PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI UNTUK MENGEMBANGKAN WATAK KEWARGANEGARAAN(CIVIC DISPOSITION).
PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI UNTUK MENGEMBANGKAN WATAK KEWARGANEGARAAN
(CIVIC DISPOSITION)
(Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
oleh
MELISA
1202056
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
(2)
PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI UNTUK MENGEMBANGKAN WATAK KEWARGANEGARAAN
(CIVIC DISPOSITION)
(Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung)
Oleh Melisa
Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Sekolah Pasca Sarjana
© Melisa 2014
Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,
(3)
LEMBAR PENGESAHAN MELISA
NIM.1202056
PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI UNTUK MENGEMBANGKAN WATAK KEWARGANEGARAAN
(CIVIC DISPOSITION)
(Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung)
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING : Pembimbing I
Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si. NIP. 19690929 199402 1 001
Pembimbing II
Dr. Sunatra S.H, M.Si.
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed
(4)
TESIS
PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI UNTUK MENGEMBANGKAN WATAK KEWARGANEGARAAN
(CIVIC DISPOSITION)
(Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung)
Telah Dilaksanakan Ujian Sidang Tahap 1 Pada Tanggal : 23 Juni 2014
Tempat : Gedung SPS UPI
Pembimbing I :
Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., M.Si. NIP. 19690929 199402 1 001
Pembimbing II :
Dr. Sunatra S.H, M.Si.
Penguji :
Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si. NIP. 19700814 199402 1 001 :
Dr. Prayoga Bestari, M.Si. NIP. 19750414 200501 1 001
(5)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ABSTRAK
MELISA (1202056) PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI UNTUK MENGEMBANGKAN WATAK
KEWARGANEGARAAN (CIVIC DISPOSITION) (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung)
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Sukamiskin Bandung merupakan Lapas khusus yang ditunjuk untuk membina Narapidana Tindak Pidana Korupsi. Narapidana tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki tingkat pendidikan tinggi. Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi tetap harus dilakukan oleh pemerintah walaupun narapidana tindak pidana korupsi telah merugikan negara. Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Dikarenakan sifatnya yang luar biasa tersebutlah sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah bentuk dan materi program yang di arahkan untuk pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung? (2) Bagaimana efektivitas model pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic
Disposition) di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung? (3) Bagaimana komitmen dan
kebijakan pemerintah dalam pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung? (4) Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pembinaan para narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung? (5) Bagaimakah upaya Lapas Klas I Sukamiskin Bandung dalam mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi?
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus pendekatan penelitian kualitatif dengan mengambil lokasi di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi literatur. Subjek Penelitian yang dipakai adalah Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan petugas pembinaan sebagai responden.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, menghasilkan temuan bahwa: (1) Bentuk dan materi program yang di arahkan untuk pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung secara umum perencanaan pelaksanaan program pembinaan terhadap para Narapidana telah direncanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomr 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, namun masih bersifat homogen dan berlaku umum bagi seluruh Narapidana. (2) Efektifitas pembinaan berupa perubahan perilaku, sikap dan kepribadian akan dikembalikan lagi kepada Narapidana itu sendiri. (3) Komitmen Pemerintah melakukan berbagai cara untuk mengatasi masalah tindak pidana korupsi antara lain melalui penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi. (4) Hambatan dalam proses pembinaan lebih banyak berasal dari diri Narapidana itu sendiri, sedangkan faktor dari luar antara lain sarana dan prasarana, kuantitas dan kualitas petugas pembinaan serta
(6)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
anggaran yang kurang memadai. (5) Upaya Lapas Klas I Sukamiskin Bandung dalam mengatasi hambatan pelaksanaan pembinaan adalah telah diupayakan jalan keluarnya dengan cara menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dari luar.
Kata Kunci: Narapidana, Korupsi, Lembaga Pemasyarakatan, Civic Disposition ABSTRACT
MELISA (1202056) THE FOUNDING OF CORRUPTION CONVICTS TO DEVELOP CIVIC DISPOSITION (A Case Study in The 1st Class
Penitentiary Prison of Sukamiskin Bandung)
Sukamiskin is the first penitentiary prison in Bandung which specialised in handling corruption convicts. The corruption convicts usually have high education level. The founding of corruption convicts is still be done by government eventhough their crimes caused nation loss. Government needs special efforts to handle and eredicate this unusual trait. There are several problems that will be discussed in this research: (1) What kind of form and materials are directed in fostering civic disposition in The 1st Penitentiary Prison of Sukamiskin Bandung? (2) How effective coaching model committed against the corruption convicts in fostering civic disposition? (3) What are government’s commitment and policy in fostering the corruption convicts in The 1st Penitentiary Prison of Sukamiskin Bandung? (4) What factors do obstruct the process of fostering corruption convicts in developing civic disposition? (5) What are the efforts of The 1st Class Penitentiary of Sukamiskin Bandung in handling the obstacles of fostering the corruption convicts?
This research applied case study approach to qualitative research as a method. It took place in The 1st Class Penitentiary of Sukamiskin Bandung. The methods in collecting data were observation, interview, documentation and literature study. The subject of this reserach were the corruption convicts and officers as respondents.
The findings and discussions of this research showed that: (1) Form and materials that was directed in fostering corruption convicts to develop civic disposition in The 1st Class Penitentiary of Sukamiskin Bandung were already accordance with law No. 12 of 1995 about Correctional, but the it is still homogeneous and generally aplicable for all the convicts. (2) The effectiveness of fostering could be seen in the alteration of behaviour, attitude and character but all those alterations depended on the convicts themselves. (3) Government had commitment in commiting many efforts to handle corruption, one of the efforts was making regulation about the eredication of corruption. (4) Many obstacles in the process of fostering derived from the convicts themselves and some external factors such; facilities and infrastructure, quality and quantity of fostering officers and also the lack of budget. (5) The effort of The 1st Class Penitentiary of Sukamiskin Bandung in facing the obstacles was establishing cooperations with some related parties.
