T2 752012016 BAB III

(1)

BAB III

TANGGUNG JAWAB POLITIK GPIB DALAM BERTEOLOGI

Pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana Teologi Politik GPIB yang berkaitan dengan keputusan lembaga antara lain; Pemahaman Iman GPIB Yakni SHubungan Gereja dan Negara dan Kurikulum Katekisasi dan Akta Gereja. Sebelum kita sampai kepada pembahasan di atas terlebih dahulu penulis akan memaparkan sejarah singkat GPIB.

1. SEJARAH SINGKAT GPIB1

Pada tanggal 31 Oktober 1948 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) diresmikan selaku gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan gereja Protestan di Indonesia. Selain jemaat-jemaat baru yang timbul dari Pekabaran Injil (PI), ia memiliki terutama semua jemaat Gereja Protestan di Indonesia di luar lingkungan 3 gereja saudaranya yaitu Gereja Masehi Injili Minahasa, Gereja Protestan Maluku dan Gereja Masehi Injili di Timor. Sebab itu latar belakang historis GPIB sebenarnya merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia, yang pada zaman sebelum perang dunia II dikenal dengan nama “De Protestansche Kerk in Nederlandsch Indie” atau “De Indische Kerk”.

GPIB selaku pewaris dari Gereja Protestan di Indonesia tidak memiliki latar belakang historis yang berpangkal atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara langsung dalam suatu daerah dengan masyarakat yang homogen secara etimologis atau yang didiami oleh suatu suku bangsa tertentu, tetapi merupakan warisan dari pemerintahan Belanda dalam hal ini adalah VOC. Dalam artikel 36 dari Nederlandsche

1 Sejarah singkat GPIB ini disusun dengan mendasarkan diri pada buku resmi terbitan GPIB,

S.W.Lontoh dan H. Jonathans, Bahtera Guna Dharma, (Jakarta: MS XII, 1981) 187-229), namun akan diadakan pengolahan, sesuai dengan kebutuhan kajian tulisan.


(2)

Geloofsblijdenis yang ditetapkan oleh Synode di Dordrecht yang berlangsung dari yahun 1618 sampai dengan 1619. Artikel tersebut berbicara tentang Tugas Pemerintah (raja-raja, pangeran-pangeran dan penguasa-penguasa) bukan hanya untuk menjamin ketentraman umum, melainkan juga untuk melindungi ibadat gereja yang kudus, untuk memberantas agama berhala dan agama-agama palsu, untuk meruntuhkan kerajaan Anti Kristus, serta memajukan kerajaan Kristus dan memberitakan Injil dimana-mana.

Di dalam oktroi dari VOC tidak termaktub secara khusus kewajiban untuk membentuk gereja diluar Belanda. Akan tetapi oleh karena kepada VOC diserahkan kedaulatan pemerintahan atas daerah-daerah seberang, maka kewajiban pemerintah seperti tersimpul dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofsbelijdenis” tadi, menjadi kewajiban dari VOC pula.

Bagi “De Indische Kerk” selaku gereja negara tanggung jawab anggota -anggota jemaat di bidang keuangan tidak merupakan suatu hal yang penting. Gaji para pendeta di bayar oleh kas negara. Dan hasil-hasil kolekte/uang yang tak seberapa itu digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Berdasarkan kewajiban VOC yang tersirat dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofbelijdenis”, maka sikap dan cara pendekatan orang-orang Peotestan terhadap agama-agama lain adalah antitesis.

Sikap yang tegas berdasarkan otoritas pemerintah yang dilambangkan dengan pedang, dan cara pendekatan yang tidak dijiwai oleh kasih Injili itu mengakibatkan reaksi yang tidak positif dari masyarakat sekitar terhadap agama Kristen Protestan dan berita Injil yang dibawah oleh hamba-hambanya. Di hari-hari kemudian akibat-akibat itu masih tetap terasa oleh jemaat-jemaat di Indonesia bagian Barat, yang terutama terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pegawai perusahan yang berasal dari Maluku, Minahasa dan Timor, dan selebihnya merupakan orang-orang Belanda.


(3)

Di samping adanya pegawai-pegawai sipil dan swasta tersebut juga terdapat orang-orang Indonesia yang masuk bala tentara Belanda (KNIL). Di antara mereka ini terdapat juga orang-orang Kristen yang berasal dari Maluku, Minahasa dan Timor. Dan mereka ini merupakan pula anggota jemaat dari gereja-gereja di Maluku, Minahasa dan Timor. Sebagai anggota jemaat gereja Protestan mereka ini perlu mendapat pelayanan dan gereja di tempat mereka bertugas. Untuk melakukan pelayanan itu maka “De

Indische Kerk” merupakan gereja seazaz. Hal ini pula ada sangkut pautnya dengan

kepentingan pemerintah pada saat itu, oleh karena orang-orang Kristen Indonesia ini sebagian besar adalah pegawai pemerintah (landsdienaren).

Pada mulanya kebaktian di layani dalam bahasa Belanda saja, tetapi kemudian karena timbulnya kesadaran nasional dalam jiwa bangsa Indonesia dan pula demi effisiensi pelayanan, maka diadakan pelayanan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi kebudayaan semuanya berpusat di kota-kota dan juga di kantor-kantor serta konsentrasi-konsentrasi kemiliteran juga berada di kota-kota maka dengan sendirinya anggota jemaatnya adalah warga GPIB.

1.1. Sejarah Pembentukan GPIB (Proto Sinode 1948)2

Gereja Protestan di Indinesia (GPI) pada jaman pemerintahan belanda dahulu adalah gereja negara; pada waktu itu terkenal dengan nama Indische Kerk. Gereja Protestan di Indonesia itu mempunyai Gereja Induknya di Belanda, yaitu Gereja Hervomd. Keberadaan GPI sangat behubungan erat dengan lahirnya GPIB. Sebelum tahun 1948 telah terbentuk organisasi-organisasi gereja yang berdiri sendiri.

Masing-masing dengan Sinodenya serta Tata Gerejanya sendiri.3 Lahirnya Gereja-Gereja

2

Ibid., 179-184.

3 Organisasi-Organisasi Gereja itu ialah: 1.Gereja Masehi Injili Minahasa (1934). 2.Gereja


(4)

tersebut dengan mendapatkan pengakuan dari GPI, disebabkan adanya perkembangan baru yang berlaku dalam tubuh GPI. Perkembangan yang menghendaki adanya pemisahan antara gereja dan negara; pemisahan yang menyangkut soal administrasi dan keuangan.

1.2. Perkembangan baru yang lahir dalam tubuh GPI itu, sungguh-sungguh telah

mengalami pergumulan sejak lama. Sejak 1863 hingga 1918 telah ada usaha untuk mengadakan pemisahan antara gereja dan negara. Maksudnya supaya gereja di mungkinkan untuk mengurus dirinya sendiri. terutama untuk membuat gereja hidup kembali, melalui jemaat-jemaat yang bertanggung jawab atas urusan diri sendiri itu. Pada tahun 1935, baru terwujudlah pemisahan administrasi antara gereja dan negara. Kemudian pada tanggal 1 Pebruari 1950 diusul dengan pemisahan keuangan, yang diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia.

1.3. Situasi dunia nampaknya juga berkembang. Para pertengahan tahun 1945

berakhirlah masa pendudukan jepang di Indonesia. Waktu itu juga pada tanggal 17 Agustus 1945, tercetuslah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sehubungan dengan perkembangan baru situasi politik di Indonesia dan sehubungan pula dengan telah adanya perkembangan baru di tubuh GPI, maka pada tahun 1948 gereja terdesak untuk berpikir tentang status jemaat-jemaat yang ada dalam tubuh GPI, tapi yang tidak termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga gereja yang telah berdiri sendiri itu.

1.4. Sidang Sinode Am GPI sesudah perang diadakan pada tanggal 30 Mei-10 Juni

1948; Sidang ini merupakan Sidang Sinode Am ke-III GPI yang membicarakan

beberapa agenda pokok.4

4 Agenda pokok itu antara lain:

1. Perkembangan situasi dunia yang sekaligus mempengaruhi perkembangan baru situasi politik di Indonesia.


(5)

1.5. Pembicaraan dalam Sidang Am ke-III di Bogor 30 Mei- 10 Juni 1948 tentang Jemaat-Jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga Gereja yang berdiri sendiri, berakhir dengan satu keputusan yaitu: segera dalam tahun 1948 juga, Jemaat-Jemaat tersebut diorganisir dalam satu organisasi Gereja yang baru. Untuk itu, Sinode

Am ke-III GPI menetapkan:5

a. Memberi hak kepada badan pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI untuk

mensahkan dan melembagakan Gereja baru itu sebagai suatu gereja yang berdiri sendiri.

b. Membentuk komisi untuk menyiapkan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan

Gereja.

c. Tata Gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh Proto Sinode

secepat mungkin dalam tahun 1948. Proto Sinode 1948

1. Proto Sinode yang dilaksanakan pada tanggal 25-31 Oktober 1948 di Jakarta,

membahas Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang telah disiapkan oleh komisi Tata Gereja dan Peraturan Gereja, dibentuk oleh Sinode Am ke-III GPI. Pembukaan Proto Sinode di pimpin oleh Ds.J.A.de Klerk; beliau adalah ketua panitia penyelenggara Proto Sinode tahun 1948.

