FUNGSI MANGROVE SEBAGAI PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT.

(1)

.

PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT

O l e h :

0652010012

DEWI APRIANTI

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS

PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM

SURABAYA

2010


(2)

.

SKRIPSI

FUNGSI MANGROVE SEBAGAI

PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT

untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

O l e h :

0652010012

DEWI APRIANTI

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM

SURABAYA


(3)

.

PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT

oleh :

0652010012

DEWI APRIANTI

Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada hari : ………. Tanggal : ……… 2010 Menyetujui

Pembimbing

NIP : 19551231 198503 1 00 2 DR. Ir. Edi Mulyadi., SU

Penguji I

NIP : 19600601 198703 1 00 1 Ir. Yayok Suryo P., MS

Mengetahui

Penguji II

NIP : 19580812 198503 1 00 2 DR. Ir. Rudy Laksmono W., MT Ketua Progdi

NIP : 19620501 198803 1 00 1 Ir. Tuhu Agung R., MT

Penguji III

NPT : 3 7507 99 0172 1 Okik H.C., ST, MT

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan Untuk memperoleh gelar sarjana (S1), tanggal :

Dekan Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan

NIP : 19551231 198503 1 00 2 DR.Ir. Edi Mulyadi., SU


(4)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

CURRICULUM VITAE ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Rumusan Masalah ... 3

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

I.4. Lingkup Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

II.1. Perairan Estuari ... 6

II.1.1. Logam Berat di Perairan Estuari ... 7

II.1.2. Pencemaran Logam Berat di Pantai Timur Surabaya ... 8

II.2. Mangrove ... 12

II.2.1. Keanekaragaman Jenis Mangrove ... 13

II.2.2. Habitat dan Ekosistem Mangrove ... 18

II.2.3. Manfaat Mangrove ... 23


(5)

xiii

III.1. Kerangka Penelitian ... 30

III.2. Bahan Penelitian ... 30

III.3. Peralatan Penelitian ... 31

III.4. Cara Kerja ... 31

III.4.1. Tahap Proses Destruksi Sampel ... 31

III.4.2. Tahap Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) ... 32

III.5. Variabel... 32

III.6. Analisa Hasil ... 33

III.7. Perhitungan ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

IV.1. Kondisi Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya ... 35

IV.2. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen di Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya ... 37

IV.3. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Akar Mangrove api-api (Avicennia marina ) ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

V.1. Kesimpulan ... 44

V.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel IV.1. Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen di Muara Kali Wonorejo (mg/lt) pada Tiap Titik dan Tiap Stasiun... 37 Tabel IV.2. Rata-rata Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen pada Tiap

Stasiun di Muara Kali Wonorejo (mg/lt) ... 39 Tabel IV.3. Kandungan Tembaga (Cu) dalam Akar Pohon Api-api di Muara


(7)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Avicenniaceae, sp (pohon api-api)... 14

Gambar II.2 Rhizophoraceae, sp (pohon bakau/tinjang)... 15

Gambar II.3 Meliaceae (nyirih)....……… 15

Gambar II.4 Nypa Fructicans (nipah)... 16

Gambar II.5 Sonneratiaceae (preparat)…...………... 16

Gambar II.6 Diagram Ilustrasi Penyebaran Fauna di Habitat Ekosistem Mangrove...………..…...………... 17


(8)

xiv

DAFTAR GRAFIK

Grafik IV.1 Pengaruh Jarak terhadap Kadar Tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo... 38 Grafik IV.2 Pengaruh Jarak terhadap Penurunan Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt)

dalam Stasiun di Muara Kali Wonorejo... 40 Grafik IV.3 Pengaruh Mangrove Api-api terhadap Penurunan Kadar Tembaga


(9)

x

estuari Pantai Timur Surabaya ditumbuhi vegetasi mangrove yang didominasi oleh pohon api-api (Avicennia marina) yang berpotensi sebagai bioakumulator logam berat yang mencemari Pantai Timur Surabaya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat dalam sedimen dan kandungan logam berat yang terakumulasi dalam akar pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo. Kandungan logam berat dalam pohon api-api (Avicennia marina) dan sedimen dihitung menggunakan Spectro pharo.

Hasil pemeriksaan kandungan logam berat menggunakan Spectro pharo menunjukkan bahwa rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 3,186 mg/lt. Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo adalah 5,602 mg/lt.

Hal ini menunjukkan bahwa pohon api-api (Avicennia marina) memiliki kemampuan sebagai bioakumulator tembaga (Cu) sesuai dengan kandungan logam tersebut di dalam sedimennya.


(10)

xi ABSTRACT

The estuary of Surabaya East Coast has been polluted by heavy metals including copper (Cu). The heavy metal pollution in Surabaya East Coast should be dreaded, because it has given the indication of heavy metals poisoned in the fisherman community adjacent to Surabaya East Coast. Surabaya East Coast is covered by the mangrove vegetation dominated by api-api tree (Avicennia marina) which potential as bioaccumulator of heavy metal that polluted the waters of Surabaya East Coast.

This research intended to perceive the heavy metal contents in the sediment an in the root of api-api tree (Avicennia marina) that found at the mouth of Wonorejo River. The heavy metal contents in the root of api-api tree (Avicennia marina) and sediment were inquired by using the Spectro pharo.

The heavy metal examination with Spectro pharo showed that the mean content of copper in sediment at the mouth of Wonorejo River is 3,186 mg/lt. The mean content of copper in the root of api-api tree (Avicennia marina) at the mouth Of Wonorejo River is 5,602 mg/lt.

The indicate that api-api tree (Avicennia marina) have ability for bioaccumulator of copper (Cu) and agree with a metal contents in the sediment.


(11)

1

I.1.Latar Belakang

Perairan estuari Pantai Timur Surabaya merupakan muara dari 7 buah sungai besar salah satunya adalah Kali Wonorejo. Sungai-sungai tersebut membawa limbah padat dan cair yang berasal dari industri maupun rumah tangga yang pada akhirnya akan menumpuk dan mencemari perairan estuari Pantai Timur Surabaya. Limbah yang dibuang ke sungai, terutama limbah dari industri berpotensi mengandung logam berat pencemar yang membahayakan kesehatan masyarakat.

Pantai timur Surabaya dikabarkan telah tercemar oleh logam berat. Pencemaran ini diwaspadai karena telah menunjukkan gejala keracunan logam berat pada masyarakat nelayan di sekitar Pantai Timur Surabaya. Seperti yang ditulis pada Surabaya Post, Rabu 15 Desember 1999 yang bertajuk “Gejala Idiot Tampak Pada Anak Nelayan Kenjeran”. Berdasarkan penelitian 3 staff dosen Psikologi Universitas Surabaya menunjukkan bahwa 80% dari populasi anak sekolah di Kenjeran mengalami kemunduran intelektual atau Slow Learner. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kenjeran telah mengkonsumsi hewan laut di sekitar Pantai Timur Surabaya yang telah terkontaminasi logam berat, (Arisandi, 2001).

Pencemaran lingkungan antara lain disebabkan oleh industri-industri maupun produk yang dihasilkannya. Salah satu pencemaran yang berbahaya


(12)

2

adalah pencemaran logam tembaga (Cu). Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam berat yang banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam industri elektroplating dan industri logam (alloy). Keberadaan tembaga dalam jumlah kecil sangat berguna bagi makhluk hidup karena merupakan logam berat essensial, tapi dalam jumlah besar dapat mengakibatkan masalah kesehatan karena sifatnya yang toksik. Ion logam tembaga dapat terakumulasi di otak, jaringan kulit, hati, pankreas dan miokardium. Dengan demikian penanganan limbah logam Cu harus dilakukan.