(7)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
V
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMAKASI ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Identifikasi Masalah Penelitian ... 10
C. Rumusan Masalah Penelitian ... 10
D. Tujuan Penelitian... 11
E. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI ... 13
A. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia ... 13
B. Lembaga Pemasyarakatan ... 15
1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 15
2. Tujuan Dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ... 16
C. Pembinaaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan ... 17
1. Pengertian Pembinaan ... 17
2. Ruang Lingkup Pembinaan ... 19
3. Tahap Pembinaan ... 23
4. Metode Pembinaan ... 25
D. Teori Pemidanaan ... 27
E. Kajian Tindak Pidana Korupsi... 29
1. Pengertian Korupsi ... 29
2. Penyebab Korupsi dalam Perspektif Teoritis ... 30
3. Tindak Pidana Korupsi ... 32
F. Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) ... 34
G. Paradigma Penelitian ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Pendekatan Dan Metode Penelitian... 37
1. Pendekatan Penelitian ... 37
2. Metode Penelitian... 38
B. Lokasi Dan Subjek Penelitian ... 40
(8)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
V
2. Subjek Penelitian ... 41
C. Definisi Operasional ... 41
D. Instrumen Penelitian ... 42
E. Prosedur Penelitian ... 43
1. Tahap Pra Penelitian ... 43
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 44
F. Teknik Pengumpulan Data ... 45
1. Observasi ... 45
2. Wawancara Mendalam ... 46
3. Studi Dokumentasi ... 47
4. Studi Literatur ... 48
G. Analisis Data ... 49
1. Reduksi Data ... 50
2. Display Data ... 50
3. Membuat Kesimpulan ... 50
H. Uji Validitas Data Penelitian ... 51
1. Triangulasi... 51
2. Menggunakan Member Check... 51
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN ... 52
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 52
1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 52
2. Visi Dan Misi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 54
3. Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin ... 54
4. Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 56
5. Kondisi Fisik dan Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 58
6. Keadaan Petugas Dan Warga Binaan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 63
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 66
1. Bentuk dan Materi Program Yang Diarahkan Untuk Pembinaan ... Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengmbangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 67
2. Efektivitas Model Pembinaan Yang Dilakukan Terhadap Narapidana ... Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengmbangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 82
3. Komitmen Dan Kebijakan Pemerintaha Dalam Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 84
(9)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
V
4. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengmbangkan Watak Kewarganegaraan (Civic
Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung 85
5. Upaya Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung Dalam Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana
Tindak Pidana Korupsi ... 87
C. Analisis Hasil Penelitian... 88
1. Bentuk dan Materi Program Yang Diarahkan Untuk Pembinaan ... Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengmbangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 88
2. Efektivitas Model Pembinaan Yang Dilakukan Terhadap Narapidana ... Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengmbangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 100
3. Komitmen Dan Kebijakan Pemerintaha Dalam Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 102
4. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengmbangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung….103 5. Upaya Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung Dalam Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi ... 111
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 113
A. Kesimpulan ... 113
B. Rekomendasi ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 117 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
V
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2013 ... . 5
Tabel 1.2 Tabulasi Data Penanganan Korupsi Berdasarkan Instansi 2004-2013 ... . 6
Tabel 4.1 Komposisi Penempatan Narapidana Di Dalam Blok Hunian ... 64
Tabel 4.2 Keadaan Petugas Berdasarkan Kepangkatan dan Tingkat Golongan ... . 65
Tabel 4.3 Keadaan Petugas Berdasarkan Penggolongan Jenis Kelamin... 66
Tabel 4.4 Keadaan Petugas Berdasarka Tingkat Pendidikan ... 66
Tabel 4.5 Daftar Isi Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Kewarganegaraan ... 66
Tabel 4.6 Daftar Isi Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Kategori Pidana ... 67
Tabel 4.7 Kondisi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Lapas Klas I Sukamiskin Bandung Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 67
Tabel 4.8 Keadaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Lapas Klas I Sukamiskin Berdasarkan Agama Yang Dianut ... 68
Tabel 4.9 Data Responden Warga Binaan Pemasyarakatan Tindak Pidana Korupsi 68
Tabel 4.10 Data Responden Petugas Lembaga Pemasyarakatan ... 69
Tabel 4.11 Jadwal Kegiatan Admisi & Orientasi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ... 72
(11)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
V
Tabel 4.12 Jadwal Kegiatan Pesantren Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Sukamiskin Bandung ... 77 Tabel 4.13 Jadwal Kegiatan Kebaktian Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Sukamiskin Bandung ... 79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi ... 4 Gambar 1.2 Penanganan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Instansi ... 5 Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data ... 50 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin
Bandung ... . 59 Gambar 4.2 Denah Lokasi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin ...
(12)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
V
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat-Surat Perizinan Penelitian 2. Dokumentasi Penelitian
3. Instrumen Penelitian 4. Undang-Undang
(13)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
(14)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “negara Indonesia
adalah negara hukum”. Hal tersebut menandakan bahwa segala urusan di Indonesia akan diselesaikan secara hukum. Hukum merupakan sesuatu yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Seperti dikemukakan Wiryono (2003, hlm.
15) mengatakan bahwa hukum adalah “rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam
masyarakat”.
Hukum mengatur hubungan antarwarga masyarakat untuk menciptakan tata kehidupan yang aman dan tertib. Setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kepentingan yang berbeda-beda tersebut kadang-kadang menimbulkan benturan yang dapat melahirkan konflik atau bahkan gangguan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Penyelesaian konflik dan benturan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat tidak selalu dapat diatasi oleh orang perseorangan. Dengan kata lain, penyelesaian tersebut harus dilakukan oleh kekuasaan pemerintah melalui pemberlakuan hukum yang bersifat memaksa. Peraturan tersebut memberi petunjuk kepada masyarakat bagaimana harus bertingkah laku dan bertindak dalam masyarakat. Sehingga masyarakat tidak akan terjebak untuk melakukan tindakan kriminal atau kejahatan.
Ketaatan terhadap hukum bersifat memaksa. Paksaan ketaatan tersebut dilakukan melalui pemberlakuan ancaman sanksi hukuman bagi para pelanggarnya. Dengan demikian, apabila terdapat anggota masyarakat yang melanggar kaidah hukum tersebut maka mereka dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggar hukum akan dijatuhkan oleh hakim yang sesuai dengan tindakan pidana yang dilakukannya. Menurut Wiryono (2003, hlm.
(15)
2
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
16) terdapat tiga jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum yaitu
“sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana”. Sanksi-sanksi tersebut dijatuhkan kepada pelanggar hukum sesuai dengan bidang hukumannya masing-masing.
Sanksi pidana merupakan sanksi yang diberikan bagi mereka atau warga negara yang melakukan tindak kejahatan atau tindak pidana. Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan bagi mereka atau warga negara yang melakukan tindak kejahatan atau tindak pidana diatur dalam KUHP Pasal 10 yaitu terdiri dari: Pidana Pokok (Pidana mati, Pidana penjara, Kurungan dan denda), dan Pidana Tambahan (Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu dan Pengumuman putusan hakim)
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam system hukum pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 12 ayat (1)
dinyatakan bahwa “pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu”. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Saleh (1987, hlm. 62) bahwa
“pidana penjara adalah pidana utama di antara pidana kehilangan kemerdekaan
dan pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu”.
