Perbandingan nilai AGDA, Elektrolit dan laktat setelah pemberian ringer asetat malat dengan ringer laktat untuk EGDT pasien sepsis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sepsis
2.1.1. Infeksi dan inflamasi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang
masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan sekitar disebut dengan penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi
jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama,
namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh.
Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta
menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur, 2007).
Inflamasi adalah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada
dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, saraf, cairan dan sel tubuh
ditempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen
penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian
besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia.
Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepas
sama. Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut systemic
inflammation respons syndrome (Guntur, 2007).


2.1.2. Definisi Sepsis
Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi disertai dengan manifestasi
sistemik. Hipotensi yang disebabkan sepsis dengan nilai tekanan darah sistolik < 90
mmHg atau dengan tekanan darah arteri rerata (MAP) < 70 mmHg atau dengan
penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg atau lebih dari 2 standar deviasi
dibawah normal. Syok sepsis ialah sepsis dengan hipotensi meskipun telah dibrikan
resusitasi cairan secara adekuat. Hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh sepsis

7
Universitas Sumatera Utara

8

adalah hipotensi yang disebabkan infeksi, peningkatan laktat, atau oligouria
(Dellinger, 2012).
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana
terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan
bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure
assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan
resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M, 2016)


2.1.3. Kriteria Sepsis
Berdasarkan studi dan konsesi mengenai definisi sepsis baru, yang
dilakukan oleh European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of
Critical Care Medicine’s pada tahun 2016. Ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat
pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer M, 2016)
SIRS

Sepsis

Sepsis berat

Lama
Baru
Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur (38°c)
Peningkatan leukosit >

11.000 µL-1 atau < 4.000
µ L-1
SIRS
Suspek atau dengan
+
infeksi
fokal Infeksi
+
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah
sistol ≤ 100 mmHg)
penurunan kesadaran
(GCS≤13)
takipnea (≥22x/menit)
atau
Peningkatan skor SOFA
≥2
Sepsis + Disfungsi organ
Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL

Bilirubin > 2 mg/dL
Trombosit 1.5)

Universitas Sumatera Utara

9

Syok Sepsis

Sepsis
+
Hipotensi
setelah mendapatkan cairan
resusitasi adekuat

Sepsis
+
Vasopresor untuk
mencapai MAP > 65
mmHg

+
Laktat > 2 mmol/L
setelah mendapatkan
cairan resusitasi adekuat

2.1.4 Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di Instalasi perawatan
intensif dan merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara
keseluruhan. Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000
populasi pada tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000,
menunjukkan peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ
menjadi efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas
pasien sepsis tanpa disfungsi organ sebesar 15%, Pasien dengan kegagalan fungsi
organ sebesar 70%, dan syok septik sebesar 45-60%. Kejadian hipoalbuminemia
dengan sepsis 60-70%. Pasien sepsis dengan hipoalbuminemia dapat meningkatkan
resiko morbiditas dan mortalitas (Martin GS, Mannino MA, Eaton S, Moss
M,2003;Hommes TJ,Wiersinga, Poll TV,2012)

2.1.5 Patofisiologi Sepsis
Inflamasi adalah jawaban fisiologis terhadap organisme yang merusak

integritas sel, seperti yang terjadi pada infeksi dan trauma. Pada keadaan Inflamasi,
sel akan melepaskan sitokin dan beberapa mediator, yang mempunyai kontribusi
terhadap penghancuran bakteri dan perbaikan pada jaringan. Dapat dibedakan
antara sitokin pro inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor
necrosis factor (TNF) dan sitokin anti inflamasi seperti interleukin-10(IL-10) dan
interleukin-4(IL-4). Regulasi mekanisme lokal akibat inflamasi merupakan
gambaran terhadap pentingnya menghilangkan sumber dari kerusakan dan
mempertahankan homeostasis. Humoral maupun mediator neuronal mempunyai
kontribusi terhadap regulasi dari inflamasi. Mediator antiinflamasi humoral seperti
IL-10 dan glukokortikoid menghambat efek pelepasan sitokin proinflamasi seperti