Arisandi (1996) melaporkan bahwa Pantai Timur Surabaya ditumbuhi vegetasi mangrove yang didominasi oleh jenis pohon api-api (Avicennia marina). Ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya berpotensi sebagai bioakumulator logam berat. Dari hasil penelitian terhadap kandungan logam berat tembaga (Cu) pada mangrove jenis Avicennia marina yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi (Peneliti Madya Lembaga Kajian dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON) pada tahun 1999 menunjukkan hasil bahwa pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo mengandung tembaga (Cu) di bagian akar sebesar 8,1782 μg/gr, dibagian kulit batang sebesar 3,8844 μg/gr dan di bagian daun sebesar 2,4649

μg/gr. Sedangkan rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 12,7277 μg/gr.

Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari Pantai Timur Surabaya terhadap pencemaran logam berat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi pada tahun 1999, maka penelitian ini hanya dikhususkan pada


(13)

bagian akar pohon api-api karena kandungan tembaga (Cu) terbesar terdapat di bagian akar.

I.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam kajian ini adalah :

Adanya kerusakan atau dampak lingkungan yang terlihat secara situasional.

I.3.Tujuan dan Manfaat I.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1). Mengetahui besarnya kandungan logam berat tembaga (Cu) dalam sedimen yang terdapat pada Muara Kali Wonorejo.

2). Untuk mengetahui besarnya kandungan tembaga (Cu) pada akar mangrove jenis api-api di Muara Kali Wonorejo.

3). Mengetahui pengaruh mangrove terhadap pengendalian pencemaran logam berat tembaga (Cu).

I.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kemampuan mangrove api-api (Avicennia marina) dalam mengakumulasi logam berat yang mencemari perairan estuari Pantai Timur Surabaya, sehingga dapat menjadi upaya alternatif perlindungan


(14)

4

perairan Pantai Timur Surabaya dari pencemaran logam berat, serta dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait seperti :

1). Masyarakat setempat

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove bagi peningkatan kualitas lingkungan sehingga tumbuh kesadaran untuk menjaga lingkungan khususnya memelihara hutan mangrove di Kawasan Pantai Timur Surabaya.

2). Pemerintah Kota Surabaya

(a).Pemerintah Kota Surabaya sebagai pembuat keputusan kebijakan pengelolaan hutan mangrove dapat melakukan tindakan tepat dalam mengantisipasi perkembangan pembangunan yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga kondisi alam dan lingkungan terutama hutan mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya tidak rusak.

(b).Pemerintah Kota Surabaya dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai pegangan dan arahan dalam melakukan pengembangan hutan mangrove.

I.4. Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian tentang fungsi mangrove sebagai pengendali pencemar logam berat adalah :

1). Wilayah studi penelitian dibatasi pada Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) dengan 1 kecamatan yaitu Kecamatan Wonorejo.


(15)

3). Mangrove yang digunakan dalam penelitian ini adalah mangrove jenis api-api (Avicennia marina).

4). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar mangrove jenis api-api serta sedimen yang berada disekitarnya di Muara Kali Wonorejo.

5). Analisa penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia UPN ”Veteran” Jatim.


(16)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.1. Perairan Estuari

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.500 pulau dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km serta lautan seluas kira-kira 5,8 juta km2

Selain itu wilayah pesisir telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan sehingga mengurangi nilai guna sumberdaya pesisir dan kelautan. Sesungguhnya saat ini sudah ada undang-undang dan peraturan di Indonesia yang menyangkut perairan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan, misalnya UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

yang merupakan 70 % dari seluruh wilayahnya. Sumberdaya pesisir dan lautan terutama ikan sejak lama menjadi sumber makanan dan protein utama bagi rakyat Indonesia (White et.al., 1989; Kantor MNLH, 1997 dalam

Arisandi, 2001). Menurut Djajadiningrat dan Amir (1992), lebih dari 80 % produksi perikanan oleh perikanan rakyat beroperasi di perairan pesisir (Rini 1999),. Sugandhy (1995), mengatakan bahwa ketergantungan penduduk Indonesia terhadap sumberdaya pesisir dan lautan sangat besar, sekitar 60 % dari penduduk Indonesia (± 185 juta orang) diketahui tinggal di wilayah pesisir. Terdapat sekitar 4.735 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia dikategorikan sebagai desa pantai serta 75 % kota besar dan menengah yang berpenduduk diatas 100.000 jiwa berada di pantai (Rini, 1999).


(17)

II.1.1 Logam Berat di Perairan Estuari

Secara alami logam mengalami siklus perputaran dari kerak bumi ke lapisan tanah, ke dalam makhluk hidup, ke dalam kolom air, mengendap dan akhirnya kembali lagi ke dalam kerak bumi, tetapi kandungan alamiah logam berubah-ubah tergantung pada kadar pencemaran yang dihasilkan manusia maupun karena erosi alami. Pencemaran akibat aktivitas manusia lebih banyak berpengaruh dibandingkan pencemaran secara alami. Dalam lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion-ion bebas, pasangan ion organik, dan ion kompleks. Menurut Palar (1994), kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur (Arisandi. P, 2001). Di dalam zona estuari dan aliran estuari yang terkena pengaruh pasang surut, terjadi mobilisasi logam berat antara sedimen dan kolom air. Pikir (1991), mengatakan bahwa lapisan nefeloid, yaitu lapisan lumpur di dasar perairan Sungai Hudson New York pada jarak 1 km dari tepi pantai mengandung partikel-partikel lumpur dengan konsentrasi 10 kali lebih besar dibandingkan konsentrasi di lautan lepas. Hal itu menunjukkan bahwa ion-ion logam berat yang sebagian besar terikat pada lumpur di dasar perairan tidak menyebar hingga ke laut lepas (Arisandi. P, 2001). Wilson et.al (1985) dalam

Wilson (1988), menyatakan bahwa logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh


(18)

8

permukaan partikel sedimen. Materi organik dalam sedimen dan kapasitas penyerapan logam sangat berhubungan dengan ukuran partikel dan luas permukaan penyerapan, sehingga konsentrasi logam dalam sedimen biasanya dipengaruhi ukuran partikel dalam sedimen (Arisandi. P, 2001). Menurut Pikir (1991), pencemaran merkuri di Teluk Minamata Jepang pada tahun 1953 dan 1961 menunjukkan bahwa pembuangan limbah yang mengandung merkuri (Hg) dalam jumlah yang relatif kecil dapat menyebabkan pencemaran yang membahayakan kesehatan manusia karena terjadi bioakumulasi di dalam organisme dan biomagnifikasi melalui rantai makanan, sehingga keluarga nelayan yang mengkonsumsi ikan menderita keracunan hebat (Arisandi. P, 2001).