Kehilangan kemerdekaan dari terpidana akan menimbulkan akibat negatif seperti terampasnya kemerdekaan bagi kehidupannya dan terampasnya kehidupan seksual normal seseorang. Selain itu juga akan mendapatkan cap jahat (stigma) dari masyarakat yang akan tetap melekat pada dirinya dan akan menyebabkan terjadinya penurunan derajat dan harga diri manusia.
Menurut Arief (dalam Priyatno, 2006a, hlm. 2) bahwa pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana yang masih menjunjung Hak Asasi Manusia dan orang yang telah dijatuhi pidana penjara akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Priyatno (2006b, hlm. 82) “Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si
pelaku”. Aspek perlindungan masyarakat bertujuan untuk mencegah, mengurangi
atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat, sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku bertujuan untuk
(16)
3
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenangan di luar hukum. Pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan terpidana untuk di kembalikan lagi ke masyarakat.
Direktorat Jendral Pemasyarakatan (2009, hlm. 11) mengemukakan bahwa:
“Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan fungsi sistem pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Secara filosofis pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi retributive (tindakan pembalasan), deterrence (penjeraan) dan juga resosialiasi. Dengan kata lain pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, dan juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofis reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau juga menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya atau reintegrasi“.
Lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan asas tersebut maka petugas pemasyarakatan lebih menekankan aspek pembinaan melalui sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan bertujuan menjadikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab agar dapat kembali kemasyarakat dan melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Agar mencapai sistem pembinaan yang baik maka partisipasi bukan hanya datang dari petugas pemasyarakatan, tetapi juga dari masyarakat di samping narapidana itu sendiri. Seorang petugas pemasyarakatan dapat dikatakan berpartisipasi jika sanggup menunjukan sikap, tindakan dan kebijaksanaan dalam mencerminkan pengayoman terhadap masyarakat dan Warga Binaan Pemasyarakatan itu sendiri.
Transparancy International Indonesia (TII) pada 9 Juli 2013 merilis hasil
(17)
4
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bertujuan mengukur efektivitas pemberantasan korupsi dan mengidentifikasi sektor-sektor publik yang rawan korupsi di setiap negara. Survey GCB menanyakan secara langsung kepada publik tentang pengalaman, penilaian dan peran mereka dalam pemberantasan korupsi. Telah dilakukan sejak tahun 2003, pada tahun 2013, GCB mensurvei 114 ribu orang di 107 negara. Di Indonesia, survei ini mencakup 1.000 responden di 5 kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Bandung).
Dalam survei ini di Indonesia, 72% warga menyatakan korupsi meningkat. Sementara 20% menyatakan kondisi sama dan hanya 8% menyatakan korupsi menurun. Ketika ditanya tentang upaya pemberantasan korupsi, 65% warga menyatakan belum efektif, sementara hanya 32% yang menyatakan sudah efektif.
Sisanya tidak yakin apakah efektif atau tidak.
(http://opengovindonesia.org/global-corruption-barometer-2013/)
Di bawah ini adalah data mengenai Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi:
Sumber:http://acch.kpk.go.id/statistik
Gambar 1.1
(18)
5
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Tabel 1.1
Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2013
(per 30 September 2013)
Penindakan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 65 569
Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 51 334
Penuntutan 2 17 23 19 35 32 32 40 36 27 263
Inkracht 0 5 17 23 23 39 34 34 28 25 228
Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 35 32 32 236
Sumber: http://acch.kpk.go.id/statistik
Penanganan TPK Berdasarkan Instansi:
Sumber: http://acch.kpk.go.id/statistik
Gambar 1.2
(19)
6
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Tabel 1.2
Tabulasi Data Penanganan Korupsi Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2013 (per 30 September 2013)
Instansi 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
DPR RI 0 0 0 0 7 10 7 2 6 2 34
Kementerian/Lembaga 1 5 10 12 13 13 16 23 18 31 142
BUMN/BUMD 0 4 0 0 2 5 7 3 1 0 22
Komisi 0 9 4 2 2 0 2 1 0 0 20
Pemerintah Provinsi 1 1 9 2 5 4 0 3 13 3 41
Pemkab/Pemkot 0 0 4 8 18 5 8 7 10 15 75
Jumlah 2 19 27 24 47 37 40 39 48 51 334
Sumber: http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan instansi
Data mengenai perkembangan kasus korupsi di atas menunjukkan mengenai peningkatan jumlah kasus korupsi di Indonesia yang nyaris tidak pernah menunjukkan adanya penurunan. Sungguh sebuah prestasi yang memalukan bagi masa depan bangsa ini yang terkenal hidup bersahaja, ramah dan berbudaya tinggi. Anehnya, berbagai upaya telah ditempuh untuk memberantas korupsi, namun belum mampu menurunkan peringkat Indonesia dalam deretan negara terkorup di dunia. Tindak pidana korupsi dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measure), untuk itu peran serta seluruh komponen masyarakat dalam hal pencegahan dan penindakan perkara korupsi sangat diperlukan. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa
(20)
7
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.
Masalah tindak pidana korupsi di Indonesia berkembang semakin masif. Sebab, korupsi terjadi di semua lini dari pusat hingga daerah. Praktik penyuapan terjadi di semua level birokrasi pemerintahan, mulai dari level terendah hingga level tertinggi. Di level birokrasi terendah dapat terlihat dari praktik-praktik yang terjadi di kelurahan, misalnya ketika pembuatan surat-surat resmi, seperti KTP dan sebagainya. (Ariati, 2010). Korbannya pun, semakin bertambah. Jika tidak diberantas secara sistemik, korupsi berpotensi merusak budaya bangsa. Korupsi di
Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. penanganan kasus korupsi ini ditengarai masih sulit dilakukan karena korupsi juga dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari lembaga yang seharusnya menindaklanjuti masalah ini, yaitu lembaga-lembaga bagian dari Sistem Peradilan Pidana (SPP). Lembaga-lembaga tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan Lembaga Penghukuman. Muhammad Mustofa (2007, hlm 44)
Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan per Undang-Undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi. Amanat Undang-Undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi. Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor. narapidana tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki tingkat pendidikan tinggi. Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi tetap harus dilakukan oleh pemerintah walaupun narapidana tindak pidana korupsi telah merugikan negara. Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi
(21)
8
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana tindak pidana korupsi memiliki peran penting dalam proses resosialisasi.
Dikarenakan sifatnya yang luar biasa tersebut sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Salah satu upaya-upaya luar biasa yang dimaksud adalah dengan melakukan pembinaan yang serius di lembaga pemasyarakatan. Dengan adanya pembinaan serius terhadap narapidana tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan maka kedepannya diharapkan dapat memperbaiki narapidana agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dan tidak menularkan prilaku buruk tersebut kepada orang lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan orang-orang yang dibina agar dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Individu yang sudah menerima hukuman, diharapkan mampu berfungsi dengan baik di lingkungan masyarakat. Namun, perubahan kondisi lingkungan dari bebas menjadi terbatas tetap akan memberikan dampak bagi individu yang mengalaminya.
