 Hasil Klasifikasi Tanaman Sirih Hijau Dataran Sedang ... 50

Lampiran 5 Hasil Determinasi Tanaman Sirih Hijau Pegunungan ... 51

Lampiran 6 Hasil Klasifikasi Tanaman Sirih Hijau Pegunungan ... 52

Lampiran 7 Sterilisasi Alat dan Bahan ... 53

Lampiran 8 Pembuatan Media ... 54

Lampiran 9 Perhitungan Pembuatan Fase Gerak (eluen) ... 55

Lampiran 10 Perhitungan Pembuatan Pereaksi Pendeteksi ... 56

Lampiran 11Perhitungan Persentase Rendemen Hasil Optimasi Metode Ekstraksi Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau ... 57

Lampiran 12Perhitungan Persentase Rendemen Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau ... 58


(16)

xvi

xvi ABSTRAK

Daun sirih hijau memiliki aroma khas yang berasal dari minyak atsiri dengan kandungan golongan senyawa fenol dan terpenoid. Kandungan senyawa minyak atsiri dipengaruhi oleh variasi ketinggian tempat tumbuh. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa minyak atsiri daun sirih hijau memiliki potensi sebagai antifungi terhadap C. albicans, sehingga pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif antifungi minyak atsiri daun sirih hijau dengan variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali terhadap C. albicans

menggunakan metode KLT bioautografi kontak.

Penelitian ini bersifat eksploratif laboratorik untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif antifungi dalam minyak atsiri daun sirih hijau terhadap C. albicans. Pemisahan kromatografi lapis tipis dilakukan menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak toluene:etilasetat (93:7)v/v. Selanjutnya,

karakterisasi golongan senyawa bioaktif dilakukan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu, FeCl3, dan Anisaldehid-asam sulfat. Sedangkan uji bioautografi kontak

dilakukan dengan menempelkan plat pada medium yang berisi suspensi C. albicans selama 1 jam kemudian plat diambil dan media diinkubasi selama 18 jam suhu 37oC. Nilai hRf hasil karakterisasi dibandingkan dengan nilai hRf KLT bioautografi kontak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali dengan sampel pada dataran rendah, dataran sedang, dan pegunungan. Hal tersebut dapat dilihat dari profil golongan senyawa yang sama, yaitu golongan senyawa terpenoid dan fenol pada hRf 52 dan 66, golongan senyawa fenol dengan inti katekol pada hRf 52 dan 66, dan golongan senyawa fenol sederhana pada hRf 66. Jadi golongan senyawa bioaktif dalam minyak atsiri daun sirih hijau yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans adalah golongan senyawa fenol dan terpenoid.

Kata Kunci : P. betle L., Minyak Atsiri, KLT Bioautografi Kontak, C. albicans, Golongan Senyawa.


(17)

xvii ABSTRACT

Piper betel leaf has a distinctive aroma that comes from its essential oil which contain phenol and terpenoids compound (monoterpenes and sesquiterpenes). The essential oil in a plant was affected by environmental conditions. Previous study reported that P. betel essential oil has good potential as an antifungal agent against C. albicans, so in this study aims to determine the class of antifungal bioactive compounds in green betel leaf essential oil with a height variation fungus grows in Bali against C. albicans using methods KLT bioautografi contact.

Our exploration laboratory study aimed to determine the element of antifungal bioactive compounds in P. betel leaf essential oil to the fungus C. albicans. Separation by thin layer chromatography using silica gel GF254

stationary phase and the mobile phase toluene: ethyl acetate (93: 7) v/v. Furthermore, the characterization of bioactive compounds was conducted using detection reagent such as, Folin – Ciocalteu, FeCl3, and anisaldehyde-sulfuric acid and test bioautografi contact is made by placing the plate on a medium which already contains the suspension for 1 hour and then the plate is taken and the media were incubated for 18 hours at 37°C. HRF value detection reagent characterization results are then compared with the value HRF bioautografi TLC contact inhibition zone.

The result of this study indicates that there is no influence of the variation of altitude where Piper betel grows in Bali with a sample in the lowlands, plains, and mountains. It can be seen from the profile the same classes of compounds, that is terpenoids compounds and group phenolic compounds at the value of HRF 52 and 66, group of phenolic compounds with catechol nucleus at the value of HRF 52 and 66, and group of simple phenolic compounds at the value of HRF 66. So, groups of bioactive compounds in P. betel leaf essential oil that serves as antifungal against C. albicans is a type of phenol compounds and terpenoids. Keyword : P. betle L., Essential oil, TLC bioautography Contact, C. albicans, Group of Bioactive Compounds.