2. Perkembangan yang terjadi dalam tubuh GPI melalui pergumulan kemandirian administrasi dan

keuangan.

3. Jemaat-jemaat yang ada dalam tubuh GPI di luar wilayah pelayanan ketiga gereja, tidak mau melebur diri dalam salah satu Gereja daerah.


(6)

2. Pada tanggal 30 Oktober 1948, sesuai dengan keputusan Sinode Am ke-III GPI mensahkan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) sebagai Gereja yang berdiri sendiri. 6

Upacara pelembagaan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat atau peresmiannya dinyatakan oleh Ketua Badan Pekerja Am, Dr.J.H. Geissler, dalam kebaktian yang berlangsung di gedung Gereja Imanuel (Willemskerk) Jakarta sebagai berikut:7

“Atas nama Badan Pekerja Am Gereja Protestan di Indonesia, saya sebagai ketua umum, mengakui: Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat akan membentuk dirinya sendiri menurut peraturan Gereja yang telah diadakan olehnya dan yang tidak berlawanan dengan peraturan kerja. Kami tak berkeberatan terhadap penahbisan Gereja itu yang sebentar boleh akan dijalankan oleh ketuanya”.

Mengahiri sejarah singkat lahirnya GPIB di bawah ini akan dikutib pidato Pendeta B.Supit dalam khotbahnya pada kebaktian pembukaan proto Sinode hari senin tanggal 25 Oktober 1948 dan khotbahnya dalam kebaktian pengresmian GPIB hari minggu tanggal 31 Oktober 1948 sebagai berikut:

(1). Saudara-saudara sekalian. Kini saya memusatkan pikiran kita pada Gereja yang ke-4 yang hendak dibentuk dan mudah-mudahan dapat diresmikan pada tanggal 31 Oktober yang akan datang. Tidak ada satu Gereja seperti Gereja ini karena dalamnya termasuk rupa-rupa bangsa dan suku bangsa yang berasal dari Gereja-Gereja yang telah berdiri sendiri. Ada anggota-anggota dari Gereja tua, ada berasal dari Gereja muda dan Gereja Protestan di Indonesia. Masing-masing dengan kebiasaan sendiri-sendiri dan bahasanya masing-masing. Faktor-faktor itu bisa mengakibatkan ketegangan-ketegangan dalam Gereja, namun hal itu jangan membawa kepada perpecahan. Sebab kita harus belajar selaku Gereja

6 Organisasi Gereja menurut Tata Gerejanya berbentuk Presbiterial Sinodal. Dengan terbentuk

Majelis Sinode GPIB sebagai berikut: Ketua : Ds.J.A. de Klerk Ketua : Ds.B.A.Supit Sekretaris I : Ds.L.A. Snyders Sekretaris II : J.A.Huliselan Bendahara : E.E.Martens Penasehat : E.A.P. Klein

Pendeta Bahasa Indonesia : Ds.D.F. Sahulata dan Bahasa Belanda: Ds.J.H. Stegeman


(7)

untuk berdiri di atas alasan: satu Tuhan, satu iman dan satu babtisan. (Efesus. 4:5). (2). Pada hari ini, bertepatan dengan hari pembaharuan, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat menyebut dirinya sebagai Gereja yang berdiri sendiri, yang secara resmi diproklamasikan oleh Badan Pekerja Am GPI dalam kebaktian ini. Gereja itu adalah bagaikan sebuah kapal lengkap dengan peralatannyayaitu Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan lainnya. Kapal tersebut ditumpangi kurang lebih 200.000 penumpang dari pelbagai bangsa dan suku bangsa. Dalam pelayanannya kapal itu akan menghadapi rupa-rupa bahaya. Sebab itu kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati. Nas kita pada hari ini berkata: “Jikalau tidak Engkau sendiri pergi bersama-sama, maka jangan apalah Engkau membawa kami naik dari sini” (Keluaran 33:15). Jawaban Musa yang

merupakan suatu pengakuan iman itu diberikan atas pertanyaan Tuhan: “Jikalau

kiranya Aku sendiri berangkat bersama-sama bolehkah ia menyenangkan hatimu”. Pengakuan musa tadi semoga menjadi pengakuan iman kita juga, yang kalau tidak Allah sendiri berangkat bersama-sama kita, janganlah Ia membawa kita sebagai GerejaNya bertolak dari sini. Dan pada awalnya pelayanan kapal GPIB ini, doa kita hendaknya: “Ya Tuhan tambahilah iman kami yang kecil ini. Amin”.8

2

.

KEPUTUSAN PERSIDANGAN SINODE GPIB XIX 2010

Dalam penjelasan ini penulis akan mengkaji beberapa dokumen dari hasil ketetapan Persidangan Sinode GPIB XIX tahun 2010 di Jakarta. Dokumen-dokumen tersebut diangkat sebagai bahan kajian untuk membantu dalam analisa. Pokok-pokok bahasan tersebut antara lain: 1). Pemahaman Iman (PI) Yakni Hubungan gereja dan

Negara, 2). Kurikulum Katekisasi 3). Akta Gereja,9

2.1.

Pemahaman Iman GPIB

Pemahaman Iman adalah statement atau deklarasi Iman. Bukan Pengakuan Iman. Pengakuan Iman merupakan jawaban atas pergumulan Gereja secara ekumenis di

8 Ibid. 9

Persidangan Sinode XIX telah menghasilkan beberapa ketetapan untuk menjadi acuan bagi program GPIB di masa mendatang yaitu: Buku I:(1.a.Pemahaman Iman, 1b.Akta Gereja, 2a.Tata Ibadah, 2b.Kurikulum Katekisasi) Buku II: (1.PKUPPG 2002-2026 dan KUPPG 2011-2016, 2.Pokok-pokok Kegiatan 5 tahun, 3.Daftar rekomendasi Persidangan Sinode XIX kepada Majelis Sinode XIX) Buku III: (1.Tata Dasar, 2.Peraturan Pokok, I,II,III, 3.Peraturan No.1 s.d. 15) Buku IV: (1.Laporan Pertanggung-jawaban Majelis Sinode XVIII GPIB 2005/2010, 2.laporan BPPG 2005/2010) Buku V: (1.Materi-materi Penelaan Alkitab, 2.Daftar Peserta Persidangan Sinode XIX, 3.Sambutan Majelis Sinode dan sambutan lainnya, 4.Daftar berita acara No.1 s.d. 4 dan 17 s.d. 19, 5.Pesan Persidangan, 6.Daftar Panitia Persidangan Sinode XIX, 7.Laporan Panitia Persidangan Sinode XIX).


(8)

masa lalu. Pemahaman Iman adalah pernyataan dari sudut pandang iman yang menjawab tantangan yang dihadapi GPIB di masa kini. Maka boleh kita katakana bahwa Pemahaman Iman merupakan semacam addendum terhadap pengakuan Iman. sKarenanya sekalipun Pemahaman Iman berbeda dari Pengakuan Iman, namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Pemahaman Iman suatu Gereja sekurang kurangnya memiliki tiga referensi yakni Allah Tritunggal, Gereja, dan Dunia yang menjadi konteks Gereja. Pemahaman Iman merupakan respon gereja terhadap penyataan diri Allah yang diekspresikan lewat tanggung jawab untuk setia mematuhi kehendak Allah. Lewat Pemahaman Iman warga Gereja menjelaskan bagi diri mereka sendiri tentang siapa diri mereka, apa yang mereka percayai dan apa yang harus mereka lakukan. Lewat Pemahaman Iman juga Gereja bukan hanya memuji dan melayani Tuhan atau sekedar memperjelas jati diri mereka, melainkan juga menjelaskan bagi dunia siapa mereka, apa yang mereka percayai dan akui. Maka Pemahaman Iman juga memiliki signifikasi

teologis dan ekklesiologis, tetapi juga social politis. 10

Jadi pemahaman iman lebih lokal sifatnya dan lebih temporer juga. Pemahaman Iman sangat bisa berobah sementara Pengakuan Iman sudah baku. Persamaan kedua istilah ini adalah bahwa keduanya dirumuskan dari keyakinan Iman dan berlandaskan pada Alkitab. Pemahaman Iman GPIB telah berproses sejak tahun 1982 dan akan terus berproses seiring perkembangan kebutuhan kontekstual.