Penempatan narapidana pada Lapas di Indonesia tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan. Lapas melalui sistem pemasyarakatannya adalah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana sehingga pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari konsep umum pemidanaan. Perdebatan mengenai tujuan pemidanaan ini telah berlangsung sejak lama. Hal ini disebabkan karena perbedaan teori dalam melihat tujuan pemidanaan tersebut.
Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan acuan dan perbandingan dalam memahami tujuan pemidanaan. Menurut Muladi (2002, hlm 74), teori penegakan hukum atau teori pemidanaan dimaksudkan untuk mencari dasar pembenaran dijatuhkannya pidana kepada pelaku tindak pidana serta tujuan yang akan dicapai dengan penjatuhan pidana. Secara garis besar dapat dikemukakan teori tentang pemidanaan sebagai berikut :
1. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldingstheorien), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya
(22)
9
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian), memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif berasakan 3 tujuan utama pemidanaan yaitu preventif (tujuannya untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat), detterence (untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang), dan reformatif.
3. Teori gabungan, memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung kerakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
Di dalam melaksanaan suatu pembinaan, secara ilmu pengetahuan dikenal dengan teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi: 1) Asimilasi, dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. 2) Reintegrasi Sosial, dalam reintegrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pembinaan Lembaga Pemasyarakatan yang dituangkan pada judul penelitian yaitu: Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung).
(23)
10
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu B. Identifikasi Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasikan bahwa masalah penelitian yang ingin diangkat adalah pembinaan narapidana tindak pidana korupsi. narapidana tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki tingkat pendidikan tinggi. Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi tetap harus dilakukan oleh pemerintah walaupun narapidana tindak pidana korupsi telah merugikan negara. Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana tindak pidana korupsi memiliki peran penting dalam proses resosialisasi. Dikarenakan sifatnya yang luar biasa tersebutlah sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Salah satu upaya luar biasa yang dimaksud adalah dengan melakukan pembinaan yang serius di lembaga pemasyarakatan.
C.Rumusan MasalahPenelitian
1. Bagaimanakah bentuk dan materi program yang diarahkan untuk pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung?
2. Bagaimana efektivitas model pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung?
3. Bagaimana komitmen dan kebijakan pemerintah dalam pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ?
4. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pembinaan para narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung?
(24)
11
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5. Bagaimanakah upaya Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung dalam mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap narapidana Tindak Pidana Korupsi?
D.Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui bentuk dan materi program yang diarahkan untuk pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung
2. Untuk mengetahui efektivitas model pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung
3. Untuk mengetahui komitmen dan kebijakan pemerintah dalam pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung
4. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pembinaan para narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung
5. Untuk mengetahui upaya Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung dalam mengatasi hambatan pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi?
E.Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini dapat dilihat dari dua macam, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Secara Teoritis
Dapat memberikan suatu gambaran tentang pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic
Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung. 2. Manfaat Secara Praktis
a. Dapat memberikan gambaran tentang pembinaan terhadap para narapidana tindak pidana korupsi.
(25)
12
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
b. Memberikan informasi tentang efektivitas pembinaan moral terhadap para narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
c. Diharapkan menjadi bahan masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk mengkaji dan melakukan perbaikan pembinaan terhadap para narapidana untuk meningkatkan watak kewarganegaraan (Civic
Disposition)
(26)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB III
METODE PENELITIAN
A.Pendekatan dan Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan, pertama, permasalahan yang dikaji dalam penelitian tentang suatu kajian pembinaan narapidana tindak pidana korupsi ini membutuhkan sejumlah data lapangan yang sifatnya aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada keterkaitan masalah yang dikaji dengan sejumlah data primer dari subjek penelitian yang tidak dapat dipisahkan dari latar yang diamatinya. Pemilihan pendekatan penelitian kualitatif ini dikarenakan secara menyeluruh situasi sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas I sukamiskin Bandung.
Sejalan apa yang diungkapkan menurut Zuriah (2006, hlm. 83) pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitar. Hal tersebut menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memehami suatu fenomena berdasarkan tradisi metodologi penelitian yang khas, yang menggali atau mengeksplorasi suatu masalah sosial.
Pendekatan penelitian kualitatif ini digunakan untuk meneliti kondisi obyek kajian dalam keadaan yang sebenarnya dilapangan, peneliti sebagai instrumen penting dalam penelitian dengan mencari fakta melalui kegiatan yang sebenarnya dalam lembaga pemasyarakatan.
Untuk kepentingan tersebut ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: a. Memilih lokasi penelitian, sesuai dengan masalah penelitian sebagaimana
dikemukkan diatas, maka Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung merupakan lokasi penelitian ini.
(27)
38
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
b. Untuk memperoleh makna yang lebih mendalam tentang pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (civic disposition), maka penelitian hanya difokuskan pada petugas seksi Bimbingan Pemasyarakatan, dan narapidana tindak pidana korupsi berdasarkan tingkat pendidikan terakhir para narapidana.
c. Memahami pikiran, perasaan, dan harapan informan, baik dari para petugas lembaga pemasyarakatan maupun para narapidana berkaitan dengan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi.
d. Menggali pengalaman hidup, baik pengalaman berupa penderitaan, kejahatan maupun kebahagiaan dalam kaitannya dengan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi.
e. Mengamati gejala-gejala yang muncul dari ekspresi dan isyarat pemahaman, sikap dan perilaku responden.
f. Mencatat segala sesuatu yang terjadi di lokasi penelitian, baik yang diperoleh melalui dokumen, pengamatan maupun wawancara. Pencatatan dilakukan apa adanya dan segera setelah suatu kegiatan berlangsung.
Dengan pendekatan ini, diharapkan terkumpul data ekslusif untuk menjawab permasalahan sesuai dengan tujuan penelitian ini. Untuk itu, selama berada di lapangan peneliti berusaha tidak mengganggu suasana. Dengan demikian, peneliti dengan bebas dapat melakukan penelitian dalam keadaan wajar sesuai tujuan yang telah dirumuskan.
2. Metode Penelitian
Pemilihan studi kasus dalam penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa kajian tentang proses pembinaan narapidana tindak pidana korupsi merupakan
“fenomena masa kini di dalam kehidupan nyata” (Yin, 2004, hlm. 1). Selain itu
penelitian ini adalah penelitian emik, yang bermaksud menyajikan berbagai pandangan subyek yang diteliti tentang proses pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan studi kasus metode ini dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap individu, kelompok, organisasi atau gejala tertentu yang dibatasi peristiwa dan waktu dengan memanfaatkan multisumber bukti.
