SEKULARISME DAN REKONFIGURASI PEMIKIRAN pdf

Islam Di Indonesia

Tradisi, Reformasi dan Modernisasi

Mohamad Hudaeri

Sekularisme dan Rekonfigurasi Pemikiran Islam Di Indonesia Tradisi, Reformasi dan Modernisasi

© Mohamad Hudaeri, 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang All right reserved

Cetakan I, November 2014 M

Diterbitkan Oleh : FUDPress Jl. Jend. Sudirman 30 Serang 42118 (0254) 200323 Fax (0254) 200022

ISBN : 978-602-8748-42-1

Persembahkan Buat :

Istriku Tercinta Atu Karomah Dan anak-anakku tersayang

Huriyah A Putri

M Aditya Arkoun

KATA PENGANTAR

Bismillah al-rah}ma>n al-rah}i>m Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi

kekuatan kepada penulis untuk menerbitkan tulisan ini dalam bentuk sebuah buku sehingga bisa dibaca oleh halayak luas. Semoga terbitnya buku ini dapat memberi manfaat yang besar kepada para pembacanya.

Buku ini semula adalah disertasi penulis pada Sekolah Pascasarjana UIN ‚Syarif Hidayatullah‛ Jakarta. Maka sudah selayaknya, penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, selaku promotor, yang telah memberikan banyak kritik dan masukan. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis haturkan juga kepada Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, MA., Prof. Dr. Kautsar Azahari Noer. Dan Prof. Dr. Susanto Zuhdi, MA yang telah memberikan kritik dan masukan pada saat ujian disertasi ini.

Ucapan terima kasih patut juga saya sampaikan kepada pimpinan di IAIN ‚SMH‛ Banten, Bapak Rektor yang dulu dan sekarang; Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A. dan Prof. Dr. H.E. Syibli Sarjaya, M.M dan Dekan Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab IAIN ‚SMH‛ Banten, Prof. Dr. Udi Mufradi, M.A. atas segala dukungan moril dalam menyelesaikan tulisan ini.

Tentu saya tidak lupa juga mengucap terima kasih, kepada para staf administrasi dan pegawai perpustakaan di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN ‚Syarif Hidayatulah‛ Jakarta yang banyak membantu menyelesaikan persoalan administratif dan sumber-sumber bacaan yang relevan dalam penyelesaian penulisan tulisan ini.

Penyelesaian buku ini juga berkat adanya dukungan dan bantuan dari teman- teman sejawat di lingkungan IAIN ‚SMH‛

Banten, terutama teman-teman di Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab serta Lembaga Penelitian. Maka saya menghaturkan terima kasih kepada Uib Sholahudd in, Syafi’in, Masduki, Ayatullah Humaedi, Helmi F.B., Dede Permana, Mufti Ali, Efi Syarifudin, Ahmad Fadhil dan teman-teman yang lainnya yang tidak bisa Banten, terutama teman-teman di Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab serta Lembaga Penelitian. Maka saya menghaturkan terima kasih kepada Uib Sholahudd in, Syafi’in, Masduki, Ayatullah Humaedi, Helmi F.B., Dede Permana, Mufti Ali, Efi Syarifudin, Ahmad Fadhil dan teman-teman yang lainnya yang tidak bisa

Ucapan terima kasih juga patut penulis haturkan kepada kakak dan adik ; Teh Am, Ka Ofan, Ka Wowo, Teh Ita, Humaedi, Muslim, Rahmat, Enok dan Neni dan saudara-saudara lainnya yang tidak henti-hentinya mendorong dan mendoakan penulis untuk merampungkan tulisan ini. Yang terakhir tetapi yang utama, ucapan terima kasih ini kepada isteri dan anak-anakku; Atu Karomah, Huriyah A Putri dan M Aditya Arkoun. Mereka telah banyak berkorban; terutama waktu kebersamaan yang tersita untuk memberi kesempatan kepada ayahnya menyelesaikan disertasi ini. Sebagai ungkapan kasih sayang dan atas pengorbanannya, disertasi merupakan persembahkan untuk mereka.

Banyak lagi pihak-pihak lain yang ikut berjasa tersusunnya buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mohon maaf apa bila tidak bisa disebutkan dalam lembaran yang terbatas. Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan mereka tersebut. Pada akhirnya hanya kepada Allah Swt, penulis bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan. Kepada-Nya pula berpasrah diri atas segala usaha yang dilakukan. Semoga karya ini memberi manfaat dan membawa keberkahan bagi semua. Amin.

Allah a ‘lam bi al-s}awa>b.

Serang, Maret 2014 Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR -- iv DAFTAR ISI -- vi

BAB I PENDAHULUAN -- 1

BAB II SEKULARISME DAN AGAMA DI ERA MODERN -- 27 A. Geneologi Sekularisme -- 28 B. Sekularisme dalam Praktek -- 31 C. Agama di Ruang Publik: Revisi Tesis Sekularisasi -- 39

BAB III SEKULARISME DAN ISLAM: REKONFIGURASI HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA -- 55

A. Munculnya Wacana tentang Sekularisme di Indonesia -- 56 B. Transformasi Sistem Kekuasaan dan Otoritas Muslim

Pra Modern -- 67 C. Perdebatan Rekonfigurasi Islam dalam Konteks Negara Bangsa: Soekarno dan Mohammad Natsir -- 75 D. Islam Politik: Perjuangan Mempertahankan Identitas dan Melawan Hegemoni Negara -- 104

BAB IV REKONFIGURASI ISLAM MODERN: PEMBARUAN

PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA -- 117

A. Wacana Pembaharuan dan Tantangan Modernitas -- 118 B. Rekonfigurasi Pemikiran Islam Indonesia di Era

Modern: dari Puritan ke Rekonstruksi -- 135

C. Kritik terhadap Sekularisme -- 157

BAB V MENDEFINISIKAN KEMBALI ORTODOKSI -- 173 A. Ortodoksi Islam di Indonesia -- 174 B. Menafsirkan Ulang Konsep-konsep Dasar Islam -- 189 C. Fit}rah sebagai Fondasi Epistemologi -- 213

BAB VI MENCIPTAKAN MUSLIM INDONESI MODERN -- 231 A. Rekonfigurasi Subyek Muslim Modern -- 232 B. Rekonfigurasi Teologis dan Etika -- 247 C. Rekonfigurasi Politik yang Berpusat pada Ummah -- 258 D. Pemberdayaan Masyara -- 266