(9)

Kerangka Isi:11

Kerangka isi Pemahaman Iman GPIB mencakup tujuh pokok, yakni:

1. Keselamatan.

2. Gereja

3. Manusia

4. Alam dan Sumber Daya

5. Negara dan bangsa

6. Masa depan

7. Firman Allah

Pada bagian ini penulis hanya menitikberatkan kepada pokok ke-5, (Negara dan Bangsa) yang berkaitan dengan topik pembahasan.

A. Rumusan

NEGARA DAN BANGSA

1. Bahwa Allah, sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah

bangsa-bangsa guna mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan meniadakan kekacauan dan

kejahatan.Dengan demikian sebagai hamba Allah, setiap pemerintah

wajib mempertanggung jawabkan kuasa tersebut kepada Allah12.

2. Bahwa pemerintah dan negara menjalankan kuasa dan wewenang di bawah

terang Tuhan Yesus Kristus, yang berfirman: “berilah kepada kaisar apa

yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah punya13” Dengan

demikian pemerintah dan negara mempunyai otonomi, tetapi otonomi ini

tidak dapat mengatasi otonomi Gereja sebagai tubuh Kristus. Oleh

karena kaisar berada di bawah Allah.

3. Bahwa kuasa yang diberikan kepada pemerintah itu dapat disalahgunakan

karena dijadikan sebagai tujuan, hingga timbul kelaliman, kejahatan dan

keresahan14. Jika terjadi demikian maka sebagai Hakim dan Raja Tuhan

Yesus Kristus yang duduk di sebelah kanan Allahakan menghakimi

pemerintah pemerintah dan penguasa.

11

Majelis Sinode GPIB XIX, Pemahaman Iman Tahun 2007.

12I Sam 8; Yoh 19:10-11; Rom 13:1-5. 13Mat 22:21; Mrk 12:17; Luk 20:25. 14Yes 10:1-2; Yer 22:13; Mik 3:9-11.


(10)

4. Bahwa Roh Kudus yang adalah Roh keberanian akan menolong orang percaya

untuk lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia15. Seperti yang

telah disaksikan oleh para Rasul ; oleh karena itu Gereja terpanggil memperdengarkan suara kenabian terhadap masalah negara, bangsa, dan masyarakat.

5. Bahwa berdasarkan tuntunan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus

warga negara wajib menaati undang-undang dan penjabarannya yang

telah menjadi ketetapan bersama16, namun ia wajib memberi saran-saran

perbaikan secara kritis dan konstruktif lewat saluran saluran pengawasan

demi keadilan dan kesejahteraan bangsa17.

6. Bahwa berdasarkan tuntunan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus

warga negara perlu membina rasa kebersamaan sebagai satu bangsa

yaitu Indonesia, membangun saling pengertian dan toleransi dalam

rangka menghayati kerukunan nasional, dan menggalang kemajuan

bersama18 bagi rakyat Indonesia.

7. Bahwa berdasarkan tuntunan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus

warga negara, di dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan

bermasyarakat, perlu membangun rasa persatuan dan kesatuan yang

tidak merusak kebhinekaan dan kesetaraan19 yang telah menjadi bagian

dari masyarakat warga (civil society), di mana hak hak asasi manusia

dijunjung tinggi.

B. Penjelasan

Bahwa Allah sebagai sumber kuasa memberikan kuasaNya kepada pemerintah sebagai hamba Allah untuk mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua ciptaan. Pada hakekatnya Allah tidak menghendaki adanya pemerintah. Allah yang memerintah dan Allah juga yang berkuasa atas umatnya. Adanya pemerintah karena kehendak umat (Israel).Waktu mereka berkata: "Berikanlah kepada kami seorang raja untuk memerintah kami," perkataan itu mengesalkan Samuel, maka berdoalah Samuel kepada Tuhan.

Tuhan berfirman kepada Samuel: "Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak,

15Kisah 4:19; 5:29. 16

Kej 47:23-26; Bil 35:22-29; Mat 22:17-21.

17Mik 3:8;6:8;9-12; Amsl 5:21; Yun 3. 18Kis 4:32-35; Gal 5:13-15; Flp 2:1-4. 19 Gal 3:28.


(11)

tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. (I

Samuel. 8:6,7). Hal inilah yang dikatakan Pdt.O.E.Ch.Wuwungan20 pada saat

menjelaskan tentang latarbelakang pemikiran sehingga timbul rumusan bahwa Allah,

sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah bangsa-bangsa guna

mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan

meniadakan kekacauan dan kejahatan.

Jadi kuasa yang ada pada pemerintah dalam suatu negara adalah semata-mata pemberian Allah yang harus dipertanggung-jawabkan. Pemerintah dan negara ada karena kehendak dan rencana Allah. Demikian pula gereja (baca: orang Kristen) ada di bumi Indonesia ini karena kehendak dan rencana Allah. GPIB sebagai gereja yang ada di Indonesia hadir untuk menyampaikan berita keselamatan bagi semua ciptaan. Dengan demikian maka baik pemerintah atau negara dan juga gereja semuanya berada dalam kedudukan yang sama sebagai hamba Allah.

Ide tentang hamba Allah ini lahir dari pergumulan panjang GPIB setelah ia memutuskan untuk mandiri pada tahun 1948. Ada dua persoalan yang terjadi pada saat itu. Pertama, persoalan untuk melayani tiga gereja saudara (GMIM,GPM, GMIT) dan kedua, melayani umat Kristen di luar tiga gereja saudara tersebut. Selain itu pula GPIB menghadapi persoalan bangsa yang baru merdeka 1945 dengan berbagai tantangan persatuan dan keutuhan bangsa. Apabila Gereja (GPIB) dan Pemerintah/Negara tetap memahami jati dirinya sebagai hamba Allah maka mau dan tidak mau mereka harus melakukan tugasnya dengan baik yakni menegakan keadilan, kebenaran dan kemakmuran bagi masyarakat. Ketika ditanyakan pemerintah yang bagaimana yang dikehendaki Allah, Pdt.Kaihatu menjelaskan:

20 Wawancara dengan Pdt.O.E.Ch. Wuwungan, Ketua Sinode GPIB (Periode 1990-1995)


(12)

Alkitab memberikan gambaran bahwa Negara adalah alat yang dibentuk dan dipelihara oleh Tuhan untuk melindungi dunia terhadap kekalutan. Negara telah

menerima kuasa dan tanggung jawab dari Tuhan untuk mencapai tujuan itu. Empat

kutipan Alkitab menjelaskan hal ini. Kutipan pertama adalah Kejadian 9 : 5 –6.Ini

adalah tuntutan pembalasan terhadap orang yang menumpahkan darah. Dengan

sendirinya pelaksana dari keinginan Tuhan Allah untuk menuntut pembalasan ini

adalah manusia sendiri. Dan ini hanya mungkin terjadi kalau ada struktur dalam

masyarakat dalam bentuk pengaturan dan pemerintahan. Kutipan kedua adalah

Mazmur 72:1. Di sini Allah mengaruniakan wibawa dan kekuasaan kepada raja. Kutipan ketiga adalah Yohanes 19 : 11. Yesus sendiri memastikan bahwa kuasa tidak akan ada pada tangan Pilatus kalau tidak diberikan dari atas. Kutipan keempat adalah

Roma.13:1–2.Paulus memastikan bahwa Pemerintah ditetapkan Allah dan karena itu

harus dipatuhi. Makanya Calvin memastikan bahwa penguasa dan Negara harus menyadari bahwa sumber kekuasaannya adalah dari Allah. Dan karena itu pemerintahan

sipil harus memikirkan rakyat sesuai dengan kehendak Tuhan.21 Catatan Calvin

ini penting, karena kuasa yang diberikan Tuhan bisa disalah gunakan, dan dijadikan

tujuan.Yang terjadi sebagai akibatnya adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Faham bahwa kekuasaan itu berasal dari Tuhan secara ringkas mengingatkan penguasa untuk rendah hati, mengingatkan masyarakat untuk mengkritisi secara positip dan konstruktif sebagai bentuk dukungan. Dengan demikian terbangun kesatuan dan persatuan yang memelihara kebhinekaan dan kesetaraan. Dalam keadaan seperti inilah hak hak asasi manusia dijunjung tinggi. Dan ini hanya akan mungkin terjadi dalam

penyertaan Roh Kudus.22

Persoalannya sekarang adalah bagaimana peranan dan fungsi gereja itu bisa berjalan tanpa ada benturan kepentingan dengan Pemerintah/Negara. Pdt.S.Th Kaihatu memberikan penjelasan bahwa:

Antara Gereja dan Pemerintah/Negara punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan gereja atau sebaliknya, gereja juga tidak boleh ikut campur urusan Pemerintah/Negara. Masing-masing berada pada wilayah kekuasaannya sendiri-sendiri. Tetapi, ketika berbicara tentang keadilan dan kebenaran serta peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, Gereja dan Pemerintah harus dapat mewujudkannya. Pokoknya semua yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan hak asasi manusia serta lingkungan hidup gereja dan pemerintah terlibat bersama-sama

sebagai hamba Allah untuk melayani masyarakat.23

21 Pandangan Calvin tentang hal ini bisa dilihat dalam Mc Neill.J.T. : Calvin: Institutes of the

Christian Religion Vol. XX. London, SCM Press 1960.