(28)
39
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode studi kasus berdasarkan Lincoln dan Denzin (2009, hlm. 300) bahwa kasus adalah suatu sistem yang terbatas abounded system. Oleh karena itu, menggunakan studi kasus karena metode ini dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap pembinaan narapidana tindak pidana korupsi.
Creswell (1998a, hlm. 61) mengemukakan bahwa “a case study is an
exploration of a system or a case (or multiple case) over time through detailed,
indepth data collection involving multiple sorce of information rich in context”.
Maksudnya bahwa metode studi kasus ini adalah suatu pendalaman atau eksplorasi terhadap sistem yang dibatasi atau sebuah kasus (beberapa kasus) yang terjadi dalam waktu yang lama melalui pengumpulan data secara mendalam dan terperinci, yang meliputi berbagai sumber informasi yang sangat berkaitan dengan konteksnya. Sedangkan menurut Nazir (1999, hlm. 66) tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat yang khas diatas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.
Lincoln & Guba (dalam Mulyana, 2002, hlm. 201) mengemukakan keistimewaan studi kasus sebagai berikut:
a. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan sybjek yang diteliti.
b. Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari.
c. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukan hubungan antara peneliti dan responden.
d. Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga kepercayaan (trustworthiness).
e. Studi kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas transferabilitas.
f. Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.
Sesuai dengan apa yang diungkapkan Lincoln dan Guba di atas, diharapkan penelitian yang dilakukan ini secara komprehensif mampu
(29)
40
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
mengungkapkan fakta-fakta, sehingga diperoleh fakta-fakta yang dapat dikaji dan dianalisis sebagai upaya mendukung proses pembinaan narapidana tindak pidana korupsi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode studi kasus merupakan penelitian yang menggunakan peneliti sebagai instrument, sehingga peneliti dapat menggambarkan atau menuliskan suatu keadaan, di mana subjek atau objek penelitian dapat berupa seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang menampak atau sebagaimana mestinya.
Adapun kasus yang di maksud dalam penelitian ini adalah bagaimana pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (civic disposition) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung. Kasus tersebut dibatasi dalam satu Lembaga Pemasyarakatan Klas I sukamiskin Bandung. Dengan studi kasus tersebut, diharapkan dapat terungkap sekumpulan temuan mengenai kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan dari awal kegiatan sampai dengan hasil pembinaan tersebut.
B.Lokasi Dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung terletak di Jl. Raya Sukamiskin 114 Bandung. Kementerian Hukum dan HAM menetapkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin di Jawa Barat sebagai tempat khusus untuk para narapidana tindak pidana korupsi. Pemilihan Lapas Sukamiskin sebagai tempat khusus untuk tahanan korupsi ini sudah melalui kajian. Setiap sel di Lapas tersebut hanya cukup untuk satu orang. Berdasarkan sejarah, Lapas Sukamiskin dibangun sejak zaman kolonial Belanda, sekitar 1817. Lapas tersebut pernah menampung Presiden Soekarno, kepala negara pertama. Sekitar Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya di Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat. Di Lapas Sukamiskin,
(30)
41
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Soekarno menempati kamar tahanan nomor 233 Blok Timur Lantai 2. Sekarang, sel tersebut bernomor TA01 yang merupakan singkatan dari Timur Atas 01.
2. Subjek Penelitian
Menurut Arikunto (1998a, hlm. 122) “Subjek yang dituju untuk diteliti
oleh peneliti”. Dalam penelitian kualitatif, subjek penelitian dikatakan sebagai
informan yaitu orang yang memberikan informasi. Penentuan responden sebagai subjek penelitian dilakukan dengan cara purposif, hal ini merujuk pada pendapat Nasution (2003a, hlm. 11) bahwa dalam metode naturalistik tidak menggunakan sampling random atau acak dan tidak menggunakan populasi dan sample yang banyak. Sample biasanya sedikit dan dipilih menurut tujuan (purpose) penelitian.
Berdasarkan hal di atas, responden yang akan dijadikan subjek penelitian berjumlah 11 (sebelas) orang dengan perincian sebagai berikut::
a) Delapan Warga binaan pemasyarakatan tindak pidana korupsi berdasarkan tingkat pendidikannya dimulai dari yang berpendidikan terakhir SMA sampai yang S3
b) Tiga Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung yaitu Kepala dan staf Bimbingan Kemasyarakatan (BIMKEMASY).
C.Definisi Oprasional
1. Lembaga Pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
2. Narapidana Tindak Pidana Korupsi, adalah terpidana yang menjalani pidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Maksud dari hilangnya kemerdekaan yaitu Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lapas narapidana tetap memperoleh hak-hak yang lain seperti layaknya
(31)
42
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3. Tindak Pidana Korupsi, Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khsusus yang diatur dalam Undang-Undang hukum pidana yang khusus, yaitu Undang No. 31 tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001). Ciri-ciri hukum pidana khusus, terutama, yaitu menyimpang dari asas-asas yang diatur dalam Undang-Undang hukum pidana umum.
4. Pembinaan, adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada
Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “pembinaan adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan
anak didik pemasyarakatan” Usaha yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pemasyarakatan dalam membentuk sikap, akhlak, susila serta budi pekerti terhadap tindak pidana agar mereka menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat di terima kembali oleh lingkungan masyarakat.
5. Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition), watak kewarganegaraan (Civic Dispositions), merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat dan harga diri dan kepentingan umum.
D.Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri. Seperti halnya diungkapkan oleh Sugiono (2005, hlm. 59) bahwa dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat peneliti adalah peneliti itu sendiri. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Creswell (1998b, hlm. 261) bahwa “peneliti berperan sebagai instrumen kunci (researcher as key instrument) atau yang
utama” para peneliti kualitatif mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi,
observasi perilaku atau wawancara. Human Instrument ini dibangun atas dasar pengetahuan dan menggunakan metode yang sesuai dengan tuntutan penelitian.
(32)
43
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1982, hlm. 33-36) yaitu:
“Riset kualitatif mempunyai latar alami karena yang merupakan alat penting
adalah adanya sumber data yang langsung dari perisetnya. Riset kualitatif itu bersifat deskriptif. Periset kualitatif lebih memperhatikan proses ketimbang hasil atau produk semata. Periset kualitatif cenderung menganalisis datanya
secara induktif. Makna merupakan soal essensial untuk rancangan kualitatif”
Sebagaimana pendapat Creswell (2010, hlm. 264) bahwa peneliti terlibat dalam pengalaman yang berkelanjutan dan terus menerus dengan para partisipan. Instrumen utama dalam penelitian adalah peneliti sendiri yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi melalui observasi dan wawancara.
Didalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan antar manusia, artinya selama proses penelitian peneliti akan lebih banyak mengadakan kontak dengan orang-orang di sekitar lokasi penelitian yaitu Lembaga pemasyarakatan narapidana tindak pidana korupsi. Dengan demikian peneliti lebih leluasa mencari informasi dan data yang terperinci tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian.
E.Prosedur Penelitian 1. Tahap Pra Penelitian
Pada tahap pra penelitian ini yang pertama kali dilakukan adalah memilih masalah, menentukan judul dan lokasi penelitian dengan tujuan menyesuaikan keperluan dan kepentingan fokus penelitian yang akan diteliti. Setelah masalah dan judul penelitian dinilai tepat dan disetujui oleh pembimbing, peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan gambaran awal tentang subjek yang akan diteliti.
Setelah diperoleh gambaran mengenai subjek yang akan diteliti serta masalah yang dirumuskan relevan dengan kondisi objektif di lapangan, selanjutnya peneliti menyusun proposal penelitian. Sebelum melaksanakan penelitian, terlebih dahulu peneliti harus menempuh prosedur perizinan sebagai berikut:
(33)
44
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
a) Mengajukan surat permohonan izin untuk melakukan penelitian kepada Direktur Sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
b) Mendapatkan rekomendasi izin penelitian dari Direktur Sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia untuk kemudian diberikan kepada Kepala kanwil Kemenkumham Provinsi Jawa Barat
c) Setelah mendapatkan izin dari Kepala Kanwil Kemenkumham Provinsi Jawa Barat, peneliti selanjutnya menyampaikan surat penelitian ini kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung sebagai pemberitahuan/pemberian izin untuk melaksanakan penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap pra penelitian selesai, maka peneliti mulai terjun ke lapangan untuk memulai penelitian. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a) Menghubungi Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenhumham Wilayah Jawa Barat dan Kepala Lapas untuk meminta informasi dan meminta izin melaksanakan penelitian.
b) Menentukan informan yang akan diwawancara c) Menghubungi informan yang akan diwawancara
d) Mengadakan wawancara dengan petugas lapas dan pelaksana pembina sesuai dengan kesepakatan sebelumnya
e) Mengadakan wawancara dengan warga binaan pemasyarakatan
f) Melakukan studi dokumentasi dan membuat catatan yang diperlukan yang dianggap berkaitan dengan masalah yang akan diteliti
g) Mengikuti kegiatan yang terkait masalah yang akan diteliti
Setelah selesai mengadakan wawancara dengan informan, peneliti menuliskan kembali data yang terkumpul ke dalam catatan lapangan dengan tujuan agar dapat mengungkapkan data secara terperinci. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, disusun dalam bentuk catatan lengkap setelah didukng oleh dokumen lainnya.
(34)
45
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, wawancara, dokumentasi dan triangulasi. Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dikumpulkan, kemudian direduksi sehingga dapat dilakukan analisis mengenai pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
Alat pengumpulan data dalam kualitatif adalah penelitian itu sendiri dalam mengunggkap sumber data (responden) secara mendalam dan bersifat radikal, sehingga diperoleh data yang utuh tentang segala pernyataan yang disampaikan sumber data Moleong (2010, hlm. 163). Sedangkan instrument pembantu berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman studi dokumentasi.
Pada penelitian ini, di mana kedudukan peneliti sebagai alat peneliti utama yang menyatu dengan sumber data yang di amati, maka proses pengumpulan data dalam penelitian studi kasus ini menggunakan beberapa teknik penelitian, yaitu:
1. Observasi
Observasi yaitu pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Arikunto (1998b, hlm. 129) berpendapat bahwa “observasi dilakukan oleh pengamat dengan
menggunakan instrumen pengamatan maupun tanpa instrumen pengamatan”.
Observasi yang peneliti lakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung ini meliputi:
a) Pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
b) Pengamatan terhadap antusias para narapidana terhadap kegiatan- kegiatan yang merupakan proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
c) Pengamatan terhadap hasil dari pembinaan, seperti hasil kerajinan ketrampilan para narapidana.
d) Pengamatan terhadap ucapan serta ekspresi muka serta gerak tubuh para narapidana selama peneliti melakukan interview, khusunya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang peka.
(35)
46
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
e) Pengamatan terhadap berbagai program pembinaan yang dilaksanakan Lapas Klas I Sukamiskin Bandung dalam membina narapidana tindak pidana korupsi dalam mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic
Disposition).
f) Pengamatan terhadap tantangan, persoalan, serta solusi Lapas Klas I Sukamiskin Bandung dalam melaksanakan program pembinaan.
Dalam penelitian ini, observasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang tindakan pembimbing/petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan Pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung, tindakan narapidana dalam mengikuti pembinaan dan tindakan Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam memantau kegiatan pembinaan. Dari observasi ini, peneliti dapat mempelajari langsung tentang Pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan dan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan sebagai lingkungan pembinaan bagi narapidana.
2. Wawancara mendalam (Indepth Interviewing)
Wawancara merupakan percakapan antara peneliti dan responden. Dengan cara peneliti mengajukan pertanyaan kepada responden guna mendapatkan informasi baik bersifat verbal maupun non verbal. Wawancara yang digunakan adalah dengan menggunakan sistem wawancara terbuka yang berarti subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai, dan mengerti maksud wawancara.
Wawancara dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh lewat observasi dan untuk melengkapi data yang tidak mungkin diperoleh dari kegiatan observasi dan studi dokumentasi. Melalui wawancara peneliti dapat mempelajari pengetahuan dan sikap (perasaan, keinginan dan harapan) informan. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data tentang kata-kata atau ungkapan narapidana, yang telah lama terlibat dalam kegiatan Pembinaan narapidana, pembimbing/petugas atau instruktur kegiatan pembinaan yang secara resmi diberi wewenang untuk membina narapidana, baik mereka yang bertugas di bidang pendidikan agama, pendidikan umum, maupun yang berperan membina ketrampilan kerja yang berkaitan dengan Pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung beserta kendala-kendalanya.
(36)
47
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Dalam penelitian ini, wawancara informal lebih bayak digunakan. Wawancara berlangsung dalam situasi alamiah, kekeluargaan, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada spontanitas peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang diperlukan tanpa mengganggu perasaan orang yang diwawancarai dan wawancara bisa dilakukan setiap saat.