BAB VII PENUTUP -- 271 A. Kesimpulan -- 271

DAFTAR PUSTAKA -- 279 INDEKS -- 299 GLOSARIUM -- 307

BAB I PENDAHULUAN

A. Perdebatan tentang Sekularisme Wacana tentang sekularisme merupakan salah satu hal yang sensitif, kontroversial dan dipandang negatif oleh sebagian kaum muslim. Hal itu bukan saja dianggap sesuatu yang asing, karena berasal dari pengalaman masyarakat Barat, juga dianggap bertentangan dengan agama. Konsep tentang sekularisme, seperti yang ada di Barat tidak dikenal dalam tradisi Islam. Istilah sekular dikenal kaum muslimin, ketika orang Eropa menaklukan bangsa-bangsa muslim melalui kolonialisasi. Terjemahan kata sekular dalam bahasa Arab pun baru digunakan dalam beberapa tulisan sekitar abad ke 19 dengan berbagai versi variannya, seperti; ‘almaniyyah (dari kata al-‘alam), ammiyyah (dari kata al- ‘a>mm; masyarakat biasa, bukan kalangan ulama atau pendeta), la> di>niyyah (non agama) dan 1 dahriyah (dari kata dahr, waktu atau tempo).

Majelis Ulama Indonesia pernah memberikan fatwa bahwa sekularisme bertentangan dengan ajaran Islam, karena itu dilarang untuk diikuti. 2 Amin Rais,

mantan ketua umum Muhammadiyah, memandang buruk sekularisme, sebab pemisahan antara agama dan politik, menurutnya bertentangan dengan doktrin Islam yang tidak memisahkan kehidupan duniawi dan rohani, dunia dan akhirat,

yang profan dan yang sakral, yang imanen dan transendental. 3 Amin Rais pun membedakan jenis sekularisme: sekularisme moderat dan sekularisme radikal.

Sekularisme moderat berpandangan bahwa agama merupakan urusan pribadi yang hanya berkaitan dengan aspek spiritual umat manusia dan karena itu tidak boleh campur tangan dengan urusan publik seperti politik dan hal-hal duniawi lainnya. Sedangkan sekularisme radikal menolak agama karena diangga musuh

kemajuan. Keduanya, menurut Amin Rais, tidak sesuai dengan ajaran Islam. 4 Apabila ditarik ke belakang, jauh sebelumnya, Mohamad Natsir, salah

satu intelektual muslim ternama, pernah berpolemik dengan Soekarno tentang penolakannya terhadap sekularisme. Menurutnya, sekularisme bukan hanya karena ia adalah ‚jalan kehidupan yang berisi keyakinan, tujuan dan prilaku hanya di dalam batas- batas duniawi‛, melainkan juga karena ia ‚tidak mengakui

akhirat dan 5 Tuhan.‛ Natsir menegaskan bahwa pemikiran tentang pemisahan adalah bentuk penyangkalan fungsi negara terhadap agama. Sebab fungsi utama

negara adalah melayani agama. Negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan yakni, ‚kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang negara adalah melayani agama. Negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan yakni, ‚kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang

netralitas terhadap agama dipahami Natsir sebagai bentuk pembiaran atau tidak peduli negara terhadap agama.

Namun demikian bukan berarti tidak ada intelektual muslim yang mendukung konsep ‚sekularisme‛. Ali Abd al-Raziq, meskipun dalam tulisanya yang berjudul, ‚Al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm‛, tidak pernah secara khusus menggunakan istilah sekular atau padanannya dalam bahasa Arab, tetapi secara eksplisit mengajukan gagasan tentang pemisahan agama dan negara. Demikian pula ia membedakan fungsi keduanya. Menurutnya para nabi diutus untuk

mengajarkan permasalahan agama, bukan menjadi pemimpin politik. 7 Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, mendukung penerapan

sekularisme. Menurutnya, untuk kebaikan dan kemajuan agama dan negara harus ada pemisahan antara keduanya, seperti yang terjadi di Turki pada masa

pemerintahan Kemal Ataturk. 8 Menurutnya, pemisahan tersebut bukan berarti penghapusan agama, tetapi semangatnya adalah ‚anti-kolot, anti soal-soal lahir

dalam hal ibadah, 9 tetapi tidak anti agama‛. Justru pemisahan tersebut, menurut Soekarno, akan membuat negara terlepas, ‚dari ikatan anggapan-anggapan agama

yang djumud, yakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham- faham Islam kolot jang sebenarnya bertentangan dengan djiwa Islam sedjati, tetapi nyata selalu menjadi rintangan bagi gerak-geriknya negara kearah

kemadjuan dan kemoderenan‛. 10 Lebih lanjut, Soekarno juga menegaskan bahwa pemisahan tersebut akan membuat agama merdeka dari campur tangan

kekuasaan negara atau hanya menjadi alat kekuasaan bagi sekelompok orang. Mohammad Arkoun, intelektual muslim kelahiran Aljazair, menegaskan bahwa sekularisme sebagai konsep bukanlah hal yang baru dalam Islam tetapi sudah ada semenjak zaman Nabi Muhammad Saw. Ucapan Nabi Saw yang menyatakan ‚antum a’lam bi umu>ri dunya>kum‛ (kalian lebih tahu tentang urusan duniamu) adalah argumen penting bahwa konsep sekular telah diajarkan oleh Nabi Saw. Secara politik pun telah dipraktekkan sejak masa Bani Umayyah, yang membedakan antara urusan agama dan urusan politik. Agama ditangani para

ulama, sedangkan kekuasaan politik ada di tangan khalifah atau sultan. 11 Perdebatan antara yang mendukung dan menentang sekularisme

bersumber dari perbedaan dalam memahami konsep sekularisme. Menurut Talal Asad sekularisme sebagaimana dipraktek di Barat bukanlah semata tentang doktrin politik yang selama ini sering dipahami kebanyakan sarjana yakni;

‚pemisahan agama dari institusi-institusi negara‛ sebab konsep seperti itu juga ditemui dalam imperium-imperium Kristen dan Islam pada abad pertengahan. Yang sangat berbeda dari era sebelumnya, sekularisme mengasumsikan konsep baru tentang ‚agama‛, ‚etika‛ dan ‚politik‛. Di negara Barat, sekularisme selain merupakan political medium (media politik) yang mentransendenkan praktek- praktek tertentu yang membedakan individu-individu yang terartikulasi melalui kelas, gender dan agama, tetapi juga merupakan ‚sebuah konsep tentang prilaku (sikap) tertentu, pengetahuan dan selera dalam kehidupan modern 12 ‛.

