Perbandingan Nilai Interleukin-6 Setelah Pemberian Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat untuk EGDT Pasien Sepsis

1



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sepsis adalah penyakit sistemik yang dicetuskan oleh infeksi bakteri atau
jamur ditandai dengan beberapa hal meliputi bukti infeksi pada pasien, demam
atau hipertermi, leukositosis atau leukopenia, takikardia dan takipnea (Opal,
2012). Berbagai definisi tentang sepsis, namun definisi yang digunakan saat ini di
klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American College of
Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang
mendefnisikan sepsis sebagai sindrom respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome/SIRS), sepsis berat dan syok sepsis (Chen et.al,
2009).
Sepsis masih merupakan penyebab kematian utama pada kasus kritis di
berbagai penjuru dunia (Nasronudin, 2007). Tingginya kejadian dan problema
infeksi yang biasanya dikaitkan dengan keadaan negara berkembang atau tempat
dengan higienitas kurang, ternyata tidak seluruhnya benar. Data dari Center for

Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa insiden sepsis meningkat ±8,7%
setiap tahun, dari 164.000 kasus (83 per 100.000 populasi) pada tahun 1979
menjadi 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 populasi) pada tahun 2000. Sepsis
merupakan penyebab kematian nomor 11 dari seluruh penyebab kematian
(Suharto, 2007). Di Amerika Serikat juga yang merupakan negara maju, kematian
akibat sepsis setiap tahun mencapai 70.000 orang. Kira-kira 500.000 kasus baru
mengalami sepsis dimana kematiannya mencapai 35% (Kuntaman, 2007). Angka


1

Universitas Sumatera Utara

2



kematian ini cenderung naik dan kini menempati urutan ke-10 penyebab kematian
di Amerika Serikat (Shapiro et. al,2010). Kejadian sepsis di Indonesia berkisar
antara 1,5-3,72% pada beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia seperti RS

Cipto Mangunkusumo, sedangkan angka kematian berkisar antara 37,09-80%
(Aulia et al,2003).
Dalam merawat pasien sepsis di Instalasi Gawat Darurat (IGD), kamar
operasi, ataupun di Unit Perawatan Intensif (UPI) ahli anestesi memegang peranan
yang penting. Pasien dengan trauma atau bedah risiko tinggi yang disertai dengan
sepsis jika dilakukan optimalisasi hemodinamik sebelum terjadi suatu kegagalan
organ maka dapat menurunkan angka kematian sebanyak 16% bila dibanding
dengan pasien yang mendapatkan optimalisasi hemodinamik setelah munculnya
gagal organ. (Rivers et al, 2001; Dellinger et al.,2012).
Pada sepsis terjadi respons inflamasi yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Respons inflamasi diawali dengan munculnya reseptor pengenal seperti
toll-like receptors (TLR) yang terdapat pada permukaan makrofag, neutrofil,
epitel, endotel, sel B, dan sel T. Toll-like receptors mengenali peptidoglikan atau
lipopolisakarida pada bakteri dan akan merangsang sinyal intraselular yang
menyebabkan aktivasi protein pengatur nuclear factor kB (NFkB) sehingga
sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF-a), interleukin (IL)-1, IL6, IL-12, dan interferon-g (IFN-g) akan meningkat (Choi et al.2006; Frevert CW.
1999)
Sitokin proinflamasi akan mengaktifkan proses koagulasi yang dimediasi
oleh faktor jaringan, sedangkan respons fibrinolisis belum adekuat, sehingga pada
awal sepsis biasanya didapatkan suatu fase hiperkoagulasi. Sitokin proinflamasi



Universitas Sumatera Utara

3



selain menyebabkan aktivasi koagulasi yang berlebihan juga meyebabkan
penurunan kadar antikoagulan fisiologis dan defek pada proses fibrinolisis,
sehingga timbul koagulopati yang terjadi secara meluas disebut sebagai
disseminated intravascular coagulation (DIC). (Levi et al. 1999; Mammen 1998;
Yu M et al 2000).
Adapun terapi yang direkomendasikan menurut Surviving Sepsis
Campaign (SSC) 2012 adalah pemberian cairan awal pada pasien dengan sepsis
diinduksi hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia untuk mencapai
minimal 30 mL /kg kristaloid (sebagian dari ini mungkin setara albumin).
Administrasi yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar dari cairan mungkin
diperlukan pada beberapa pasien. (Dellinger 2008;Crit Care Med 2013).
Berdasarkan


penelitian

meta-analisis

pada

resusitasi

sepsis

mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum terjadinya disfungsi
organ memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien gawat
darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk membandingkan resusitasi
hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi dini berdasarkan target
(EGDT-Early Goal Directed Therapy) menunjukkan adanya reduksi mortalitas
yang signifikan secara statistik (16,5%). (Bone RCet al 1997).
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi yang
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan kebutuhan
oksigen pada kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat

gawat darurat. Strategi ini mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat
dengan optimalisasi volume intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan
vena sentral (CVP – central venous pressure), tekanan darah (afterload) dengan