II.1.2 Pencemaran Logam Berat di Pantai Timur Surabaya

Pantai Timur Surabaya diberitakan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan tembaga (Cu). Hal ini merujuk pada penelitian Anwar (1996) yang menunjukkan bahwa darah masyarakat nelayan di Kenjeran mengandung tembaga (Cu) sebesar 2511,07 ppb dan merkuri (Hg) sebesar 2,48 ppb, padahal ambang batas tembaga dalam darah menurut ketetapan WHO adalah 800-1200 ppb, (Rini, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kenjeran telah mengkonsumsi hewan laut di sekitar Pantai Timur Surabaya yang telah terkontaminasi logam berat. Kualitas kehidupan biota lumpur (makrozoobenthos) menunjukkan klasifikasi tercemar berat di bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar ringan di bagian selatan, kecuali bagian litoral Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali Kenjeran termasuk dalam kategori tercemar berat. Biota tersebut menggambarkan


(19)

biomagnifikasi yang terjadi akibat beban limbah yang masuk ke perairan terus bertambah. Komposisi makrozoobenthos terbesar adalah golongan kerang-kerangan (85,8%). Kandungan logam berat di dalam substrat lumpur di dasar perairan dan biota di Pantai Timur Surabaya telah melebihi ambang batas FAO/WHO yang menetapkan kandungan logam berat bersifat akumulatif dan kronis untuk biota laut. Hal ini menunjukkan bahwa dasar perairan pesisir dan sungai telah menjadi perangkap logam berat yang terdapat dalam limbah cair yang dibuang ke sungai. Penelitian oleh DGFTZE pada tahun 1998 terhadap masyarakat Kenjeran menunjukkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dari ibu-ibu yang menyusui telah mengandung kadmium sebesar 36,1 ppm, sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan timbulnya penyakit kanker, cacat janin dan penurunan kecerdasan anak (Rini, 1999). Pikir, (1991) juga melaporkan bahwasanya kandungan logam berat dalam sedimen yang terbawa aliran sungai yang bermuara di perairan estuari Pantai Timur Surabaya berada diatas rata-rata kandungan logam untuk daerah yang belum tercemar dengan urutan logam terbanyak adalah Fe, Mn, Zn, Cu, Pb, Ni, Cd, dan Ag, (Arisandi. P, 2001). Tiga unsur logam terbanyak dalam daging kupang adalah besi (Fe), mangan (Mn), dan seng (Zn), sehingga masyarakat disarankan untuk mengurangi kualitas dan kuantitas konsumsi kerang-kerangan. Tembaga (Cu) dan kadmium (Cd) merupakan logam berat yang sangat membahayakan kesehatan manusia, tetapi logam tembaga (Cu) juga dibutuhkan dalam kehidupan makhluk hidup sebagai elemen mikro. Darmono (1995) mengatakan bahwa tembaga (Cu) dibutuhkan sebagai unsur yang berperan dalam pembentukan enzim oksidatif dan pembentukan kompleks


(20)

Cu-10

protein yang dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin, kolagen, pembuluh darah, dan myelin otak (Rini, 1999). Keracunan logam berat bersifat kronis dan dampaknya baru terlihat setelah beberapa tahun atau menyebabkan cacat janin jika menyerang ibu hamil. Logam berat bersifat akumulatif di dalam tubuh organisme dan konsentrasinya mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dalam tingkatan trofik yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Menurut Wilson (1988), Biomagnifikasi berhubungan langsung dengan manusia yang menempati posisi top level dalam rantai makanan pesisir, karena konsentrasi logam berat yang dikandung dalam makanan kita telah mengalami peningkatan mulai dari komponen di tingkat dasar (produsen) (Rini, 1999). Keracunan tembaga (Cu) pada manusia menimbulkan dampak seperti kerusakan otak, demyelinasi, penurunan fungsi ginjal, dan pengendapan tembaga (Cu) dalam kornea mata. Keracunan kadmium (Cd) bersifat kronis dan biasanya terakumulasi dalam ginjal. Keracunan kadmium (Cd) dalam waktu lama dapat membahayakan kesehatan paru-paru, tulang, hati, kelenjar reproduksi dan ginjal. Logam kadmium (Cd) juga bersifat neurotoksin yang menimbulkan dampak kerusakan indera penciuman (Rini, 1999). Menurut Palar (1994), pencemaran tembaga (Cu) biasanya berasal dari industri peralatan listrik, peleburan logam, katalisator, algasida, pengawet kayu dan anti fouling paint. Sedangkan kadmium (Cd) digunakan dalam industri logam, batere, bahan cat warna, plastik, percetakan, dan tekstil (Rini, 1999).

Anonim (2008), mengatakan bahwa, sebagai logam berat, Cu (tembaga) berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg, Cd, dan Cr. Logam berat Cu digolongkan ke dalam logam berat dipentingkan atau logam berat esensial,


(21)

artinya meskipun Cu merupakan logam berat beracun, unsur logam ini sangat diperlukan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Toksisitas yang dimiliki oleh Cu baru akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini telah masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai toleransi organisme terkait. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan tempat hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai 0,01 ppm, akan mengakibatkan kematian bagi fitoplankton. Hal ini disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton.

Sesuai dengan sifatnya sebagai logam berat beracun, Cu dapat mengakibatkan keracunan akut dan kronis. Terjadinya keracunan akut dan kronis ini ditentukan oleh besarnya dosis yang masuk dan kemampuan organisme untuk menetralisir dosis tersebut, (Anonim, 2008).

1). Keracunan Akut

Gejala-gejala yang dapat dideteksi sebagai akibat keracunan akut tersebut diantaranya :

(a).Adanya rasa logam pada pernafasan penderita.

(b).Adanya rasa terbakar pada epigastrum dan muntah yang terjadi secara berulang-ulang.

2). Keracunan kronis

Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya penyakit Wilson dan Kinsy. Gajala dari penyakit Wilson ini terjadinya hepatic cirrhosis, kerusakan pada otak dan demyelinasi, serta terjadinya penurunan kerja ginjal dan pengendapan Cu dalam kornea mata. Penyalit Kinsy dapat


(22)

12

diketahui dengan terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan pada penderita. Sementara pada hewan seperti kerang, bila dalam tubuhnya telah terakumulasi dalam jumlah tinggi, maka bagian otot tubuhnya akan memperlhatkan warna kehijauan. Hal ini menjadi petunjuk apakah kerang tersebut masih bisa dikonsumsi oleh manusia.

II.2. Mangrove

Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Wilayah pesisir itu menjadi penting karena merupakan pertemuan antar ekosistem daratan dan ekosistem lautan.

Ekosistem wilayah pantai berkarakter unik dan khas karena merupakan pertemuan antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Ekosistem wilayah itu memiliki arti strategi karena memiliki potensi kekayaan hayati baik dari segi biologi, ekonomi bahkan pariwisata. Hal itu mengakibatkan berbagai pihak ingin memanfaatkan secara maksimal potensi tersebut.

Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas, dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Menurut DepHut (2003), hutan mangrove juga salah satu lahan basah


(23)

yang paling produktif, karena tumbuh di daerah pasang surut pantai. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dengan luas ekosistem mangrove sekitar 27% dari luas mangrove di dunia, serta memiliki ekosistem mangrove dan keragaman jenis tertinggi di dunia yang tersebar di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. (Wijayanti, 2007).

II.2.1 Keanekaragaman Jenis Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada disekitar muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia

Caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia

memiliki kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ akar, batang, dan daun) logam berat pencemar, sehingga keberadaan mangrove dapat berperan untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran di perairan laut, dan manfaat ekonomis seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan.


(24)

14

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat terdapat 89 jenis. Dari sekian banyak bakau di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain :

1). Avicenniaceae, sp (pohon api-api)

(a). Avicennia marina

(b). Avicennia alba

(c). Avicennia officinals

(d). Avicennia lanata

Gambar II.1. Avicenniaceae, sp (pohon api-api)

2). Rhizophoraceae, sp (pohon bakau/tinjang)

(a). Rhizophora mucronata

(b). Bruguera gymnorrhiza


(25)

Gambar II.2. Rhizophoraceae, sp (pohon bakau/tinjang)

3). Meliaceae (nyirih)

(a). Xylocarpus moluccencis

(b). Myrsinnaceae


(26)

16

4). Nypa Fructicans (nipah)

(a). Euphorbiaceae

Gambar II.4. Nypa Fructicans (nipah)

5). Sonneratiaceae (preparat)

(a). Sonneratia alba

(b). Sonneratia caseolari


(27)

Sedangkan untuk fauna hutan mangrove membentuk pencampuran antara 2 (dua) kelompok, yaitu : (Irwanto, 2006)

1). Kelompok fauna daratan terresterial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove terdiri dari : insecta, ular, burung, dan monyet. Kelompok ini mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan laut pada saat air surut.

