Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942010038 BAB II

(1)

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Evaluasi Program

Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation, yang berarti penilaian. Wandt dan Brown, sebagaimana dikutip Anas Sudijono (2003:1) menyatakan bahwa “evaluation is refer to the act or process to determining the value of something” (evaluasi menunjuk kepada tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu). Dalam praktik, penggunaan istilah evaluasi ini sering rancu dengan istilah pengukuran dan penilaian. Kenyataan seperti ini dapat dipahami, mengingat ketiga istilah tersebut memang saling kait mengkait sehingga sulit dibedakan. Berhubung dengan itu, Griffin & Nix (1991:3) menyatakan bahwa:

Measurement, assessment and evaluation are hierarchial. The comparison of observation with the criteria is a measurement, the interpretation and description of the evidence is an assessment and the judgement of the value or implication of the behavior is an evaluation.

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa pengukuran, penilaian dan evaluasi bersifat hierarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment),


(2)

10 sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran diartikan sebagai kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, penilaian merupakan kegiatan menafsirkan dan mendeskripsikan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi merupakan penetapan nilai atau implikasi dari perilaku. Sementara, Arikunto (2003:1) menyatakan bahwa pengukuran bersifat kuantitatif, yaitu membandingkan sesuatu dengan satu ukuran; penilaian bersifat kualitatif, yakni mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk; sedangkan evaluasi meliputi keduanya, baik pengukuran maupun penilaian.

Banyak rumusan evaluasi pernah dikemukakan para pakar dari berbagai sudut pandang. Menurut Greenberg (Sudarsono, 1994:1) mengartikan evaluasi sebagai “the procedure by which programs are studied to ascertain their effectiveness in the fulfillment of goals”. Sedangkan Komite Studi Nasional tentang evaluasi (National Study Committee on Evaluation) dari UCLA (Stark & Thomas,1994:12), menyatakan bahwa

evaluation is the process of ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives”


(3)

11 (Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya). Worthen & Sanders (Sudarsono, 1994:2) mengartikan evaluasi sebagai

“the determination of the worth of a thing. It

includes obtaining information for use in judging the worth of a program, product, procedure or objective, or the potential utility of alternative approaches designed to attain

specified objective”.

Dari berbagai rumusan tersebut, tampak bahwa makna evaluasi dipahami dalam konteks kegiatan atau pelaksanaan suatu program yang memiliki tujuan akan kriteria keberhasilan program. Istilah “program” dalam hal ini, secara umum dapat berarti rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan (Arikunto, 2008:3-4); secara khusus dapat pula berarti kegiatan yang direncanakan dengan seksama. Apabila program ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program, maka “program” diartikan sebagai satu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Menurut Widoyoko (2009:8), ada empat unsur pokok untuk dapat dikategorikan sebagai program, yaitu:


(4)

12 (a) kegiatan tersebut direncanakan dengan

saksama, (b )kegiatan tersebut berlangsung secara berkelanjutan dari satu kegiatan ke kegiatan lain, (c )kegiatan tersebut berlangsung dalam sebuah organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi nonformal bukan kegiatan individual, dan (d )kegiatan tersebut dalam implementasinya melibatkan banyak orang.

Selain itu, dalam berbagai rumusan evaluasi di atas secara implisit juga terkandung adanya kriteria yang dipakai untuk menentukan nilai dan adanya hal yang dinilai. Di dalam konteks pelaksanaan program, kriteria yang dimaksud adalah kriteria keberhasilan program dan hal yang dinilai dapat berupa prosesnya itu sendiri, atau dampak atau hasil yang dicapai. Ada dua konsep yang terkandung di dalamnya, yaitu efektivitas yang merupakan rasio antara output terhadap inputnya, dan konsep efisiensi yang merupakan taraf pendayagunaan input untuk menghasilkan output lewat suatu proses. Oleh karena itu di dalam evaluasi, evaluator dapat menetapkan tujuan utama kegiatannya, apakah akan menjajagi atau mengukur efektivitas program, ataukah efisiensinya, atau mungkin prosesnya. Keputusan untuk apa hasil evaluasi akan tergantung pada pertanyaan untuk apa dan kepada siapa evaluasi itu dilakukan.

Suchman, sebagaimana dikutip Sudarsono (1994:2) menyatakan bahwa di dalam merumuskan evaluasi ada tiga elemen konsep pokok yang harus diingat, yaitu:


(5)

13 (1) adanya intervensi diberikan sengaja terhadap

program yang direncanakan, (2) adanya tujuan atau sasaran yang diinginkan atau diharapkan dan mempunyai nilai positif, (3) adanya metode untuk menentukan taraf pencapaian tujuan sebagaimana diharapkan.

Di dalam melakukan evaluasi, evaluator hendaknya tidak hanya menanyakan perubahan, cara yang dipakai, tetapi juga mengapa suatu program itu berhasil atau efektif dan yang lain tidak. Untuk menjawab pertanyaan itu di dalam evaluasi hendaknya dipertanyakan: (1) hal-hal yang menyebabkan program berhasil atau gagal dalam program itu sendiri, (2) populasi yang diberi pelayanan dengan program itu merasakan ada hasilnya atau tidak, (3) konteks situasi di mana program dilaksanakan termasuk sikap kecurigaan, pendapat masyarakat, lokasi, program lain yang sejenis, (4) macam-macam dampak yang berbeda yang dihasilkan oleh program seperti aspek kognitif, sikap, perilaku, tunggal atau hasil majemuk, jangka pendek atau jangka panjang dan termasuk efek negatif sampingan atau yang tidak diharapkan dan direncanakan.

Selanjutnya, Sudarsono (1994:3) menyatakan bahwa penyebutan penelitian evaluasi mempunyai konotasi sebagai kegiatan pengumpulan data atau informasi tentang pencapaian tujuan, proses dan pelaksanaan program yang dilakukan secara sistematik dan metodologik ilmiah sehingga


(6)

14 menghasilkan data yang akurat dan obyektif, dan hasil tersebut dipergunakan untuk menentukan nilai atau tingkat keberhasilan program dilihat dari segi efektifitas maupun efisiensinya untuk pertimbangan apakah program dilanjutkan dan dikembangkan, apakah dimodifikasi, atau dihentikan.