(18)

(19)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kandidiasis adalah istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh jamur dari genus Candida (Brown dan Burns, 2005). Sebanyak lebih dari 150 spesies Candida telah diidentifikasi (Anaissie, 2016). Infeksi Candida pada manusia telah ditemukan sebanyak 70% yang disebabkan oleh C.albicans dan sisanya adalah disebabkan oleh C. tropicalis, C. guillermondii, C. kruzei, dan beberapa spesies Candida yang lebih jarang (Keyser

et al., 2005). C. albicans dikenal secara normal ada pada saluran pencernaan, saluran pernafasan bagian atas dan mukosa genital pada mamalia. Terdapat sekitar 30-40% C. albicans pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada neonatus, 45-65% pada anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu lepasan, 65-88% pada orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada pasien leukemia akut yang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS (Langlais, 1998).

Jamur C. albicans merupakan fungi opportunistik penyebab sariawan, lesi pada kulit, kandidiasis vulvovaginali, candiduria, dan gastrointestinal candidiasis. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi pada kasus kandidiasis vulvovaginalis di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam periode Januari sampai dengan April 2010. Pasien dengan kandidiasis vulvovaginalis diperoleh sebanyak 34 pasien dimana sebagian besar ditemukan karena terinfeksi C. albicans (Srihartati, 2011). Beberapa faktor yang berpengaruh


(20)

pada patogenitas dan proses infeksi dari C. albicans adalah menurunnya sistem imun, pengobatan antibiotik spektrum luas, perubahan dari bentuk khamir ke bentuk filamen dan produksi enzim ektraselular (Naglik et al., 2004).

Dalam beberapa tahun terakhir, mikroorganisme patogen yang ada pada tubuh manusia telah berkembang menjadi semakin resisten. Perea and Patterson (2002) menyatakan bahwa pasien dengan kandidiasis osofaring yang diakibatkan oleh spesies jamur C. albicans ditemukan telah resisten terhadap obat flukonazol sebanyak 21% pada pasien karena penggunaan jangka panjang. Selain itu, penelitian Srihartati (2011) juga melaporkan bahwa resistensi C. albicans

ditemukan sebanyak 16,7% terhadap itrakonazol dan 5,6% resisten terhadap flusitosin. Sebagai alternatif resistensi tersebut diperlukan pencarian obat antifungi baru yang salah satunya dapat diajukan suatu pengembangan obat yang secara empiris sudah sering digunakan oleh masyarakat, yaitu sirih hijau.

Sirih hijau merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat seperti keputihan, membunuh jamur, mengurangi lendir di vagina, dan sariawan (Soenanto dan Kuncoro, 2009). Daun sirih memiliki aroma khas yang berasal dari adanya minyak atsiri yang mengandung senyawa terpinen-4-ol, safrole, alilpirokatekol monoasetat, eugenol, eugenil asetat, hidroksil kavikol, piper betol, kadinen karvakrol, katekol alil, kavikol, kariopilen, kavibetol, sineol, estragol, sesquiterpen, dan monoterpen (Sugumaran et al., 2011). Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa minyak atsiri daun sirih hijau memiliki potensi sebagai agen antifungi terhadap C. albicans. Pada penelitian Sugumaran et al. (2011), melaporkan bahwa minyak 2


(21)

atsiri daun sirih hijau memiliki aktivitas antifungi terhadap C. albicans (MTCC 227), dimana pada konsentrasi 100 µL mampu menghasilkan zona hambat sebesar 24 mm dengan menggunakan metode difusi disk. Pada penelitian lain juga melaporkan bahwa dengan 100 µL minyak atsiri daun sirih hijau mampu menghasilkan zona hambat sebesar 90 mm terhadap C. albicans (UPCC 2168) dengan menggunakan metode difusi sumur dan diperoleh nilai MIC minyak atsiri daun sirih hijau terhadap C. albicans (UPCC 2168) pada konsentrasi 250 µg/mL dengan menggunakan metode dilusi (Adeltrudes and Osi, 2010). Selain itu, telah dilaporkan bahwa isolat hidroksikavikol dalam fraksi kloroform hasil isolasi dari ekstrak air daun sirih hijau efektif dalam menghambat C. albicans (ATCC 90028, ATCC 10231 dan 23 isolat klinikal) hingga 8 x MIC (250 μg/ml) serta mampu menghambat pertumbuhan biofilm yang dihasilkan oleh fungi C. albicans (Ali et al., 2010).