2). Kelompok fauna/akuatik, terdiri dari dua tipe, yaitu :

(a). Hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.

(b). Hidup menempati substrat baik keras (akar dan batang) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.


(28)

18

II.2.2 Habitat dan Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.

Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) : mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut (Wijayanti, 2007). Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam


(29)

campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).

Tempat tumbuh hutan mangrove memerlukan suasana yang khusus, yang lazim disebut “suasana mangrove” yaitu suasana yang timbul dari perpaduan unsur-unsur antara lain : iklim tropik basah, curah hujan tinggi, laut tenang, ada sumber lumpur. Untuk mencapai pertumbuhan yang optimum, mangrove memerlukan beberapa kriteria berikut didalamnya :

1). Topografi pantai yang relatif landai dengan kemiringan 0-3º dan pantai terlindung dari hempasan ombak dan angin yang kencang.

2). Terdapat suplai air tawar dan air asin. 3). Terpengaruh pasang surut air laut.

4). Suhu udara 25ºC - 30ºC dengan fluktuasi tidak lebih dari 5ºC.

Berdasarkan jenis pohon penyusun formasi hutan mangrove dari arah laut kedaratan dapat dibedakan 4 (empat) zona, yaitu :

1). Zona Api-api Prepat (Avicenia sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini didominasi oleh jenis Avicennia spp (api-api) dan


(30)

20

2). Zona Bakau (Rhizophora)

Terletak di belakang zona api-api prepat, keadaan tanah berlumpur pendek (dalam). Pada umumnya didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp (tinjang)

dan Xilocarpus spp (nyirih) dan Heririera spp (dungun).

3). Zona Tancang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dengan laut dekat dengan daratan. Keadaan tanah berlumpur agak keras, agak jauh dengan pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis Bruguiera spp (tinjang) dan Lumnitzera spp

(duduk/truntun). Jenis Bruguiera gymnorhiza merupakan jenis pohon

penyusun terakhir formasi mangrove. 4). Zona Nipah (Nypa Fructicance)

Terletak paling jauh dari laut/paling dalam ke arah darat, salinitas airnya sangat rendah dan tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya ditumbuhi jenis Nypah (Nypatructicane), Deris spp, dan

sebagainya.


(31)

Pohon mangrove dalam mengatasi siklus hidupnya untuk menyesuaikan dengan keadaan alam sekitarnya dengan cara beradaptasi, meliputi :

1). Adaptasi fisiologis

Mangrove dapat tumbuh pada substrat dengan kadar garam tinggi, maka mangrove mampu mengatur pemasukan garam dan memelihara keseimbangan air di dalam tubuhnya. Beberapa mekanisme yang dikembangkan untuk menghadapi kondisi ini adalah :

(a).Mangrove menyerap air mengandung garam yang tinggi kemudian mengeluarkan kembali. Mangrove memiliki trikoma khusus yang mengandung ion-ion tertentu di dalam tubuh, terutama ion NaO dan CIO untuk mengatur keseimbangan di dalam tubuhnya. Kelenjar garam ditemukan pada genus Acantus, Aegiceras, dan Avicennia.

(b).Mangrove menyerap air laut tetapi mencegah masuknya garam ke dalam tubuh melalui ultra-filter dalam akar. Genus yang mampu menyaring masuknya garam adalah Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia,

Osbornia, Bruguiera, Aegiceras, Excoecaria, Aegialitis, dan Acrostichum.

(c).Mangrove mengembangkan ketahanan terhadap tingginya kadar garam dan mengakumulasi garam di dalam jaringan seperti pada kulit, batang, dan akar serta dalam jaringan daun tua. Penyimpanan garam biasanya diikuti oleh penebalan daun. Kelebihan garam dikeluarkan dari jaringan metabolik melalui pengguguran daun tua.


(32)

22

2). Akar khusus

Tanah tergantung dengan kandungan oksigen rendah dan substrat setengah basah yang memberikan mekanik lemah merupakan dua masalah bagi mangrove untuk dapat tumbuh. Untuk menghadapi masalah ini mangrove mengembangkan akar-akar khusus yang terdapat di udara sehingga saat air surut akar udara membantu pertukaran gas dan udara yang dibutuhkan. (Anonim, 2007)

Terdapat enam jenis tipe akar mangrove (Kitamura et al,

(a).Akar tunjang adalah akar udara yang tumbuh di atas permukaan tanah, mencuat dari batang pohon dan dahan paling bawah serta memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah. Contoh:

1997 dalam Wijayanti, 2007). Berikut ini deskripsi masing-masing akar mangrove tersebut:

Rhizophora

(b).Akar nafas adalah akar udara yang berbentuk seperti pensil atau kerucut yang menonjol ke atas, terbentuk dari perluasan akar yang tumbuh secara horisontal. Contoh:

spp. (Anonim, 2007)

Avicennia

(c).Akar lutut adalah akar horisontal yang berbentuk seperti lutut terlipat di atas permukaan tanah, meliuk ke atas dan bawah dengan ujung yang membulat di atas permukaan tanah. Contoh:

spp. (Anonim, 2007)

Bruguiera

(d).Akar papan adalah akar yang tumbuh secara horisontal, berbentuk seperti pita di atas permukaan tanah, bergelombang dan berliku-liku ke arah samping seperti ular. Contoh:

spp.


(33)

(e).Akar banir adalah struktur akar seperti papan, memanjang secara radial dari pangkal batang. Ceriops

(f).Akar tanpa akar udara adalah akar biasa, tidak berbentuk seperti akar udara. Contoh:

spp.

Aegiceras spp.

II.2.3 Manfaat Mangrove

Mangrove yang biasa disebut bakau memiliki beberapa manfaat bagi kehidupan sekitarnya, yaitu :

1). Pemeliharaan keanekaragaman fauna

Hutan mangrove menyokong kehidupan hewan karena memberikan sumber makanan dan tempat hidup. Jenis-jenis biota di Sungai Wonorejo antara lain : Reptilia, ikan, hewan makrobentos, monyet, biawak, dan burung pelikan. (Wijayanti, 2007)

2). Tempat pemijahan

Lingkungan mangrove memiliki produktifitas tinggi, menyediakan sumber energi berupa zat-zat makanan karena itu mangrove merupakan tempat berteduh dan mencari makan. (Arisandi dkk, 2001 dalam Wijayanti, 2007) 3). Habitat penting bagi burung

Beberapa jenis burung membutuhkan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makanan dan bersarang. (Arisandi dkk, 2001 dalam Wijayanti, 2007) 4). Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove.