Atas dasar pengertian program seperti itu, evaluasi program dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka menentukan kebijakan selanjutnya yang lebih tepat.

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Evaluasi Program

Tujuan dari diadakannya evaluasi program adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya atau penyusunan kebijakan yang terkait dengan program (Widoyoko, 2009:6). Dengan evaluasi, evaluator dapat mengetahui tingkat pencapaian tujuan program, sehingga ia dapat mengetahui bagian mana dari


(7)

15 komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya.

Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan (decision maker). Arikunto (2008:22) melihat ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program, yaitu:

a) menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan; b) merevisi program, karena ada

bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit).

c) Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat;

d) Menyebarluaskan program (melaksana-kan program di tempat-tempat lain atau mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.


(8)

16 Sementara itu, menurut Widoyoko (2009:11-14), kegunaan atau manfaat evaluasi program sebagai salah satu program bidang pendidikan meliputi: (a) mengkomunikasikan program kepada publik, (b) menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, (c) penyempurnaan program yang ada, dan (d) meningkatkan partisipasi. Sekolah memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan efektifitas program pembelajarannya kepada orang tua maupun publik lainnya melalui hasil-hasil evaluasi yang dilaksanakan, dengan demikian publik dapat menilai tentang efektifitas program pembelajaran dan memberikan dukungan yang diperlukan. Selain itu, informasi yang dihasilkan dari evaluasi program pembelajaran akan berguna bagi setiap tahapan dari manajemen sekolah mulai sejak perencanaan, pelaksanaan ataupun ketika akan mengulangi dan melanjutkan program pembelajaran. Hasil evaluasi yang akurat dapat dijadikan dasar bagi pembuat keputusan, agar dapat memutuskan sesuatu secara tepat, misalnya dalam menunjang pembuatan keputusan tentang penyusunan program pembelajaran berikutnya, kelangsungan program pembelajaran, dan dalam memodifikasi program.

Evaluasi program pembelajaran juga dapat membantu upaya-upaya untuk menyempurnakan jalannya program pembelajaran sehingga lebih efektif. Dengan instrumen yang ada, hasil yang dicapai dapat


(9)

17 diukur dan didiagnosis. Berbagai kelemahan dan kendala yang mungkin timbul dapat ditemukan dan dikenali, kemudian dianalisis serta ditentukan alternatif pemecahannya yang paling tepat. Selain itu, dengan adanya informasi hasil evaluasi program pembelajaran, maka orang tua atau masyarakat akan terpanggil untuk berpartisipasi dan ikut mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Hasil evaluasi program pembelajaran yang dimasyarakatkan akan menggugah kepedulian masyarakat terhadap program pembelajaran, menarik perhatiannya, dan akhirnya akan menumbuhkan rasa ikut memiliki (self of belonging). Apabila hal ini terbina dengan baik, maka akan tercipta suatu kontrol yang ikut memacu dan mengawasi kualitas pembelajaran.

2.1.3 Model Evaluasi Program

Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu program. Berbagai model evaluasi program tersebut, ada yang dikategorikan berdasarkan ahli yang menemukan dan mengembangkannya, tetapi ada pula yang memilah sesuai dengan sifat kerjanya.

Gardner (Joan S. Stark & Alice Thomas, 1994:7) mengemukakan lima definisi dasar dari evaluasi yang menjadi kerangka kerja evaluasi dalam pendidikan, yaitu


(10)

18 (1) evaluation as measurement, (2) evaluation as

professional judgment, (3) evaluation as the assessment of congruence between performance and objectives (or standards of performance), (4) decision-oriented evaluation, and (5) goal free/responsive evaluation.

Sementara itu, Kaufman dan Thomas Arikunto, 2008:40) membedakan model evaluasi menjadi delapan, diantaranya yaitu:

a) Goal Oriented Evaluation Model

Model ini dikembangkan oleh Tyler, merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi obyek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini, sejak awal proses, evaluator memantau tujuan secara terus-menerus, apakah sudah dapat dicapai. Dengan kata lain, evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan, untuk mencek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program.

b) Goal Free Evaluation Model

Model ini dikembangkan oleh Michael Scriven. Berlawanan dengan model yang pertama, model Goal Free Evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan. Menurut Michael Scriven, dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan oleh evaluator adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan


(11)

19 mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang tidak diharapkan).

c) Formatif-Summatif Evaluation Model

Selain model Goal Free Evaluation, Michael Scriven juga mengembangkan model Formatif-Summatif. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif). Berbeda dengan Goal Free Evaluation, pada model ini dalam melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif. Tujuan evaluasi formatif adalah untuk mengetahui seberapa jauh program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi hambatan yang dihadapi. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.

Evaluasi sumatif dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program. Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program pembelajaran


(12)

20 dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu di dalam kelompoknya. Mengingat bahwa obyek sasaran dan waktu pelaksanaan berbeda antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif maka lingkup sasaran yang dievaluasi juga berbeda.

d) Countenance Evaluation Model

Model ini dikembangkan oleh Stake. Model ini menekankan pada adanya dua langkah pokok yang terjadi selama proses evaluasi, yaitu (1) deskripsi (description) dan (2) pertimbangan (judgments); serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu (1) anteseden (antecedents/context), (2) transaksi (transaction/process), dan (3) keluaran (output-outcomes). Tiga tahap tersebut menunjukkan obyek atau sasaran evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi, evaluator harus mampu mengidentifikasi tiga hal, yaitu (1) anteseden- yang diartikan sebagai konteks-, (2) transaksi-yang diartikan sebagai proses-, dan (3) outcomes- yang diartikan sebagai hasil.

Deskripsi menyangkut dua hal yang menunjukkan posisi tertentu yang menjadi sasaran evaluasi, yaitu apa maksud/tujuan yang diharapkan oleh program, dan pengamatan/akibat, atau apa yang sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul terjadi. Selanjutnya, evaluator masuk ke langkah pertimbangan, yang dalam langkah tersebut mengacu


(13)

21 pada standar. Menurut Stake, ketika evaluator tengah mempertimbangkan program pendidikan, mereka mau tidak mau harus melakukan dua pertimbangan, yaitu (1) membandingkan kondisi hasil evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di program lain, dengan obyek sasaran yang sama, (2) membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program dengan standar yang diperuntukkan bagi program yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang akan dicapai.

e) CSE-UCLA Evaluation Model

CSE merupakan singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari University of California at Los Angeles. Ciri dari model ini adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dan dampak. Fernandes (1984) memberikan penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap, yaitu (1) needs assessment, (2) program planning, (3) formative evaluation, dan (4) summative evaluation.