Berdasarkan hal, menurut Abdolkarim Soroush, pemikir kontemporer Iran, pengertian sekularisme perlu dibedakan secara politik dan filosofi. 13

Sekularisme dalam pengertian politik adalah pemisahan agama dari negara. Sedangkan dalam pengertian filosofi, sekularisme merupakan pandangan hidup yang didasarkan hanya materi atau masalah duniawi semata, karena itu menolak terhadap agama atau keberadaan Tuhan. Amin Rais dan Mohammad Natsir menentang konsep sekularisme baik secara politik maupun filosofi. Sedangkan Ali Abd al-Raziq, Soekarno dan Mohammad Arkoun mendukung sekularisme secara politik tetapi menolak secara filosofi. Yang justru mengejutkan adalah pandangan MUI yang menolak sekularisme tetapi pandanganya lebih dekat dengan pemikiran Soekarno, yang selama ini sering diidentifikasi sebagai pendukung sekularisme. MUI mendefenisikan sekularisme lebih halus dari pada pandangan intelektual muslim yang menolak sekularisme. MUI mendefenisikan sekularisme sebagai penolakan peran agama dalam wilayah publik, bukan

pemisahan agama secara kelembagaan dengan struktur kekuasaan negara. 14 Karena itu, sebenarnya tidak ada intelektual muslim yang menginginkan

penerapan konsep sekularisme secara penuh seperti yang diterapkan di negara Barat yang meminggirkan peran agama hanya ada di wilayah privat.

Pemisahan agama dan politik, seperti yang terjadi di Barat memang tidak dikenal dalam sejarah pemerintahan muslim. Sepanjang sejarah, agama merupakan bagian tidak terpisah dari negara. Karena itu kemunculan gagasan tersebut dalam masyarakat muslim tidak pernah terbayangkan dalam pembahasan politik Islam. Wacana sekularisme yang pernah dilontarkan oleh beberapa intelektual muslim di era modern sepenuhnya terjadi karena interaksinya dengan peradaban Barat. Pada masa abad pertengahan, meskipun berkembangan dalam sistem politik masyarakat muslim, yakni muncul pemilahan kekuasaan antara ulama, sebagai otoritas agama, dan sultan atau kha>lifah, sebagai otoritas politik, tetapi tidak membuat negara ( khila>fah) sebagai sesuatu yang lepas dari pertimbangan agama. Kha>lifah (sultan) tidak saja mendapatkan legitimasi kekuasaanya dari agama, tetapi pemerintahannya itu dibangun dalam Pemisahan agama dan politik, seperti yang terjadi di Barat memang tidak dikenal dalam sejarah pemerintahan muslim. Sepanjang sejarah, agama merupakan bagian tidak terpisah dari negara. Karena itu kemunculan gagasan tersebut dalam masyarakat muslim tidak pernah terbayangkan dalam pembahasan politik Islam. Wacana sekularisme yang pernah dilontarkan oleh beberapa intelektual muslim di era modern sepenuhnya terjadi karena interaksinya dengan peradaban Barat. Pada masa abad pertengahan, meskipun berkembangan dalam sistem politik masyarakat muslim, yakni muncul pemilahan kekuasaan antara ulama, sebagai otoritas agama, dan sultan atau kha>lifah, sebagai otoritas politik, tetapi tidak membuat negara ( khila>fah) sebagai sesuatu yang lepas dari pertimbangan agama. Kha>lifah (sultan) tidak saja mendapatkan legitimasi kekuasaanya dari agama, tetapi pemerintahannya itu dibangun dalam

pada ruang privat yang terpisah dari bidang kehidupan lainnya terutama politik. 15 Istilah sekularisme bagi sebagian muslim memang sarat dengan beban

psikologi dan kepentingan ideologis politik. Karena itu selalu menimbulkan perdebatan sengit antara yang mendukung dan yang menolak penerapan konsep tersebut dalam menata kehidupan berbangsa. Perdebatan tentang sekularisme di Indonesia, telah terjadi jauh sebelumnya, yakni pada masa kebangkitan bangsa atau masa pra kemerdekaan. Hal itu terlihat pada perdebatan antara Soekarno

dan Muhammad Natsir. 16 Perbedaan sikap intelektual muslim terhadap sekularisme tidak hanya

disebabkan oleh perbedaan dalam memahami konsepnya, tetapi juga perbedaan mereka memahami Islam. Mereka yang berpikir bahwa sekularisme bertentang dengan Islam baik secara politik dan filosofi adalah yang memandang Islam sebagai ideologi. Ideologi merupakan instrumen atau alat politik dan sosial yang digunakan untuk menentukan dan mengarahkan prilaku publik. Sebagai ideologi, Islam dipahami Muhammad Natsir sebagai sistem kehidupan yang bersumber dari ekstra-pengalaman manusia dan bersifat transenden, yang mencakup semua

dimensi kehidupan manusia; pribadi, sosial, budaya, ekonomi dan ekonomi. 17 Sebagai sistem kehidupan yang sudah lengkap Islam tidak membutuhkan

sekularisme yang berasal dari sumber dan cara yang berbeda dalam memahami kehidupan. Karena itu Islam dipandang berlawanan dengan sekularisme, sebab sekularisme dianggap lawan yang berbahaya dan akan menghancurkan eksistensinya.

Sedangkan mereka yang ‚menerima‛ konsep sekularisme secara terbatas adalah mereka yang menolak Islam dijadikan sebagai ideologi. Alasan penolakan tersebut karena ia memahami tentang karakteristik ideologi dan efeknya bagi perkembangan Islam secara keseluruhan. Karena watak ideologi yang terkondisikan oleh situasi tentang suatu perlawanan pada musuh dan penafsiran tentang dunia yang berdasarkan pada perlawanan, maka menjadi Islam sebagai ideologi akan mereduksi kompleksitas agama menjadi suatu pandangan dunia yang tertutup dan rigid. Padahal menurut Soekarno, sangat tidak mungkin untuk mempertahankan suatu pemahaman Islam yang benar-benar pasti. Menjadikan Islam sebagai ideologi berarti menetapkan suatu pemahaman atas Islam yang

tidak bisa berubah. 18 Padahal faktanya pemahaman tentang Islam akan selalu berubah-ubah sepanjang waktu dan setiap kelompok orang muslim memiliki

pandangan tentang ‚kebenaran Islam‛ yang berbeda-beda. Menggunakan agama sebagai alat politik juga akan mensubordinasi kedalaman dan kompleksitas pandangan tentang ‚kebenaran Islam‛ yang berbeda-beda. Menggunakan agama sebagai alat politik juga akan mensubordinasi kedalaman dan kompleksitas

Keengganan sebagian umat Islam untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara bukan semata persoalan pragmatis atau pembagian kekuasaan, tetapi sangat terkait dengan makna hidup yang terdalam, yakni sistem keyakinan yang mereka anut. Mereka masih memandang Islam sebagai ‚teologi

kekuasaan‛ 19 yang tidak memisahkan antara agama dan negara ( al-din wa al- daulah). Untuk bisa menerima kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara dan

dipahami sebagai bagian dari pandangan hidupnya, bagi umat Islam dibutuhkan rekonstruksi pemikiran dalam memahami kembali Islam dengan cara-cara yang baru.