22 Wawancara dengan S.Th.Kaihatu, M.Th. Ketua Sinode GPIB (2005-2010) tanggal 23 Januari

2014 di Jakarta.


(13)

Oleh karena itu topik kedua yang diangkat dalam rumusan Negara dan Bangsa

adalah “berilah kepada kaisar apa yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah

punya”. Tinggal bagaimana peranan dan fungsi masing-masing lembaga dijalankan.

Menurut Pdt.Kaihatu kita harus memahami konteks kita di Indonesia yang berbeda dengan konteks Tuhan Yesus dan Paulus. Konteks Yesus berhadapan dengan Kaisar sebagai penguasa pada jaman itu dimana bangsa Yahudi sangat tertekan sedangkan Paulus yang berkebangsaan Romawi melihat Pemerintah sebagai alat dan hamba Allah

di dunia. Bagaimana wajah Indonesia, itulah wajah tantangan GPIB.24 Dalam kenyataan

hubungan antara Gereja dan Masyarakat masih diwarnai oleh beban sejarah kolonial. Beban sejarah ini masih tetap dieksploitasi oleh pihak muslim khususnya.

Pihak muslim yang mayoritas masih sangat labil secara politis. Karena itu, kita masih harus bertanya kedepan, apakah negeri ini akan menjadi negeri nasionalis sungguh sungguh. Kemungkinan lain adalah negeri ini akan menjadi negeri Islam type Malaysia, type Turki, atau type Afganistan zaman Taliban. Dalam Islam sendiri ada banyak aliran. Ada yang keras, ada yang moderat, ada yang moderat. Pihak Islam moderat masih sangat banyak dan perkembangan theologia dikalangan Islam juga maju pesat. Namun ada persepsi yang tidak bisa dihindari bahwa negara negara barat berlaku tidak adil dalam ekonomi global, dengan hasil banyak penderitaan di negara negara berkembang, termasuk Indonesia.

24 Baca juga dokumen Pokok-Pokok Kebijakan Umum Panggilan Dan Pengutusan Gereja

(PKUPPG), Jakarta 2010 Bab-II: Tantangan Pelayanan yang dihadapi GPIB: GPIB hadir sebagai gereja mandiri ditengah situasi revolusi, dimana bangsa Indonesia berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Semangat merdeka yang khas abad XX pasti ikut mempengaruhi kehadiran dan pelayanannya. Bisa dimengerti bahwa dalam perjalanannya, GPIB ikut serta secara langsung mengalami pasang surut yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu GPIB dituntut senantiasa menyadari tantangan-tantangan yang dihadapinya. Tantangan itu bisa muncul sebagai tantanganh eksternal dan internal. Tentu saja kedua jenis tantangan ini berhubungan satu dengan yang lain. Bahkan sering terjadi tantangan eksternal dengan sendirinya juga menjadi tantangan internal Gereja, karena gereja memang harus ada dalam dunia sekalipun bukan dari dunia. Gereja harus mengembangkan diri agar mampu menjawab seluruh tantangan itu.


(14)

Belum lagi persepsi bahwa negara negara Barat itu adalah negeri negeri Kristen membuat persepsi masyarakat Islam terhadap Gereja masih tetap miring. Bukan hal yang rahasia lagi, bahwa perilaku negara negara barat yang besar dan kaya melahirkan reaksi di Indonesia berupa tekanan terhadap gereja.

GPIB hadir dalam suatu masyarakat yang yang memiliki begitu banyak sumber daya alam, akan tetapi masyarakatnya miskin secara akut. Kemiskinan ini sangat

didorong oleh kenyataan korupsi di negeri ini secara keseluruhan. Ada analisis yang

mengatakan bahwa korupsi ini banyak ditentukan oleh budaya setempat. Hal ini harus dipertimbangkan secara serius, mengingat begitu banyak negeri di Asia yang jauh lebih muda usianya, telah berkembang, sementara negeri ini makin terpuruk.

Sinyalemen bahwa korupsi dipicu oleh pengusaha non-pri harus berhadapan dengan kenyataan bahwa di negeri negeri di Asia dimana non-pri nya banyak justru sudah jauh lebih maju. Analisis lain meletakkan kesalahan pada penjajah dan sikap mental yang ditinggalkannya. Nyatanya bahkan ketika penjajah berganti rupa menjadi donator pun, kesulitan makin terasa. Makin terasa kebenaran saran Weber yang mengatakan bahwa Injil harus mentrasformasi budaya. Penolakan terhadap kehadiran gereja di Indonesia, khususnya wilayah pelayanan GPIB mungkin harus dimengerti dari sini.

GPIB hadir dalam suatu situasi dimana masyarakatnya sedang „diserbu‟ oleh

budaya global. Kehadiran budaya global ini ditentukan oleh tekhnologi informasi.

Maka semacam „culture shock‟ tidak bisa dihindarkan, sementara orang tetap berdalih bahwa „kita beda‟, baik dengan alasan budaya, maupun mayoritas agama. Patut dipertanyakan apakah dalih ini bukan sekedar alasan untuk „tidak mau berubah‟.


(15)

Kalau ini yang terjadi, maka akan muncul berbagai tindak kekerasan, sebagai reaksi balik atas „serbuan‟ budaya global itu. Ini akan merupakan merupakan sikap kalap karena kalah. Karena serbuan budaya global ini sangat kena mengena dengan masyarakat Barat, maka lagi lagi kehadiran Gereja akan jadi pertanyaan.

Dalam budaya global, orang harus menerima kenyataan pluralitas. Dalam

kenyataan seperti ini orang harus menerima perbedaan sebagai hal yang wajar, tanpa menjadikan perbedaan itu alasan untuk memusuhi. Perobahan paradigma dalam sikap mental dan budaya secara keseluruhan dibutuhkan untuk menghadapi semuanya ini. Mestinya kalau pergeseran paradigma ini berjalan baik, maka perbedaan kemudian malahan akan dilihat sebagai kekayaan. Ini yang mulai muncul dan sedang disosialisasikan, termasuk dalam bidang theologia.

Tanpa pretensi bahwa analisis ini sudah lengkap, mau dilihat satu hal lagi yang

merupakan tantangan bagi pelayanan Gereja, yakni kekerasan. Menghadapi kekerasan

yang terjadi kita jadi berpikir, apakah ini akumulasi dari berbagai frustrasi, ataukah ini merupakan wajah masyarakat yang sesungguhnya. Periode kekerasan yang sudah begitu panjang, menggoda kita untuk berpikir demikian. Ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa kekerasan kadang-kadang dengan model yang sama- terjadi di berbagai bagian dunia. Ada analisis yang mengatakan bahwa dibelakang kekerasan ada protes terhadap ketidak-adilan. Namun kalau kekerasan terlanjur disistimatisir dan dijadikan metode,


(16)

dilakukan oleh pihak yang menteror, yang ternyata menelan banyak sekali korban yang

tidak bersalah, dan tidak tahu apa apa.25

Ketika ditanya bagaimana peranan warga gereja dalam hal politik dalam konteks

Negara Indonesia Pdt.C.Wairata26 memberikan penjelasan bahwa peranan politik itu ada

pada potensi dan profesi masing-masing warga jemaat. Biar warga jemaat secara pribadi yang terlibat, gereja dalam hal ini hanya dapat membina warganya untuk tetap mengandalkan Kuasa Roh Kudus sehingga mereka dapat berkarya bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Banyak warga GPIB yang menjadi anggota DPR di tingkat pusat maupun daerah, bahkan sebagai hakim, jaksa, TNI dan Polri. Mereka berkarya dengan tidak mengatasnamakan

lembaga gereja (GPIB) tetapi sebagai anak Tuhan yang dipercayakan

Neraga/Pemerintah. Bersamaan dengan pendapat Pdt.Wairata, Pdt.Kaihatu27

memberikan penjelasan bahwa partisipasi politik warga gereja seperti peran dan fungsi garam. Ia tidak perlu nampak dan menonjol tetapi bekerja secara diam-diam untuk untuk memberikan manfaat bagi lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Gereja tidak perlu mendirikan partai politik atau berdemo dijalanan menentang korupsi dan tindakan diskriminasi yang bertentangan dengan hukum. Peranan gereja dalam hal ini membina warganya agar ia menjadi warga negara yang baik dengan mentaati undang-undang dan hukum yangt berlaku. Pertanyaan selanjutnya bagai mana dengan pemerintah yang otoriter dan korup tidak memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Pdt.Wairata, gereja harus dapat menunjukan suara kenabian

25 S.Th.Kaihatu, Pemahaman Iman Payung Teologi untuk mengejawantahkan Gereja Misioner

(Materi Bina Penatua dan Diaken), Periode 2010-2015.