Universitas Sumatera Utara

4



pemantauan tekanan arterial (arterial pressure – MAP), kontraktilitas dengan
pemantauan untuk menghindari takikardia dan pemulihan keseimbangan antara
hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen (dipandu dengan pengukuran
SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-komponen EGDT
diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care Medicine
untuk dukungan hemodinamik pada sepsis. (Balk RA. 2004, Rivers et al, 2001,
Dellinger et al, 2012).
Menurut Schmand, dkk (1995) kombinasi pemberian ringer laktat dan
hydroxyethyl (HES) tidak menunjukan hasil yang efektif ataupun mengarah

kearah perbaikan dan tidak memiliki pengaruh terhadap fungsi ekserbasi limfosit.
Interleukin (IL)-6 dilepaskan di makrofag peritoneal, dalam waktu 24 jam setelah
pemberian infus hydroxyethyl dan menunjukan hasil bahwa konsentrasi serum IL6 tetap atau tidak berubah.
Penelitian di China yang dilakukan oleh Huey-Ling Liou, dkk (2012)
membandingkan pemberian kombinasi cairan koloid dan kristaloid terhadap
respon inflamasi pada pasien pembedahan jantung dijumpai perbedaan yang
signifikan terhadap kadar TNF-α, IL-1 β dan IL-6 pada pemberian cairan ringer
solution dibandingkan dengan kelompok HES dan human albumin (HA).
Carlo Alberto Volta, dkk (2013) dalam penelitiannya membandingkan
pemberian cairan pada mediator inflamasi, elektrolit plasma dan gangguan asam
basa pada pasien yang menjalani operasi abdomen dengan tehnik penelitian acak
double blind menunjukkan hasil bahwa pengunaan balance solution tidak
menunjukkan perubahan untuk kadar elektrolit, asam basa, fungsi ginjal dan
berhubungan dengan mekanisme pencetus awal anti-inflamasi.


Universitas Sumatera Utara




5

Wei dong, dkk (2015) dalam penelitiannya efek ringer sodium piruvat

solution terhadap serum tumor nekrosis faktor alpha dan IL-6 pada pasien septik
syok menunjukkan bahwa saat resusitasi ringer sodium piruvat solution lebih
efektif untuk menjaga sirkulasi darah, mengurangi inflamasi dan menjaga kadar
asam-basa dan menurunkan prognosis mortality rate.
Menurut galas dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian Ringer
fundin dihubungkan dengan hasil pemeriksaan elektrolit dan keseimbangan asam
basa yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian Ringer Laktat (RL). (Galas,
2009).
Penelitian Zdenek Zadak,dkk membandingkan Ringerfundin sebagai
larutan Ringer Asetat Malat dengan Plasmalyte didapati Ringerfundin lebih stabil
terhadap efek metabolik, yang tidak meningkatkan konsumsi oksigen atau total
kebutuhan energi (Zadak, 2010).
Zulkarnain, membandingkan larutan Ringer Asetat Malat dengan Larutan
Ringer Laktat sebagai preload pada spinal anestesi pada pasien bedah sesar,
RAM memberikan perubahan yang lebih kecil pada Strong Ion Diffence dari pada
larutan Ringer Laktat (Zulkarnain, 2014).

Menurut Rochwerg pada penelitian meta analisis tahun 2015, kristaloid
(seperti Ringer Laktat) dan cairan yang mengandung albumin merupakan pilihan
yang lebih baik pada penanganan sepsis dan syok sepsis. Larutan klorida yang
lebih rendah, seperti Ringer Laktat, menunjukkan tanda penurunan angka
mortalitas dan penurunan penggunaan terapi pengganti renal ketika dibandingkan
dengan larutan klorida tinggi, seperti normal saline (Rochwerg, 2015).



Universitas Sumatera Utara

6



Pemberian resusitasi cairan pada pasien sepsis pada umumnya

memberikan respon yang lebih baik dengan menggunakan cairan kristaloid. (Mira,
2015), maka peneliti berminat melakukan penelitian dengan membandingkan
pemberian larutan kristaloid Ringer Asetat-Malat dengan larutan Ringer Laktat,

kemudian diukur kadar IL-6 pada pasien sepsis sebelum dan sesudah dilakukan
pemberian cairan tersebut.

1.2.

Rumusan Masalah
Belum ada penelitian tentang pemberian cairan kristaloid Ringer Asetat

Malat dan Ringer Laktat pada pasien sepsis yang mempengaruhi penurunan
mediator sitokin pro inflamasi interleukin-6.

1.3.

Hipotesis
Dijumpai perbedaan penurunan kadar IL-6 setelah pemberian cairan

Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat pada pasien sepsis yang dilakukan EGDT
3 jam pertama di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUP
HAM).


1.4.

Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui penurunan kadar interleukin 6, setelah pemberian cairan
resusitasi Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat pada pasien sepsis di Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM).



Universitas Sumatera Utara

7



1.4.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui penurunan kadar IL-6 setelah pemberian cairan resusitasi
Ringer Asetat Malat pada pasien sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik Medan (RSUP HAM).
b. Untuk mengetahui penurunan kadar IL-6 setelah pemberian cairan resusitasi
Ringer Laktat pada pasien sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan (RSUP HAM).
c. Untuk mengetahui perbandingan penurunan kadar IL-6 setelah pemberian
cairan resusitasi Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat pada pasien sepsis di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM).

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bidang Akademik atau Ilmiah
Menambah pemahaman perbandingan cairan Ringer Asetat Malat dengan
Ringer Laktat terhadap kadar IL-6 pada pasien sepsis.
1.5.2. Pengembangan Penelitian
Sebagai masukan teori bagi penelitian sepsis selanjutnya khususnya dalam
pemilihan cairan pada pasien sepsis.
1.5.3 Pelayanan Masyarakat
Dengan diketahuinya terdapat perbaikan setelah pemberian kristaloid yang
tepat, larutan tersebut dapat digunakan sebagai pilihan dalam tata laksana
resusitasi pada pasien sepsis.



Universitas Sumatera Utara