Perdebatan yang terjadi di kalangan intelektual muslim Indonesia tentang hubungan agama dan negara merupakan respon pada sistem kekuasaan Barat yang diterapkan atau diadopsi kaum muslim dalam menata sistem kekuasaanya. Di Eropa lahirnya sistem kekuasaan yang baru juga tidak bisa dilepaskan dari adanya pengetahuan baru tentang manusia dan sistem kekuasaannya, seperti; konsep negara bangsa (nasionalisme), demokrasi dan hak asasi manusia. Konsep dan sistem kekuasaan tersebut bagi dunia muslim tidak memiliki preseden sebelumnya. Konsep tersebut sepenuhnya berasal dari peradaban Barat, setelah mereka melakukan revolusi terhadap sistem kekuasaan yang ada dalam masyarakatnya sendiri; yakni kekuasaan raja dan kaum agama (gereja). Kaum muslim pada umumnya mengenal sistem kekuasaan baru tersebut, karena adanya interaksi dengan peradaban Barat melalui proses kolonialisme. Untuk bisa berdialog dengan kondisi tersebut, maka dibutuhkan rekonstruksi teologi Islam. Sebab teologi yang ada dipandang tidak memadai untuk menghadapi realitas kontemporer.

Namun demikian, kajian buku ini bukan semata mengenai perdebatan makna sekularisme di kalangan intelektual muslim modern, tetapi juga relasinya dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan di Indonesia. Sekularisme, yang dikenal masyarakat muslim setelah adanya interaksi dengan peradaban Barat, Namun demikian, kajian buku ini bukan semata mengenai perdebatan makna sekularisme di kalangan intelektual muslim modern, tetapi juga relasinya dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan di Indonesia. Sekularisme, yang dikenal masyarakat muslim setelah adanya interaksi dengan peradaban Barat,

dipicu oleh kesulitan kalangan santri, yang umumnya pendukung ideologi Islam, untuk bisa berpartisipasi secara produktif dalam sistem pemerintahan Indonesia; Orde Lama dan Orde Baru, karena adanya hambatan teologis. Sehingga sistem negara kesatuan Indonesia belum bisa diterima secara penuh oleh sebagian kalangan umat. Hal itu yang sering menimbulkan kecurigaan antara umat Islam, baik masa Orde Lama maupun rezim Orde Baru, terutama di masa-masa awalnya.

Usaha yang dilakukan gerakan pembaharuan ‚Neo-Modernisme‛ berbeda dengan gerakan tokoh-tokoh pembaharuan sebelumnya, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Yang pertama menekankan pada rekonstruksi pemikiran teologi, sedangkan yang kedua bersifat puritan yakni menekankan pada pemurnian pemahaman keagamaan. Konsentrasi gerakan pembaharuan puritan adalah membersihkan praktek keagamaan masyarakat yang dipandang tidak

memiliki preseden dalam Alquran dan Sunnah. 21 Gerakan ini mendukung pentingnya ijti>h}ad, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang normatif dan

penalaran hukum. Hak ijti>h}ad, menurutnya, tidak hanya terbatas kepada ulama tetapi juga kepada setiap muslim yang memiliki kemampuan diharapkan berpartisipasi dalam proses tersebut. Karena itu, gerakan puritan ini mengecam sikap taqli>d (mengikuti tanpa mengetahui alasannya) yang selama ini banyak dipraktekkan masyarakat muslim dan tergantung pada otoritas ulama atau

kiyai. 22 Pandangannya bahwa Islam itu mencakup semua aspek kehidupan; dunia dan akhirat, maka gerakan pembaharuan puritan ini tidak jarang menjadikan

Islam sebagai ideologi politik perjuangannya. Sedangkan titik tekan gerakan pembaharuan Neo- Modernisme bukan persoalan normatif dan penalaran hukum (fiqh) tetapi diarahkan kepada reformulasi ide-ide dasar teologi Islam. Para pendukung gerakan pembaharuan rekonstrusionis ini adalah para intelektual muslim yang memiliki pengetahuan yang berasal dari tradisi intelektual kaum muslim dan Barat. Hal ini bukan berarti, tokoh-tokoh intelektual yang tergabung dalam gerakan ini bersifat monolitik. Pada tingkatan individu jelas memiliki titik tekan dan perspektif yang beragam, baik terhadap tradisi intelektual muslim sendiri maupun terhadap

terhadap modernitas Barat. 23 Tetapi mereka memiliki epistemik (kerangka

Istilah ‚neo-modernisme‛ kali pertama digunakan untuk menandai gerakan reformasi Islam oleh Fazlur Rahman, intelektual muslim asal Pakistan, yang menjadi guru bagi Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Istilah ini muncul dalam salah tulisan Fazlur Rahman, ‚Islam: Past Influence and Present Challenge,‛ Islam: Challenges and Opportunities, ed. Alford T. Welch Istilah ‚neo-modernisme‛ kali pertama digunakan untuk menandai gerakan reformasi Islam oleh Fazlur Rahman, intelektual muslim asal Pakistan, yang menjadi guru bagi Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Istilah ini muncul dalam salah tulisan Fazlur Rahman, ‚Islam: Past Influence and Present Challenge,‛ Islam: Challenges and Opportunities, ed. Alford T. Welch

Titik tekan pembaharuan Neo Modernisme adalah teologi Islam ( kala>m), sebab kala>m merupakan fondasi keilmuan dan dasar sistem masyarakat muslim, baik untuk kehidupan pribadi maupun publik. Karena itu persoalannya tidak hanya menyangkut persoalan iman semata (hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi juga berkaitan dengan persoalan kemanusian dan kemasyarakatan; yakni menyangkut permasalahan kekuasan atau negara (dulu khila>fah), hukum ( shar’), ortodoksi ( h}usn wa qubh}), rasio atau nalar (ijti>ha>d), hakikat tindakan manusia ( qudrah, human agency), komunitas (ummah) dan nilai-nilai kolektifnya seperti keadilan dan persamaan. Karena itu, dalam masyarakat muslim sangat tidak tepat apabila persoalan agama dapat dipisahkan dari persoalan publik, seperti dalam konsep sekularisme di Barat. Meskipun antara persoalan agama yang murni (ibadah) dan persoalan publik (mu’amalah) bisa dibedakan dari segi hakikat dan cara memahaminya.