26 Wawancara dengan Pdt.C.Wairata, Sekretaris Umum Majelis Sinode (Periode 2000-2005)

Tanggal 29 Januari 2014 di Jakarta.


(17)

mengoreksi pemerintah yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Seperti gambaran

dalam Wahyu.28 Gereja harus memakai pendekatan secara positif, kritis, kreatif, dan

realistis, dengan berdasarkan kepada Firman Tuhan dan tuntunan Roh Kudus. Menurut Pdt.C.Wairata berdasarkan pemikiran itulah maka lahir konsep jemaat misioner yang di gumuli oleh Pdt.D.R.Maitimoe. Dan inilah yang merupakan ciri khas dari GPIB sebagai

jemaat Misioner. 29 Semua potensi dan keberadaan jemaat dikelolah dan diberdayakan

untuk terwujudnya “Damai Sejahtera” bagi semua ciptaan. Oleh karena itu Pemahaman Iman sekarang ini agak berbeda dengan yang sebelumnya, karena pemahaman iman yang dibuat sekarang lebih menekankan kepada peranan Roh Kudus dalam kehidupan gereja di tengah bangsa dan negara.

Dalam poin 4 sampai dengan 7, semua rumusan memberikan tekanan spada peran dan kuasa Roh Kudus. Ketika ditanyakan mengapa peran Roh Kudus dalam keempat poin ini sangat menonjol. Pdt.C.Wairata mengatakan bahwa kuasa Roh Kudus

28 Wawancara dengan Pdt.Wairata.

29 Potensi Pembangunan Jemaat Misioner sesuai dengan PKUPPG-GPIB: Potensi

Internal:1.Persekutuan (kebersamaan) warga gereja pada seluruh wilayah pelayanan yang meliputi 25

propinsi di Indonesia. 2.Memiliki jalinan dan hubungan keesaan dengan gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan seluruh dunia (CCA,WCC,WCRC). 3.Harta milik pemberian Allah yang diterima sebagai warisan maupun yang diadakan, menjadi aset dalam mendukung panggilan dan pengutusan GPIB. 4.Memiliki sejumlah perangkat gereja: Pemahaman Iman, Tata Gereja, PKUPPG, Akta Gereja Tata Ibadah, serta ketetapan gereja lainnya. 5.Unit-unit Misioner kerja dan pelayanan terpadu, seperti unit kerja Penerbitan GPIB, Departemen-departemen, Yayasan-yayasan, Pusat pembinaan Warga Gereja dan Crisis Center. 6.Sistem pemerintahan gereja yang ditata berdasarkan asas Presbiterial Sinodal. 7.Pengalaman sejarah yang panjang berawal dari “de Indesche Kerk” serta tradisi gereja asal dari warganya yang beranega ragam yang merupakan suatu persekutuan dalam lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI).

Peluang Eksternal: 1.Warga gereja sebagai warga bangsa telah ikut berjuang merebut, mempertahankan

dan mengisi kemerdekaan RI, oleh karena itu memiliki hak hidup dan perlingdungan yang sama sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2) selaku konstitusi Negara. 2.GPIB sebagai organisasi adalah badan hukum yang sah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, sehingga berhak mendapatkan perlindungan dari Negara. 3.Perluasan kota yang diikuti dengan berbagai pembangunan termasuk pembangunan perumahan menyebabkan terjadinya penyebaran jemaat ke pemukiman baru, sehingga perlu antisipasi pembangunan gedung gereja dan pelanan baru. 4.Kemajuan sisitem informasi dan teknologi dapat mempermudah pola kerja, sistem komunikasi dan transportasi serta pengendalian jemaat. 5.Duduknya warga jemaat dalam lembaga-lembaga negara (Eksekutif, Legislatif,Yudikatif) dan LSM-LSM,Ormas, Orpol. Potensi ini perlu dibina sehingga diharapkan membawa suara kenabian ditempatnya bertugas.


(18)

yang memampukan gereja untuk tetap bertahan dalam situasi dan kondisi apapun. Gereja tetap hadir untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Sorga.

Salah seorang penulis Pemahman Iman (Hubungan Gereja dan Negara) Pdt.Ari

Ihalauw30 mengatakan bahwa rumusan dalam aline ke-dua (“berikan kepada kaisar apa

yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah punya”) janganlah dipahami sebagai suatu pemisahan antara gereja dan negara, tetapi dari rumusan ini ide yang mau diangkat adalah menempatkan negara dan gereja pada posisi yang sama sebagai hamba Allah. Dengan demikian masing-masing (gereja dan negara) punya tugas dan tanggungjawab yaitu melaksanakan kehendak Allah. Negara tidak bisa menginterfensi segala urusan dan tugas gereja atau sebaliknya gerejapun demikian. Tetapi keduanya harus mempunyai tugas yang sama yaitu menciptakan “Damai Sejahtera” bagi semua ciptaan. Ketika ditanyakan bagaimana peran gereja (orang kristen) Pdt.Ihalauw mengatakan ikutilah contoh dan teladan Tuhan Yesus. Sifat karakter dan pola pikir. Ajaran Yesus bukan hanya mengasihi sesama orang kristen tetapi seluruh umat manusia. Bahkan seluruh ciptaannNya/alam semesta.

Orang kristen juga harus menyadari kehadirannya di bumi Indonesia. Ia memiliki dua kewargaan negara. Warga negara kerajaan surga dan warga negara Indonesia sebagai satu bangsa yang Tuhan hadirkan untuk gereja berkarya. Ketika

ditanyakan bagaimana menghadirkan kerajaan sorga di Indonesia yang

pemerintahannya tidak seiman. Pdt Ihalauw mengatakan, yang kita lakukan bukan kehendak pemerintah tapi kehendak Tuhan. Siapapun pemerintahnya agama apa dia dari partai mana, tidaklah menjadi soal. Gereja harus berkarya bagi bangsa ini. Persoalannya

30 Wawancara dengan Pdt.Ari Ihalau, Penulis Pemahaman Iman, Pada tanggal 30 Januarai 2014


(19)

sering pemerintah yang berkuasa itu menunggangi agama untuk maksud dan tujuan tertentu. Inilah yang terjadi sekarang ini. Kalau demikian gereja harus berani menyuarakan suara kenabiannya. Bukan mengatasnamakan lembaga tetapi warga jemaat dengan potensi dan karunianya.

2.2. Materi Katekisasi

31

Uraian:

Gereja dan Negara : Membangun Hubungan yang Kreatif

Republik Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan itu diperjuangkan sebagai hak yang direbut dari tangan Belanda yang menjajah Indonesia. Negara ini didirikan di atas dasar yang disepakati bersama komponen bangsa saat itu yaitu Pancasila. Dasar ini menjamin kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, budaya dan latarbelakang social yang tersebar di berbagai pulau dan daerah di Nusantara. Semuanya diikat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk menata kehidupan bersama disusunlah UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan-Peraturan dan Peraturan Daerah, yang semuanya itu mengatur berbagai hal antara lain kehidupan beragama di dalamnya termasuk gereja sebagai lemaga yang melayani masyarakat dan bangsa Indonesia.

Secara Alkitabia, kita menelaah Firman Tuhan yang terdapat dalam Roma 13:1-17; Markus 12: 13-13:1-17; Lukas 20: 20-26; Yesaya 45:1-25; Wahyu 13:1-18. Walau gereja sudah berada dalam berbagai ancaman tetapi Rasul Paulus bersikap menghargai pemerintah sebagai hamba Tuhan. Sikap seperti ini sesungguhnya berlawanan dengan

31 Majelis Sinode GPIB XIX, Ketetapan Persidangan Sinode XIX tahun 2010, Buku Katekisasi.


(20)

sikap orang-orang Yahudi yang berjuang melawan pemerintah dan menebarkan teror yang meresahkan masyarakat. Orang Kristen diajak untuk menghormati pemerintah. Dengan cara itu orang-orang Kristen juga menuntut keadilan dari pemerintah, bahkan mendorong (mengkritik) pemerintah agar melakukan kebenaran dan menghindari kekejaman dan penindasan.