Universitas Sumatera Utara

10

dimana lipoxin dan resolvin berkontribusi terhadap perbaikan jaringan. Mediator
humoral mencapai sel target pada beberapa organ dengan berdifusi melalui
pembuluh darah. Substansi yang dilepaskan oleh syaraf seperti norepinefrin,
asetilkolin mencapai target organ secara cepat (Ballina M, Tracey Kj,2009).
Sepsis merupakan proses kompleks dan inflamasi sistemik merupakan

jawaban terhadap infeksi yang pada umumnya akibat bakteri. Pada tahap awal,
terjadi disregulasi dan ketidakseimbangan terhadap sitokin proinflamasi yang
mengakibatkan kerusakan jaringan, organ, bahkan kematian. Pelepasan sitokin
proinflamasi yang berlebihan memicu pelepasan vasoaktif amine dan chemokines
maupun aktivasi sistem komplemen, koagulasi, dan pelepasan reactive oxgen
spesies (ROS). Mediator-Mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan permeabilitas vaskular, hipotensi, dan syok septik. Pada tahap lanjut,
dilepasnya mediator seperti High Protein Group Box 1 (HMGB1), yang
memungkinkan reaksi inflamasi tersebut berlanjut (Ballina M, Tracey Kj,2009).
Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi oleh
status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat dipengaruhi
oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin pro inflamasi seperti interleukin-1 (IL1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas diperifer pada
sepsis dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan
mencetuskan inflamasi terhadap itu sendiri yang menyebabkan perubahan perilaku
akibat sepsis. Mediator pro inflamasi dari sirkulasi perifer dan sistem saraf otonom
memegang peranan penting terhadap patogenesis neuroimun pada sepsis
(Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)
Hubungan dua arah antara susunan syaraf pusat dan sistem imunitas dalam
meningkatkan efektifitas kedua sistem tersebut dalam konteks perbedaan inflamasi
yang diakibatkan oleh sepsis dengan penyebab lain. dua jalur yang menghubungkan

antara sistem imunitas dengan susunan syaraf pusat adalah sistem syaraf otonom
dan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi kedua jalur tersebut
mempunyai peranan penting terhadap terjadinya sepsis. (Weismuller K,Weigand
MA, Hoffer S,2012)

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.5.1 Sistem Syaraf Simpatis
Serabut eferen preganglionik yang meninggalkan susunan syaraf pusat
didalam syaraf spinal thorakal dan lumbal dinamakan sistem syaraf simpatis atau
sistem thorakolumbal. Sinaps serabut eferen preganglionik dengan serabut
postganglionik pada ganglia prevertebra. Serabut post ganglionik memiliki inervasi
ke organ melalui ganglia ini. Sistem syaraf simpatis menginervasi semua organ
limfoid dan transmitter epinefrin dan norepenefrin untuk memodulasi sistem imun,
Sitokin proinflamasi mampu mengaktifkan aksis HPA maupun sistem syaraf
simpatis. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)
Berbagai macam sel dari sistem imun innate mengekspresikan reseptor α
atau β adrenergik. Biasanya, reseptor-α tidak dapat ditemukan pada permukaan

leukosit di darah perifer namun dapat ditemukan pada kondisi patologis.
Norepinefrin berinteraksi dengan reseptor α yang akan mestimulasi makrofag untuk
melepaskan TNF-α dan seterusnya akan berkontribusi dalam mempertahankan
keadaan sepsis. Sebaliknya, interaksi dengan reseptor β menurunkan pelepasan IL1 dan TNF-α dan meningkatkan sekresi IL-10 dari makrofag yang memiliki efek
antiinflamasi. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)
2.1.5.2 Aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA)
Pelepasan sitokin sebagai hasil dari infeksi dan jejas memicu afferen vagal.
Hubungan sinaps dari medula rostroventral dan lokus coeruleus maupun nukleus
hipotalamik mengaktifkan sistem syaraf simpatis dan aksis HPA. Sitokin
proinflamasi juga mengaktifkan sel perivaskular di sawar darah otak. Sel
perivaskular akan melepaskan ekisanoid yang memberikan efek pada hipothamus.
Sitokin yang berada disirkulasi juga dapat memberikan efek pada organ
sirkumventrikular seperti area postrema dimana tidak terdapat sawar darah otak
secara langsung. Sitokin pro inflamasi

menyebakan ekspresi Corticotropin

Releasing Hormones (CRH) atau Arginin Vasopresin (AVP) di hipotalamus serta
Adrenocorticotropic Hormones (ACTH) pada kelenjar hipofisis adrenal. ACTH
dapat meningkatkan pelepasan kortisol di korteks adrenal. Kortisol memiliki efek

anti inflamasi dalam mengurangi aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-κB) dan
meningkatkan sintesa sitokin antiinflamasi. Pro-opiomelanocortin (POMC) adalah
prekursor peptida tidak hanya ACTH tetapi juga α-melanocyte stimulating