Neo Modernisme berusaha untuk merekonfigurasi sistem keyakinan mayoritas muslim Indonesia yang didominasi oleh madhab Asha’riyah atau Sunni. Sebab sistem teologi Sunni dianggap tidak memadai untuk dijadikan dasar bagi ummah dalam mengalami kehidupan modern. Kala>m Sunni ini menekankan pada kemahakuasaan Allah dan menolak kebaikan dan keburukan diluar yang sudah ditetapkan Allah melalui wahyu (Alquran dan Sunnah). Kala>m Sunni pun menolak kemampuan akal manusia ( qudrah) untuk menilai baik atau buruk tindakan manusia. Karena itu sangat menekankan pada penerapan shari’ah yang dipandang sebagai representasi dari wahyu dan menjadi dasar dari etika Islam. Konsekwensinya penganut madhab Sunni kurang menghargai usaha untuk melakukan penalaran ( ijti>h}a>d).

Sikap seperti itu awalnya untuk menjamin supermasi shari> ’ah sebagai pembimbing kehidupan ummah dan untuk melindunginya dari manuver politik yang sembarangan. Namun pada akhirnya juga berimplikasi pada sistem kekuasaan atau politiknya. Negara dipandang sebagai pelindung agama dalam hal ini shari> ’ah. Implikasi dari hal itu adalah sistem kekuasaan dalam masyarakat muslim tradisional sangat elitis dan feodal karena hanya bertumpu pada ulama, sebagai pemegang otoritas shari>’ah (agama) dan khalifah/sultan sebagai pemegang kekuasaan. Sedangkan masyarakat muslim dianggap hanya menjadi

Sikap yang seperti jelas kurang sesuai dengan tuntutan sistem kekuasaan negara modern yang memandang manusia sebagai individu rasional yang memiliki sejumlah potensi. Sistem kekuasaan yang sesuai dengan cara pandangan yang demikian adalah sistem yang bisa melindungi realisasi potensi yang dimiliki setiap warganya, yaitu demokrasi. Sistem demokrasi bukan saja bertujuan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan politik, hal yang terabaikan dalam sistem politik Islam selama ini, tetapi juga sistem yang bisa menjaga dan menghargai nilai-nilai dasar kemanusian. Sistem ini pun membutuhkan individu-individu yang memiliki nilai-nilai keadaban seperti; persamanaan, toleran dalam perbedaan, saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak.

Pengetahuan dan sistem kekuasan negara modern tersebut berasal dari Barat yang berasaskan kepada sekularisme. Artinya demokrasi dan hak asasi manusia tumbuh di Barat setelah agama dipinggirkan perannya dari masyarakat sipil, negara dan politik. Akankan agama dalam masyarakat muslim pun mengalami hal yang sama untuk menjadi masyarakat modern? Tantangan yang demikian itu yang dihadapi intelektual muslim di era modern.

Buku ini akan berusaha untuk menunjukkan bahwa tradisi intelektual berkembang seiring dengan perkembangan rasionalitas manusia dan sistem kekuasaanya yang dibangunnya. Karena itu tradisi tidak mesti dipahami hanya rekapitulasi kepercayaan dan praktek masa lalu, namun merupakan kerangka pemikiran yang telah mapan dipakai oleh suatu masyarakat (dalam hal ini kaum muslim) untuk memahami tantangan kehidupan yang dihadapinya. Kerangka pemikiran ini tentunya memiliki sejumlah teks-teks yang dianggap otoritatif, prosedur, argumen dan prakteknya.

B. Islam sebagai Tradisi Diskursif Mengkaji pemikiran gerakan pembaharuan Islam di era modern tidak bisa dilepaskan dari relasinya dengan sekularisme yang berkembang di Barat, yang kemudian akan diterapkan di masyarakat muslim. Hal itu dimaksudkan bukan untuk mengukur tingkat kemajuan dan kemodernan Islam Indonesia dengan patokan-patokan yang ada di Barat atau sebaliknya untuk melihat tentang pengaruh Barat yang ‚mengotori‛ praktek dan pemikiran masyarakat muslim Indonesia. Namun untuk melihat artikulasi keislaman di Indonesia era modern yang berusaha untuk keluar dari dikotomi antara sekular-modern dengan agama- tradisional. Kaum pembaharu tetap berpijak pada tradisi intelektual Islam, bukan untuk dijadikan ‚senjata intelektual‛ melawan sekularisme kebudayaan Barat, tetapi merekonfigurasi tradisi Islam agar sesuai dengan sistem kekuasaan kehidupan modern. Mereka berusaha ‚merambah jalan baru‛ Islam yang tidak B. Islam sebagai Tradisi Diskursif Mengkaji pemikiran gerakan pembaharuan Islam di era modern tidak bisa dilepaskan dari relasinya dengan sekularisme yang berkembang di Barat, yang kemudian akan diterapkan di masyarakat muslim. Hal itu dimaksudkan bukan untuk mengukur tingkat kemajuan dan kemodernan Islam Indonesia dengan patokan-patokan yang ada di Barat atau sebaliknya untuk melihat tentang pengaruh Barat yang ‚mengotori‛ praktek dan pemikiran masyarakat muslim Indonesia. Namun untuk melihat artikulasi keislaman di Indonesia era modern yang berusaha untuk keluar dari dikotomi antara sekular-modern dengan agama- tradisional. Kaum pembaharu tetap berpijak pada tradisi intelektual Islam, bukan untuk dijadikan ‚senjata intelektual‛ melawan sekularisme kebudayaan Barat, tetapi merekonfigurasi tradisi Islam agar sesuai dengan sistem kekuasaan kehidupan modern. Mereka berusaha ‚merambah jalan baru‛ Islam yang tidak

Rekonstruksi argumen-argumen yang dikemukakan oleh gerakan pembaharuan tetap berlandaskan pada tradisi diskusif Islam, bukan pada tradisi

liberal Barat. 25 Ini tidak berarti mereka hanya ‚mengekor‛ pada masa lalu. Namun hal itu suatu usaha dalam berargumen yang bersifat persuasif dalam

memahami keadaan saat ini dengan merujuk pada masa lalu dan pada korpus yang otoritatif yang menentukan batas-batas dan kemungkinan-kemungkinan epistemologi, budaya dan kelembagaan sehingga klaim mereka menjadi bermakna. Hal itu juga bukan sebagai tanda kemandegan, karena tradisi dinilai, dievaluasi dan kemudian dievaluasi kembali berdasarkan pada suatu dialog dan konsesus. Dengan demikian tradisi Islam bukan sesuatu yang sudah final, tetapi terus terbuka dan berubah.