Orang Krsiten tidak dapat melepaskan diri dari ikatan dengan masyarakat dan bangsa, demikian pendirian Yesus. Ia sendiri menyatu dengan masyarakat Yahudi, tetapi juga dengan orang-orang Yunani dan Romawi yang bertemu denganNya. Orang-orang Kristen menyatakan tanggung jawab dan menjawab panggilan Tuhan tetapi juga terhadap masyarakat. Ketaatan kepada Tuhan dialami juga sebagai berkat bagi masyarakat dan bangsa yang dipimpin oleh pemerintah. Orang-orang kristen tidak dapat menghindari kewajiban-kewajibannya terhadap negara sebagaimana ia mengharapkan kewajiban-kewajibannya negara terhadap warga terwujud dalam masyarakat. Negara yang baik membuat warganya merasa berhutang atas berbagai perlindungan yang

diberikannya dengan menjamin keamanan dan kerukunan. Negara yang

bertanggungjawab pasti membuat warganya menghormatinya karena menerapkan hukum yang adil, menyediakan fasilitas-fasilitas umum (seperti trasportasi, pasar, listrik dsb,...) yang baik bagi masyarakat. Pemerintah yang baik akan menjaga keutuhan, sebab jika terjadi perpecahan, ia sendiri kehilangan wibawa dan negara menjadi runtuh, lalu hilanglah juga pemerintah.

Gereja sebagai persekutuan yang dipanggil Tuhan untuk hadir ditengah dan bersama masyarakat bekerjasama dengan pemerintah. Walau pemerintah itu kejam seperti pengalaman gereja perdana (dalam wahyu), gereja tetap melakukan tanggungjawabnya. Ada ketegangan-ketegangan dengan potensi konflik, tetapi gereja


(21)

harus berjuang untuk menyadarkan pemerintah atas kekeliruannya. Ada perlawanan terhadap pemerintah secara pasif oleh orang-orang kristen perdana melalui pengorbanan mereka. Pengorbanan itu menunjukan bahwa pemerintah telah menyimpang dan pada saatnya Tuhan menghukumnya.

Sebab bukan tidak mungkin Tuhan memakai pemerintah untuk membebaskan umatnya dari penderitaan. Pengakuan negara terhadap gereja (setelah melewati penganiayaan) pada abad 4 M merupakan bukti Tuhan bekerja. Pembebasan orang-orang Israel dari Babel yang kejam oleh Persia dan pembebasan untuk kembali membangun Israel oleh raja Persia (Koresh) merupakan tindakan Tuhan.

Hubungan antara gereja dan negara perlu dibangun secara kreatif. Negara dan Gereja tetap menjaga kemandirian masing-masing. Tidak boleh saling menguasai karena keduanya otonom dan bebas melakukan tugasnya. Dalam melaksanakan fungsinya masing-masing perlu dibangun usaha-usaha untuk saling melengkapi mencapai tujuan bersama yaitu perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Keduanya selalu berinteraksi baik melalui kehadiran warga maupun sebagai lembaga, di pusat maupun di daerah dalam semua aras.

Untuk itu Gereja dan Negara sama-sama berjuang untuk menciptakan undang-undang dan peraturan yang adil untuk kepentingan bersama sebagai satu masyarakat yang majemuk. Dengan undang-undang dan peraturan tersebut semua pihak melaksanakan tugas dalam kebersamaan yang tertata jelas, rapi tersusun dan membangun masa depan.

Penjelasan.

Butir yang terdapat dalam materi katekisasi yang sangat prinsip adalah rencana penyelamatan Allah bagi semua ciptaan. Dan itu adalah karya terbesar Allah melalui


(22)

anakNya Tuhan Yesus Kristus. Pernyataan ini disampaikan oleh Pdt.Ari Ihalauw32 sebagai penulis materi katekisasi. Bertitik tolak dari rencana penyelamatan Allah itulah maka lahir rumusan Pemahaman Iman, Materi Katekisasi, Akta Gereja sampai dengan Tata gereja dan lain sebagainya. Dengan memahami karya penyelamatan Allah maka gereja harus sadar akan kehadirannya di bumi Indonesia. Kemerdekaan yang kita miliki adalah anugerah dan berkat Allah. Bukan pemberian siapa-siapa (Belanda, Jepang dan Inggris). Tapi pemberian Tuhan. Karena itu adalah pemberian Allah maka gereja harus menjalaninya dengan rasa syukur dan bertanggung-jawab kepada Allah. Bukan kepada pemerintah atau negara.

Ketika ditanyakan apa maksudnya kemerdekaan adalah anugerah dan berkat Allah lalu bagaimana implikasinya bagi keberadaan gereja (GPIB) di Indonesia?. Kalu orang kristen taat hukum dan aturan-aturan yang berlaku di negara ini, harus dipahami adalah untuk kemuliaan Tuhan yakni hadirnya damai sejahtera. Hanya persoalannya hukum dan undang-undang yang berlaku itu apakah mencerminkan kehendak Allah atau kepentingan kelompok atau agama tertentu. Disnilah yang saya tidak setuju gereja terlibat dalam politik. Karena ia akan mengklem dirinya sebagai satu-satunya kebenaran dan menindas yang lain (contoh: seperti perang salib). Kita bisa membunuh dan menghancurkan orang lain dengan mengatasnamakan demi Tuhan. Apakah Tuhan mengajarkan kita untuk saling membunuh?. Bukankah Ia mengajarkan kita untuk saling mengasihi satu dengan yang lain?. Pertanyaan selanjutnya kalau demikian salah siapa? Manusianya yang salah memahami kehendak Allah. Dan agama juga ikut berperan mengklem dirinya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Ketika ditanyakan bagaiman dengan peran dan fungsi gereja (GPIB) dalam konteks negara kesatuan


(23)

Indonesia. Pdt.Ari Ihalauw33 menjelaskan gereja harus membangun hubungan yang kraetif dengan pemerintah dan negara (baca: materi katekisasi).

Ide tentang hubungan kreatif ini dibangun atas dasar sebagai hambah Allah untuk menghadirkan “Damai Sejahtera” di Indonesia. Sebab secara teologis, negara ditempatkan dalam hubungan dengan tindakan Tuhan untuk memelihara ciptaanNya. Negara tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi diperkenankan Tuhan untuk menjadi alat dalam pemeliharaan Tuhan terhadap dunia. Jadi negara tidak diciptakan oleh Tuhan tetapi merupakan wujud dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Naluri alaminya mendorong untuk membangun persekutuan. Manusia hidup dalam kebersamaan atau persekutuan dan sadar akan pentingnya tata aturan dan kebiasaan antara lain dalam hal membentuk negara. Dapat dikatakan hal tersebut merupakan karunia Tuhan untuk manusia (bandingkan kejadian 1:28). Dapat dikatakan bahwa keberadaan negera berhubungan dengan tindakan Tuhan untuk memelihara ciptaanNya dengan cara

melindungi (conservation), berada bersama-sama (concurcus) dan memerintah

(gubernatio).

Dalam rangka itu Tuhan memberi kuasa kepada negara. Kuasa itu dijalankan oleh pemerintah sebagai hamba Allah. Sebagai hamba, pemerintah bertugas memberikan perlindungan kepada masyarakat, berada (bekerja dan berjuang) bersama-sama warganya, serta memerintah dalam arti mengatur dan menata sehingga ada kesejahteraan bersama serta masyarakat mengabdi dan memuliakan Tuhan. Jadi peran dan fungsi gereja (orang kristen) adalah menghadirkan keselamatan di Indonesia. Bagaimana caranya? Jangan berpikir parsial atau pengkotak kotakan. Hanya kristen saja yang diselamatkan, diluar kristen tidak ada keselamatan. Keselamatan itu sangat


(24)

universial bagi semua mahkluk ciptaan tanpa agama. Persoalannya ketika masing-masing agama mengklem dirinya sebagai satau-satunya sumber keselamatan maka ia tidak membuka peluang bagi keselamatan Allah ada pada agama lain. Yang membuat keselamatan ini menjadi berjenis-jenis dan berbeda adalah konsep berpikir idiologi manusia yang mengimplemenstasikan kehendak Allah yang membebaskan menurut kepentingan organisasinya.

Jangan kita hanya bicara keselamatan dari pihak kristen saja atau Islam saja tapi bagaimana keselamatan itu tercipta bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat agama masing-masing. Disinilah peran dan fungsi negara untuk berdiri netral dengan tidak berpihak kepada agama tertentu. Kalau sampai pemerintan/negara mengelolah bangsa ini dengan berlandaskan kepada salah satu agama saja, maka akan sulit terciptanya keselamatan di Indonesia (Damai Sejahtera). Keselamatan Allah kepada bangsa Indonesia telah nyata dalam kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan tidak mengatasnamakan agama, tetapi melawan penjajahan dan penindasan yang telah menghancurkan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah. Itulah yang harus kita perjuangan bersama sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu menurut saya yang terbaik dilakukan gereja (orang kristen) adalah berani menyampaikan suara kenabian dan bebas dari politik dan gereja (secara lembaga) harus membina warga jemaat untuk berperan serta dalam sisitem politik nasional tanpa harus membawa embel-embel agama (gereja).