Pada tahap needs assessment, evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah. Pertanyaan yang diajukan meliputi (a) hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keberadaan program, (b) kebutuhan apakah yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program ini, (c) tujuan jangka panjang apakah yang


(14)

22 dapat dicapai melalui program ini?. Dalam tahap program planning, evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap needs assessment. Dalam tahap perencanaan ini, program PBM misalnya dievaluasi dengan cermat untuk mengevaluasi apakah rencana pembelajaran telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan. Evaluasi tahap ini tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan.

Pada tahap formative evaluation, evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan program. Dengan demikian, evaluator diharapkan betul-betul terlibat dalam program karena harus mengumpulkan data dan berbagai informasi dari pengembang program. Sedangkan pada tahap summative evaluation, evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui apakah tujuan yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.

f) CIPP Evaluation Model

Model ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator.


(15)

23 Pendekatan evaluasi model CIPP (Context, Input, Process dan Product) dikembangkan oleh Stufflebeam di Ohio State University pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act) (Eko Putro Widoyoko, 2009:181). Pendekatan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa tujuan paling penting evaluasi bukan untuk membuktikan, tetapi untuk memperbaiki. The CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but to improve (Madaus, Scriven, Stufflebeam, 1993:118). Keempat kata tersebut (Context, Input, Process dan Product) merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan.

Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan program, kebutuhan yang tidak terpenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani, dan tujuan program. Evaluasi konteks membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program. Evaluasi konteks menurut Arikunto (2008:46) dilakukan untuk menjawab pertanyaan: (a) kebutuhan apa yang belum dipenuhi oleh kegiatan program, (b) tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan, dan (c) tujuan manakah yang paling mudah dicapai.


(16)

24 Evaluasi masukan menunjuk pada kemampuan awal siswa dan sekolah dalam menunjang suatu program. Evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana strategi untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi: (a) sumber daya manusia, (b) sarana dan peralatan pendukung, (c) dana/anggaran, dan (d) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan (Widoyoko, 2009:182). Menurut Stufflebeam, pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada pemecahan masalah yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.

Evaluasi proses pada model CIPP menunjuk pada ”apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, ”siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, dan ”kapan” (when) kegiatan akan selesai. Menurut Worthen & Sanders (1981:137), evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan, yaitu “(a) do detect or predict in procedural design or its implementation during implementation stage, (b) to provide information for programmed decisions, and (c) to maintain a record of the procedure as it occurs”. Dalam model CIPP, evaluasi diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Oleh Stufflebeam, beberapa pertanyaan


(17)

25 untuk proses, misalnya, (a) apakah pelaksanaan program sesuai jadwal?, (b) apakah staf yang terlibat di dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani kegiatan selama proses berlangsung dan kemungkinan jika dilanjutkan?, (c) apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal?, dan (d) hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program dan kemungkinan jika program dilanjutkan?

Sementara itu, evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Evaluasi produk merupakan tahap akhir dari serangkaian evaluasi program. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, antara lain: (a) apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?, (b) pernyataan-pernyataan apakah yang mungkin dirumuskan berkaitan antara rincian proses dengan pencapaian tujuan?, dan (3) apakah dampak yang diperoleh dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program tersebut?

g) Discrepancy Evaluation Model

Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”kesenjangan”. Model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang


(18)

26 dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen. Kesenjangan ini sebetulnya merupakan persyaratan umum bagi semua kegiatan evaluasi, yaitu mengukur adanya perbedaan antara yang seharusnya dicapai dengan yang sudah riel dicapai.

Salah satu model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Discrepancy evaluation model (DEM). Hal ini dikarenakan DEM memiliki tahapan yang jelas dalam melakukan evaluasi. Evaluasi difokuskan untuk mengetahui kesenjangan antara standar dan implementasinya, baik dalam program dan pelaksanaannya. Dengan mengetahui kesenjangan itu dapat disusun rekomendasi untuk perbaikan program dan implementasinya sehingga implementasi program tersebut dapat sesuai dengan program standar yang ditetapkan.

Kesesuaian antara standar yang ditetapkan dan implementasinya akan lebih meningkatkan profesionalitas guru sehingga guru lebih memiliki peran dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini tidak dapat dilakukan bila menggunakan model lain.

Evaluasi model kesenjangan (discrepancy evaluation model) menurut Provus adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard) yang ditentukan dalam program dengan kerja (performance) sesungguhnya dengan program


(19)

27 tersebut. Baku adalah kriteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program. Macam-macam kesenjangan yang dapat dievaluasi dalam program pendidikan antara lain:

1. Kesenjangan antara rencana dengan pelaksanaan program

2. Kesenjangan antara yang diduga atau diramalkan akan diperoleh dengan yang benar-benar direalisasikan.

3. Kesenjangan antara status kemampuan dengan standar kemampuan yang ditentukan

4. Kesenjangan tujuan

5. Kesenjangan mengenai bagian program yang diubah

6. Kesenjangan dalam sistem yang tidak konsisten Menurut Sucipto (2011) langkah-langkah atau tahap-tahap yang dilalui dalam mengevaluasi kesenjangan adalah sebagai berikut:

Pertama: Tahap Penyusunan Desain. Dalam tahap ini dilakukan kegiatan :

a. Merumuskan tujuan b. Menyiapkan kelengkapan

c. Merumuskan standar dalam bentuk rumusan yang menunjuk pada suatu yang dapat diukur, biasa di dalam langkah ini evaluator berkonsultasi dengan pengembangan program. Sesudah memahami tentang isi yang terdapat di dalam program yang merupakan obyek evaluasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penyusunan desain.