Kandungan minyak atsiri dalam suatu tanaman dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, misalnya suhu udara, kelembaban, komposisi mineral, dan kandungan air pada tempat tumbuh (Koensoemardiyah, 2010). Semakin meningkatnya ketinggian tempat tumbuh atau semakin rendahnya suhu lingkungan, kandungan minyak atsirinya akan semakin tinggi (Katno, 2008). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Purwantini dkk.,(2001) yang menyatakan bahwa rendemen minyak atsiri daun sirih hijau semakin banyak pada daerah tempat tumbuh yang tinggi. Sedangkan pada penelitian Hertianti dan Purwantini (2002), melaporkan bahwa aktivitas antifungi minyak atsiri daun sirih hijau terhadap C. albicans lebih besar pada daerah dataran rendah. Menurut Tuteja et al., (2012) pada suhu yang tinggi


(22)

atau daerah dataran rendah, metabolit sekunder pada tanaman akan banyak terakumulasi karena adanya biosintesis melalui jalur fenilpropanoid yang akan menginduksi produksi senyawa fenol. Selain itu, menurut Hui and Evranuz (2015), pada suhu yang tinggi atau daerah dataran rendah juga akan meningkatkan produksi golongan senyawa terpenoid karena adanya biosintesis melalui jalur asam mevelonat.

Pembagian wilayah di Indonesia berdasarkan letak geografisnya dibagi menjadi beberapa ketinggian, yaitu dataran rendah 0 – 200 mdpl, dataran sedang 200 – 1000 mdpl, dan pegunungan 1000 – 2000 mdpl (Sarpian, 2003). Pemilihan sampel pada penelitian ini akan mengacu pada pembagian letak geografis tersebut dengan mengambil sampel dari daerah Bali, yaitu pada daerah dataran rendah (166 mdpl) ; daerah dataran sedang (668 mdpl) ; dan daerah pegunungan (1099 mdpl).

Pada penelitian ini, untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif minyak atsiri daun sirih hijau sebagai antifungi terhadap C. albicans digunakan metode KLT bioautografi. Penggunaan metode bioautografi mempunyai keuntungan, yaitu dapat mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa kompleks, terutama yang terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Kusumaningtyas dkk., 2008).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif penghambat C. albicans secara KLT bioautografi serta dilakukan karakterisasi dengan pereaksi pendeteksi senyawa golongan fenol dan terpenoid yang merupakan komponen penyusun minyak atsiri.


(23)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana profil golongan senyawa bioaktif yang terkandung dalam minyak atsiri daun sirih hijau dengan variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui profil golongan senyawa bioaktif dalam minyak atsiri daun sirih hijau dengan variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans.

1.4 Manfaat

Data yang diperoleh dari penelitian ini mampu memberikan informasi mengenai profil golongan senyawa bioaktif dalam minyak atsiri daun sirih hijau pada variasi ketinggian tempat tumbuh di Bali yang berfungsi sebagai antifungi terhadap C. albicans dengan menggunakan metode KLT bioautografi serta dapat digunakan sebagai kontrol kualitas untuk memperoleh senyawa bioaktif yang baik dalam penjaminan mutu produk herbal.


(24)

(25)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirih Hijau (P. betle L.)

Gambar 2.1 Tanaman sirih hijau (P. betle L.) (Armando, 2009) 2.1.1Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Piperales Famili : Piperaceae Genus : Piper

Spesies : Piper betle L.


(26)

7

7

Nama daerah : Suruh, sedah (Jawa); seureuh (Sunda); base (Bali); donile, parigi (Sulawesi); dan bido, gies (Maluku)

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) 2.1.2Deskripsi tanaman

Sirih Hijau merupakan perdu yang tumbuh merambat dengan panjang mencapai puluhan meter. Batang berkayu, berbentuk bulat, berbuku-buku, beralur, dan berwarna hijau kecokelatan. Daun tunggal, berbentuk pipih menyerupai jantung, tangkai agak panjang, permukaan licin, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau tua. Bunga majemuk dengan bulir, berbentuk bulat panjang, panjang daun pelindung 1 mm, bulir jantan panjangnya 1,5 - 3 cm, benang sari dua dan pendek, bulir betina panjangnya 1,5 – 6 cm, kepala putik, dan warna bunga hijau kekuningan. Buah buni, berbentuk bulat, dan berwarna hijau keabuan (Agromedia, 2008).