(34)

24

5). Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen. (Wijayanti, 2007)

6). Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp). (Wijayanti, 2007)

7). Bioakumulator logam berat

Tingginya kandungan logam berat Cu, Cd, dan Zn di dalam akar mangrove menunjukkan bahwa tumbuhan ini dapat mengakumulasi logam berat di dalam jaringan tubuhnya. (Arisandi dkk, 2001 dalam Wijayanti, 2007)

8). Mengurangi resiko bahaya tsunami

Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya Tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0.7340 dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule. (Pratikno, 2002 dalam Wijayanti, 2007)

II.2.5 Mangrove Pantai Timur Surabaya

Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan bentang alam yang relatif datar dengan kemiringan 0-3o, rata-rata ketinggian pasang surut 1,67 meter. Kawasan ini terbentuk dari hasil pengendapan dari sistem sungai yang ada di sekitarnya dan dipengaruhi oleh laut. Kondisi daerah delta dengan tanah aluvial yang sangat dipengaruhi oleh sistem laut ini merupakan habitat yang baik bagi


(35)

tumbuhnya ekosistem mangrove (Arisandi, 2001). Arisandi, 1996 menemukan 15 jenis vegetasi mangrove di Pantai Timur Surabaya yaitu:

1). Avicennia marina

2). Avicennia alba

3). Avicennia officinalis

4). Rhizophora mucronata

5). Sonneratia alba

6). Sonneratia caseolaris

7). Bruguiera cylindrica

8). Bruguiera gymnorrhiza

9). Xylocarpus moluccencis

10). Excoecaria agallocha

11). Aegiceras corniculatum

12). Lumnitzera racemosa

13). Nypa fruticans

14). Acanthus ilicifolius

15). Acanthus eubracteatus.

Jenis yang mendominasi adalah Avicennia marina dengan ketebalan

vegetasi mangrove hanya berkisar antara 5-100 meter ke arah daratan, bahkan beberapa bagian garis pantai tidak lagi ditumbuhi vegetasi mangrove karena telah dialihkan menjadi lahan pertambakan dan rekreasi. Ekosistem mangrove merupakan mata rantai utama yang berperan sebagai produsen dalam jaring


(36)

26

makanan ekosistem pantai. Selain itu ekosistem mangrove yang memiliki produktivitas tinggi menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut dan menyediakan tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting dan udang, sehingga secara tidak langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem mangrove. Mangrove juga memiliki fungsi fisik bagi pantai yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan angin kencang, penahan abrasi, penampung air hujan sehingga mencegah banjir, dan penyerap limbah yang mencemari perairan. Mangrove yang tumbuh di ujung sungai besar berperan sebagai penampungan terakhir bagi limbah dari industri di perkotaan dan perkampungan hulu yang terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang terlarut dalam air sungai terbawa arus menuju muara sungai dan laut lepas. Area hutan mangrove akan menjadi daerah penumpukan limbah, terutama jika polutan yang masuk ke dalam lingkungan estuari melampaui kemampuan pemurnian alami oleh air. Mangrove alami berperan efektif dalam melindungi pantai dari tekanan alam dan erosi. Pemandangan menyedihkan yang biasa ditemui pada ekosistem mangrove adalah banyaknya sampah padat seperti plastik, gabus, kaca dan kardus yang menumpuk dan tersangkut di akar-akar mangrove. Pembuangan sampah ke dalam ekosistem ini merupakan indikator rendahnya perhatian masyarakat terhadap ekosistem ini. Menurut Mastaller (1996), mangrove merupakan tempat yang praktis untuk pembuangan sampah karena wilayah ini jauh dari pemukiman penduduk (Arisandi. P, 2001). Kerusakan hutan pasang surut di dunia tidak banyak mendapat perhatian publik. Hilangnya mangrove dapat memberi dampak beberapa


(37)

tahun ke depan. Mastaller (1996) juga mengatakan bahwa kerusakan dan punahnya mangrove di seluruh dunia merupakan akibat dari aktivitas manusia. Pesatnya pembangunan di negara-negara tropis yang berkembang mengubah rawa mangrove menjadi area pemukiman, pelabuhan, industri, lahan pertanian, dan pertambakan (Arisandi. P, 2001).

Menurut Tomlinson (1996), pohon api-api (Avicennia marina) telah

dimasukkan dalam suku tersendiri yaitu Avicenniaceae, setelah sebelumnya

dimasukkan dalam suku Verbenaceae, karena Avicennia memiliki perbedaan

mendasar dalam bentuk organ reproduksi dan cara berkembang biak dengan anggota suku Verbenaceae lainnya. (Arisandi. P, 2001). Pohon api-api (Avicennia

marina) memiliki akar napas (pneumatofore) yang merupakan akar percabangan

yang tumbuh dengan jarak teratur secara vertikal dari akar horizontal yang terbenam di dalam tanah. Reproduksinya bersifat kryptovivipary, yaitu biji

tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman induk, tetapi tidak tumbuh keluar menembus buah sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk seperti mangga, ujung buah tumpul dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips dengan ujung tumpul dan panjang daun sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawah berwarna hijau abu-abu dan suram.

Sel-sel akar tumbuhan umumnya mengandung konsentrasi ion yang lebih tinggi daripada medium di sekitarnya. Sejumlah besar eksperimen menunjukkan adanya hubungan antara laju pengambilan ion dengan konsentrasi ion yang menyerupai hubungan antara laju reaksi yang dihantarkan enzim dengan


(38)

28

konsentrasi substratnya. Menurut Fitter (1982), analogi ini menunjukkan adanya barier khusus dalam membran sel yang hanya sesuai untuk suatu ion tertentu dan dapat menyerap ion tersebut, sehingga pada konsentrasi substrat yang tinggi semua barier berperan pada laju maksimum hingga mencapai laju pengambilan jenuh (Arisandi. P, 2001). Tembaga (Cu) dalam konsentrasi tinggi atau rendah bersifat sangat toksik bagi tumbuhan jika berada sebagai satu-satunya unsur dalam larutan. Sebagai fungisida tembaga (Cu) digunakan dalam bentuk serbuk dan spray. Tembaga (Cu) juga dibutuhkan oleh beberapa jenis tumbuhan sebagai elemen mikro yang berperan dalam proses respirasi. Kadmium (Cd) termasuk dalam elemen stimulator tumbuhan pada bagian tertentu.

Metode pengambilan sampling yang digunakan yaitu Metode Transek Garis dimana digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas mangrove dengan melihat mangrove baik, mangrove rusak, bentuk substrat (pasir, lumpur), dan keberadaan biota lain. Pemilihan lokasi survei harus memenuhi persyaratan keterwakilan komunitas mangrove di suatu kawasan.

II.3. Landasan Teori

Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari Pantai Timur Surabaya terhadap pencemaran logam berat. Tumbuhan yang hidup di daerah tercemar memiliki mekanisme penyesuaian yang membuat polutan menjadi nonaktif dan disimpan di dalam jaringan tua sehingga tidak membahayakan pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan. Polutan tersebut akan memberi pengaruh jika dikeluarkan melalui


(39)

metabolisme jaringan atau jika tumbuhan tersebut dikonsumsi. Menurut Bryan and Hummerstone (1971) dalam Wilson (1988), pemberian polutan dapat merangsang kemampuannya untuk bertahan pada tingkat yang lebih toksik (Arisandi. P, 2001). Mastaller (1996), mengungkapkan bahwa mangrove yang tumbuh di muara sungai merupakan tempat penampungan terakhir bagi limbah-limbah yang terbawa aliran sungai, terutama jika jumlah limbah-limbah yang masuk ke lingkungan estuari melebihi kemampuan pemurnian alami oleh badan air (Arisandi. P, 2001). Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap ion-ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Dua sifat penyerapan ion oleh tumbuhan adalah :

1). Faktor konsentrasi, kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi ion sampai tingkat konsentrasi tertentu, bahkan dapat mencapai beberapa tingkat lebih besar dari konsentrasi ion di dalam mediumnya.

2). Perbedaan kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis tumbuhan.