Berdasarkan dari perspektif itu, maka corak dari pemikiran gerakan Keislaman, termasuk di dalamnya gerakan pembaharuan, selalu adanya unsur kontinuitas (keberlanjutan) dengan tradisi yang sudah mapan, dan diskontinuitas (keterputusan) yang merupakan aspek kreativitas intelektual karena adanya perkembangan baru dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, yang tidak muncul pada era sebelumnya. Hal itu mengindikasikan bahwa konstruksi pemikiran keislaman ‚kaum pembaharu‛ tidak bisa dilepaskan dari situasi masyarakat Indonesia di era modern ini. Memahami perkembangan intelektual muslim selalu akan ditemui unsur-unsur kreativitas (perbedaan), selain unsur otensitasnya. Perbedaan itu mesti dipahami sebagai akibat dari perbedaan- perbedaan dalam ‚dunia‛ yang mereka huni yang pada akhirnya melahirkan dimensi berbeda dalam cara pandang. Hal ini yang menyebabkan mereka berbeda, menurut Arkoun ‛ dalam hal tingkatan antara Bahasa, Sejarah

dan 26 Pemikiran. Penggunaan metodologi untuk memahami Islam yang dipakai di kalangan

Orientalis atau Islamis yang hanya bertumpu pada teks-teks, maupun para sarjana sosial-politik Barat yang melihat masyarakat Islam dari struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik, mengabaikan evolusi dan perdebatan dalam pembentukan wacana (formasi diskursif) yang digunakan, yakni; konsep, pengetahuan dan praktek wacana Islam. Karena mengabaikan evolusi wacana keislaman, pendekatan orientalisme mengasumsikan bahwa ada esensi tradisi Islam yang tidak berubah dan monolitik. Islam dianggap sebagai tradisi yang stagnan dan telah membeku. Setiap perubahan yang terjadi dianggap sebagai hal yang aneh

dan dianggap bukan dari Islam. 27 Termasuk dalam memahami hubungan agama

Sedangkan pendekatan yang dipergunakan sarjana sosial politik memahami masyarakat muslim semata dari sisi struktur sosial dan ideologi politik yang mereka, sedangkan aspek Keislaman tidak jadi pertimbangan. Konstruksi analisis yang digunakan masyarakat muslim pun berdasarkan standar ilmu sosial-politik, seperti; protes sosial, kesenjangan ekonomi, anomi, strategi akomodatif, perlawanan dan sebagainya. Sedangkan aspek moralitas, konsep kesalehan, ketuhanan dan konstruks pemikirannya hanya dipandang sebagai

epifenomena. 28 Hal itu bukan sesuatu yang salah, tetapi pandangan yang demikian itu mereduksi kompleksitas keberagamaan hanya dilihat dari

kecenderungan ideologi dan struktur sosialnya. Hal itu terlihat dalam memahami fenomena masyarakat muslim yang dikotomis; Islam vs sekular, modern vs tradisional.

Kedua pendekatan yang demikian itu mengabaikan hal penting dalam memahami tradisi Islam sebagai tradisi yang hidup, yang membentuk dan sekaligus dibentuk dalam kondisi-kondisi budaya, sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi kaum muslim di berbagai tempat dan sepanjang perjalanan sejarah umat Islam. Pendekatan yang digunakan para orientalis dan sarjana sosial Barat itu dalam mengkonstruksi gerakan Islam dari perspektif tradisi liberal yang mereka anut, sesungguhnya lebih bersifat ideologis dari pada suatu usaha untuk memahami gerakan Islam itu sendiri.

Pandangan bahwa esensi Islam itu tidak berubah dan monolitik tercermin dari pandangan Muhammad Kamal Hasan bahwa gerakan pembaharuan ‚Neo Modernisme ‛ Indonesia sebagai gerakan sekular dan heterodok ( bid’ah). Ia menyatakan bahwa gerakan pembaharuan Indonesia merupakan propaganda ide penerapan sekularisme, menjadikan Islam sebagai agama pribadi, untuk

modernisasi Indonesia. 29 Melihat gerakan pembaharuan sebagai sekular jelas tanpa memahami perbedaan bentuk wacana dan pandangan dunia ( way of life)

yang digunakan tradisi Islam dengan tradisi Barat. Kedua hal itu yang membentuk perbedaan-perbedaan tentang individu (subyek), sistem pengetahuan dan penataan pengalaman.

Demikian pandangannya bahwa gerakan pembaharuan sebagai bid’ah. Hal itu terjadi, bukan semata keyakinan apriori sendirinya terhadap gerakan pembaharuan, tetapi juga alasan metodologis yang digunakan. Penjelasan Kamal Hasan yang naratif, dengan mengandalkan data-data deskritif yang disampaikan para tokoh gerakan pembaharu, para pendukung dan para penentangnya, telah mengabaikan evolusi wacana pembaharuan yang terjadi dalam tradisi Islam yang telah berkembang pasca kenabian dengan berbagai macam variasi pemikirannya.

Penjelasan yang sama, bisa juga ditujukan kepada peneliti yang Penjelasan yang sama, bisa juga ditujukan kepada peneliti yang

30 31 Albert Hourani, 32 Greg Barton, Luthfi Assyaukanie. Para pembaharu tidak berniat memandang agama harus dipinggirkan dari wilayah publik dan hanya

menjadi persoalan pribadi. Sebab para penganut liberalisme bukan saja berpendapat negara mesti dipisahkan dari agama, mereka pun berkeyakinan bahwa etika dan moral berdasarkan pada pertimbang an ‚akal universal‛ atau ‚nalar positivisme‛ dalam menata kehidupan sosial mereka. Liberalisme pun melarang agama dan moralitasnya dari ruang publik serta menempatkan

kepentingan individu sebagai dasar penting tatanan sosial. 33 Menyadari keterbatasan metodologis dalam memahami gerakan

pembaharuan, maka pendekatan yang dianggap memadai adalah pendekatan yang ditawarkan Talal Asad , yakni Islam mesti dipahami sebagai ‚discursive

tradition‛ (tradisi diskursif). 34 Pendekatan yang ditawarkan Talal Asad ini memberikan alat analisis yang penting bagi yang meminati kajian keislaman.

Karena pendekatan tersebut berusaha untuk keluar dari dikotomi antara pendekatan teks yang biasa dipakai para orientalis, dengan pendekatan yang hanya menekankan pada faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi.