2.1.3Kandungan kimia

Daun sirih hijau mengandung berbagai macam kandungan kimia yaitu minyak atsiri terpinen, seskuiterpen, fenilpropan, dan terpen (Depkes RI, 1980). Daun sirih hijau mengandung 4,2% minyak atsiri yang komponen utamanya terdiri dari betel fenol dan beberapa derivatnya diantaranya eugenol alilpirokatekol 26,8 – 42,5% ; sineol 2,4 – 4,8% ; metil eugenol 4,2 – 15,8% ;

caryophyllen (siskuiterpen) 3 – 9,8% ; hidroksikavikol, kavikol 7,2 – 16,7% ; kavibetol 2,7 – 6,2% ; estragiol, ilypyrokaktekol 0 – 9,6% ; karvakrol 2,2 – 5,6% ; alkaloid, flavonoid, triterpenoid atau steroid, saponin, terpen, fenilpropan,


(27)

terpinen, diastase 0,8 – 1,8% ; dan tanin 1 – 1,3% (Sastroamidjojo, 2001 : Darwis, 1992)

Daun sirih hijau mengandung asam amino kecuali lisin, histidin, dan arginin. Asparagin terdapat dalam jumlah yang besar, sedangkan glisin dalam bentuk gabungan, kemudian prolin dan ornitin. Daun sirih hijau yang lebih muda mengandung minyak atsiri (pemberi bau aromatik khas), diastase dan gula yang jauh lebih banyak dibandingkan daun yang lebih tua, sedangkan kandungan tanin pada daun muda dan daun tua dalah sama (Sastroamidjojo, 2001 : Darwis, 1992 : Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, ethereal oils, atau

volatile oils merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam tanaman yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air (Ketaren, 1985). Minyak atsiri tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa yang memiliki bau khas, umumnya mewakili bau tanaman asalnya. Sifat-sifat lain yang dimiliki oleh minyak atsiri antara lain, mempunyai rasa getir, kadang-kadang berasa tajam, memberi rasa hangat atau panas atau dingin ketika sampai dikulit yang tergantung dari komponen penyusunnya, dalam keadaan murni mudah menguap pada suhu kamar, bersifat tidak stabil terhadap pengaruh lingkungan, baik pengaruh oksigen udara, sinar matahari (terutama gelombang ultraviolet), dan panas, pada umumnya tidak dapat bercampur dengan air, serta sangat mudah larut dalam pelarut organik. Dalam keadaan segar dan murni,


(28)

9

minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani, 2004).

2.3 Minyak Atsiri Daun Sirih(P. betle L.) 2.3.1Sifat fisika kimia

Menurut Dutt (1957), minyak atsiri sirih mempunyai berat jenis sebesar (0,9408 – 1,0482), indeks bias (1,5048 - 1,5088), bilangan asam (4,2 – 14,8) dan bilangan penyabunan minyak atsiri sirih (5,84 – 8,36). Minyak atsiri sirih berwarna kuning kecoklatan, mempunyai rasa getir, berbau wangi dan larut di dalam pelarut organik seperti alkohol, eter dan kloroform serta tidak larut dalam air. Minyak atsiri sirih merupakan komponen yang penting dan memberikan bau aromatik dan rasa pedas yang khas.

2.3.2Kandungan kimia

Menurut penelitian Saxena et al., (2014), minyak atsiri daun sirih hijau yang diidentifikasi menggunakan GC-MS memiliki beberapa kandungan utama, yaitu

eugenol, metil eugenol, sabinene, β-salinene, α-salinene, hidroksikavikol, eugenol

asetat, α-farnesene, safrole, iso-safrole, metal isoeugenol, caryophyllene. Selain

itu, dilaporkan juga pada penelitian Sugurumanet al., (2011), kandungan utama minyak atsiri daun sirih hijau yang diteliti dengan GC-MS adalah 5-(2-propenil)- 1,3-benzodiozol (25,67%); kedua adalah eugenol (18,27%); ketiga adalah 2-metoksi-4-(2-propenil) asetat-fenol (8%).


(29)

2.3.3Aktifitas antifungi

Pengujian aktivitas antifungi minyak atsiri daun sirih hijau telah dilaporkan dalam beberapa penelitian. Pada penelitian Sugumaran et al., (2011), aktivitas antifungi minyak atsiri dari daun sirih hijau dilakukan menggunakan konsentrasi 25 µL, 50 µL, dan 100 µL, dimana seiring dengan meningkatnya konsentrasi, terjadi pula peningkatan penghambatan terhadap jamur C. albicans (MTCC 227) danS. Cerevisiae (MTCC 740), dengan metode difusi disk. Selain itu, telah dilaporkan juga bahwa nilai MIC minyak atsiri daun sirih berturut-turut terhadap

C. albicans (UPCC 2168) dan T. mentagrophytes (UPCC 4193) diperoleh pada konsentrasi 250 µg/mL dan 1,95 µg/mL menggunakan metode dilusi dan mempunyai nilai zona hambat yang sama, yaitu sebesar 90 mm dengan metode difusi disk yang menunjukkan bahwa minyak atsiri daun sirih hijau adalah agen antifungi yang sangat potensial (Adeltrudes and Osi, 2010).