II.4. Hipotesa

Mangrove dapat dijadikan bioakumulator logam berat di Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya. Semakin banyak jumlah mangrove dalam suatu kawasan perairan diharapkan dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat lebih banyak.


(40)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Kerangka Penelitian

III.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1). Akar mangrove jenis api-api

2). Sedimen yang berada pada stasiun C yaitu Muara Kali Wonorejo, dan stasiun B yaitu 2 km ke arah Muara Kali Wonorejo, serta stasiun A yaitu 4 km ke arah Muara Kali Wonorejo.

3). Larutan HCl pekat (12 N) 4). Larutan HNO3 pekat (12 N)

Pengambilan Sampel Penentuan Lokasi

Tahap Proses Destruksi Sampel

Tahap Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu)


(41)

5). Aquadess

III.3. Peralatan Penelitian

Alat yang diperlukan untuk destruksi sampel hingga menjadi larutan ekstrak adalah oven, oven furnace, blender, timbangan analitik, gelas ukur, pipet, beaker glass 100 ml, kaca arloji, corong kaca, api bunsen, labu volumetrik 25 ml, kertas saring dan botol plastik.

III.4. Cara Kerja

Penelitian ini dilakukan secara continue dan dikerjakan dalam dua tahap proses, yaitu tahap proses destruksi sampel dan tahap analisis kandungan logam berat tembaga (Cu).

III.4.1. Tahap Proses Destuksi Sampel

Destruksi sampel dilakukan dengan menggunakan metode Dry Ashing menurut Van Laon (1985) dalam Rini (1999).

1). Sampel tumbuhan yang telah diambil dari lokasi pengamatan dicuci untuk menghilangkan lumpur yang melekat pada organ tumbuhan, bersama sedimen kemudian dioven pada suhu 80o

2). Setelah kering sampel dihaluskan hingga menjadi serbuk. Sampel tumbuhan dihaluskan dengan menggunakan blender, sedangkan sampel sedimen dihaluskan dengan cara digerus

C selama 48 jam untuk menghilangkan kadar kandungan air dalam sampel tetapi tidak membuat sampel hangus


(42)

32

3). Serbuk sampel tumbuhan dan sedimen kemudian ditimbang sebanyak 2-4 gram untuk kemudian dimasukkan ke dalam furnace oven pada suhu 450o

4). Abu sampel kemudian didestruksi secara kimia. Abu sampel dimasukkan ke dalam beaker glass pyrex kemudian ditambahkan 15 ml HCl pekat dan 5 ml HNO3 pekat dan mulut beaker ditutup dengan kaca arloji

C selama 12 jam untuk membuat sampel menjadi abu yang berwarna putih

5). Kemudian beaker glass dipanaskan di atas api bunsen selama 30 menit hingga larutan asam menguap dan mengering

6). Ke dalam beaker glass diteteskan 1 ml HNO3 pekat, kemudian beaker glass didinginkan

7). Setelah dingin ditambahkan aquadess sedikit demi sedikit dan larutan sampel dipindahkan ke dalam labu volumetrik 25 ml menggunakan corong kaca yang dilapisi kertas saring dan ditetesi aquadess sampai volume larutan tepat 25 ml

III.4.2. Tahap Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu)

Setelah melalui tahap proses destruksi sampel, maka larutan sampel tersebut kemudian dituangkan ke dalam botol plastik dan siap untuk dianalisis kandungan logam berat tembaga (Cu). Sampel sedimen yang dianalisis sebanyak 9 sampel sedangkan sampel akar mangrove api-api sebanyak 3 sampel.

III.5. Variabel

Variabel yang dikerjakan dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel akar mangrove api-api dan sedimen di sekitarnya pada stasiun C di Muara Kali


(43)

Wonorejo dibagi menjadi 3 (tiga) titik yang masing-masing berjarak 5 meter, sedimen yang berada di stasiun B dibagi menjadi 3 (tiga) titik, dimana masing-masing titik berjarak 5 meter, pengambilan sample diambil secara acak di sekitar akar mangrove api-api dengan kedalaman 0 cm. Pengambilan sampel sedimen pada stasiun A dibagi menjadi 3 (tiga) titik, dimana tiap titik masing-masing berjarak 5 meter. Sampel-sampel tersebut diambil pada hari yang sama dan pada musim kemarau di kawasan sungai Wonorejo. Penelitian ini dilakukan pada 1 September – 15 Desember 2009, pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 22 November 2009, pukul 13:00-16:00 WIB.

III.6. Analisa Hasil

Analisa hasil kandungan tembaga (Cu) dalam larutan sampel dilakukan dengan menggunakan Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia UPN “Veteran” Jatim.

III.7. Perhitungan

Setelah memperoleh data hasil Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia UPN “Veteran” Jatim, kemudian hasil kandungan logam berat tembaga (Cu) pada akar mangrove dilakukan penghitungan rata-rata kadar logam berat yang terdapat di akar, hal yang sama dilakukan pada sedimen di Muara Kali Wonorejo, daerah 2 km ke arah muara, serta 4 km ke arah muara, kemudian melakukan perbandingan terhadap ketiga daerah tersebut.


(44)

34

Cu rata-rata stasiun A = A1 + A2 + A 3

3

Cu rata-rata stasiun B = B1 + B2 + B 3

3

Cu rata-rata stasiun C = C1 + C2 + C3

3

Cu rata-rata A.M = A.M 1 + A.M 2 + A.M 3

3

Dimana : Stasiun A = 4 km ke arah Muara Kali Wonorejo Stasiun B = 2 km ke arah Muara Kali Wonorejo Stasiun C = Muara Kali Wonorejo


(45)

35

IV.1. Kondisi Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya

Perairan estuari Muara Kali Wonorejo memiliki geomorfologi yang mengalami proses pembentukan bentang alam oleh akumulasi sedimen (akrasi) dikarenakan banyaknya suplai sedimen yang terbawa aliran sungai yang bermuara di sana. Hal ini ditunjukkan oleh adanya hamparan dataran lumpur yang terlihat jika air laut surut. Sedimen adalah hamparan dataran lumpur yang ada di sekitar permukaan dekat akar nafas pohon api-api yang diambil secara acak.

Muara Kali Wonorejo memiliki vegetasi mangrove dengan ketebalan 15-20 meter ke arah daratan dan vegetasi tumbuh lebih rapat dengan kanopi daun yang rimbun. Substrat berupa lumpur halus dan lapisan dalam berwarna kehitaman. Sketsa Muara Kali Wonorejo ditunjukkan dalam Lampiran C.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa kerapatan pohon mangrove ≥ 1500 pohon/ha tergolong dalam kriteria baik, dan kerapatan pohon mangrove ≥ 1000 – < 1500 pohon/ha tergolong dalam kriteria sedang atau jarang, sedangkan yang termasuk dalam kriteria rusak memiliki kerapatan pohon < 1000 pohon/ha. Berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove tersebut, maka stasiun A didefinisikan sebagai wilayah hutan mangrove yang tergolong rusak karena memiliki kerapatan pohon < 1000 pohon/ha, stasiun A berada pada kejauhan 4 km dari muara kali. Stasiun B didefinisikan sebagai wilayah hutan mangrove dalam


(46)

36

kriteria kerusakan sedang karena memiliki kerapatan pohon ≥ 1000 – < 1500 pohon/ha dan berada pada kejauhan 2 km dari muara kali, sedangkan stasiun C didefinisikan sebagai wilayah hutan mangrove yang tergolong kriteria baik karena memiliki kerapatan mangrove ≥ 1500 pohon/ha dimana stasiun C terletak pada Muara Kali Wonorejo. Pada tiap-tiap stasiun pengambilan sampling dilakukan pada tiga titik, dimana titik pertama, kedua, dan ketiga masing-masing berjarak 5 meter serta pengambilan sampling dilakukan secara acak.