Dari wawancara tersebut peneliti memperoleh sejumlah data dari para informan yang disampaikan secara langsung dan spontan. Dalam situasi ini, peneliti dapat mengamati dan mempelajari data yang keluar dari perilaku dan ekspresi informan yang mendukung data yang disampaikan secara lisan (perasaan, keinginan dan harapan) informan. Untuk membantu mempermudah peneliti dalam menjaring data melalui wawancara dan untuk mencegah adanya data yang tidak tercatat, maka dipergunakan alat selama tidak mengganggu suasana wawancara.
3. Studi Dokumentasi (Document of study)
Studi dokumentasi dalam penelitian ini difokuskan pada dokumen-dokumen berbentuk tulisan, karya akademik, serta foto ataupun film berbagai program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
Studi dokumentasi adalah setiap bahan tertulis ataupun film, selain recorder yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Semua itu guna menunjang perolehan data dari lapangan sesuai dengan tujuan penelitian. Studi Dokumentasi adalah mengumpulkan sejumlah dokumen yang diperlukan sebagai data informasi sesuai dengan masalah penelitian, seperti peta, data statistik, jumlah dan nama pegawai, data siswa, data penduduk, grafik, gambar, surat-surat, foto, akte, dan sebagainya. Danial (2009a, hlm. 79).
Studi dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk menelusuri dan menemukan informasi tentang pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung beserta kendala-kendalanya dari berbagai dokumen yang bersifat permanen dan tercatat agar data yang diperoleh lebih abash. Dokumen-dokumen yang ditelusuri adalah program pembinaan narapidana dan buku catatan narapidana.
Seluruh data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi dicatat dalam catatan lapangan yang memuat deskripsi yang luas tentang pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan
(37)
48
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Klas I Sukamiskin Bandung beserta kendala-kendalanya. Pencatatan dilakukan secara selektif sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti memilih fakta dan informasi mana yang harus diperhatikan/dicatat dan mana yang harus diabaikan, fakta dan informasi yang dicatat itulah yang dijadikan data.
Adapun studi dokumentasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Mengumpulkan berbagai dokumen, foto ataupun film dan bentuk lainnya yang berhubungan dengan perencanaan program pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung.
b) Mengumpulkan berbagai dokumen, foto ataupun film dan bentuk lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan program pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung.
c) Mengumpulkan berbagai dokumen, foto ataupun film dan bentuk lainnya yang berhubungan dengan proses program pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung.
d) Mengumpulkan berbagai dokumen, foto ataupun film dan bentuk lainnya yang berhubungan dengan efektifitas program pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Klas I Sukamiskin Bandung.
e) Mengumpulkan berbagai dokumen, foto ataupun film dan bentuk lainnya yang berhubungan dengan program pembinaan yang dilaksanakan Lapas Klas I Sukamiskin Bandung dalam membina narapidana tindak pidana korupsi dalam mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic
Disposition).
f) Mengumpulkan berbagai dokumen, foto ataupun film dan bentuk lainnya yang berhubungan dengan tantangan, persoalan, serta solusi Lapas Klas I Sukamiskin Bandung dalam melaksanakan program pembinaan.
4. Studi Literatur (Literature of study)
Studi literatur adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, liflet, yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian. Danial (2009b, hlm. 80). Hal tersebut untuk memperoleh informasi-informasi yang menunjang bahan kajian khususnya yang
(38)
49
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
berkaitan dengan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi beserta kendala-kendalanya.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan peraturan perundangan yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan, serta putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap serta mempelajari sejumlah literatur buku, jurnal, surat kabar, dan sumber kepustakaan lainnya untuk memperoleh informasi-informasi yang menunjang bahan kajian khususnya yang berkaitan dengan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
G.Analisis Data
Pengolahan dan analisis data merupakan suatu langkah penting dalam penelitian, karena dapat memberi makna terhadap data yang dikumpulkan oleh peneliti. Pengolahan data dan analisis data akan dilakukan melalui suatu proses yaitu penyusunan, mengkatagorikan data, mencari kaitan isi dari berbagai data yang diperoleh dengan maksud untuk mendapatkan maknanya.
Miles & Huberman (1992a, hlm. 16-18), menganalisis data dengan langkah-langkah yang terdiri dari alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian analisis yang saling susul menyusul.
Sumber: Miles dan Huberman (1992b, hlm. 20)
Gambar 3.1
Komponen-Komponen Analisis Data
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan: Penaran/Verifikasi
(39)
50
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Analisis data merupakan proses menyusun, mengkategorikan data, mencari pola atau tema, dengan maksud untuk memahami maknanya. Nasution (2003b, hlm. 142). Berkaitan dengan hal tersebut, maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan langkah awal dalam menganalisis data, kegiatan ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap data yang telah terkumpul. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, dipelajari, ditelaah dan dipahami maka peneliti berusaha membuat rangkuman. Rangkuman ini, merupakan inti dari data yang diperoleh yang difokuskan pada hal-hal yang penting sesuai dengan permasalahan.
Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, mempelajari, mengamati dan memahami dokumen resmi berupa Pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung, struktur kelembagaan, gambaran pelaksanaan Pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
2. Display Data
Setelah dilakukannya reduksi data, langkah selanjutnya yaitu display data adalah penyajian secara singkat agar peneliti dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail. Display data bertjuan agar dapat melihat gambaran keseluruhan untuk mengambil kesimpulan secara tepat dari bagian yang menjadi hasil penelitian. Dalam hal ini pembuatan display data meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, deskripsi hasil wawancara di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung, analisis data yang diperoleh, kesimpulan dari hasil penelitian serta saran.
3. Membuat Kesimpulan
Adapun tujuan akhir dari sebuah penelitian adalah membuat kesimpulan dari makna atau data yang didapatkan dari hasil penelitian. Kesimpulan ini disusun dalam bentuk pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu pada
(40)
51
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
tujuan penelitian yang ditetapkan. Kesimpulan sementara yang telah dirumuskan masih terus diverifikasi berulang-ulang dan bertahap sehingga menjadi kesimpulan akhir. Kesimpulan ini diambil dari data yang telah dianalisis mengenai Pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin Bandung.
H. Uji Validitas Data Penelitian 1. Triangulasi
Pengujian validitas data dalam hasil penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dokumentasi dan literatur pada sumber yang sama yaitu dengan melakukan pengecekkan ulang temuan antar sumber data, metode pengumpul data dan teori yang relevan dengan fokus penelitian. Menurut Creswell (1998, hlm 286) Triangulasi adalah mentriangulasi sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi.
2. Member Check
Dalam tahap ini dilakukan pemantapan informasi atau data penelitian yang telah terkumpul selama tahap eksplorasi atau studi lapangan dengan demikian hasil penelitiannya dapat diharapkan memiliki tingkat validitas yang tinggi. Dalam kaitan itu, data yang diperoleh melalui penggunaan teknik wawancara dibuat dalam bentuk transkip.