2.4 Kandidiasis

Kandidiasis adalah istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh jamur dari genus Candida (Brown dan Burns, 2005).

Candida merupakan jamur komensal yang antara lain hidup dalam rongga mulut, saluran pencernaan, dan vagina. Akan tetapi, jika keseimbangan flora normal seseorang terganggu ataupun pertahanan imunnya menurun, maka sifat komensal

Candida ini dapat berubah menjadi patogen. C. albicans merupakan salah satu spesies Candida yang dianggap sebagai spesies paling patogen dan menjadi penyebab utama terjadinya kandidiasis, misalnya kandidiasis mulut (sariawan),


(30)

11

kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis kulit yang sifatnya sistemik (Tjay dan Rahardja, 2003).

Kandidiasis dapat terjadi secara eksogen dan endogen. Kandidiasis yang bersifat eksogen disebabkan oleh infeksi Candida yang berasal dari luar tubuh.

Candida yang berasal dari lingkungan dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, dan selanjutnya masuk ke organ saluran cerna yang lain. Sebelum melakukan adhesi di permukaan mukosa saluran pencernaan, organisme ini mensekresi enzim Sap. Enzim ini berfungsi menghidrolisis mukus pada permukaan mukosa saluran pencernaan sehingga memberikan akses langsung Candida pada permukaan sel epitel mukosa. Selanjutnya organisme ini melakukan adhesi pada permukaan sel epitel mukosa. Proses ini diperantarai oleh glikoprotein dan adhesin yang terdapat pada permukaan dinding sel Candida, termasuk fimbria. Fimbria dapat menjadi perantara dalam proses adhesi Candida pada reseptor glikosfingolipid di permukaan sel epitel mukosa. Sel ragi Candida kemudian membentuk koloni di permukaan sel epitel mukosa dan terus bereplikasi, serta menghasilkan metabolit-metabolit. Sedangkan infeksi secara endogen dapat terjadi karena ketidakseimbangan flora normal. Organisme ini memperoleh tempat menempel dan nutrisi lebih banyak, sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan dan jumlahnyapun bertambah banyak. Organisme ini kemudian akan melakukan transisi morfologi ke bentuk miselium dan mulai menginvasi jaringan tubuh inang sambil terus menghasilkan metabolit (Tyasrini dkk.,2006).


(31)

2.5 Candida albicans

Gambar 2.2 Candida albicans (A) dan ilustrasi morfologi C. albicans (B) (Jawetz et al., 1996 ; Hendriques, 2007)

2.5.1Klasifikasi

Kingdom : Fungi Phylm : Ascomycota Subphylm : Saccharomycotina Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomyceteae Genus : Candida

Species : Candida albicans

(Baker, 2012)


(32)

13

2.5.2Morfologi dan karakteristik

C. albicans secara morfologi mempunyai beberapa bentuk elemen jamur yaitu sel ragi (yeast), hifa, dan bentuk pseudohif. Sel-sel ragi berbentuk bulat sampai oval dan mudah terpisah dari satu sama lain. Pseudohifa tersusun memanjang, berbentuk elips yang tetap menempel satu sama lain pada bagian septa yang berkonstriksi dan biasanya tumbuh dalam pola bercabang yang berfungsi untuk mengambil nutrisi yang jauh dari sel induk atau koloni. Hifa sejati berbentuk panjang dengan sisi paralel dan tidak ada konstriksi yang jelas antar sel. Perbedaan antara ketiganya adalah pada derajat polarisasi pertumbuhan, posisi dari septin, derajat pergerakan nukleus serta derajat kemampuan melepas sel anak dari sel induk secara individual (Berman and Sudbery, 2015). Pertumbuhan optimum terjadi pada pH antara 2,5 – 7,5 dan temperatur berkisar 20oC – 38oC. C. albicans merupakan jamur yang pertumbuhannya cepat yaitu sekitar 48–72 jam. Kemampuan C. albicans tumbuh pada suhu 37oC merupakan karakteristik penting untuk identifikasi. Spesies yang patogen akan tumbuh secara mudah pada suhu 25oC– 37oC, sedangkan spesies yang cenderung saprofit kemampuan tumbuhnya menurun pada temperatur yang semakin tinggi (Tjampakasari, 2006). Rippon (1974) mengemukakan bahwa bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah terjadi lesi, dibentuk hifa untuk melakukan invasi.