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah random atau acak dengan jarak 5 meter dimana sampling sedimen diambil disekitar akar mangrove, sedangkan akar mangrove diambil dengan cara menggali untuk memperoleh akar yang berada dipucuk, diameter akar mangrove yang digunakan yaitu 5 cm dengan estimasi umur tumbuhan yaitu 5 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Siaka, 2008, yang menunjukkan hasil konsentrasi rata-rata logam berat tembaga (Cu) pada kedalaman sedimen 0 cm (permukaan sedimen) adalah 35,85 mg/kg, kedalaman 10 cm sebesar 33,69 mg/kg, sementara pada konsentrasi rata-rata logam berat tembaga (Cu) pada 20 cm adalah 32,22 mg/kg, dilihat dari hasil penelitian tersebut yang menunjukkan bahwa akumulasi logam berat terbesar terdapat pada kedalaman 0 cm, maka pengambilan sampel sedimen untuk penelitian ini hanya menggunakan kedalaman 0 cm (permukaan sedimen).


(47)

IV.2. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen di Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya

Analisis kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo menggunakan Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia UPN “Veteran” Jatim memberikan hasil yang ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel IV.1. Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Sedimen di Muara Kali Wonorejo pada Tiap Titik dan Tiap Stasiun

Replikasi Jarak Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) pada Stasiun

(m) A B C

1 5 1,49 1,326 0,859 2 10 0,781 1,041 1,08 3 15 1,003 1,282 0,722

Rata-rata 1,091 1,208 0,887

Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa rata-rata kandungan tembaga (Cu) di Muara Kali Wonorejo adalah 3,186 mg/lt, dimana hasil ini didapat dari akumulasi rata-rata hasil pada stasiun A, B, dan C.

Pengaruh jarak terhadap kadar kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di masing-masing stasiun dan masing-masing titik ditampilkan dalam Grafik 1.


(48)

38

Grafik 1. Pengaruh Jarak terhadap Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Sedimen di Muara Kali Wonorejo

Pada stasiun A di titik 1 memiliki kandungan logam berat tembaga (Cu) sebesar 1,49 mg/lt, titik 2 sebesar 0,781 mg/lt, dan titik 3 sebesar 1,003 mg/lt. Dan pada stasiun B di titik 1 memiliki kandungan logam berat tembaga (Cu) sebesar 1,326 mg/lt, titik 2 sebesar 1,041 mg/lt, dan titik 3 sebesar 1,282 mg/lt. Sedangkan stasiun C pada titik 1 mempunyai kandungan tembaga (Cu) sebesar 0,859 mg/lt, titik 2 sebesar 1,08mg/lt, dan titik 3 sebesar 0,722 mg/lt. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara tiap titik pada masing-masing stasiun.

Berdasarkan grafik di atas, maka diperoleh persamaan umum untuk stasiun C dengan menggunakan regresi nonlinier metode parabola kuadratik :

Y = 0,059 + 0,2179 X + (- 0,01158 × X2)

Contoh perhitungan untuk menentukan persamaan kuadratik tercantum dalam lampiran B.


(49)

Persamaan kuadratik digunakan untuk menginformasikan model perumusan untuk mencari nilai Y pada X tertentu. Dimana Y adalah nilai kandungan tembaga (Cu) (mg/lt), sedangkan X adalah jarak (meter).

Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di tiap stasiun ditunjukkan dalam tabel 2.

Tabel IV.2. Rata-rata Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Sedimen pada Tiap Stasiun di Muara Kali Wonorejo

Stasiun Jarak (km) Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt)

C 0 0,887

B 2 1,208

A 4 1,091

Jumlah 3,186

Pengaruh jarak terhadap penurunan kadar tembaga (Cu) tiap stasiun di Muara Kali Wonorejo ditampilkan dalam Grafik 2.


(50)

40

Grafik 2. Pengaruh Jarak terhadap Penurunan Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Stasiun di Muara Kali Wonorejo

Hasil analisa data terhadap kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo menunjukkan bahwa Muara Kali Wonorejo tercemar logam berat tembaga sebesar 3,186 mg/lt. Stasiun A mengakumulasi logam berat tembaga (Cu) sebesar 1,091 mg/lt, stasiun B sebesar 1,208 mg/lt, dan stasiun C sebesar 0,887 mg/lt. Akumulasi logam berat tembaga (Cu) terbesar terdapat di stasiun B, diduga logam berat tersebut tidak sempat terbawa arus dan tertahan. Sedangkan akumulasi logam berat tembaga (Cu) yang terkecil terdapat distasiun C, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah mangrove semakin besar potensi penyerapan dan akumulasi logam berat tembaga (Cu).

Besarnya kandungan logam berat tembaga (Cu) yang terdapat di Muara Kali Wonorejo menunjukkan bahwa muara tersebut menerima suplai limbah yang mengandung tembaga (Cu) dalam konsentrasi yang cukup besar. Muara Kali Wonorejo menampung limbah yang berasal dari industri di daerah Rungkut dan


(51)

Waru. Pembuangan limbah yang tidak diolah terus terjadi karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

Pergerakan arus kurang berpengaruh terhadap penyebaran sedimen di Pantai Timur Surabaya, karena kecepatannya relatif rendah. Arus yang lebih berpengaruh adalah arus dari sungai dan arus pasang surut, sehingga kandungan logam berat di muara tersebut diduga menunjukkan kandungan logam berat yang diterima dari aliran sungai yang bermuara ke sana.

Materi organik dalam sedimen dan kapasitas penyerapan berhubungan erat dengan ukuran partikel dan luas daerah permukaan penyerapan logam, sehingga konsentrasi logam biasanya bervariasi tergantung distribusi ukuran partikelnya. Substrat di Muara Kali Wonorejo berupa lumpur halus yang mudah berikatan dengan logam.

Adanya materi organik hasil penguraian serasah vegetasi mangrove oleh mikroba diduga menambah kandungan logam berat yang berikatan dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo, karena logam berat berikatan dengan materi organik tersebut dan mengendap ke dasar perairan membentuk lapisan lumpur halus di atas permukaan sedimen.

IV.3. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Akar Pohon Api-api (Avicennia marina)

Analisis kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api (Avicennia

marina) dengan menggunakan Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia


(52)

42

Tabel IV.3. Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Akar Pohon Api-api di Muara Kali Wonorejo

Replikasi Jarak (m) Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt)

1 5 4,212

2 10 7,175

3 15 5,421

Rata-rata 5,602

Grafik 3. Pengaruh Mangrove Api-api terhadap Penurunan Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt) di Stasiun C pada Muara Kali Wonorejo

Dari tabel dan grafik di atas diketahui bahwa pohon api-api (Avicennia

marina) di Muara Kali Wonorejo memiliki rata-rata kandungan tembaga (Cu)

5,602 mg/lt. Hal ini menunjukkan bahwa akar pohon api-api (Avicennia marina)

dapat mengakumulasi tembaga (Cu). Selain akumulasi, diduga pohon api-api


(53)

dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Pengenceran dengan penyimpanan air di dalam jaringan biasanya terjadi pada daun dan diikuti dengan terjadinya penebalan daun (sukulensi). Ekskresi juga merupakan upaya yang mungkin terjadi, yaitu dengan menyimpan materi toksik logam berat di dalam jaringan yang sudah tua seperti daun yang sudah tua dan kulit batang yang mudah mengelupas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi logam berat di dalam tubuhnya.