Kedua: Tahap Instalasi atau Penetapan Kelengkapan Program. Yaitu melihat kelengkapan yang tersedia sudah sesuai dengan yang diperlukan atau belum. Dalam tahap ini dilakukan


(20)

28 kegiatan: a).Meninjau kembali penetapan standar

b). Meninjau program yang sedang berjalan c). Meneliti kesenjangan antara yang direncanakan dengan yang sudah dicapai

Ketiga: Tahap Proses (Process). Dalam tahap ketiga dari evaluasi kesenjangan ini adalah mengadakan evaluasi, tujuan tujuan manakah yang sudah dicapai. Tahap ini juga disebut “tahap mengumpulkan data dari pelaksanaan program”.

Keempat: Tahap Pengukuran Tujuan (Product). Yaitu tahap melaksanakan analisis data dan menetapkan tingkat output yang diperoleh. Pertanyaan yang diajukan dalam tahap ini adalah “ Apakah program sudah mencapai tujuan terminalnya?”

Kelima:Tahap Perbandingan (Programe Comparison). Yaitu tahap membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini evaluator menuliskan semua penemuan kesenjangan untuk disajikan kepada para pengambil keputusan, agar mereka dapat memutuskan kelanjutan dari program tersebut. Kemungkinan adalah :a). menghentikan program, b) mengganti atau merevisi, c) meneruskan, d) memodifikasi

Kunci dari evaluasi discrepancy adalah dalam hal membandingkan penampilan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Yang menjadi dasar dalam evaluasi program ini adalah menilai kesenjangan, dengan demikian tanpa perlu menganailis pihak-pihak yang dipasangkan. Kita segera dapat menyimpulkan bahwa model evaluasi kesenjangan dapat ditetapkan untuk mengevaluasi pemrosesan.

Sebelum melakukan desain evaluasi maka terlebih dahulu harus dilakukan fokus evaluasi yaitu mengkhususkan apa dan bagaimana evalusi akan dilakukan. Bila evaluasi sudah terfokus, maka ini berarti proses dan desain dimulai.


(21)

29

2.2

KKG/MGMP

KKG merupakan wadah atau forum kegitan profesional bagi para guru sekolah dasar /MI di tingkat Gugus atau Kecamatan yang terdiri dari beberapa guru dari beberapa sekolah. Unsur-unsur yang harus dimiliki oleh KKG/MGMP mencakup organisasi, program, pengelolaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan pembiayaan.

Organisasi yang dimaksud adalah struktur kepengurusan dan legalitas administrasi KKG/MGMP; program adalah rencana kegiatan KKG/MGMP; pengelolaan adalah proses pelaksanaan program KKG/MGMP; sarana dan prasarana adalah fasilitas fisik untuk menunjang KKG/MGMP; sumber daya manusia adalah pembimbing/nara sumber/tutor/pengajar dalam kegiatan KKG/MGMP; pembiayaan adalah dana yang digunakan untuk kegiatan KKG/MGMP (Standar Pengembangan KKG/MGMP, 208:6).

2.2.1 Tujuan KKG / MGMP

1) Memperluas wawasan dan pengetahuan guru dalam berbagai hal, khususnya penguasaan substansi materi pembelajaran, penyusunan silabus, penyusunan bahan-bahan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, memaksimalkan pemakaian sarana/prasarana belajar, memanfaatkan sumber belajar, dsb.


(22)

30 2) Memberi kesempatan kepada anggota kelompok kerja atau musyawarah kerja untuk berbagi pengalaman serta saling memberikan bantuan dan umpan balik.

3) Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, serta mengadopsi pendekatan pembaharuan dalam pembelajaran yang lebih profesional bagi peserta kelompok kerja atau musyawarah kerja. 4) Memberdayakan dan membantu anggota kerja

dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran di sekolah

5) Mengubah budaya kerja anggota kelompok kerja atau musyawarah (meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan kinerja) dan mengembangkan profesionalisme guru melalui kegiatan-kegiatan pengembangan profesionalisme di tingkat KKG/MGMP.

6) Meningkatkan mutu proses pendidikan dan pembelajaran yang tercermin dari peningkatan hasil belajar peserta didik.

7) Meningkatkan kompetensi guru melalui kegiatan-kegitan di tingkat KKG/MGMP.

Selanjutnya dalam Standar Pengembangan KKG/MGMP (208:7) ditentukan bahwa standar pengembangan program KKG/MGMP adalah sebagai berikut:

1) Penyusunan Program KKG/MGMP dimulai dari menyusun visi, misi, tujuan, sampai kalender kegiatan.


(23)

31 2) Program KKG/MGMP diketahui oleh Ketua

KKKS (kelompok Kerja Kepala Sekolah SD) atau ketua MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) dan disyahkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

3) Program KKG/MGMP terdiri dari program rutin dan program pengembangan.

4) Program rutin sekurang-kurangnya terdiri dari: a) Diskusi permasalahan pembelajaran

b) Penyusunan silabus, program semester, dan Rencana Program Pembelajaran.

c) Analisis kurikulum

d) Penyusunan instrumen evaluasi pembelajaran

e) Pembahasan materi dan pemantapan menghadapi Ujian Nasional

5) Program pengembangan dapat dipilih sekurang-kurangnya tiga dari kegiatan-kegiatan berikut: a) Penelitian.

b) Penulis Karya Tulis Ilmiah.

c) Seminar, lokakarya, koloqium (paparan hasil penelitian), dan diskusi panel.

d) Pendidikan dan Pelatihan berjenjang (diklat berjenjang).

e) Penerbitan jurnal KKG/MGMP. f) Penyusunan website KKG/MGMP. g) Forum KKG/MGMP provinsi. h) Kompetensi kinerja guru.

i) Peer Coaching (Pelatihan sesama guru menggunakan media ICT).

j) Lesson Study (kerjasama antar guru untuk memecahkan masalah pembelajaran).

k) Professional Learning Community (komunitas-belajar profesional).

l) TIPD (Teachers International professional Development) kerjasama MGMP internasional m) Global/Gateway (kemitraan lintas negara)

Prosedur penyusunan program kegiatan KKG/MGMP mengikuti diagram alir seperti gambar 1 di bawah ini:


(24)

32

Diagram Alir Pelaksana Uraian Kegiatan

Pengurus dan Anggota Pengurus dan Anggota Tim Khusus Pengurus dan anggota, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah Tim khusus Pengurus dan anggota, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah

Melakukan analisis kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi KKG/MGMP

Melakukan diskusi:

Menentukan akar masalah

Menyusun alternatif pemecahan

masalah

Menentukan program sesuai

skala prioritas

Menunjuk anggota tim khusus

Menjelaskan tugas dan jadwal

kerja tim khusus

Menyusun outline draft program

Menyusun draf awal program

berdasarkan analisis SWOT dan skala prioritas

Menyimak paparan draft awal

program

Memberi tanggapan

Menindaklanjuti

 Melakukan perbaikan draf

sesuai dengan masukan dalam pembahasan

 Bila draf disetujui dalam rapat pleno, pengurus memutuskan bahwa draf tersebut dapat di finalisasi.