Morfologi koloni C. albicans pada medium padat sabouraud dekstrosa agar

atau glucose-yeast extract-peptone water umumnya berbentuk bulat dengan ukuran (3,5-6) x (6-10) μm dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin,


(33)

kadang sedikit berlipat terutama pada koloni yang telah tua. Besar kecilnya koloni dipengaruhi oleh umur biakan. Warna koloni C. albicans putih kekuningan (krim lembut) dan berbau khas (Tjampakasari, 2006).

2.6 Destilasi Air

Destilasi air merupakan metode yang umum dipakai untuk mengekstrak minyak atsiri dari suatu tanaman (Guenther, 1998). Pengolahan minyak atsiri dengan metode destilasi air dikenal sebagai metode konvensional yang didasarkan pada prinsip bahwa campuran (uap minyak dan uap air) mempunyai titik didih sedikit lebih rendah dari titik didih uap air murni, sehingga campuran uap mengandung minyak memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan pengurangan kecepatan kohobasi, maka kandungan minyak dalam destilat akan lebih besar disebabkan oleh uap yang keluar akan lebih jenuh oleh uap minyak. Rendemen yang diperoleh dari metode destilasi air sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ukuran bahan, jumlah (rasio) bahan dan air yang digunakan, perlakuan pengadukan serta waktu proses (Djafar dkk., 2010).

Berdasarkan penelitian Yunilawati (2002), sebelum disuling daun sirih diiris halus (dirajang). Minyak atsiri dalam tanaman aromatik, dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh kantung minyak atau rambut glandular. Bila bahan dibiarkan utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi apabila uap air berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Proses ini hanya dapat terjadi karena peristiwa hidrodifusi.


(34)

15

2.7 Bioautografi Kontak

Bioautografi sering digunakan untuk mendeteksi antibiotik yang dapat dianalisis dengan KLT atau kromatografi kertas. Pada umumnya, efek biologi senyawa yang dapat dikatakan menghambat pertumbuhan organisme dinyatakan sebagai zona hambat (Touchstone dan Dobbins, 1983). Dari kromatogram KLT dapat diketahui jumlah komponen dalam sampel yang ditotolkan berdasarkan jumlah noda (dengan penampak noda yang sesuai), sedang data bioautogram memberikan informasi jumlah komponen sampel yang memiliki aktivitas terhadap mikroba uji (Isnaeni, 2005).

Salah satu keuntungan metode bioautografi dibandingkan dengan metode lain seperti difusi agar dan pengenceran adalah dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa yang komplek, terutama yang terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan mikroba, selain untuk pemisahan dan identifikasi, kelebihan lainnya metode bioautografi tersebut cepat, mudah untuk dilakukan, murah, hanya membutuhkan peralatan sederhana dan interpretasi hasilnya relatif mudah dan akurat (Kusumaningtyas, dkk., 2008).

Metode bioautografi dibedakan menjadi bioautografi kontak, bioautografi imersi atau agar overlay, dan bioautografi langsung atau kontak. Bioautografi kontak dilakukan dengan meletakkan lempeng kromatogram hasil elusi senyawa yang akan diuji diatas media padat yang sudah diinokulasi dengan mikroba uji. Adanya senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak ditumbuhi mikroba (Kusumaningtyas, dkk., 2008).


(35)

Pengujian senyawa antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode KLT bioautografi karena lebih mudah, sederhana dan paling sering digunakan. Pada bioautografi kontak diperoleh proses perpindahan senyawa aktif ke dalam medium agar yang dapat menghasilkan zona hambatan yang lebih besar dengan berkurangnya sensitifitas dan kemampuan membedakan antara senyawa aktif dengan nilai Rf yang sama. Pada bioautografi langsung, penyebaran mikroba pada lempeng sering tidak merata dan kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih besar, begitu pula halnya dengan bioautografi agar overlay dimana zona hambatannya agak sulit diamati, maka dengan bioautografi kontak ketersebaran bakteri atau jamur dapat dijamin serta zona hambatan dapat langsung diamati pada medium


(1)

kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis kulit yang sifatnya sistemik (Tjay dan Rahardja, 2003).