Universitas Sumatera Utara

12

hormones (α-MSH). α-MSH menurunkan NF-κB dan meningkatkan pelepasan IL10 dan menghambat aktivitas pro inflamasi. Pada keadaan Syok septik sangat
relevan bahwa pelepasan α-MSH setelah stimulasi CRH terhambat berdampak
kepada kematian. Reaksi antiinflamasi sistemik pentng terhadap respon imunitas
yang efektif pada pasien sepsis. Berbagai studi klinis menunjukkan sitokin
proinflamasi secara langsung mengaktifkan aksis HPA dan mengakibatkan
pelepasan kortisol. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

2.1.5.3 Kontrol Kolinergik Inflamasi
Beberapa tahun terakhir, jalur antiinflamasi kolinergik telah digambarkan
sebagai mekanisme kontrol inflamasi neuronal melalui syaraf eferen. Secara in
vitro, asetilkolin menghambat pelepasan sitokin pro inflamasi melalui makrofag.
Secara in vivo, stimulasi elektrik syaraf vagal menurunkan pelepasan HMGB1 dan

meningkatkan angka kelangsungan hidup. Selanjutnya, asetilkolin menghambat
pelepasan TNF-α dengan berikatan dengan reseptor α7-subunit asetilkolin. Sebagai
tambahan, splenektomi yang dilakukan pada percobaan sepsis menurunkan
pelepasan HMGB1 serta meningkatkan angka kelangsungan hidup. Sistem imun
mendapat informasi dari organ perifer dan berperilaku sebagai organ sensori yang
menyediakan informasi proses inflamasi untuk otak. Reseptor IL-1 pada syaraf
aferen vagal terlibat pada proses ini (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

2.1.5.4 Aktifasi komplemen
Aktifasi komplemen akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan
melarutkan sel patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade oleh inflamasi akan
menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi
protein koagulasi, platelet, sel mast dan secara tidak langsung memproduksi
bradikinin. Dengan demikian dapat terlihat bahwa ativasi dari salah satu inisiator
akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan
kecepatan aliran dan pembentukan edema di jaringan. (Weismuller K,Weigand
MA, Hoffer S,2012).

Universitas Sumatera Utara

13

Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan ilmu kedokteran
semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya,
sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon tuan rumah
akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon
tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi
organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang
menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ
bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari
sepsis adalah respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari
anti-inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane, 2005).

2.1.6 Stres Metabolik Pada Sepsis
Pada pasien sepsis mempunyai karakter variasi yang lebar terhadap
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Variasi tersebut dapat memicu
peningkatan kebutuhan energi dengan akselarasi katabolisme protein dan
menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada orang yang sehat normal,
respon metabolik terhadap sepsis dapat meningkatkan kebutuhan kalori dan protein.
Hasilnya, substrat endogen digunakan sebagai sumber bahan bakar dan sebagai
prekursor terhadap sintesis protein. Respon ini melalui counter regulatory
hormones

(CRHs)

seperti

epinefrin,

glukagon,

kortisol

dan

hormon

pertumbuhan,yang meregulasi substrat endogen di berbagai organ dan jaringan.
Sebagai tambahan, tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β mempunyai peranan
penting terhadap respon sistemik yang menimbulkan hiperglikemia. Stres yang
memicu hiperglikemi ini mempunyai dampak buruk seperti peningkatan infeksi dan
memperlambat penyembuhan luka. Pada pasien nondiabetik, hiperglikemia akan
berlangsung selama 24 jam setelah trauma atau paska pembedahan serta
menggambar keadaan konsentrasi CRHs di plasma. Lebih lanjut akan terjadi
pengurangan massa tubuh (otot) dan lemak , dimana keadaan ini dijuluki dengan
otokanibalisme. Strategi nutrisi konvensional dengan mencukupkan nutrisi sesuai
dengan kebutuhan manusia sehat, namun pengurangan massa otot dan jaringan
lemak masih tampak terjadi (Elamin M, Camporessi E, 2009).

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.1 Variasi kondisi yang dapat menimbulkan CRHs di plasma
meningkat.(Elamin M, Camporessi E, 2009).
Respon metabolik terhadap stres memiliki dampak yang besar terhadap
gangguan metabolisme karbohidrat. Peningkatan sekresi CRH menimbulkan
peningkatan produksi karbohidrat endogen sebagai akibat akselarasi hepatik
glukoneogenesis. Sumber substrat endogen untuk mendukung glukoneogenesis
hepatik berasal gliserol (lipolisis), alanin (proteolisis) dan laktat (glikolisis
anaerob). Peningkatan produksi karbohidrat ini dibarengi dengan resisten terhadap
insulin yang menyebabkan hiperglikemia. Kadar insulin dalam batas normal atau
diatas ambang normal, namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia.
Hiperglikemia dapat juga terjadi akibat penurunan aktivitas sintesa glikogen diotot.
(Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997).
Asam lemak bebas merupakan salah satu sumber energi selain laktat dan
asam amino setelah mengalami sepsis. Trigliserida menyediakan 50-80% dari
energi yang dibutuhkan. Energi sangat dibutuhkan untuk proses glukoneogenesis
hepatik. Lipolisis adalah percepatan metabolisme lemak yang terjadi pada periode
awal akibat stimulasi CRH. Energi dilepaskan melalui proses oksidasi lemak yang
merupakan sumber energi sel hati. Hanya sebagian glukosa mengalami oksidasi dan
80-90% energi yang dibutuhkan untuk proses glukoneogesis hepatik berasal
oksidasi lemak (Simsek T, Simsek HU, Canturk NZ, 2014).

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.2 Glukoneogenesis hepatik (Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997)

Respon metabolik tubuh terhadap stres terjadi melalui dua fase, yaitu fase
ebb dan fase flow (Preiser JC ,2014).
1. Fase Ebb
Fase ebb dimulai segera setelah terjadi stres, baik akibat trauma atau sepsis dan
berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat berlangsung lebih lama,
tergantung pada keparahan trauma dan kecukupan resusitasi. Fase ebb disamakan
juga dengan periode syok yang memanjang dan tidak teratasi, yang ditandai dengan
hipoperfusi jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara keseluruhan.
Sebagai upaya kompensasi tubuh terhadap keadaan ini, hormon katekolamin akan
dikeluarkan, dimana norepinefrin menjadi mediator utama pada fase ebb.
Norepinefrin dikeluarkan dari saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta 1 di
jantung dan reseptor beta 2 di perifer dan dasar vaskular splanknik. Efek paling
penting adalah pada sistem kardiovaskular, karena norepinefrin merupakan
stimulan kuat jantung, menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung
dan vasokonstriksi. Hal ini merupakan usaha dalam mengembalikan tekanan darah,
meningkatkan perfoma jantung dan maksimalisasi venous return. Hiperglikemia
mungkin terjadi pada fase ebb. Hiperglikemia terjadi akibat glikogenolisis hepar
yang merupakan efek sekunder dari katekolamin dan akibat stimulasi simpatik
langsung dari pemecahan glikogen. Hiperglikemia yang terjadi setelah trauma

Universitas Sumatera Utara

16

merupakan masalah yang sangat penting untuk segera diatasi karena dapat
menempatkan pasien pada kondisi berisiko tinggi terhadap berbagai komplikasi,
masa penyembuhan yang lebih lama, peningkatan waktu lama rawat, bahkan dapat
menyebabkan kematian.

2. Fase Flow
Permulaan fase flow, yang meliputi fase anabolik dan katabolik, ditandai dengan
curah jantung (CO) yang tinggi dengan restorasi oxygen delivery dan substrat
metabolik. Durasi fase flow tergantung pada keparahan trauma atau adanya infeksi
dan perkembangan menjadi komplikasi. Secara khas, puncak fase ini adalah sekitar
3-5 hari, dan akan turun pada 7-10 hari, dan akan melebur ke dalam fase anabolik
selama beberapa minggu. Selama terjadi fase hipermetabolik, insulin akan
meningkat, namun peningkatan level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan
menetralkan hampir semua efek metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi
asam amino dan free fatty acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa
merupakan akibat dari ketidak seimbangan hormon-hormon tersebut. Beberapa
hormon akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi energi salah
satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver sebagai trigliserid.
Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis protein di liver, dimana
mediator humoral akan meningkatkan produksi reaktan fase akut. Sintesis protein
yang serupa juga terjadi pada sistem imun guna menyembuhkan kerusakan
jaringan. Fase hipermetabolik ini melibatkan proses katabolik dan anabolik,
hasilnya adalah kehilangan protein secara signifikan, yang ditandai dengan
keseimbangan nitrogen negatif dan penurunan simpanan lemak. Hal ini akan
menuju pada modifikasi komposisi tubuh secara keseluruhan, ditandai dengan
kehilangan protein, karbohidrat, dan simpanan lemak, disertai dengan meluasnya
kompartemen cairan ekstraselular.

Universitas Sumatera Utara

17

Fase Flow
ENERGY
EXPENDITURE

Fase Ebb
Adaptasi

12-14 jam

Waktu

Hari ke 7

Gambar 2.3 Fase ebb dan fase flow (Preiser JC et al.,2014).
2.1.7 Manifestasi klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada
kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan
muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung)
atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan
anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis
ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis
mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.(Larosa,2010)
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih
sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala

Universitas Sumatera Utara

18

takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker
atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang
berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien
dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-kurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut
menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama di rawat di unit
gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada
pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama
disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan
laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien
dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain
yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan
seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.

2.1.8. Diagnosis
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy
coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin,
dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat
harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme.
Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil
ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang menderita harus
dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif
serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output.
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk -mempertimbangkan
sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang
tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda vasodilatasi perifer, shock dan
perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik

Universitas Sumatera Utara

19

yang menunjukkan syok septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi
vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji
laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan
sepsis. .(Shapiro,2010)

2.2. Analisa Gas Darah
Pada evaluasi pasien kritis, pemeriksaan analisis gas darah memegang
peranan penting. Pemeriksaan dari parameter gas darah dapat dibagi menjadi
beberapa subgroup, mulai dari status oksigenasi, parameter metabolik yang terkait
dan status asam basa.Status asam basa adalah suatu keadaan yang mencerminkan
keseimbangan antara input (intake dan produksi) dan output (eleminasi) dari ion
hidrogen (Higgins, 2011).
Analisis Gas Darah Arteri
Sampel darah arteri berguna untuk mengetahui status ventilasi dan
oksigenasi pasien. Sebagai contohnya, status oksigenasi dapat dievaluasi dengan
mengukur tekanan parsial oksigen arteri (PaO2). Sampel darah arteri didapatkan
dari arteri radialis, arteri brachialis, arteri dorsalis pedis, arteri femoralis atau pada
pasien yang telah teranestesididapatkan dari arteri sublingual(Irizarry, 2009).
Analisis Gas Darah Vena
Gas darah vena dapat memberikan informasi mengenai status asam basa dan
ventilasi (misalnya tekanan parsial karbondioksida di vena (PvCO2). Pada pasien
dengan perfusi yang adekuat, tekanan parsial karbondioksida di vena berkisar
antara 4-6 mmHg lebih tinggi jika dibandingkan dengan tekanan parsial
karbondioksida arteri, perbedaan tersebut bisa lebih besar pada pasien dengan
hipoperfusi ( Higgins, 2011).
Sampel vena perifer umumnya tidak direkomendasikan untuk analisis gas
darah, karena hampir tidak memberikan informasi mengenai kedaan umum pasien.
Sampel yang diambil melalui kateter vena sentral dapat digunakan untuk
mengevaluasi status oksigenasi mixed vein. Hasil yang tidak sesuai dapat disebabkan jika sampel diambil hanya pada vena superior atau inferior saja, atau
terjadi shunt dari kiri ke kanan (Higgins, 2011).

Universitas Sumatera Utara

20

Status oksigen dari darah mixed vein yang didapatkan dari kateter yang
ditempatkan di arteri pulmonal, amat bermanfaat untuk mengevaluasi status
respirasi, metabolik dan sirkulasi. Kandungan oksigen mixed vein yang rendah
merupakan tanda dari kegagalan suplai oksigen akibat rendahnya availabilitas
oksigen arteri atau ketidakadekuatan sirkulasi terhadap peningkatan ekstraksi
oksigen ( Higgins, 2011).
2.2.1 Evaluasi Analisis Gas Darah
Perhatian utama analisis gas darah secara langsung adalah untuk mengukur
pH, tekanan parsial oksigen (PO2) dan tekanan parsial karbondioksida (PCO2).
Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan untuk memperkirakan saturasi oksigen
(SaO2) dalam hemoglobin, konsentrasi bikarbonat (HCO3-), konsentrasi total
karbondioksida (TCO2), dan base excess cairan ekstraseluler (BEecf). Saturasi
oksigen biasanya ditentukan berdasarkan tekanan oksigen dari kurva disosiasi
oksigen. Konsentrasi bikarbonat, konsentrasi total karbondioksida dan BE juga
didapatkan dari rumus dan normogram(Irizarry, 2009).
BE, konsentrasi HCO3- dan konsentrasi TCO2 semuanya merupakan alat
ukur komponen metabolik dari status asam basa pasien, sementara PCO 2
mengevaluasi ventilasi dan mewakili komponen respiratorik dari status asam basa.
Oksigenasi, yang dihitung dari PaO2 juga merupakan bagian dari komponen
respirasi(Irizarry, 2009).
2.2.2 pH
pH darah mewakili seluruh keseimbangan asam (asidosis) dan basa
(alkalosis) yang diproses di dalam tubuh. Hal ini ditentukan dengan menghitung
perbandingan rasio komponen metabolik (HCO3-) dan respirasi (CO2) dari
keseimbangan asam basa(Irizarry, 2009).
Secara umum, asidemia adalah kondisi dimana pH darah turun hingga
kurang dari 7,35 dan alkalemia jika pH darah lebih dari 7,45 (7,4 adalah netral).
Berdasarkan persamaan Henderson-Hasselbach, pH dapat ditentukan dengan rasio
konsentrasi HCO3- dengan konsentrasi CO2 yang terlarut dalam cairan ekstrasel.
pH = HCO3- (metabolik)
αPCO2 (respiratorik)

Universitas Sumatera Utara

21

Dalam rumus tersebut, α adalah koefisien solubilitas untuk karbondioksida
dan setara dengan 0,03(Irizarry, 2009).
2.2.3. Evaluasi komponen respirasi
PCO2 menyediakan informasi mengenai ventilasi atau komponen respirasi
dalam keseimbangan asam basa. Ventilasi alveoli didefinisikan sebagai volume
udara per unit waktu yang mencapai alveoli, tempat dimana pertukaran gas dengan
darah pulmonal terjadi(Irizarry, 2009).
Hipoventilasi ditandai dengan adanya peningkatan PCO 2 (>45 mmHg)
akibat retensi CO2 dalam darah. CO2 merupakan asam volatil, sehingga jika terjadi
retensi CO2 akan menyebabkan respiratori asidosis. Ringkasnya, respiratori
asidosis terjadi akibat beberapa aspek kegagalan ventilasi, dimana sejumlah normal
CO2 dihasilkan oleh jaringan tidak dapat diekskresikan dengan baik melalui menit
ventilasi alveolar. Penyebab umum terjadinya hipoventilasi berupa hal-hal yang
mempengaruhi sistem saraf respirasi (misal : anestesia, sedasi), mekanisme
pernapasan (misal : hernia diafragma, penyakit rongga pleura) atau aliran udara
yang melalui saluran nafas (misal : obstruksi saluran nafas atas ataupun bawah)
ataupun alveoli( Irizarry,2009).
Hiperventilasi ditandai dengan menurunnya PCO2, sebagai akibat CO2 telah
dibuang dari alveoli, yang mana menyebabkan respiratori alkalosis (PCO 210
mmol/L. Tetapi pada setiap individu, prognosis sangat tergantung kepada penyakit
dasar, dengan asidosis laktat sebagai indikator beratnya keadaan syok, dan
responnya terhadap terapi(Andersen, 2013).
Pada tahun 1926, Cohen dan Woods mencoba untuk membagi penyebab
peningkatan laktat dihubungkan dengan adanya keadaan hipoksia jaringan pada tipe
A dan tipe B. Klasifikasi asidosis laktat dibagi menjadi:
A. Keadaan sekunder yang berhubungan dengan hipoksia jaringan (tipe A):
1. Syok
2. Anemia berat
3. Hipoksemia berat
4. Hipoperfusi regional
5. Keracunan karbon monoksida
B. Keadaan sekunder oleh suatu mekanisme lain (tipe B):
1. Berhubungan dengan penyakit tertentu (tipe B1)
Sepsis, gagal hepar, defisiensi tiamin; suatu kofaktor enzim yang
berperan dalam metabolisme laktat; keganasan tertentu, misal:
limfoma, kanker paru, kanker payudara, feokromositoma, diabetes.
2. Akibat obat atau racun tertentu (tipe B2)