Metabolisme atau transformasi secara biologis (biotransformasi) logam berat dapat mengurangi toksisitas logam berat. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana. Menurut Darmono (1995), proses ini dibantu dengan aktivitas enzim yang mengatur dan mempercepat jalannya proses tersebut, (Rini, 1999).


(54)

44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1). Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 3,186 mg/lt. Hal ini menunjukkan bahwa muara tersebut menerima suplai limbah yang mengandung logam berat tembaga (Cu) dalam konsentrasi yang cukup besar.

2). Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api di Muara Kali Wonorejo adalah 5,602 mg/lt, maka dapat disimpulkan bahwa pohon api-api dapat mengakumulasi logam berat tembaga (Cu).

3). Stasiun C memberikan pengaruh pengendalian pencemar yang relatif baik dibandingkan dengan stasiun A dan stasiun B, karena stasiun C dapat merecovery kadar tembaga (Cu) sebesar 359 %, sedangkan stasiun A hanya 292 % dan stasiun B sebesar 263 %.


(55)

V.2. Saran

Saran yang diajukan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Pohon api-api (Avicennia marina) mampu mengakumulasi logam berat di dalam organ tubuhnya, sehingga keberadaannya di perairan estuari Pantai Timur Surabaya perlu dipertahankan. Muara Kali Wonorejo perlu direboisasi dengan vegetasi mangrove dan dijadikan sebagai kawasan preservasi yang mampu menampung logam berat yang terkandung dalam limbah industri dan rumah tangga yang terbawa aliran sungai-sungai yang bermuara di sana.

2). Perlu adanya pengawasan dari lembaga pemerintah yang berwenang terhadap pembuangan limbah industri ke sungai dan memberikan sanksi yang tegas terhadap industri yang melakukan pelanggaran, sehingga dapat mengurangi timbulnya dampak pencemaran di perairan Pantai Timur Surabaya.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003, “Metode Survei Terumbu Karang Indonesia (Metode Transek)”,

Anonim, 2004, “Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai”, Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1) 2004

Anonim, 2004, “Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Air”, Lampiran I Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 02, 19 (1) 2004

Anonim, 2004, “Kriteria Baku Kerusakan Mangrove”, Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201, 13 (10) 2004

Anonim, 2007, “Mau tau jenis-jenis mangrove ? Kenali tipe akarnya”,

Anonim, 2008, “Mekanisme Toksisitas Logam Berat

Arisandi, 2001, “Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian Logam Berat Pesisir Irwanto, 2006, “Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove”,

Rini, D.S., 1999, “Analisis Kandungan logam Berat Tembaga (Cu) dan Kadmium

(Cd) dalam Pohon Api-api (Avicennia marina) di Perairan Estuari Pantai

Timur Surabaya”, Skripsi Mahasisiwi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya


(57)

Sudjana, M.A., Prof. DR. M.Sc, “Metode Statistika”, Edisi Ke-6, Halaman 337-340, Tarsito, Bandung, September 1996

Van Loon, J. C, 1985, “Selected Method of Trace Metal Analysis: Biological and Environmental Samples”, John Wiley and Sons Inc., Toronto Canada

Wijayanti, T., 2007, “Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan”, Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya


(1)

Tabel IV.3. Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Akar Pohon Api-api di Muara Kali Wonorejo

Replikasi Jarak (m) Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt)

1 5 4,212

2 10 7,175

3 15 5,421

Rata-rata 5,602

Grafik 3. Pengaruh Mangrove Api-api terhadap Penurunan Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt) di Stasiun C pada Muara Kali Wonorejo

Dari tabel dan grafik di atas diketahui bahwa pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo memiliki rata-rata kandungan tembaga (Cu) 5,602 mg/lt. Hal ini menunjukkan bahwa akar pohon api-api (Avicennia marina) dapat mengakumulasi tembaga (Cu). Selain akumulasi, diduga pohon api-api (Avicennia marina) memiliki upaya penanggulangan toksik lain diantaranya


(2)

43

dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Pengenceran dengan penyimpanan air di dalam jaringan biasanya terjadi pada daun dan diikuti dengan terjadinya penebalan daun (sukulensi). Ekskresi juga merupakan upaya yang mungkin terjadi, yaitu dengan menyimpan materi toksik logam berat di dalam jaringan yang sudah tua seperti daun yang sudah tua dan kulit batang yang mudah mengelupas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi logam berat di dalam tubuhnya.

Metabolisme atau transformasi secara biologis (biotransformasi) logam berat dapat mengurangi toksisitas logam berat. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana. Menurut Darmono (1995), proses ini dibantu dengan aktivitas enzim yang mengatur dan mempercepat jalannya proses tersebut, (Rini, 1999).


(3)

44 V.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1). Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 3,186 mg/lt. Hal ini menunjukkan bahwa muara tersebut menerima suplai limbah yang mengandung logam berat tembaga (Cu) dalam konsentrasi yang cukup besar.

2). Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api di Muara Kali Wonorejo adalah 5,602 mg/lt, maka dapat disimpulkan bahwa pohon api-api dapat mengakumulasi logam berat tembaga (Cu).

3). Stasiun C memberikan pengaruh pengendalian pencemar yang relatif baik dibandingkan dengan stasiun A dan stasiun B, karena stasiun C dapat merecovery kadar tembaga (Cu) sebesar 359 %, sedangkan stasiun A hanya 292 % dan stasiun B sebesar 263 %.


(4)

45

V.2. Saran

Saran yang diajukan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Pohon api-api (Avicennia marina) mampu mengakumulasi logam berat di dalam organ tubuhnya, sehingga keberadaannya di perairan estuari Pantai Timur Surabaya perlu dipertahankan. Muara Kali Wonorejo perlu direboisasi dengan vegetasi mangrove dan dijadikan sebagai kawasan preservasi yang mampu menampung logam berat yang terkandung dalam limbah industri dan rumah tangga yang terbawa aliran sungai-sungai yang bermuara di sana.

2). Perlu adanya pengawasan dari lembaga pemerintah yang berwenang terhadap pembuangan limbah industri ke sungai dan memberikan sanksi yang tegas terhadap industri yang melakukan pelanggaran, sehingga dapat mengurangi timbulnya dampak pencemaran di perairan Pantai Timur Surabaya.


(5)

Anonim, 2004, “Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai”, Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1) 2004

Anonim, 2004, “Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Air”, Lampiran I Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 02, 19 (1) 2004

Anonim, 2004, “Kriteria Baku Kerusakan Mangrove”, Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201, 13 (10) 2004

Anonim, 2007, “Mau tau jenis-jenis mangrove ? Kenali tipe akarnya”,

Anonim, 2008, “Mekanisme Toksisitas Logam Berat

Arisandi, 2001, “Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian Logam Berat Pesisir Irwanto, 2006, “Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove”,

Rini, D.S., 1999, “Analisis Kandungan logam Berat Tembaga (Cu) dan Kadmium

(Cd) dalam Pohon Api-api (Avicennia marina) di Perairan Estuari Pantai

Timur Surabaya”, Skripsi Mahasisiwi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya


(6)

Siaka. I.M, 2008, “Korelasi Antara Kedalaman Sedimen di Pelabuhan Benoa dan Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cu”, Jurnal Jurusan Kimia 2 FMIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, 2 (7) 2008

Sudjana, M.A., Prof. DR. M.Sc, “Metode Statistika”, Edisi Ke-6, Halaman 337-340, Tarsito, Bandung, September 1996

Van Loon, J. C, 1985, “Selected Method of Trace Metal Analysis: Biological and Environmental Samples”, John Wiley and Sons Inc., Toronto Canada

Wijayanti, T., 2007, “Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan”, Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya