Perbandingan Nilai Interleukin-6 Setelah Pemberian Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat untuk EGDT Pasien Sepsis

8



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis
2.1.1. Defenisi
Sepsis didefinisikan sebagai adanya (suspek atau terbukti) infeksi
bersama-sama dengan manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis yang berat
didefinisikan sebagai sepsis plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau
hipoperfusi jaringan (Dellinger et al. 2008; Crit Care Med 2013).
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana
terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan
bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure
assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan
resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M, 2016).
2.1.2. Kriteria Sepsis
Menurut European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society
of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang

terdapat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (Dikutip dari Singer M,
2016)
SIRS

Lama
Baru
Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur (38°c)
Peningkatan leukosit >
11.000 µL-1 atau < 4.000
µL-1


8

Universitas Sumatera Utara

9




Tabel 2.1 (Lanjutan)
Sepsis

Sepsis berat

Syok Sepsis

Lama
SIRS
+
fokal Infeksi

Baru
Suspek
infeksi

Sepsis + Disfungsi organ

Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL
Trombosit 1.5)
Sepsis
+
Hipotensi
setelah mendapatkan cairan
resusitasi adekuat

atau

dengan

+
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah
sistol ≤ 100 mmHg)
penurunan
kesadaran

(GCS≤13)
takipnea (≥22x/menit)
atau
Peningkatan skor SOFA
≥2

Sepsis
+
Vasopresor
untuk
mencapai MAP > 65
mmHg
+
Laktat > 2 mmol/L
setelah
mendapatkan
cairan resusitasi adekuat

2.1.3 Epidemiologi
Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi lebih dari 200.000 kematian

pertahun di Amerika Serikat. Insidensi sepsis berat dan syok septik meningkat
selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per tahun (3 per 1000
penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien dengan penyakit
terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat pada penderita usia
lanjut dan sudah adanya komorbiditas sebelumnya. Meningkatnya insiden sepsis
berat di Amerika Serikat disebabkan oleh usia penduduk, meningkatnya pasien
usia lanjut menyebabkan meningkatnya pasien dengan penyakit kronis, dan juga


Universitas Sumatera Utara

10



akibat berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat
antimikroba, obat imunosupresif, pemakaian kateter jangka panjang dan ventilasi
mekanik juga berperan.Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian yang
paling sering di seluruh dunia, terutama pada kalangan anak-anak (Munford,
2008).

Setiap tahunnya sekitar 750.000 kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis
berat atau syok septik di Amerika Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian
akibat miokard akut infark, syok septik dan komplikasi sepsis yang paling umum
terjadi merupakan penyebab kematian di unit perawatan intensif (UPI)
noncoronary. Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter melakukan
tindakan operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan
penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosupresan.
Distrubusi sepsis proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin (Widodo,
2004). Studi terbaru menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang
lebih tinggi dari sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000
penduduk) dan angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%) (Russell, 2012).
2.1.4 Patofisiologi Sepsis
2.1.4.1 Pengenalan Penjamu Terhadap Komponen Mikrobial
Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sebuah reseptor LPS selama ini
menjadi penghalang untuk memahami bagaimana bakteria gram negatif dapat
menginisiasi respons sepsis; aktivasi sel pejamu tergantung pada adanya protein
pengikat LPS (LPB, LPS binding protein) dan reseptor opsonik CD14. Meskipun
CD14 awalnya diidentifikasi sebagai ko-reseptor esensial yang memerantarai
aktivasi monosit oleh LPS, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sel ini



Universitas Sumatera Utara

11



juga berperanan dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding sel gram
positif, seperti peptidoglikan, memerantarai apoptosis makrofag dan penting
dalam transfer LPS antara protein-protein serum yang mempunyai kemampuan
mengikat LPS seperti LBP dan lipoprotein serum. (Hoffman.2003;Roberts HR
2006)
Meskipun penemuan CD14 mewakili suatu langkah ke depan signifikan
dalam memahami respons pejamu terhadap LPS, fakta bahwa mCD14 tidak
mempunyai ekor intraselular berarti bahwa masih belum jelas bagaimana ligasi
kompleks LPS-LBP dapat menyebabkan aktivasi selular. Ketidakpastian ini
dipecahkan dengan penemuan sekelompok reseptor serupa yaitu TLR.
TLR mempunyai domain intraselular yang homolog terhadap reseptor IL-1
dan IL-18. Protein adapter memfasilitasi pengikatan terhadap kinase terkait
reseptor, yang kemudian menginduksi faktor 6 terkait


reseptor TNF,

menyebabkan translokasi nuklear dari NFκB dan akhirnya menyebabkan aktivasi
promotor gen sitokin. Saat ini telah diidentidikasi 10 TLR yang mempunyai
spesifisitas ligan luas, termasuk protein bakterial, fungal dan khamir, dengan TLR
4 merupakan resptor LPS, TLR2 terutama untuk mengenali struktur dinding sel
gram positif, TLR5 merupakan reseptor flagelin dan TLR9 mengenali elemen
CpG pada DNA bakteri.(Hoffman M, 2003; Smith SA 2009; Roberts HR et al,
2006; Oliver JA et al,1999)



Universitas Sumatera Utara

12



Gambar 2.1 Lipopolisakarida, komponen dinding sel bakteri gram negatif dikenali oleh TLR4 dan

CD14 pada permukaan sel imun. Hal ini akan mengaktivasi kaskade intraselular, yang
menghasilkan aktivasi gen-gen dependen NFκB.

2.1.4.2 Amplifikasi Awal
Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi aktivasi
respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respons pertahanan, baik
komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear melepaskan sitokinsitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα, namun juga beberapa
sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga beberapa molekulmolekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1 merupakan sitokin inflamasi prototipik
yang memerantarai banyak fitur imunopatologis dari renjatan karena LPS.
Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS,
mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator lipid dan
spesies oksigen reaktif serta juga meningkatkan produksi molekul-molekul adhesi
sel, yang kemudian menginisiasi migrasi sel inflamatorik ke dalam jaringan.
(Hoffman M, 2003; Smith SA 2009)
Salah satu konsep paling menarik mengenai pengenalan pejamu dan
amplifikasi sinyal setelah rangsangan dengan mikroba adalah toleransi. Paparan


Universitas Sumatera Utara


13



makrofag terhadap LPS atau stimulus proinflamatorik lainnya, seperti sitokin
TNF-α, dapat menginduksi keadaan toleransi yang akan menyebabkan penurunan
aktivasi setelah paparan dengan LPS atau mediator inflamasi berikutnya. Diantara
mekanisme-mekanisme yang ada, penurunan ekspresi TLR telah diduga sebagai
penyebabnya. Bruniati et al memperlihatkan bahwa ekspresi TLR 2 dan 4 di
dalam monosit pada pasien septik tetap stabil, meskipun ditemukan produksi
sitokin-sitokin yang lebih rendah pada stimulus inflamatorik. Temuan-temuan ini
menunjukkan bahwa regulasi menurun yang dijumpai pada pasien dengan sepsis
berat dan syok sepsis hal ini terkait dengan jalur intraselular dan bukan karena
ekspresi TLR. Bukti-bukti yang belum menjelaskan dari beberapa peneliti
menunjukkan hal ini, dengan menggunakan LPS terbiotinilasi dan flow cytometry
untuk mempelajari interaksi LPS-monosit dan aktivasi selular terinduksi LPS pada
darah pasien sepsis. Lebih jauh lagi, kelompok yang sama telah memperlihatkan
bahwa netrofil dari pasien sepsis dapat mempertahankan kapasitasnya sebagai
fagositosis dan menghasilkan spesies oksigen reaktif. Apabila disatukan, temuantemuan ini menunjukkan bahwa toleransi merupakan suatu fenomena terkait
respons makrofag dan tidak terkait dengan ekspresi TLR.


(Saba et al 2006;

Damas P,1992)



Universitas Sumatera Utara

14



Gambar 2.2Mekanisme Utama yang Menghubungkan Stres Oksidatif pada MSOF selama sepsis.
(Salvemini, dkk 2002)



2.1.4.3 Respon Umpan Balik Inflamatorik
Respons pro-inflamasi nyata yang timbul pada sepsis diseimbangkan oleh
sekumpulan molekul regulator-umpan balik yang berusaha untuk mengembalikan
keseimbangan imunologikal. Sitokin-sitokin umpan balik inflamatorik termasuk
antagonis-antagonis seperti reseptor TNF solubel dan antagonis reseptor IL-1,
reseptor umpan seperti reseptor IL-1 tipe II, inaktivator kaskade komplemen dan
sitokin-sitokin anti-inflamasi di mana IL-10 merupakan prototipe. Seiring dengan
reaksi ini, respons pejamu terhadap trauma termasuk perubahan nyata pada
aktivitas metabolik (peningkatan produksi kortisol dan pelepasan katekolamin),
induksi protein fase akut dan aktivasi endotelial dengan regulasi meningkat


Universitas Sumatera Utara

15



molekul-molekul adhesi dan pelepasan prostanoid serta faktor aktivasi trombosit
(PAF-platelet activating factors). (Oliver JAet al 1999; Knoeb lP 2010)
Sisi lain dari regulasi menurun sistem imunitas yang timbul pada sepsis
adalah timbulnya apoptosis limfosit; beberapa analisis otopsi jaringan telah
menunjukkan adanya deplesi selektif limfosit B dan CD4+. Proses ini dan akibat
fungsionalnya dipandang sebagai bagian dari keadaan imunosupresi yang lebih
luas, dikarakteristikkan dengan hiporesponsif sel T dan anergi, yang timbul pada
sebagian besar pasien sepsis dan dipandang sebagai respons keseimbangan (dan
terkadang respons berlebihan) terhadap keadaan proinflamasi awal. Oleh karena
respons berlebihan ini beberapa peneliti memandang respons inflamasi umpan
balik sebagai penyebab perhatahan pejamu yang inadekuat terhadap infeksi dan
merupakan sebagai mediator potensial sepsis serta kegagalan organ progresif.
Beberapa peneliti telah berusaha membuktikan pendapat bahwa pembalikan
keadaan imunosupresif ini mungkin mempunyai peranan terapeutik. (Bone rc et
al, 1997; Nystrom PO,1998; spapen,2008)
2.1.5 Peran Sitokin IL-6 dalam Jalur Inflamasi
Sitokin adalah polipeptida atau glikoprotein dengan besar molekul 8-30
kDa. Sitokin diproduksi oleh beberapa sel pada daerah inflamasi atau trauma, sel
imun melalui aktivasi protein-kinase. Berbeda dengan hormon, sitokin tidak
disimpan sebagai molekul. Sel yang berbeda dapat menghasilkan sitokin yang
sama, namun satu macam sitokin dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa
macam sel yang berbeda, atau yang disebut pleitropi. Sitokin berperan dalan
aktivitas diferensisasi, proliferasi dan kelangsungan hidup sel imun termasuk
regulasi produksi dan aktifitas sitokin lain, contoh pada respon proinflamasi dan


Universitas Sumatera Utara

16



antiinflamasi. Sitokin inflamasi termasuk didalamnya IL-1, 2,6,7 dan TNF.
Sitokin antiinflamasi termasuk IL-2, IL-10, IL-13, dan TGFβ (Oliveira et al,
2011).
Klasifikasi sitokin tidak mungkin dilakukan berdasarkan sel biologisnya
atau fungsi biologisnya, sitokin dikelompokkan sebagai IL (diurutkan dari IL-1
sampai IL-35), TNF, kemokin (sitokin kemostatik), interferon (IFN) dan
mesenchymal growth factors (Oliviera et al, 2011).
Beberapa peneliti beranggapan bahwa ekspresi sitokin proinflamasi
berhubungan dengan aktivasi nuclear factor-kB (NF-kB). Jalur sinyal transduksi
NF-kB ini akan memediasi ekspresi beberapa gen yang berperan dalam proses
inflamasi dan imun, termasuk IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α, dynorfin, dan lain-lain
(Jun-Hua et al, 2006).
Interleukin-6 disekresi oleh banyak sel yaitu makrofag, monosit, eosinofil,
hepatosit, dan sel glia. Interleukin-6 dapat diinduksi produksinya oleh TNF-α dan
IL-1 sehingga menyebabkan demam dan aktifasi aksis hipotalamus-pituitariadrenal dengan menggunakan reseptor α (IL-6Rα) dan sub unit gp 130.
Interleukin-6 merupakan salah satu sitokin yang muncul dini dan merupakan
mediator induksi dan kontrol pada sintesis protein fase akut yang dilepaskan oleh
hepatosit selama stimuli nyeri seperti trauma, infeksi, operasi, dan luka bakar.
Setelah terjadi trauma, konsentrasi IL-6 dalam plasma dapat dideteksi dalam 60
menit dan puncaknya antara 4-6 jam, dan dapat bertahan hingga 10 hari.
Interleukin-6 ini merupakan penanda yang paling sesuai dengan derajat kerusakan
jaringan (Jun-Hua et al, 2006).



Universitas Sumatera Utara



17

Sitokin proinflamasi ini berperan dalam maturitas dan aktifitas netrofil,

maturitas makrofag, dan diferensiasi sitotoksik limfosit T dan natural killer cells.
Selain itu juga mengaktifasi astrosit dan mikroglia (Oliviera et al, 2011).
Interleukin-1β dan TNF-α adalah sitokin pertama yang terbentuk setelah
kerusakan jaringan atau infeksi, pengaruh langsung pada reseptor spesifik pada
neuron sensoris menyebabkan terbentuknya suatu kaskade terkait sitokin lain,
kemokin, prostanoid, nurotropin, NO, kinin, lipid, adenosin triphosphat (ATP) dan
jalur komplemen lain, yang nantinya elemen-elemen ini yang nantinya akan
menyebabkan proliferasi sel glia, hipertrofi pada sistem saraf pusat dan pelepasan
sitokin proinflamasi TNF-α, IL-1β, dan IL-6 yang membentuk suatu kompleks
aktivasi independen (Oliviera et al, 2011).
Inflamasi perifer menyebabkan aktifasi jalur otak ke spinal cord, yang
menuju hiperalgesia, hal ini tergantung dari aktifasi mikroglia dan astrosit di
spinal cord. Secara anatomi astrosit dan mikroglia jelas diaktifasi oleh inflamasi
perifer, hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspresi dari aktifasi glia-spesific
marker. Pelepasan sitokin IL-6 diduga terlibat dalam aktifasi mikroglia ini (JunHua et al, 2006).
Regulasi efek PGE2 terhadap sintesis IL-6 telah dilaporkan oleh beberapa
penelitian terutama pada in vitro dan in vivo. Diduga bahwa PGE2 menginduksi
produksi dari IL-6 melalui subtipe reseptor prostaglandin yaitu EP yang akan
mengaktifkan NF-κβ. Produksi IL-6 dipengaruhi oleh reseptor agonis PG, dengan
menstimulasi EP maka akan terjadi induksi peningkatan IL-6, PGE2 menstimulasi
sintesis IL-6 dengan memobilisasi Ca dari ekstrasel ke intrasel melalui EP1
sementara reseptor EP2 dan EP4 adalah receptor G-protein-coupled yang dapat


Universitas Sumatera Utara

18



mengaktifasi kadar cAMP selanjutnya akan mengaktifasi NF-κβ dan akan
meningkatkan sintesis IL-6 (gambar 2) (Jun-Hua et al, 2006).

Gambar 2.3 Perbandingan waktu dan kepekatan prokalsitonin disbanding dengan beberapa
penanda sepsis lain. (Buchori, 2006)

PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi
sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-bakteri (virus) dan
penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam
setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan
menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam,
seperti terlihat pada Gambar 2.3 diatas (Buchori, 2006).
Pada keadaan normal kadar PCT meningkat pada kasus septikemia,
meningitis, pneumonia dan infeksi saluran kemih dan sangat sensitif sebagai
penanda infaksi bakteri. Pelepasan prokalsitonin ke dalam sirkulasi dalam
kepekatan besar dalam berbagai keadaan penyakit tidak disertai dengan
peningkatan kadar calcitonin secara bermakna (Sastre JBL, 2007).
Pemeriksaan prokalsitonin sangat bermanfaat dan lebih baik dari marker
inflamasi lainnya, seperti TNF α, IL- 6, IL- 1 dan CRP dalam hal memprediksi
prognosis pada pasien penyakit kritis. Pengukuran PCT secara berkala dapat
digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit dan sebagai tindak lanjut


Universitas Sumatera Utara

19



(monitoring) dari terapi pada semua infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Peningkatan nilai PCT atau nilai yang tetap konsisten tinggi menunjukkan
aktivitas penyakit yang berkelanjutan. Penurunan nilai PCT menunjukkan
menurunnya reaksi inflamasi dan terjadi penyembuhan infeksi. (Buchori, 2006)
2.1.6 Peranan Cairan terhadap Faktor Inflamasi
HES merupakan jenis cairan koloid yang digunakan secara luas untuk
resusitasi cairan di ruang perawatan intensif. HES memiliki keuntungan dalam
meminimalisir volume resusitasi dan potensial untuk mempertahankan volume
intravascular untuk waktu yang panjang. Didapati hasil dari penelitian Chen, dkk
bahwa resusitasi cairan dengan HES pada fase awal SAP dapat merubah prognosis
menjadi lebih baik. Sebagai tambahan juga, resusitasi dengan HES dapat
mengurangi SIRS dengan cara penurunan regulasi dari sitokin pro-inflamatorik.
Selain itu juga Feng, dkk melaporkan bahwa HES menghambat aktivasi dari
nuclear factor-kB dan migrasi serta adhesi neutrofil. (Chen, dkk 2016)
Menurut Chen, dkk tahun 2013, bahwa resusitasi cairan merupakan
intervensi yang sering diberikan pada penderita syok hemoragik untuk
mempertahankan perfusi organ. Walaupun begitu, resusitasi cairan dapat
berkontribusi terhadap stress oksidatif dan inflamasi karena cedera reperfusi.
Stress oksidatif yang disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS) dapat secara
langsung menyebabkan kerusakan membaran seluler via peroksidasi lipid. Stress
oksidatif juga menginisiasi kaskade inflamatori sistemik melalui peningkatan
aktivasi dari neutrofil. Neutrofil yang telah teraktivasi akan mengeluarkan ROS
sitotoksik, protease, dan elastase yang mengakibatkan cedera jaringan, yang
merupakan peningkatan respon inflamatori sistemik dan MOF ( Chen, dkk 2013).


Universitas Sumatera Utara

20



Menurut Tian, dkk tahun 2003, bahwa HES dapat mensupresi aktivasi NFkB yang diinduksi oleh LPS pada sel mononuclear darah perifer dan neutrofil,
menghambat peningkatan konsentrasi plasma dari TNF-α dan CINC, mensupresi
peningkatan ekspresi dari CD11b dari neutrofil, dan mereduksi sekuestrasi dari
neutrofil di paru-paru, jantung, dan hati. Kebanyakan dari efek HES yang
ditemukan pada konsentrasi 3.75 dan 7.5 ml/kg, tetapi tidak dijumpai pada
konsentrasi 15 dan 30 ml/kg. Hasil ini mengarahkan pada efek anti-inflamatorik
dari HES yang bukan merupakan dosis-dependant. ( Tian, dkk 2003).
2.1.7 Diagnosis
Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai
sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk
mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan
infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et.al,2010).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik
dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas
(perlu untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut
nadi), sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi
kulit), dan inisiasi cepat resusitasi.(Russell, 2012).
Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien
sepsis. Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan atas,
masalah tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia
dan temuan takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi
kematian pada pasien dengan sepsis. (Russell, 2012).


Universitas Sumatera Utara



21

Menurut panduan SSC 2016, penegakan diagnosis sepsis berdasarkan

skoring qSOFA (Sequential Organ Failure Assessment) yang dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 2.2 Tabel skoring qSOFA

2.1.8 Peranan Biomarker
Melihat sulitnya diagnosis sepsis dan pentingnya pengenalan dini supaya
dapat diberikan terapi secara dini pula, maka perlu suatu biomarker untuk
mendeteksi sepsis secara dini. Biomarker ideal untuk infeksi harus sensitif bahkan
pada pasien tanpa respon imun, dan harus spesifik, yaitu bisa membedakan infeksi
atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan mudah serta mempunyai nilai
prognostik. Biomarker yang potensial antara lain protein fase akut seperti CRP
atau PCT, sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-10 dan kadar endotoksin, gelombang
bifasik aPTT. Sayangnya biomarker tersebut tak memenuhi kriteria ideal
sehingga, disarankan untuk menggunakan kombinasi dari biomarker.
Sehubungan dengan bervariasinya tanda dan gejala sepsis, maka Surviving
Sepsis Campaign membuat kriteria dengan diagnosis sepsis, sepsis berat dan syok
septik agar bila dijumpai tanda- tanda dan gejala tersebut bisa segera terdeteksi
(PERDACI, 2014).



Universitas Sumatera Utara



22

Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis. Pada tabel dibawah
dijelaskan hal-hal yang menjadi indikator laboratorium pada penderita sepsis.
Tabel 2.3 Indikator Laboratorium Penderita Sepsis (oliver et al, 1999)
Pemeriksaan
Temuan
Laboratorium
Leukositosis atau leukopenia
Hitung
leukosit
Trombositosis atau
Hitung
trombositopenia
trombosit

Kaskade
koagulasi
Kreatinin
Asam laktat
Enzim hati
Serum fosfat

Defisiensi protein c;
Defisiensi antitrombin;
peningkatan D-dimer;
pemanjangan PT dan PTT
Peningkatan kreatinin
As.laktat>4mmol/L(36mg/dl)
Peningkatan alkaline
phosphatase, AST, ALT,
bilirubin
Hipofosfatemia

Meningkat
C-reaktif
protein (CRP)
Procalcitonin

Meningkat

Uraian
Endotoxemia menyebabkan
leukopenia
Peningkatan jumlahnya
diawal menunjukkan respon
fase akut; penurunan
jumlah trombosit
menunjukkan DIC
Abnormalitas dapat diamati
sebelum kegagalan organ
dan tanpa pendarahan
Indikasi gagal ginjal akut
Hipoksia jaringan
Gagal hepatoselular akut
disebabkan hipoperfusi
Berhubungan dengan level
cytokin proinflammatory
Respon fase akut
Membedakan SIRS dengan
atau tanpa infeksi

Pemeriksaan serologik dan biomarker pada hari pertama penting untuk
mengkaji dan menatalaksana pasien dengan sepsis. Pemeriksaan yang berguna
termasuk protein C reaktif (CRP), endotoksin (komponen dinding sel bakteri gram
negatif), peptida natriuretik otak (infikasi disfungsi miokardial), prokalsitonin,
interleukin-6 dan protein C endogen. Pemeriksaan penanda-penanda ini masih
terbatas, oleh karena hasil pemeriksaan saat ini masih mengalami batasan dalam
akurasi, kemampuan prognostik dan waktu, namun suatu saat nanti penanda

Universitas Sumatera Utara

23



penanda ini akan menyediakan pemeriksaan klinis yang dapat membantu
mendiagnosis dan menatalaksana keseluruhan spektrum sepsis. (Watson, 2003)
Beberapa sistem skoring telah dikembangkan untuk menentukan keberatan
penyakit di rawat intensif dan memerkirakan risiko kematian pada populasi
pasien-pasien kritis ini. Sistem ini termasuk the Acute Physiology and Chronic
Health Score (APACHE) II dan III, Simplified Acute Physiology Score (SAPS),
Sepsis-related Organ Failure Asssesment score (SOFA), Multiple Organ
Dysfunction Score, Logistic Organ Dysfunction Score dan Mortality Probability
Score. Saat ini akan dibahas salah satu sistem yang telah dikembangkan dan
terbukti sahih serta dapat diandalkan untuk memprediksi mortalitas dan derajat
keberatan penyakit pada sepsis, yakni sistem skoring SOFA. (Ferreira, 2001)
Dalam penggunaan SOFA untuk memprediksi hasil akhir, kemampuan
untuk melakukan SOFA serial memungkinkan suatu representasi yang lebih
efektif mengenai dinamika penyakit termasuk efek terapi yang diberikan, apabila
dibandingkan dengan model prediksi tradisional pada saat awal rawat intensif.
Meskipun beberapa peneliti menggunaan skor APACHE II selama beberapa
waktu, proses ini belum pernah divalidasi.(Ferreira, 2001).
Tabel 2.4 Skor SOFA ( Sepsis-related Organ Failure Assasment) pada Sepsis



Universitas Sumatera Utara



24

Skor SOFA merupakan alat yang berguna untuk menstratifikasi dan

membandingkan pasien pada studi-studi klinis. Sebelum ini menunjukkan bahwa
SOFA awal dapat digunakan untuk mengkuantifikasi derajat kerusakan atau
kegagalan jaringan yang timbul pada awal rawat inap, mendemonstrasikan derajat
disfungsi atau kegagalan yang mungkin terjadi pada saat perawatan dan juga skor
SOFA total maksimum dapat mewakili disfungsi organ kumulatif yang dialami
pasien. Mereka juga menunjukkan adanya korelasi kuat diantara semua parameter
ini dengan hasil akhir mortalitas pasien. (Moreno et al 2007)
Skoring SOFA harus digunakan untuk menggambarkan respons pasien
terhadap terapi strategi dan memungkinkan klinis untuk memantau kemajuan
harian dan memberikan evaluasi obyektif mengenai respons pengobatan. Sebagai
contoh, pengetahuan mengenai skor SOFA pada beberapa waktu dapat
memfasilitasi pembuatan keputusan terkait

pemberian dukungan organ.

Pengetahuan bahwa skoring SOFA yang menurun dikaitan dengan perbaikan hasil
akhir maka harus dilakukan terapi agresif, yang dapat menurunkan mortalitas.
Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadinya kegagalan organ dapat timbul pada
awal rawat intensif, dan suatu sistem skoring yang memungkinkan pemantauan
fungsi organ secara rutin sangat diperlukan. Kecenderungan skor SOFA selama 48
jam pertama rawat intensif dapat memberikan suatu sistem seperti di atas dan
merupakan suatu indikator hasil akhir yang sensitif, sebagaimana fakta bahwa
adanya penurunan nilai dikaitkan dengan penurunan mortalitas dari 50% menjadi
27% (Ferreira, 2001 ; minne, 2008).
Menariknya, lama rawat tidak terkait dengan prediksi hasil akhir dan juga
skor SOFA rerata memberikan nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan


Universitas Sumatera Utara

25



dengan variabel turunan SOFA lainnya. Hal ini oleh karena pasien dengan
disfungsi organ terbatas dan lama rawat intensif panjang tetap memiliki
kemungkinan tinggi untuk bertahan hidup. Sebagai kesimpulan, evaluasi skoring
SOFA selama rawat ICU merupakan suatu indikator prognostik yang baik
(terutama skor SOFA rerata dan puncak). Nilai awal independen, peningkatan
skor SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat memprediksikan laju
mortalitas sebesar 50%. (Ferreira, 2001 ; minne, 2008)
2.1.9 Terapi
2.1.9.1 Resusitasi Cairan pada Sepsis (Volume Cairan Resusitasi)
Target pertama EGDT (early goal directed therapy) pada kasus sepsis
adalah pemulihan volume intravaskular pasien. Terapi cairan intravena harus
dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan berulang baik cairan kristaloid
ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-40 cc/kgBB, sehingga
mencapai CVP 8-12 mmHg . (Wheeler, 2007)
Meta-analisis untuk penelitian resusitasi sepsis telah mengindikasikan
bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum terjadinya disfungsi organ
memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien gawat
darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk membandingkan resusitasi
hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi dini berdasarkan target
EGDT menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik
(16,5%). (Balk, 2004)
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi yang
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan kebutuhan
oksigen pada kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat


Universitas Sumatera Utara

26



gawat darurat. Strategi ini mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat
dengan optimalisasi volume intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan
vena sentral (CVP – central venous pressure), tekanan darah (afterload) dengan
pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure – MAP), kontraktilitas
dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan pemulihan keseimbangan
antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen (dipandu dengan
pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponenkomponen EGDT diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of
Critical Care Medicine untuk dukungan hemodinamik pada sepsis. (Wheeler,
2007)
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10
menit, dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini
meliputi denyut jantung, produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat
kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga awal resusitasi
memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb, namun dapat mencapai hingga 200
mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan yaitu dengan
memperhatikan adanya onset baru hepatomegali, bertambahnya usaha nafas
pasien, ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya berat
badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan
lain untuk mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila
didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement therapy (CRRT) bila
diperlukan. Untuk pemeriksaan bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland
(2003) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik


Universitas Sumatera Utara

27



merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup prediktif
digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik. (Dellinger RP, 2008).
Tabel 2.5 Surviving Sepsis Campaign(Dellinger RP, 2008)

2.1.9.2 Cairan Resusitasi
Secara umum, cairan isotonis cukup efektif, aman, dan efektif
dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan sebagai cairan lini pertama
pada resusitasi. Penelitian di India yang dilakukan oleh Upadhyay tahun 2005
dijumpai tidak adanya perbedaan outcome pasien syok septik yang diresusitasi
dengan cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid.
Namun hal yang berlawanan didapatkan dari penelitian Schierhout dan
Roberts, bahwa resusitasi dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek samping
berupa gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan
untuk mengetahui manfaat penggunaan cairan hipertonis dalam resusitasi sepsis
berat dan syok septik.


Universitas Sumatera Utara

28



2.1.9.3 Ringer Laktat
Ringer laktat adalah cairan yang isotonis didalam darah yang merupakan
cairan pengganti, ini tergolong larutan kristaloid. Pada umumnya digunakan untuk
luka bakar, syok, dan cairan preload pada operasi. Cairan ini memiliki komposisi
elektrolit mirip dengan plasma. Satu liter cairan ringer laktat memiliki kandungan
130 mEq ion natrium setara dengan 131 mmol/L, 111 mEq ion klorida setara
dengan 109 mmol/L, 28 mq laktat setara dengan 29 mmol/L, 4 mEq ion kalium
setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L. Anion
laktat yang terdapat dalam ringer laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah
menjadi bikarbonat untuk mengkoreksi keadaan asidosis, sehingga ringer laktat
baik untuk mengkoreksi asidosis. Laktat dalam ringer laktat sebagian besar
dimetabolisme melalui proses glukoneogenesis. Setiap satu mol laktat akan
menghasilkan satu mol bikarbonat. (B Braun,2013).
Tabel 2.6 Komposisi Ringer Laktat (B Braun, 2013)



Universitas Sumatera Utara

29



2.1.9.4 Ringer Asetat Malat
Saat ini berbagai penelitian tentang cairan pengganti dilakukan untuk
menemukan cairan yang paling tepat. Cairan pengganti yang diberikan pada
pasien harus memiliki kadar elektrolit yang mendekati kadar elektrolit plasma
untuk mencegah terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme.
Ringer asetat malat berbeda dengan ringer laktat. Cairan ini mengandung anion
asetat dan malat yang dapat dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat. Asetat dan
malat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat, satu mol asetat akan diubah
menjadi satu mol bikarbonat sedangkan satu mol malat akan dirubah menjadi dua
mol bikarbonat. Malat bekerja dalam waktu lebih lama dibandingkan asetat, oleh
karena itu kombinasi asetat dan malat merupakan pilihan yang baik dalam suatu
cairan. B.Braun mengatakan bahwa ringer asetat malat lebih baik dari ringer laktat
karena ringer asetat malat lebih isotonis. Ringer asetat malat memiliki kadar
natrium, kalium dan magnesium yang hampir sama dengan plasma, sedangkan
konsentrasi klorida memilki kadar yang sedikit lebih tinggi dalam rangka
mencapai osmolaritas fisiologis. (Mc Farlene, 1994)
Ringer Asetat Malat menunjukkan fitur sebagai berikut:
1. Larutan elektrolit penuh
2. Isotonis
3. Berisi Asetat/ Malat bukan laktat
4. Memiliki base excess potential yang seimbang
5. Menjaga konsumsi oksigen rendah.



Universitas Sumatera Utara



30

Tabel 2.7 Perbandingan komposisi elektrolit Ringer Asetat Malat dan

plasma (B’Braun, 2013)

Secara teoritis, larutan infus elektrolit penuh harus mengandung buffer
fisiologis bikarbonat pada konsentrasi 24 mmol/ml. Ringer asetat malat memiliki
bikarbonat dalam bentuk anion metabolisasi asetat dan malat yang akan
melepaskan bikarbonat intravaskuler. Anion ini selain dimetabolisme di hati juga
dimetabolisme di hampir setiap sel jaringan dengan mengambil H+ dan Oksigen
dan membentuk bikarbonat. Asetat melepaskan satu mol bikarbonat tiap satu mol
asetat, sedangkan malat melepaskan dua mol bikarbonat tiap satu mol malat.
Berbeda dengan laktat yang menghasilkan satu mol bikarbonat tiap satu mol
laktat. Ringer asetat malat mengandung asetat dan malat berbeda dengan laktat,
laktat tidak selalu disarankan untuk digunakan dalam larutan infus, karena : (Mc
Farlene, 1994 ; Dellinger, 2008)
1. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus insufisiensi hati, karena laktat ini
sebagian besar dimetabolisme di hati dan administrasi dari laktat dapat
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.



Universitas Sumatera Utara



31

2. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus syok dengan hiperlaktasidemia
atau asidosis laktat. Hiperlaktasidemia dan asidosis laktat adalah tanda tanda
dari ratio diprosporsional antara produksi asam laktat dan metabolime hepar
yang terganggu. Konsumsi yang oksigen dipicu oleh laktat cukup besar dan
tidak harus meningkat lebih lanjut apabila ada jaringan hipoksia.
3. Persediaan oksigen laktat meningkatkan risiko alkalosis rebound.
4. Konsentrasi serum laktat sering digunakan sebagai penanda hipoksia. Dengan
demikian administrasi laktat eksogen akan menyebabkan kesalahan
pembacaan penanda. (B Braun,2009)
Ringer asetat malat merupakan larutan elektrolit penuh yang mengandung

kombinasi unik dari asetat dan malat. Cairan ini berisi 24 mmol/l asetat dan 5
mmol/l malat, dimana total asetat dan malat melepaskan 34 mmol/l bikarbonat.
Asetat dan malat lebih disukai daripada laktat, karena metabolismenya tidak
hanya terbatas pada hati tetapi juga dimetabolisme di seluruh jaringan. (B
Braun,2009).

Tabel 2.8 Konsumsi oksigen untuk metabolisme (B’Braun, 2013)



Universitas Sumatera Utara

32



Tabel 2.9 Komposisi Ringer Asetat Malat

Tabel 2.10 Perbandingan komposisi cairan kristaloid


Universitas Sumatera Utara

33



2.1.9.5 Terapi Anti Mikrobial Dini
Hubungan antara terapi antimikrobial yang tepat waktu dan sesuai dengan
perbaikan morbiditas dan mortalitas telah banyak dibuktikan dalam keadaan rawat
intensif. Penelitian observasional menunjukkan adanya penurunan mortalitas
signifikan pada saat antibiotika diberikan dalam waktu 4 sampai 8 jam pertama
(p