(25)

2.3. Akta gereja

34

Akta tentang Bangsa dan Negara. Sumpah Jabatan.

1. Masalah:

1.1.Pelayanan Gereja terhadap masyarakat masyarakat termasuk pula partisipasi

gereja dalam upacara kemasyarakatan.

1.2.Dalam hal sumpah jabatan, pihak pemerintah telah mengatur tata Cara dan

mempunyai rumusan-rumusan yang tetap.

1.3. Penggunaan Toga/Pakaian Jabatan Pendeta dalam Upacara pengambilan sumpah

jabatan oleh mereka yang bukan Pendeta tidak dibenarkan.

2. Kesimpulan Pembahasan :

2.1. Majelis Sinode perlu mengemukakan pandangan kepada Departemen Agama

R.I. melalui dan bersama PGI tentang formulasi sumpah / janji jabatan,

maupun mengenai penggunaan pakaian jabatan;

2.2. Sejauh hal diatas belum mendapatkan ketentuan yang jelas, Majelis Sinode

mengatur hal pengambilan sumpah / janji jabatan;

3. Prinsip Penyelesaian :

34

Suatu pernyataan resmi gereja yang merupakan pengakuan dan keputusan gereja yanmg disahkan dan diputuskan bersama dalam dan melalui ketentuan-ketentuan yang ada. Akta gereja bagi GPIB adalah merupakan pokok-pokok penyelesaian persoalan kehidupan yang dihadapi oleh warga jemaat yang disoroti dari hasil pembahasan teologis sesuai ajaran gereja yakni pemahaman iman GPIB. (Terdiri dari paparan masalah, simpulan pembahasan, prinsip penyelesaian dan petunjuk penyelesaian). Sesuai ketetapan Persidangan Sinode XIX tahun 2010 Akta Gereja terdiri dari: I.Akta tentang Keluara (Pertunangan, Perkawinan, Perkawinan Camapuran, Perceraian, Bayi Tabung, Orang tua tunggal, Alat Kelamin Buatan). II.Akta tentang Hak-hak asasi manusia (Operasi Kelainan Alat Kelamin, Euthanasia, Abortus, Homoseks, Poligami, Biseks, Penjualan Organ Tubuh, Penggunaan Rahim Orang lain. III. Akta tetang Gereja (Pembaharuan Pengakuan, Gerakan Kharismatik, Pembentukan Gereja Baru, Wilayah Pelayanan, Persekutuan Oikumene Umat Kristen. IV.Akta tentang bangsa danNegara (Sumpah Jabatan). V. Akta tentang Gereja dan Msyarakat (Aids, Narkoba).


(26)

Kehadiran Pendeta harus dipahami sebagai „mendampingi‟ warga gereja yang

diambil sumpah / janji jabatan yang mempunyai makna – memberi dukungan

spiritual bagi yang bersangkutan, untuk mendorongnya melihat bidang pekerjaannya sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di tengah masyarakat.

4. Petunjuk Pelaksanaan35 :

4.1.Diarahkan dan diusahakan agar di dalam pelaksanaannya, yang diucapkan

adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan

sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan kata-kata “Demi Allah”.

4.2.Hendaknya warga GPIB yang diambil sumpah / janjinya didampingi oleh

Pendeta GPIB. Dalam keadaan benar-benar tidak ada tenaga Pendeta dapat didampingih oleh Presbiter lainnya tanpa menggunakan toga dan Majelis Jemaat yang menunjukannya segera melaporkan kepada Majelis Sinode.

4.3.Pelaksanaan pengambilan sumpah/janji Jabatan ini wajib menggunakan

pedoman yang telah digariskan oleh Majelis Sinode.

Penjelasan.

Prinsip dasar dari akta ini adalah Kehadiran Pendeta harus dipahami sebagai „mendampingi‟ warga gereja yang diambil sumpah/janji jabatan yang mempunyai makna memberi dukungan spiritual bagi yang bersangkutan, untuk mendorongnya melihat bidang pekerjaannya sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di tengah masyarakat.

Jadi ketika seseorang diambil sumpah atau janji yang didampingi oleh seorang Pendeta maka hal ini harus dilihat dalam kerangka pertanggungjawaban kepada Allah atas jabatan yang diterimanya.


(27)

Jabatan itu menurut penjelasan Pdt.Kaihatu36 berkaitan dengan kepercayaan bukan wewenang. Kalau jabatan itu adalah kepercayaan maka suatu ketika jabatan itu akan berakhir dan tidak kekal. Sang pejabat harus sadar bahwa janji yang diucapkan itu punya makna ganda secara organisasi ia bertanggungjawab kepada instansi dimana ia bekerja tetapi sebagai orang beriman (warga GPIB) ia bertanggungjawab kepada Allah, dalam seluruh tingkah laku dan perbuatannya selama ia bekerja. Jadi kedudukan antara Pemerintan/Negara dalam hal ini adalah sama dengan, Gereja (yang diwakili oleh Pdt) yakni memberi pertanggungjawaban kepada Allah. Ketika ditanyakan mengapa

rumusan tersebut tidak menggunakan kata sumpah tetapi kata janji. Pdt.Joel.E Klokke37

mengakatakan bahwa ajaran kristen seperti tertulis dalam Injil Matius 5:34-37 dan Yakobus 5:12. Memberi pemahaman bahwa orang kristen tidak boleh mengucapkan sumpah demi sorga atau demi bumi atau kepada siapapun, tetapi ia harus mengatakan ya, jika ya dan jika tidak ia harus katakan tidak. Dengan demikian maka kita dituntut untuk lebih takut kepada Tuhan dari pada takut kepada manusia. Oleh karena itu dalam rumusannya dikatakan bahwa:

dalam pelaksanaannya, yang diucapkan adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan

kata-kata “Demi Allah”.38

Dijelaskan pula bahwa Akta gereja yang ada sekarang ini merupakan petunjuk teknis bagi para presbiter atau warga gereja dalam menyikapi persoalan-persoalan masyarakat yang dihadapi gereja di tengah bangsa dan negara. Oleh karena itu akta gereja ini sering kali bisa berubah tergantung isu-isu apa yang perlu disikapi gereja dalam kerangka melaksanakan tugas dan panggilannya.

36

Pdt.S.Th, Kaihatu. Penulis Akta GPIB, Wawancara Tanggal, 25 Januari 2014 di Jakarta.

37 Pdt.J.E. Klokke. Penulis Akta Gereja, Wawancara Tanggal 20 Ferbuarai 2014 di Panggal

Pinang .


(28)

2.4. Kesimpulan Rumusan Teologi Politik GPIB

1. Rumusan Teologi Politik GPIB bertitik tolak dari rencana keselamatan

Allah kepada umat manusia melalui kehadiran Tuhan Yesus Kristus ke dalam dunia. Dan gereja sebagai tubuh Kristus melanjutkan misi tersebut dengan menghadirkan Shalom “Damai Sejahtera” di tengah dunia dimana gereja itu berada.

2. Pemerintah atau Negara memperoleh kedudukan yang sama dengan gereja

sebagai hamba Allah. Masing-masing memberikan pertanggungjawaban kepada Allah sebagai sumber kuasa, yang mempercayakan kuasa tersebut kepada pemerintah/negara dan gereja untuk melaksanakan kehendak Allah.

3. Dalam melaksanakan kehendak dan rencana Allah, GPIB lebih menekankan

kepada pembinaan spiritual warga jemaat dalam kerangka partisipasi politik, baik di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.

4. Latarbelakang sejarah dan sistem “Presbiterial Sinodal” seringkali menjadi hambatan dalam menyikapi peran dan fungsi gereja menyuarakan suara kenabian.

5. Ide-ide yang lahir dalam rumusan Teologi Politik bersumber dari kutipan

ayat-ayat Alkitab, yang tidak mencerminkan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural. (Misalnya: kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan penegakan hukum dll).


(1)

Indonesia. Pdt.Ari Ihalauw33 menjelaskan gereja harus membangun hubungan yang kraetif dengan pemerintah dan negara (baca: materi katekisasi).

Ide tentang hubungan kreatif ini dibangun atas dasar sebagai hambah Allah

untuk menghadirkan “Damai Sejahtera” di Indonesia. Sebab secara teologis, negara

ditempatkan dalam hubungan dengan tindakan Tuhan untuk memelihara ciptaanNya. Negara tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi diperkenankan Tuhan untuk menjadi alat dalam pemeliharaan Tuhan terhadap dunia. Jadi negara tidak diciptakan oleh Tuhan tetapi merupakan wujud dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Naluri alaminya mendorong untuk membangun persekutuan. Manusia hidup dalam kebersamaan atau persekutuan dan sadar akan pentingnya tata aturan dan kebiasaan antara lain dalam hal membentuk negara. Dapat dikatakan hal tersebut merupakan karunia Tuhan untuk manusia (bandingkan kejadian 1:28). Dapat dikatakan bahwa keberadaan negera berhubungan dengan tindakan Tuhan untuk memelihara ciptaanNya dengan cara melindungi (conservation), berada bersama-sama (concurcus) dan memerintah

(gubernatio).