Demikian juga halnya dengan data yang diperoleh melalui penggunaan teknik studi dokumentasi, dan data yang diperoleh melalui teknik observasi dibuat dalam bentuk catatan-catatan lapangan. Kemudian, peneliti menunjukkannya kepada informan. Peneliti meminta mereka membaca dan memeriksa kesesuaian informasi dengan apa yang telah dilakukan. Apabila ditemukan ada informasi yang tidak sesuai, maka peneliti harus segera berusaha memodifikasinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Creswell (1998, hlm 187) bahwa Member Check adalah membawa kembali hasil laporan akhir deskripsi tema-tema spesifik ke hadapan partisipan untuk mengecek apakah mereka merasa bahwa laporan/deskripsi/tema tersebut sudah akurat.
(1)
117
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dalam fokus permasalahan dan subjek penelitian. Peneliti lain diharapkan dapat mengkaji lebih lanjut dari apa yang dihasilkan dalam penelitian ini agar pada akhirnya kajian dibidang ini diharapkan semakin menarik dan lebih lengkap. Beberapa aspek yang dapat diteliti lebih lanjut diantaranya sebagai berikut:
a) Fokus permasalahan, pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) ini menggunakan pendekatan kualitatif, untuk ke depannya dapat dijadikan referensi oleh peneliti selanjutnya dengan menggunakan penelitian kuantitatif mengenai pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition) di Lembaga Pemasyarakatan
b) Subjek penelitian belum menjangkau sample seluruh penghuni Lembaga Pemasyarakatan, dan belum membandingkan variabel lainnya diluar pembinaan narapidana tindak pidana korupsi untuk mengembangkan watak kewarganegaraan (Civic Disposition)
(2)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bati, 2002.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta: Balai Pustaka
Atmasasmita, Romli (1983). Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam
Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni
Bogdan dan Biklen, (1982), Qualitative Research For An Introduction The
Teory And Method, London.
Bronson, M. S. (1999). Belajar “Civic Education” dari Amerika (eds Terjemahan). Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKis) dan
The Asian Foundation (TAF).
Budimansyah & Suryadi, (2008). PKn Dan Masyarakat Multikultural Bandung: SPS UPI
Creswell, J. W. (1998). Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Creswell, J. W. (2010). Qualitative inquiry and research design : choosing
among five tradition. London : Sage Publication
Danial, Endang dan Nanan Wasriah. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Laboratorium PKn Universitas Pendidikan Indonesia.
Danny J.Yatim dan Irwanto (1993). Kepribadian, Keluarga dan Narkotika. Jakarta: Arcan
Darmawan, Cecep Dkk, (2009). Korupsi Dan Pendidikan Antikorupsi. Bandung: Pustaka Aulia Press
Denzin, NK dan Yvonna S. Lincoln (2009). Handbook of Qualitative
(3)
118
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Departemen Pembinaan Hukum Nasional. (1990). Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan, Cetakan I. Jakarta: Depkeh RI
Direktorat Jendral Pemasyarakatan, (1983), Dari Penjara Ke Sistem
Pemasyarakatan. Jakarta: Direktorat Jendral Pemasyarakatan.
Direktorat Jendral Pemasyarakatan, (2009), Cetak Biru Pembaharuan
Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Jakarta: Direktorat Jendral
Pemasyarakatan.
Ermansjah Djaja. (2010). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika.
Gunakarya, A. Widiadi.(1988). Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico
Handoyo, Eko (2009) Pendidikan Anti Korupsi, Semarang: Widyakarya Press Harsono Hs, C.I. (1995). Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta:
Djambatan
Hartanti, Evi. (2008). Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika
Mangunhardjana, A. (1986) Pembinaan: Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius.
Miles, Matthew B dan huberman, A Michael. (1992). Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Moleong, Lexy. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, (1992) Teori-Teori Kebijakan Hukum
Pidana. Bandung : Alumni.
Muladi, (2004), Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, : Penerbit PT.Alumni. Muladi. (2002). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan pidana,
Cetakan Kedua, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Mulyana, Dedi (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosda
(4)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Mustofa, Muhammad. (2007). Kriminologi: Kajian sosiologi terhadap
kriminalitas, perilaku menyimpang, dan pelanggaran hukum. Depok:
FISIP UI Press.
Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito
Poernomo, Bambang. (1993). Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty
Poerwadarminta, S. Wojowasito-WJS (1982), Kamus Lengkap
Inggris-Indonesia Inggris-Indonesia-Inggris, Bandung : Penerbit Hasta.
Poerwadarminta, WJS (1976), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Priyanto, Dwidja. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Quigley, C. N., Buchana, Jr. J. H., Bahamueller, C. F. (1991). Civitas: A
Framework for Civic Education. Calabasas: CCE
Robert K. Yin (2004). The Case Study Anthology. London : Sage Publication Samosir, Djisman (1992). Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan
Di Indonesia. Bandung: Binacipta
Sudjana, Nana. (1987). Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Jakarta: Sinar Baru.
Supanji, Hendarman. (2008) Dalam Seminar Nasional Tentang Strategi
Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI, di Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, 29 November 2008, Mengatakan bahwa dalam penegakan hukum harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Surakhman, Winarno. (1990). Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar Metoda
Teknik). Bandung: Tarsito
Zuriah, Nurul. (2006). Metedologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan (Teori Aplikasi). Jakarta : PT Bumi Aksara.
(5)
120
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Wirjono Prodjodikoro (2003). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung : Enrico
Jurnal:
Maryanto. (2012). Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan
Hukum. IKIP PGRI Malang. Jurnal Ilmiah Civics, Volume Ii, No 2, Juli
2012
Ariati, Fardillah. (2010). Kerentanan Kejaksaan Agung Terhadap Korupsi
Dalam Perspektif Routine Activities Theory. Universitas Indonesia.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II 146 Agustus 2010
Astuti, Ari. (2011). Pembinaan Mental Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Prodi PPKn FKIP Universitas
Ahmad Dahlan. Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 1, Juli 2011
Snape Fiona Robertson (1999), Corruption Colussion and Nepottism in
Indonesia, Third Word Quarterly Vol 20 No 3 The Politic Coruption.
Artikel:
Global Corruption Barometer. (2013). [Online]. Tersedia: http://opengovindonesia.org/global-corruption-barometer-2013/ (20 Nopember 2013)
Statistik Penanganan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Instansi. (2013).
[Online]. Tersedia: http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan instansi
Dokumen:
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang
(6)
Melisa, 2014
Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Untuk Mengembangkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1999 Tentang Syarat