Tradisi, menurut Asad, bukanlah seperti yang didefenisikan oleh para orientalis, antropologi atau sarjana muslim sendiri, yang memandangnya sebagai

‚warisan masa lalu‛ yang berlawanan dengan modernitas atau lawan dari rasio. 35 Tradisi adalah sekumpulan wacana yang tumbuh, berkembang atau tersingkir

sesuai dengan kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang mengitarinya. Sebuah tradisi secara esensial terdiri dari wacana-wacana yang berusaha menginstruksi para praktisinya mengenai bentuk yang benar dan tujuan dari suatu praktek tersebut yang, secara tepat karena ia diciptakan, memiliki suatu sejarah. Wacana-wacana itu berhubungan secara konseptual dengan masa lalu (ketika praktek yang bersangkutan dilembagakan, dan darinya pengetahuan tentang isi dan pelaksanaanya yang tepat ditransmisikan) dan masa depan (bagaimana isi dari praktek itu dapat dipelihara sebaik-baiknya dalam jangka pendek atau jangka panjang, atau mengapa ia harus dimodifikasi atau ditinggalkan) melalui masa sekarang (bagaimana ia dihubungkan dengan praktik- praktik lainnya, lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sosial). Suatu tradisi

Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983).

31 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: 31 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta:

sekarang. 36 Islam sebagai agama yang juga mencakup pandangan dunia ( religion-

cum-worldview) memiliki teks-teks dasar yang otoritatif (Alquran-Hadits) dan sejarah pergumulan intelektual yang mapan berdasarkan pada teks-teks dasar tersebut. Islam sebagai tradisi diskursif mesti dipahami sebagai ‚perkembangan seperangkat wacana yang terwujud dalam praktek-praktek dan lembaga-lembaga pada masyarakat muslim dan melekat secara mendalam dalam kehidupan

material para penganutnya‛. 37 Dengan demikian tradisi akan lebih tepat kalau dipahami sebagai

kumpulan wacana yang telah berlangsung sepanjang masa, sebagai kerangka berpikir (memahami) bukan seperangkat doktrin-doktrin yang tidak bisa berubah. Tradisi tidak semata-mata merujuk kepada masa lalu atau hanya repetitif tetapi lebih pada keinginan adanya koherensi yang berkesinambungan dengan merujuk ke seperangkat teks, prosedur, argumen dan praktek. Kumpulan kepercayaan dan pemahaman yang telah ditentukan itu, baik dalam tataran intelektual, politik, sosial dan budaya, membingkai praktek-praktek nalar Islam. Kumpulan wacana tersebut yang memiliki keragaman posisi, peran dan tugas yang pada akhirnya membentuk korpus pengetahuan Islam.

Dengan demikian, menurut Talal Asad, bahwa tradisi mesti dipahami sebagai suatu dimensi kehidupan sosial bukan suatu tingkatan perkembangan sosial. Penting untuk dipahami ‚tradisi dan modernitas‛ bukanlah dua hal yang tidak berkaitan dalam suatu budaya atau masyarakat tetapi yang terjadi adalah

adanya perbedaan aspek-aspek kesejarahan. 38 Hal itu berarti bahwa tradisi diskursif Islam memiliki ciri tersendiri baik rasionalitas maupun gaya

berpikirnya, yang tertulis dalam teks-teks, sejarah dan institusinya. Ini bukan berarti bahwa ada semacam rasionalitas, logika atau filsafat yang khas Islam dan tidak bisa ditembus atau dipengaruhi oleh orang luar, tetapi ada semacam pertimbangan-pertimbangan teroritik dan premis-premis tertentu yang bersumber dari isi dan bentuk wacana-wacana dasar Islam ( yakni; isi dan konteks Kitab Suci, pengalaman sejarah Islam pada masa awal, dan sebagainya). Siapa pun yang terlibat dalam tradisi Islam mesti memulainya dari hal tersebut.

Tradisi diskursif Islam itu tentu berbeda dengan yang terjadi di Barat. Barat memiliki tradisi diskursif sendiri, yakni liberalisme. Liberalisme juga merupakan sebuah tradisi, yang merupakan satu aspek penting pada masyarakat Barat modern. Seperti dinyatakan oleh MacIntyre bahwa liberalism itu sendiri Tradisi diskursif Islam itu tentu berbeda dengan yang terjadi di Barat. Barat memiliki tradisi diskursif sendiri, yakni liberalisme. Liberalisme juga merupakan sebuah tradisi, yang merupakan satu aspek penting pada masyarakat Barat modern. Seperti dinyatakan oleh MacIntyre bahwa liberalism itu sendiri

dan memiliki pertentangan-pertentangan atas penafsirannya. 39 Apabila para reformis Islam mencari dukungan bagi argumen-argumen

kontemporernya dengan merujuk pada teks-teks dasar di masa lalu yang dianggap otoritatif, sesungguhnya tidak jauh berbeda yang dilakukan para sarjana liberal yang mengutif teks-teks yang dianggap otoritatif untuk menjelaskan kondisi saat ini. Mereka memiliki posisi yang berbeda-beda dalam memperebutkan penafsiran

‚yang benar‛ atas suatu teks-teks dasar yang dianggap memiliki otoritas. 40 Berdasarkan pandangan tersebut, gerakan Islam pada masa kontemporer

ini tidak memadai dengan mendikotomikan tradisional-modern sebagai sesuatu yang berlawanan, tetapi mesti dipahami dalam terma perbedaan cara pandang mereka dalam memahami, mengartikulasikan dan mempraktekkan Islam. Adanya keberlanjutan (kontinuitas) dan keterputusan (diskontinuitas) dalam pemikiran dan praktek mereka mesti dipahami sebagai bagian dari dinamika diskursif yang dipaksa oleh lingkungan global yang terus berubah.

Berdasarkan hal itu, untuk bersifat adil, dalam memahami gerakan revivalisme Islam tidak semata dilihat dari terma tujuan politik atau dari standar tradisi liberal pengalaman negara-negara Barat, mereka diberi label sebagai kaum ‚fundamentalis‛ atau ‚liberal‛. Namun hendaknya dipahami dari tradisi diskursif dalam Islam yang memiliki argumentasi dan standar nalar tertentu dengan standar internal koherensi rasional yang dimilikinya. Berdasarkan hal itu, maka memahami ‚produksi intelektual‛ mereka tidak hanya pada fungsi-fungsi politiknya tetapi juga mesti menganalisa jenis-jenis nalar yang mereka guna dengan perangkat argumen yang telah diakui dalam tradisi intelektual kaum muslim secara umum. Di sini akan tersingkap ‚modal kekuasaan‛ yang bekerja dan resistensi terhadap kekuasaan tersebut. ‚Kuasa dan resistensi adalah hal yang

intrinsik dalam perkembangan dan pelaksanaan berbagai praktek tradisional 41 ‛. Pengkajian tentang gerakan revivalisme Islam Indonesia telah banyak