Bila draf disetujui dalam rapat pleno, draf dibahas ulang dan dilakukan revisi sesuai rekomendasi.

Tim khusus, KKKS/MKKS

 Tim khusus melakukan

perbaikan teknis penulisan naskah program kegiatan KKG/MGMP dan menyusun kerangka acuan kerja.

 Pengesahan oleh KKS/MKKS.

Gambar 2.1

Diagram alir penyusunan program KKG/MGMP Tidak OK SWOT Brainstorming Penyusunan draft awal program Revisi program

Finalisasi program

Selesai Mulai

Pembahsan Program


(25)

33 Dalam menyusun program KKG/MMP dipilih program-program yang menjadi prioritas, baik rutin maupun program pengembangan. Keseluruhan program menjadi tanggung jawab bersama seluruh pengurus KKG/MGMP. Tetapi, masing-masing program mempunyai panitia yang dipimpin oleh seorang penanggung jawab program atau person in charge (PIC).

Seorang PIC dengan panitianya tidak bekerja dari nol, ia sudah mempunyai term of reference (TOR) yang disusun oleh tim pengembang program. Tugas PIC hanyalah melaksanakan dan mengelola program itu sesuai dengan garis-garis besar yang tertuang di dalam TOR.

Alir pengelolaan program dalam tabel berikut ini adalah hal-hal yang dilakukan PIC mulai dari tahap persiapan, sekitar satu atau dua bulan sebelum pelaksanaan program. Tergantung pada karakteristik program, tahap persiapan itu dapat lebih singkat atau lebih lama; seminar nasional memerlukan persiapan yang lebih lama.


(26)

34

Tabel 2.1

Alur Pengelolaan Program

Kegiatan Sub Kegiatan Pelaksana

A. Merancang Kegiatan

1. Menyusun proposal program berdasarkan TOR

PIC 2. Presentasi dan review

proposal, sekaligus menyusun panitia

PIC dan pengurus 3. Membuat deskripsi tugas

panitia

PIC

4. Mengesahkan panitia Ketua MKKS

B. Rapat Koordinator 1

1. Menjelaskan program kepada seluruh anggota panitia

Ketua Panitia 2. Membagi tugas kepada

seluruh anggota panitia

Ketua Panitia C. Mengembangkan

kegiatan

1. Menentukan kriteria dan jumlah peserta

Ketua Panitia 2. Menentukan materi/kegiatan Ketua panitia 3. Menentukan instruktur/ nara

sumber

Ketua panitia 4. Menyusun jadwal kegiatan

sekretaris

Sekretaris 5. Membuat buku panduan Sekretaris

6. Membuat leaflet Sekretaris

7. Membuat undangan Sekretaris

8. Mengirim undangan Sekretaris

D. Rapat koordinasi 2 Mengecek kemajuan Ketua panitia Menetukan langkah alternatif Ketua panitia E. Melaksanakan

kegiatan

1. Membuat daftar hadir peserta dan nara sumber

Sekretariat 2. Melaksanakan kegiatan sesuai

dengan jadwal acara

Seksi acara

Menyediakan materi Seksi


(27)

35

Menghadirkan instruktur/nara sumber

Seksi persidangan Memandu dan mengarahkan

kegiatan

Seksi persidangan F. Memonitor kegiatan 1. Memonitor kelancaran acara Tim monev

2. Memonitor kelengkapan materi Tim monev 3. Memonitor kehadiran

instruktur/ nara sumber

Tim monev 4. Memonitor interaksi antara

peserta dengan instruktur

Tim monev G. Rapat evaluasi

kegitan

1. Evaluasi acara Tim monev

dan panitia 2. Evaluasi respon peserta Tim monev dan panitia 3. Evaluasi pemahaman paserta Tim monev dan panitia 4. Evaluasi manfaat program Tim monev dan panitia H. Melaporkan

kegiatan

Membuat laporan kegiatan kepada stakeholders

Panitia

2.2.2 Pengertian Profesionalitas guru

Istilah profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni seseorang. Pekerjaan tersebut mensyaratkan pengetahuan dan ketrampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Dengan demikian, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan


(28)

36 lain (Usman, 2005). Suatu pekerjaan profesional memerlukan persyaratan khusus, yakni: (1) menuntut adanya ketrampilan berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam; (2) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; (3) menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai; (4) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya; dan (5) memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. Selain persyaratan di atas, Usman (2005) menambahkan persyaratan, yaitu (1) memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; (2) memiliki klien/obyek layanan yang tetap, seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya; dan (3) diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.

Sementara itu, Surya (2005) menyatakan bahwa seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan, antara lain: memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, memiliki jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus


(29)

37 menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya. Dengan tugas semacam ini, maka tugas seorang guru lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral (Kunandar, 2009:50).

Selain itu, guru yang profesional memiliki karakteristik, antara lain : memiliki kepribadian matang dan berkembang, punya ketrampilan membangkitkan minat peserta didik, memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, sikap profesioalismenya berkembang secara kesinambungan, mampu mengolah dan menyiasati kurikulum, mampu mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan, mampu memotivasi siswa untuk belajar sendiri, berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang lebih bersifat inovatif, dan memahami serta mampu mempraktekkan berbagai pendekatan pembelajaran mutakhir.

Sementara itu, Suyanto & Abbas (2001:144) menyatakan bahwa seorang guru profesional harus merupakan SDM yang berkualitas, dengan ciri: (a) memiliki kemampuan dalam menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan iptek, (b) mampu bekerja secara profesional dengan orientasi mutu dan keunggulan, dan (c) dapat menghasilkan karya-karya unggul yang mampu bersaing secara


(30)

38 global sebagai hasil dari keahlian dan profesionalitasnya. Kemudian, sebagai tenaga profesional, guru harus mempunyai empat ciri utama (Tilaar,1994), yaitu: (a) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality), (b) mempunyai ketrampilan membangkitkan minat peserta didik, (c) memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, dan (d) sikap profesionalnya berkembang secara berkesinambungan.

Dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru disebutkan sebagai bagian dari pendidik, yang merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hak dari pendidik adalah memperoleh: (a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; (b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (c) pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; (d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan (e) kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. Sedangkan


(31)

39 kewajibannya, meliputi: (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Dalam rangka memperoleh pendidik yang berkualitas, sehingga mampu berkontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan SD, banyak variabel yang terkait, mulai dari sistem pengangkatan dan penempatan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, serta peningkatan profesionalitas pendidik. Pengangkatan dan penempatan pendidik diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Lembaga yang berwenang mengangkatnya adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pengangkatan dan penempatan pendidik, khususnya guru, dilakukan secara obyektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan pada satuan


(32)

40 pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Selanjutnya, mengenai pengangkatan dan penempatan guru, dalam Peraturan Pemerintah RI No.74 Tahun 2008 tentang Guru dibedakan antara pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan dan pengangkatan dan penempatan guru pada jabatan struktural. Ditegaskan bahwa pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diangkat oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka itu, Departemen yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional melakukan koordinasi perencanaan kebutuhan guru secara nasional, yang dilakukan dengan mempertimbangkan pemerataan guru antar satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat, antar kabupaten atau antar kota, dan antar provinsi, termasuk kebutuhan guru di daerah khusus. Selain itu, guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat pula ditempatkan pada jabatan struktural sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penempatan pada jabatan struktural dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan bertugas sebagai


(33)

41 guru paling singkat selama 8 (delapan) tahun. Guru yang ditempatkan pada jabatan struktural, kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan. Guru tersebut dapat ditugaskan kembali sebagai guru dan mendapatkan hak-hak guru sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hak-hak guru yang berupa tunjangan profesi dan tunjangan fungsional diberikan sebesar tunjangan profesi dan tunjangan fungsional berdasarkan jenjang jabatan sebelum guru yang bersangkutan ditempatkan pada jabatan struktural.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, standar pendidik menunjuk pada kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik tersebut menunjuk pada tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pendidik khususnya yang berkualifikasi sebagai guru


(34)

42 SD/MI atau bentuk lain yang sederajat memiliki: (a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1); (b) latarbelakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan (c) sertifikat profesi guru untuk SD/MI. Sertifikasi profesi guru tersebut diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Sedangkan fungsinya adalah untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Adapun prinsip-prinsip profesionalitas sebagaimana dimaksud, disebutkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai berikut:

a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;

b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;


(35)

43 d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai

dengan bidang tugas;

e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;

f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;

g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

h. memiliki jaminan hukum dan melaksanakan tugas keprofesionalan; dan

i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalannya.

2.2.3 Bentuk-Bentuk Pengembangan Profesional Guru

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Demikian pula, satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi gurunya. Menurut pasal 7 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi


(36)

44 manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.

Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier. Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional, serta dilakukan melalui jabatan fungsional. Sedangkan pembinaan dan pengembangan karier guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat ditetapkan dengan peraturan menteri. Selanjutnya, dalam pasal 46 Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 tentang Guru, dinyatakan bahwa guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensinya, serta untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Sesuai dengan prinsip peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement) dan semangat desentralisasi, sekolah diberi kewenangan yang lebih besar untuk menentukan apa yang terbaik untuk pembinaan mutu guru-gurunya. Untuk itu, sekolah menyusun program, anggaran disalurkan langsung ke sekolah, dan kepala sekolah


(37)

45 menentukan pelatihan (apa, dimana, kapan, untuk menunjang kompetensi apa) yang akan diikuti oleh guru-gurunya. Otonomi guru tercermin dari kemandirian guru dalam mengatur dan mengurus apa yang menjadi tugasnya. Kemandirian guru diperlukan dalam, misalnya, mengembangkan silabus, merancang satuan pembelajaran, memutuskan sistem pengujian berbasis kompetensi yang akan digunakan, memilih dan mengambil keputusan yang paling baik bagi anak didiknya, dalam mengungkapkan berbagai gagasan kreatifnya, mengelola pembelajaran di kelas secara inovatif, pemilihan metode dan media serta penentuan pendekatan pembelajaran apa yang akan dipakai, dan lain sebagainya.

2.2.4 Kendala-Kendala dalam Pengembangan

Profesionalitas Guru

Adapun kendala-kendala yang timbul dalam pengembangan profesionalitas guru diantaranya: 1. Masih banyak guru yang memiliki kompetensi

keilmuan dan profesionalitas rendah dan memprihatinkan.

2. Masih banyak guru yang kurang terpacu dan termotivasi untuk memberdayakan diri, mengembangkan profesionalitas diri dan memuthakirkan pengetahuan mereka secara terus menerus dan berkelanjutan meskipun cukup


(38)

46 banyak guru Indonesia yang sangat rajin mengikuti program pendidikan.

3. Masih banyak guru yang kurang terpacu, terdorong dan tergerak secara pribadi untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Para guru umumnya masih kurang mampu menulis karya ilmiah bidang pembelajaran, menemukan teknologi sederhana dan tepat guna, membuat alat peraga pembelajaran, dan atau menciptakan karya seni.

4. Hanya sedikit guru Indonesia yang secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran diri untuk menjalin kesejawatan dan mengikuti pertemuan– pertemuan untuk mengembangkan profesi .