Kandidiasis dapat terjadi secara eksogen dan endogen. Kandidiasis yang bersifat eksogen disebabkan oleh infeksi Candida yang berasal dari luar tubuh. Candida yang berasal dari lingkungan dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, dan selanjutnya masuk ke organ saluran cerna yang lain. Sebelum melakukan adhesi di permukaan mukosa saluran pencernaan, organisme ini mensekresi enzim Sap. Enzim ini berfungsi menghidrolisis mukus pada permukaan mukosa saluran pencernaan sehingga memberikan akses langsung Candida pada permukaan sel epitel mukosa. Selanjutnya organisme ini melakukan adhesi pada permukaan sel epitel mukosa. Proses ini diperantarai oleh glikoprotein dan adhesin yang terdapat pada permukaan dinding sel Candida, termasuk fimbria. Fimbria dapat menjadi perantara dalam proses adhesi Candida pada reseptor glikosfingolipid di permukaan sel epitel mukosa. Sel ragi Candida kemudian membentuk koloni di permukaan sel epitel mukosa dan terus bereplikasi, serta menghasilkan metabolit-metabolit. Sedangkan infeksi secara endogen dapat terjadi karena ketidakseimbangan flora normal. Organisme ini memperoleh tempat menempel dan nutrisi lebih banyak, sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan dan jumlahnyapun bertambah banyak. Organisme ini kemudian akan melakukan transisi morfologi ke bentuk miselium dan mulai menginvasi jaringan tubuh inang sambil terus menghasilkan metabolit (Tyasrini dkk.,2006).


(2)

2.5 Candida albicans

Gambar 2.2 Candida albicans (A) dan ilustrasi morfologi C. albicans (B) (Jawetz et al., 1996 ; Hendriques, 2007)

2.5.1Klasifikasi

Kingdom : Fungi Phylm : Ascomycota Subphylm : Saccharomycotina Class : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomyceteae Genus : Candida

Species : Candida albicans

(Baker, 2012)


(3)

2.5.2Morfologi dan karakteristik

C. albicans secara morfologi mempunyai beberapa bentuk elemen jamur yaitu sel ragi (yeast), hifa, dan bentuk pseudohif. Sel-sel ragi berbentuk bulat sampai oval dan mudah terpisah dari satu sama lain. Pseudohifa tersusun memanjang, berbentuk elips yang tetap menempel satu sama lain pada bagian septa yang berkonstriksi dan biasanya tumbuh dalam pola bercabang yang berfungsi untuk mengambil nutrisi yang jauh dari sel induk atau koloni. Hifa sejati berbentuk panjang dengan sisi paralel dan tidak ada konstriksi yang jelas antar sel. Perbedaan antara ketiganya adalah pada derajat polarisasi pertumbuhan, posisi dari septin, derajat pergerakan nukleus serta derajat kemampuan melepas sel anak dari sel induk secara individual (Berman and Sudbery, 2015). Pertumbuhan optimum terjadi pada pH antara 2,5 – 7,5 dan temperatur berkisar 20oC – 38oC. C. albicans merupakan jamur yang pertumbuhannya cepat yaitu sekitar 48–72 jam. Kemampuan C. albicans tumbuh pada suhu 37oC merupakan karakteristik penting untuk identifikasi. Spesies yang patogen akan tumbuh secara mudah pada suhu 25oC– 37oC, sedangkan spesies yang cenderung saprofit kemampuan tumbuhnya menurun pada temperatur yang semakin tinggi (Tjampakasari, 2006). Rippon (1974) mengemukakan bahwa bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah terjadi lesi, dibentuk hifa untuk melakukan invasi.

Morfologi koloni C. albicans pada medium padat sabouraud dekstrosa agar atau glucose-yeast extract-peptone water umumnya berbentuk bulat dengan ukuran (3,5-6) x (6-10) μm dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin,


(4)

kadang sedikit berlipat terutama pada koloni yang telah tua. Besar kecilnya koloni dipengaruhi oleh umur biakan. Warna koloni C. albicans putih kekuningan (krim lembut) dan berbau khas (Tjampakasari, 2006).

2.6 Destilasi Air

Destilasi air merupakan metode yang umum dipakai untuk mengekstrak minyak atsiri dari suatu tanaman (Guenther, 1998). Pengolahan minyak atsiri dengan metode destilasi air dikenal sebagai metode konvensional yang didasarkan pada prinsip bahwa campuran (uap minyak dan uap air) mempunyai titik didih sedikit lebih rendah dari titik didih uap air murni, sehingga campuran uap mengandung minyak memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan pengurangan kecepatan kohobasi, maka kandungan minyak dalam destilat akan lebih besar disebabkan oleh uap yang keluar akan lebih jenuh oleh uap minyak. Rendemen yang diperoleh dari metode destilasi air sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ukuran bahan, jumlah (rasio) bahan dan air yang digunakan, perlakuan pengadukan serta waktu proses (Djafar dkk., 2010).