Dalam rangka itu Tuhan memberi kuasa kepada negara. Kuasa itu dijalankan oleh pemerintah sebagai hamba Allah. Sebagai hamba, pemerintah bertugas memberikan perlindungan kepada masyarakat, berada (bekerja dan berjuang) bersama-sama warganya, serta memerintah dalam arti mengatur dan menata sehingga ada kesejahteraan bersama serta masyarakat mengabdi dan memuliakan Tuhan. Jadi peran dan fungsi gereja (orang kristen) adalah menghadirkan keselamatan di Indonesia.


(2)

universial bagi semua mahkluk ciptaan tanpa agama. Persoalannya ketika masing-masing agama mengklem dirinya sebagai satau-satunya sumber keselamatan maka ia tidak membuka peluang bagi keselamatan Allah ada pada agama lain. Yang membuat keselamatan ini menjadi berjenis-jenis dan berbeda adalah konsep berpikir idiologi manusia yang mengimplemenstasikan kehendak Allah yang membebaskan menurut kepentingan organisasinya.

Jangan kita hanya bicara keselamatan dari pihak kristen saja atau Islam saja tapi bagaimana keselamatan itu tercipta bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat agama masing-masing. Disinilah peran dan fungsi negara untuk berdiri netral dengan tidak berpihak kepada agama tertentu. Kalau sampai pemerintan/negara mengelolah bangsa ini dengan berlandaskan kepada salah satu agama saja, maka akan sulit terciptanya keselamatan di Indonesia (Damai Sejahtera). Keselamatan Allah kepada bangsa Indonesia telah nyata dalam kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan tidak mengatasnamakan agama, tetapi melawan penjajahan dan penindasan yang telah menghancurkan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah. Itulah yang harus kita perjuangan bersama sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu menurut saya yang terbaik dilakukan gereja (orang kristen) adalah berani menyampaikan suara kenabian dan bebas dari politik dan gereja (secara lembaga) harus membina warga jemaat untuk berperan serta dalam sisitem politik nasional tanpa harus membawa embel-embel agama (gereja).


(3)

2.3. Akta gereja

34

Akta tentang Bangsa dan Negara. Sumpah Jabatan.

1. Masalah:

1.1.Pelayanan Gereja terhadap masyarakat masyarakat termasuk pula partisipasi gereja dalam upacara kemasyarakatan.

1.2.Dalam hal sumpah jabatan, pihak pemerintah telah mengatur tata Cara dan mempunyai rumusan-rumusan yang tetap.

1.3. Penggunaan Toga/Pakaian Jabatan Pendeta dalam Upacara pengambilan sumpah jabatan oleh mereka yang bukan Pendeta tidak dibenarkan.

2. Kesimpulan Pembahasan :

2.1. Majelis Sinode perlu mengemukakan pandangan kepada Departemen Agama R.I. melalui dan bersama PGI tentang formulasi sumpah / janji jabatan, maupun mengenai penggunaan pakaian jabatan;

2.2. Sejauh hal diatas belum mendapatkan ketentuan yang jelas, Majelis Sinode mengatur hal pengambilan sumpah / janji jabatan;

3. Prinsip Penyelesaian :

34

Suatu pernyataan resmi gereja yang merupakan pengakuan dan keputusan gereja yanmg disahkan dan diputuskan bersama dalam dan melalui ketentuan-ketentuan yang ada. Akta gereja bagi GPIB adalah merupakan pokok-pokok penyelesaian persoalan kehidupan yang dihadapi oleh warga jemaat yang disoroti dari hasil pembahasan teologis sesuai ajaran gereja yakni pemahaman iman GPIB.


(4)

Kehadiran Pendeta harus dipahami sebagai „mendampingi‟ warga gereja yang diambil sumpah / janji jabatan yang mempunyai makna – memberi dukungan spiritual bagi yang bersangkutan, untuk mendorongnya melihat bidang pekerjaannya sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di tengah masyarakat. 4. Petunjuk Pelaksanaan35 :

4.1.Diarahkan dan diusahakan agar di dalam pelaksanaannya, yang diucapkan adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan kata-kata “Demi Allah”. 4.2.Hendaknya warga GPIB yang diambil sumpah / janjinya didampingi oleh

Pendeta GPIB. Dalam keadaan benar-benar tidak ada tenaga Pendeta dapat didampingih oleh Presbiter lainnya tanpa menggunakan toga dan Majelis Jemaat yang menunjukannya segera melaporkan kepada Majelis Sinode.

4.3.Pelaksanaan pengambilan sumpah/janji Jabatan ini wajib menggunakan pedoman yang telah digariskan oleh Majelis Sinode.

Penjelasan.

Prinsip dasar dari akta ini adalah Kehadiran Pendeta harus dipahami sebagai

„mendampingi‟ warga gereja yang diambil sumpah/janji jabatan yang mempunyai

makna memberi dukungan spiritual bagi yang bersangkutan, untuk mendorongnya melihat bidang pekerjaannya sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di tengah masyarakat.

Jadi ketika seseorang diambil sumpah atau janji yang didampingi oleh seorang Pendeta maka hal ini harus dilihat dalam kerangka pertanggungjawaban kepada Allah atas jabatan yang diterimanya.


(5)

Jabatan itu menurut penjelasan Pdt.Kaihatu36 berkaitan dengan kepercayaan bukan wewenang. Kalau jabatan itu adalah kepercayaan maka suatu ketika jabatan itu akan berakhir dan tidak kekal. Sang pejabat harus sadar bahwa janji yang diucapkan itu punya makna ganda secara organisasi ia bertanggungjawab kepada instansi dimana ia bekerja tetapi sebagai orang beriman (warga GPIB) ia bertanggungjawab kepada Allah, dalam seluruh tingkah laku dan perbuatannya selama ia bekerja. Jadi kedudukan antara Pemerintan/Negara dalam hal ini adalah sama dengan, Gereja (yang diwakili oleh Pdt) yakni memberi pertanggungjawaban kepada Allah. Ketika ditanyakan mengapa rumusan tersebut tidak menggunakan kata sumpah tetapi kata janji. Pdt.Joel.E Klokke37 mengakatakan bahwa ajaran kristen seperti tertulis dalam Injil Matius 5:34-37 dan Yakobus 5:12. Memberi pemahaman bahwa orang kristen tidak boleh mengucapkan sumpah demi sorga atau demi bumi atau kepada siapapun, tetapi ia harus mengatakan ya, jika ya dan jika tidak ia harus katakan tidak. Dengan demikian maka kita dituntut untuk lebih takut kepada Tuhan dari pada takut kepada manusia. Oleh karena itu dalam rumusannya dikatakan bahwa:

dalam pelaksanaannya, yang diucapkan adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan kata-kata “Demi Allah”.38

Dijelaskan pula bahwa Akta gereja yang ada sekarang ini merupakan petunjuk teknis bagi para presbiter atau warga gereja dalam menyikapi persoalan-persoalan masyarakat yang dihadapi gereja di tengah bangsa dan negara. Oleh karena itu akta gereja ini sering kali bisa berubah tergantung isu-isu apa yang perlu disikapi gereja


(6)

2.4. Kesimpulan Rumusan Teologi Politik GPIB

1. Rumusan Teologi Politik GPIB bertitik tolak dari rencana keselamatan Allah kepada umat manusia melalui kehadiran Tuhan Yesus Kristus ke dalam dunia. Dan gereja sebagai tubuh Kristus melanjutkan misi tersebut dengan menghadirkan Shalom “Damai Sejahtera” di tengah dunia dimana gereja itu berada.

2. Pemerintah atau Negara memperoleh kedudukan yang sama dengan gereja sebagai hamba Allah. Masing-masing memberikan pertanggungjawaban kepada Allah sebagai sumber kuasa, yang mempercayakan kuasa tersebut kepada pemerintah/negara dan gereja untuk melaksanakan kehendak Allah. 3. Dalam melaksanakan kehendak dan rencana Allah, GPIB lebih menekankan

kepada pembinaan spiritual warga jemaat dalam kerangka partisipasi politik, baik di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.

4. Latarbelakang sejarah dan sistem “Presbiterial Sinodal” seringkali menjadi

hambatan dalam menyikapi peran dan fungsi gereja menyuarakan suara kenabian.

5. Ide-ide yang lahir dalam rumusan Teologi Politik bersumber dari kutipan ayat-ayat Alkitab, yang tidak mencerminkan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural. (Misalnya: kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan penegakan hukum dll).