Keempat hal di atas setidak-tidaknya merupakan bukti pendukung bahwa mutu profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Kurang memuaskan, bahkan memprihatinkan meskipun berbagai upaya pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena terdapat berbagai kendala pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas guru di Indonesia, di antaranya adalah:

a) Kendala personal berupa rendahnya kesadaran guru untuk mengutamakan mutu dalam pengembangan diri, kurang termotivasinya guru untuk memiliki program terbaik bagi pemberdayaan diri, tertanamnya rasa tidak


(39)

47 berdaya dan tidak mampu untuk mengembangkan profesi.

b) Kendala ekonomis berupa terbatasnya kemampuan financial guru untuk secara berkelanjutan mengembangkan diri, amat rendahnya penghasilan sebagai guru sehingga memaksa mereka bekerja bermacam-macam, dan banyaknya pungutan dan pembiayaan kepada mereka sehingga mengurangi kemampuan ekonomis untuk mengembangkan profesi.

c) Kendala struktural berupa banyaknya pihak yang mengatur dan mengawasi guru sehingga mereka tidak bisa bekerja dengan tenang, rumitnya jenjang dan jalur pengembangan profesi atau karier yang membuat mereka merasa tidak berdaya, terlalu ketat dan kakunya berbagai birokrasi yang mengikat para guru, sehingga tidak mampu mengembangkan kreativitas.

d) Kendala sosial berupa rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan profesi guru, dan kurangnya fasilitas sosial bagi pengembangan profesi guru. e) Kendala budaya berupa rendahnya budaya kerja

berorientasi mutu sehingga para guru bekerja seadanya.


(40)

48

2.2.5. Hasil Penelitian yang Relevan

a. Penelitian tentang “Hubungan Pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) dengan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Kecamatan Padang Panjang Barat” oleh Hj. Syofiarni,S.Pd. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pelaksanaan KKG mempunyai hubungan dengan kinerja guru Sekolah Dasar di Kecamatan Padang Panjang Barat. Ini ditunjukkan dari hasil pengujian koefisien r hitung > r table yaitu 0,48 > 0,312. Hal ini berarti pelaksanaan KKG yang baik dan efektif akan menimbulkan kinerja guru yang tinggi pula. Pelaksanaan KKG akan menjadi lebih berarti jika diikuti dengan kreatifitas guru untuk lebih meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari yaitu dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pengajaran.

b. Hasil laporan KKG Bermutu Gugus Gunungjaya Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi tahun 2012 bahwa kendala yang dialami adalah program-program kegiatan KKG masih kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan profesionalitas guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.

c. Hasil laporan KKG Gugus Mawar Pekalongan Jawa Tengah tahun 2011 menyatakan bahwa ternyata banyak sekali hambatan dan tantangan


(41)

49 untuk meningkatkan kompetensi guru, baik internal maupun eksternal. Tantangan internal seperti motivasi kehadiran dan keterlibatan dalam kegiatan. Hambatan eksternal seperti penyediaan nara sumber yang kompeten, dan lain sebagainya.

d. Hasil laporan KKG gugus II pada khususnya dan

Kecamatan Tilamutsa belum sepenuhnya

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, indikasinya antara lain masih banyaknya guru yang belum mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya, bahkan lebih parah lagi masih ada guru yang tidak faham tentang bagaimana cara pengaplikasian ilmu yang diperolehnya dari pendidikan dan latihan yang

diikutinya. Berdasarkan kenyataan-kenyataan

tersebut di atas, maka KKG Smart Gugus Boalemo II sebagai wadah para guru untuk meningkatkan profesionalismenya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di gugus II pada khususnya dan Kecamatan Tilamutsa serta Kabupaten Boalemo pada umumnya, berupaya untuk mencanangkan berbagai program kegiatan KKG.

e. Penelitian yang dilakukan oleh Urip pada tahun 2006 tentang Peranan KKG dalam Meningkatkan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Gugus Kresna Kecamatan Loano Purworejo. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kegiatan yang dilaksanakan oleh KKG tanpa pengelolaan dan perencanaan


(42)

50 yang baik tidak berdampak positif terhadap peningkatan profesionalisme guru.

f. Penelitian yang dilakukan oleh Trimo pada tahun 2006 tentang Studi Kasus Pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, hasil penelitiannya adalah pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, belum dilaksanakan secara efektif sehingga belum berdampak positif terhadap peningkatan profesionalisme guru

g. Penelitian Bjork (204:245-262) meneliti mengenai peningkatan profesionalitas guru, khususnya dalam melaksanakan “kurikulum muatan lokal” di tingkat daerah. Ia mengidentifikasi adanya empat kekuatan yang mempengaruhi perilaku guru di sekolah dalam melaksanakan kurikulum muatan lokal, yaitu pengaruh negara, kekuatan-kekuatan dari sektor orang tua, pengaruh siswa, dan nilai-nilai guru terhadap pendidikan. Di sekolah negeri, pengaruh terbesar berasal dari negara, sedang di sekolah swasta guru cenderung proaktif dengan pekerjaan mereka. Mereka menggunakan keahlian profesionalnya untuk merancang dan memodifikasi pelajaran yang memberi tantangan pada siswa.

h. Sementara itu, Sailors & Price (2010:301-322) meneliti tentang pengembangan profesionalitas


(43)

51 guru-guru yang mendukung proses belajar mengajar. Mereka menggunakan 2 model pengembangan profesionalitas guru-guru kelas sebagai cara untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan kemampuan membaca siswa. Model satu, guru-guru mengikuti acara tradisionil selama 2 hari, dan model 2 dengan mengikuti workshop dan mendapat pelatihan membaca dari seorang ahli membaca. Perbandingan pretest-posttest menunjukkan bahwa model dengan campur tangan penuh (para guru dilatih) lebih baik daripada kelompok yang dibantu sebagian. i. Surya (2000:1-12) mengkaji masalah peningkatan

profesionalitas guru dalam kaitannya dengan kesejahteraan guru. Menurutnya, upaya reformasi pendidikan seharusnya dimulai dari penataan guru dilihat dari aspek “mutu” dan “kesejahteraan”. Upaya tersebut akan benar -benar terwujud jika para guru mendapat peluang yang seluas-luasnya untuk memberdayakan diri.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai upaya untuk meningkatkan profesionalitas guru, antara lain melalui pemberdayaan KKG/MGMP. Namun, belum ada penelitian yang mengevaluasi program-program KKG/MGMP dalam rangka peningkatan profesionalisme guru tersebut.


(1)

46 banyak guru Indonesia yang sangat rajin mengikuti program pendidikan.

3. Masih banyak guru yang kurang terpacu, terdorong dan tergerak secara pribadi untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Para guru umumnya masih kurang mampu menulis karya ilmiah bidang pembelajaran, menemukan teknologi sederhana dan tepat guna, membuat alat peraga pembelajaran, dan atau menciptakan karya seni.