Berdasarkan penelitian Yunilawati (2002), sebelum disuling daun sirih diiris halus (dirajang). Minyak atsiri dalam tanaman aromatik, dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh kantung minyak atau rambut glandular. Bila bahan dibiarkan utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi apabila uap air berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Proses ini hanya dapat terjadi karena peristiwa hidrodifusi.


(5)

2.7 Bioautografi Kontak

Bioautografi sering digunakan untuk mendeteksi antibiotik yang dapat dianalisis dengan KLT atau kromatografi kertas. Pada umumnya, efek biologi senyawa yang dapat dikatakan menghambat pertumbuhan organisme dinyatakan sebagai zona hambat (Touchstone dan Dobbins, 1983). Dari kromatogram KLT dapat diketahui jumlah komponen dalam sampel yang ditotolkan berdasarkan jumlah noda (dengan penampak noda yang sesuai), sedang data bioautogram memberikan informasi jumlah komponen sampel yang memiliki aktivitas terhadap mikroba uji (Isnaeni, 2005).

Salah satu keuntungan metode bioautografi dibandingkan dengan metode lain seperti difusi agar dan pengenceran adalah dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa yang komplek, terutama yang terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk menghambat pertumbuhan mikroba, selain untuk pemisahan dan identifikasi, kelebihan lainnya metode bioautografi tersebut cepat, mudah untuk dilakukan, murah, hanya membutuhkan peralatan sederhana dan interpretasi hasilnya relatif mudah dan akurat (Kusumaningtyas, dkk., 2008).

Metode bioautografi dibedakan menjadi bioautografi kontak, bioautografi imersi atau agar overlay, dan bioautografi langsung atau kontak. Bioautografi kontak dilakukan dengan meletakkan lempeng kromatogram hasil elusi senyawa yang akan diuji diatas media padat yang sudah diinokulasi dengan mikroba uji. Adanya senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak ditumbuhi mikroba (Kusumaningtyas, dkk., 2008).


(6)

Pengujian senyawa antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode KLT bioautografi karena lebih mudah, sederhana dan paling sering digunakan. Pada bioautografi kontak diperoleh proses perpindahan senyawa aktif ke dalam medium agar yang dapat menghasilkan zona hambatan yang lebih besar dengan berkurangnya sensitifitas dan kemampuan membedakan antara senyawa aktif dengan nilai Rf yang sama. Pada bioautografi langsung, penyebaran mikroba pada lempeng sering tidak merata dan kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih besar, begitu pula halnya dengan bioautografi agar overlay dimana zona hambatannya agak sulit diamati, maka dengan bioautografi kontak ketersebaran bakteri atau jamur dapat dijamin serta zona hambatan dapat langsung diamati pada medium


Dokumen yang terkait

Daya Hambat Infusum Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Yang Diisolasi Dari Denture Stomatitis ; Penelitian In Vitro

7 106 73

PERBANDINGAN UJI AKTIVITAS ANTIFUNGI INFUSA DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) dan SIRIH HITAM (Piper betle L.) pada PERTUMBUHAN Candida albicans

3 29 22

Formulasi Tablet Hisap Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle L.) Menggunakan Metode Kempa Langsung Dengan Variasi HidroxypropilI Cellulose (HPC-SSL-SFP) Sebagai Pengikat

7 37 109

Pengaruh Beberapa Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Pertumbuhan Candida albicans.

0 3 71

Pengaruh Beberapa Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Pertumbuhan Candida albicans

0 4 61

Skrining Golongan Senyawa Bioaktif Antifungi Dalam Fraksi Etanol Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) dari daerah Dengan Zona Iklim Panas (0-700 mdpl) di Bali Terhadap Candida albicans ATCC 10231 Menggunakan Metode KLT-Bioautografi Kontak.

1 2 32

Skrining Golongan Senyawa Bioaktif Antibakteri Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau (piper betle L.) dengan Variasi Ketinggian Tempat di Bali terhadap Propionibacterium acnes Dengan Metode KLT-Bioautografi Kontak.

8 27 34

Uji Aktivitas Antifungi Minyak Atsiri Daun Sirih Variasi Ketinggian Tempat Tumbuh di Bali terhadap Fungi Candida albicans ATCC 10231 Dengan Menggunakan Metode Difusi Disk.

0 1 30

Uji Aktivitas Antifungi Fraksi Etanol Hasil Maserasi Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) Dari Beberapa Daerah Zona Iklim Panas (0-700 MDPL) di Bali terhadap Fungi Candida albicans ATCC 10231 Dengan Menggunakan Metode Difusi Disk.

0 0 32

Perbandingan Efektivitas Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn) dengan Minyak Atsiri Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) terhadap Candida albicans secara In Vitro

0 1 8