dilakukan oleh para sarjana Indonesia maupun asing. Tema-tema yang dipilih umumnya berkaitan dengan hubungan ‚kekuasan dan Islam‛, baik mendukung atau menentang kekuasaan politik. Namun masih sangat jarang yang mengkaji tentang artikulasi pem ikiran keislaman dibawah pengaruh ‚kekuasaan‛ negara modern. Padahal praktek sekularisme yang dibawa dan diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah mempengaruhi terjadi ‚rekonfigurasi pemahaman dan praktek keislaman‛ di Indonesia, terutama dilakukan oleh para sarjana Indonesia maupun asing. Tema-tema yang dipilih umumnya berkaitan dengan hubungan ‚kekuasan dan Islam‛, baik mendukung atau menentang kekuasaan politik. Namun masih sangat jarang yang mengkaji tentang artikulasi pem ikiran keislaman dibawah pengaruh ‚kekuasaan‛ negara modern. Padahal praktek sekularisme yang dibawa dan diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah mempengaruhi terjadi ‚rekonfigurasi pemahaman dan praktek keislaman‛ di Indonesia, terutama

Tidak banyak karya ilmiah, para sarjana, yang memperhatikan bentuk- bentuk Islam kontemporer dari perspektif ini. Analisis para kesarjanaan dan tulisan-tulisan umumnya difokuskan pada ideologi gerakan Islam tersebut, latar belakang sosial sosial-ekonominya dan konteks politik kemunculan gerakan tersebut. Pengkajian tentang munculnya gerakan revivalisme di Indonesia selama ini dilakukan baru sebatas pada penjelasan deskriptif tentang ide-ide yang dikemukakan oleh para tokoh dan elit intelektual kaum pembaharu, mengabaikan hal penting tentang kondisi-kondisi diskursif dan non-diskursi yang membentuk ‚ide-ide pembaharuan‛ tersebut. Hal ini terlihat pada karya Greg Barton yang mendeskripsikan tentang ide-ide pembaharuan empat tokoh Neo-Modernisme Islam Indonesia: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan

Abdurrahman Wahid. 42 Hal yang serupa dilakukan oleh Fauzan Saleh yang mendeskripsikan tentang ‚adanya suatu kontinum perkembangan, dimulai dari

satu tahap ke tahapan berikutnya.‛ Ia menjelaskan tentang ‚kehidupan keagamaan yang mendekati orsinilitas doktrinnya‛. 43 Penjelasan tersebut

terkesan sangat bias, karena merendahkan ortodoksi kelompok lainnya. Nampak sekali ia mengabaikan hal penting, yakni tentang kekuasaan yang mendorongnya menjadi demikian.

Karya intelektual yang membahas tentang hubungan ‚Islam dengan Kekuasaan‛ di Indonesia adalah karya Bahtiar Effendy yang berisi tentang penjelaskan hubungan ‚Islam dan Negara‛, yang merupakan suatu yang

berharga. 44 Fokus dari kajian buku ini adalah tumbuh dan berkembangnya teologi Islam yang lebih sesuai dengan sistem kekuasaan negara modern yang

menekankan kepada demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, bukan semata sebagai sikap akomodatif terhadap program-program pembangunan Orde Baru. Indonesia, menurutnya, adalah sedikit dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang berhasil mencari jalan keluar dari kesulitan dalam mensintesakan Islam dengan sistem politik modern. Karya ini berhasil menjelaskan usaha intelektual muslim dalam merekontruksi teologi Islam yang sesuai dengan kehidupan modern yang meratakan jalan masyarakat muslim untuk menekankan kepada demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, bukan semata sebagai sikap akomodatif terhadap program-program pembangunan Orde Baru. Indonesia, menurutnya, adalah sedikit dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang berhasil mencari jalan keluar dari kesulitan dalam mensintesakan Islam dengan sistem politik modern. Karya ini berhasil menjelaskan usaha intelektual muslim dalam merekontruksi teologi Islam yang sesuai dengan kehidupan modern yang meratakan jalan masyarakat muslim untuk

Karya menarik lainnya tentang hubungan Islam dan kekuasaan adalah karya Yudi Latif. Meskipun karya ini berhasil mendeskripsikan tentang kondisi diskursif dan non-diskursif tentang pembentukan kaum intelegensia Indonesia, namun fokus tulisan ini pada perjuangan kaum inteligensia Indonesia dalam meraih atau menentang kekuasaan politik di Indonesia. Sedikit sekali menyinggung tentang pembentukan sistem berpikir mereka, terutama perubahan teologis mereka. Padahal itu sangat penting memahami argumentasi yang

mereka kemukakan sebagai bagian dari tradisi diskursif Islam. 45 Kajian yang serupa terlihat pada karya Faisal Ismail yang berisi tentang

respon tokoh-tokoh organisasi masyarakat Islam dan partai politik Islam terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai Pancasila. Karena fokus karya ini pada respon para tokoh politik Islam dan argumen-arguman keagamaan

tokoh tersebut dalam menerima dan menolak kebijakan Orde Baru tersebut. 46 Karya lain yang cukup menarik tentang tela’ah argumentasi keagamaan yang

dikemukaan para ulama Indonesia justru ditemukan dalam karya Greg Fealy yang berjudul ‚Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967‛. Indonesianis asal Australia ini berhasil menjelaskan tentang alasan keagamaan tentang sikap politik NU yang terkesan bagi ‚orang luar‛ bersifat oportunis. Ia berhasil berhasil mengelaborasi argumen para ulama NU yang selalu mengacu pada pencapaian mas}lah}ah dan menjauhi mafsadah.

Sesuai dengan kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, pembahasan buku ini menggunakan pendekatan yang diperkenalkan Talal Asad bahwa Islam adalah sebuah tradisi wacana (diskursif) yang muncul, berkembang atau tersingkir sesuai dengan kekuatan-kekuatan sosial yang mengitarinya. Dalam perspektif ini, tradisi dipahami bukan lawan dari nalar, tetapi kumpulan wacana yang telah berlangsung sepanjang masa, yakni sebagai kerangka berpikir (memahami) bukan seperangkat doktrin-doktrin yang tidak bisa berubah. Tradisi merujuk kepada masa lalu bukan berarti repetitif tetapi lebih pada keinginan adanya koherensi yang berkesinambungan dengan merujuk ke seperangkat teks, prosedur, argumen dan praktek yang telah ada. Namun demikian dalam setiap peradaban selalu ada kesinambungan dan keterputusan. Kesinambungan merupakan cerminan dari otensitas budaya, sedangkan keterputusan dipandang sebagai perubahan dan inovasi. Sesungguhnya antara tradisi dengan modern bukan lawan, tetapi dimensi kehidupan yang berbeda.