Universitas Sumatera Utara

27

Obat anti diabetik golongan biguanid (fenformin, metformin),
biasanya pada keadaan insufisiensi renal; golongan alkohol (ethanol,
methanol), glikol (etilen glikol, propilen glikol), merupakan pelarut
obat-obat parenteral ; obat simpatomimetik (epinefrin, terbutalin,
ritodrin) ; overdosis asetaminofen dan asam salisilat; antiretrovirus;
sorbitol dan silitol; sianida (metabolit natrium nitroprusida) ;
isoniazid ; fruktosa.
3. Suatu kelainan kongenital (tipe B3)
Penyakit von Gierke (penyakit gangguan penyimpanan glikogen
tipe I); intoleransi fruktosa bawaan; defisiensi karboksilase piruvat;
defisiensi 1.6 bifosfat fruktosa; gangguan fosforilasi oksidasi
bawaan; defisiensi dehidrogenase piruvat; sindrom Kearns-Sayre;
sindrom mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and
stroke(MELAS).
2.4. Elektrolit
Tubuh kita ini adalah ibarat suatu jaringan listrik yang begitu kompleks,
didalamnya terdapat beberapa ‘pembangkit’ lokal seperti jantung, otak dan ginjal.
Juga ada ‘rumah-rumah’ berupa sel-sel otot. Untuk bisa mengalirkan listrik ini
diperlukan ion-ion yang akan mengantarkan ‘perintah’ dari pembangkit ke rumahrumah. Ion-ion ini disebut sebagai elektrolit. Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam
tubuh, yaitu kation (elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang
bermuatan negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja sama
mengantarkan impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan tubuh. (The
College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)
Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+), Kalium (K+),
Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-), HCO3, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama besar
sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel (cairan
diluar sel), kation utama adalah Na+ sedangkan anion utamanya adalah Cl-.
Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya adalah kalium (K +). (The
College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Universitas Sumatera Utara

28

Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak
manfaat, tergantung dari jenisnya. Contohnya :


Natrium : fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan
pengaturan volume ekstra sel.



Kalium : fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam
tubuh.



Klorida : fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada
berbagai cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan
ekstrasel.



Kalsium : fungsi utama kalsium adalah sebagai penggerak dari otot-otot,
deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila diperlukan, kalsium ini
dapat berpindah ke dalam darah.



Magnesium : Berperan penting dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur
pergerakan Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung
dan kekuatan pembuluh darah tubuh. (The College of Emergency Medicine
& Doctors.net.uk, 2008)

2.5. Resusitasi cairan pada sepsis
2.5.1 Volume cairan resusitasi
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan dengan
sepsis berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60 mL/kgbb ternyata
berhasil memperbaiki curah jantung, penghantaran oksigen serta stabilitas
hemodinamik. Dari penelitian Han tahun 2003 pada pasien dengan sepsis berat dan
syok septik, didapatkan pula bahwa kelompok non-survivor menerima volume
cairan resusitasi lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan dilanjutkan dengan
terapi inotropik.
Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo tahun 1991
melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada pasien pediatrik dengan
syok septik yang diberikan dalam 1 jam pertama, pemberian cairan resusitasi secara
cepat dengan volume di atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb) berhubungan

Universitas Sumatera Utara

29

dengan outcome (survival) yang lebih baik. Pemberian cairan secara cepat juga
tidak berhubungan dengan kejadian Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10
menit, dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini
meliputi denyut jantung, produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat
kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga awal resusitasi
memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,1 namun dapat mencapai hingga 200
mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan yaitu dengan
memperhatikan adanya onset baru hepatomegali, bertambahnya usaha nafas pasien,
ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya berat badan
lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan lain untuk
mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila didapatkan oliguria,
atau continuous renal replacement therapy (CRRT) bila diperlukan. Untuk
pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland (2004) didapatkan
bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik merupakan faktor prognostik
perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk
menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis berat
dan syok septik.

Tabel.2.2. Surviving Sepsis Campaign

Universitas Sumatera Utara

30

2.5.2 Cairan resusitasi
Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok septik bersifat
liberal. Secara umum, cairan isotonis cukup efektif, aman, dan efektif dibandingkan
dengan koloid, sehingga disarankan sebagai cairan lini pertama pada
resusitasi. Penelitian di India yang dilakukan oleh Upadhyay tahun 2005
mendapatkan tidak adanya perbedaan outcome pasien syok septik yang diresusitasi
dengan cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Namun hal yang berlawanan
didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts, bahwa resusitasi dengan cairan
koloid dapat menyebabkan efek samping berupa gangguan hemostasis. Pada saat
ini penelitian klinis banyak dilakukan untuk mengetahui manfaat penggunaan
cairan hipertonis dalam resusitasi sepsis berat dan syok septik

2.5.3 Ringer laktat
Ringer laktat adalah cairan yang isotonis dengan darah dan dimaksudkan
untuk cairan pengganti. Ringer laktat merupakan cairan kristaloid. Ringer laktat
digunakan diantaranya untuk luka bakar, syok, dan cairan preload pada operasi.
Ringer laktat merupakan cairan yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan
plasma. Satu liter cairan ringer laktat memiliki kandungan 130 mEq ion natrium
setara dengan 131 mmol/L, 111 mEq ion klorida setara dengan 109 mmol/L, 28 mq

Universitas Sumatera Utara

31

laktat setara dengan 29 mmol/L, 4 mEq ion kalium setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq
ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L. Anion laktat yang terdapat dalam ringer
laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah menjadi bikarbonat untuk
mengkoreksi keadaan asidosis, sehingga ringer laktat baik untuk mengkoreksi
asidosis. Laktat dalam ringer laktat sebagian besar dimetabolisme melalui proses
glukoneogenesis. Setiap satu mol laktat akan menghasilkan satu mol bikarbonat.(B
Braun,2013)
Tabel.2.3. Komposisi ringer Laktat

2.5.4 Ringer asetat malat
Saat ini berbagai penelitian tentang cairan pengganti dilakukan untuk
menemukan cairan yang paling tepat. Cairan pengganti yang diberikan pada pasien
harus memiliki kadar elektrolit yang mendekati kadar elektrolit plasma untuk
mencegah terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme. Ringer asetat
malat berbeda dengan ringer laktat. Ringer asetat malat mengandung anion asetat
dan malat yang dapat dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat. Asetat dan malat
akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat, satu mol asetat akan diubah
menjadi satu mol bikarbonat sedangkan satu mol malat akan dirubah menjadi dua
mol bikarbonat. Malat bekerja dalam waktu lebih lama dibandingkan asetat, oleh
karena itu kombinasi asetat dan malat merupakan pilihan yang baik dalam suatu
cairan, ringer asetat malat lebih baik dari ringer laktat karena ringer asetat malat

Universitas Sumatera Utara

32

lebih isotonis. Ringer asetat malat memiliki kadar natrium, kalium dan magnesium
yang hampir sama dengan plasma, sedangkan konsentrasi klorida memilki kadar
yang sedikit lebih tinggi dalam rangka mencapai osmolaritas fisiologis.
Ringer Asetat malat menunjukkan fitur sebagai berikut:
1. cairan elektrolit penuh
2. Isotonis
3. Berisi Asetat/Malat bukan laktat
4. Memiliki base excess potential yang seimbang
5. Menjaga konsumsi oksigen rendah.
Secara teoritis, cairan elektrolit penuh harus mengandung buffer fisiologis
bikarbonat pada konsentrasi 24 mmol/ml. Ringer asetat malat memiliki bikarbonat
dalam bentuk anion metabolisasi asetat dan malat yang akan melepaskan bikarbonat
intravaskuler. Anion ini selain dimetabolisme di hati juga dimetabolisme di hampir
setiap sel jaringan dengan mengambil H+ dan Oksigen dan membentuk
bikarbonat.Asetat melepaskan satu mol bikarbonat tiap satu mol asetat, sedangkan
malat melepaskan dua mol bikarbonat tiap satu mol malat Berbeda dengan laktat
yang menghasilkan satu mol bikarbonat tiap satu mol laktat. Ringer asetat malat
mengandung asetat dan malat berbeda dengan laktat, laktat tidak selalu disarankan
untuk digunakan dalam larutan infus, karena :
1. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus insufisiensi hati, karena laktat ini
sebagian besar dimetabolisme di hati dan administrasi dari laktat dapat
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
2. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus syok dengan hiperlaktasidemia atau
asidosis laktat. Hiperlaktasidemia dan asidosis laktat adalah tanda tanda dari
ratio diprosporsional antara produksi asam laktat dan metabolime hepar yang
terganggu. Konsumsi yang oksigen dipicu oleh laktat cukup besar dan tidak
harus meningkat lebih lanjut apabila ada jaringan hipoksia.
3. Persediaan oksigen laktat meningkatkan risiko alkalosis rebound.
4. Konsentrasi serum laktat sering digunakan sebagai penanda hipoksia. Dengan
demikian administrasi laktat eksogen akan menyebabkan kesalahan pembacaan penanda(B Braun,2009)

Universitas Sumatera Utara

33

Ringer asetat malat adalah cairan elektrolit penuh pertama mengandung
kombinasi unik dari asetat dan malat. Ringer asetat malat berisi 24 mmol/l asetat
dan 5 mmol/l malat, dimana total asetat dan malat melepaskan 34 mmol/l
bikarbonat. Asetat dan malat lebih disukai daripada laktat, karena metabolisme
mereka tidak hanya terbatas pada hati tetapi juga dimetabolisme di seluruh
jaringan.(B Braun,2009)