4. Hanya sedikit guru Indonesia yang secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran diri untuk menjalin kesejawatan dan mengikuti pertemuan– pertemuan untuk mengembangkan profesi .

Keempat hal di atas setidak-tidaknya merupakan bukti pendukung bahwa mutu profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Kurang memuaskan, bahkan memprihatinkan meskipun berbagai upaya pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena terdapat berbagai kendala pengembangan dan peningkatan mutu profesionalitas guru di Indonesia, di antaranya adalah:

a) Kendala personal berupa rendahnya kesadaran guru untuk mengutamakan mutu dalam pengembangan diri, kurang termotivasinya guru untuk memiliki program terbaik bagi pemberdayaan diri, tertanamnya rasa tidak


(2)

47 berdaya dan tidak mampu untuk mengembangkan profesi.

b) Kendala ekonomis berupa terbatasnya kemampuan financial guru untuk secara berkelanjutan mengembangkan diri, amat rendahnya penghasilan sebagai guru sehingga memaksa mereka bekerja bermacam-macam, dan banyaknya pungutan dan pembiayaan kepada mereka sehingga mengurangi kemampuan ekonomis untuk mengembangkan profesi.

c) Kendala struktural berupa banyaknya pihak yang mengatur dan mengawasi guru sehingga mereka tidak bisa bekerja dengan tenang, rumitnya jenjang dan jalur pengembangan profesi atau karier yang membuat mereka merasa tidak berdaya, terlalu ketat dan kakunya berbagai birokrasi yang mengikat para guru, sehingga tidak mampu mengembangkan kreativitas.

d) Kendala sosial berupa rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan profesi guru, dan kurangnya fasilitas sosial bagi pengembangan profesi guru. e) Kendala budaya berupa rendahnya budaya kerja

berorientasi mutu sehingga para guru bekerja seadanya.


(3)

48 2.2.5. Hasil Penelitian yang Relevan

a. Penelitian tentang “Hubungan Pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) dengan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Kecamatan Padang Panjang Barat” oleh Hj. Syofiarni,S.Pd. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pelaksanaan KKG mempunyai hubungan dengan kinerja guru Sekolah Dasar di Kecamatan Padang Panjang Barat. Ini ditunjukkan dari hasil pengujian koefisien r hitung > r table yaitu 0,48 > 0,312. Hal ini berarti pelaksanaan KKG yang baik dan efektif akan menimbulkan kinerja guru yang tinggi pula. Pelaksanaan KKG akan menjadi lebih berarti jika diikuti dengan kreatifitas guru untuk lebih meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari yaitu dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pengajaran.

b. Hasil laporan KKG Bermutu Gugus Gunungjaya Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi tahun 2012 bahwa kendala yang dialami adalah program-program kegiatan KKG masih kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan profesionalitas guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.

c. Hasil laporan KKG Gugus Mawar Pekalongan Jawa Tengah tahun 2011 menyatakan bahwa ternyata banyak sekali hambatan dan tantangan


(4)

49 untuk meningkatkan kompetensi guru, baik internal maupun eksternal. Tantangan internal seperti motivasi kehadiran dan keterlibatan dalam kegiatan. Hambatan eksternal seperti penyediaan nara sumber yang kompeten, dan lain sebagainya.

d. Hasil laporan KKG gugus II pada khususnya dan Kecamatan Tilamutsa belum sepenuhnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, indikasinya antara lain masih banyaknya guru yang belum mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya, bahkan lebih parah lagi masih ada guru yang tidak faham tentang bagaimana cara pengaplikasian ilmu yang diperolehnya dari pendidikan dan latihan yang diikutinya. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, maka KKG Smart Gugus Boalemo II sebagai wadah para guru untuk meningkatkan profesionalismenya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di gugus II pada khususnya dan Kecamatan Tilamutsa serta Kabupaten Boalemo pada umumnya, berupaya untuk mencanangkan berbagai program kegiatan KKG.

e. Penelitian yang dilakukan oleh Urip pada tahun 2006 tentang Peranan KKG dalam Meningkatkan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Gugus Kresna Kecamatan Loano Purworejo. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kegiatan yang dilaksanakan oleh KKG tanpa pengelolaan dan perencanaan


(5)

50 yang baik tidak berdampak positif terhadap peningkatan profesionalisme guru.

f. Penelitian yang dilakukan oleh Trimo pada tahun 2006 tentang Studi Kasus Pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, hasil penelitiannya adalah pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, belum dilaksanakan secara efektif sehingga belum berdampak positif terhadap peningkatan profesionalisme guru

g. Penelitian Bjork (204:245-262) meneliti mengenai peningkatan profesionalitas guru, khususnya dalam melaksanakan “kurikulum muatan lokal” di tingkat daerah. Ia mengidentifikasi adanya empat kekuatan yang mempengaruhi perilaku guru di sekolah dalam melaksanakan kurikulum muatan lokal, yaitu pengaruh negara, kekuatan-kekuatan dari sektor orang tua, pengaruh siswa, dan nilai-nilai guru terhadap pendidikan. Di sekolah negeri, pengaruh terbesar berasal dari negara, sedang di sekolah swasta guru cenderung proaktif dengan pekerjaan mereka. Mereka menggunakan keahlian profesionalnya untuk merancang dan memodifikasi pelajaran yang memberi tantangan pada siswa.

h. Sementara itu, Sailors & Price (2010:301-322) meneliti tentang pengembangan profesionalitas


(6)

51 guru-guru yang mendukung proses belajar mengajar. Mereka menggunakan 2 model pengembangan profesionalitas guru-guru kelas sebagai cara untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan kemampuan membaca siswa. Model satu, guru-guru mengikuti acara tradisionil selama 2 hari, dan model 2 dengan mengikuti workshop dan mendapat pelatihan membaca dari seorang ahli membaca. Perbandingan pretest-posttest menunjukkan bahwa model dengan campur tangan penuh (para guru dilatih) lebih baik daripada kelompok yang dibantu sebagian. i. Surya (2000:1-12) mengkaji masalah peningkatan

profesionalitas guru dalam kaitannya dengan kesejahteraan guru. Menurutnya, upaya reformasi pendidikan seharusnya dimulai dari penataan guru dilihat dari aspek “mutu” dan “kesejahteraan”. Upaya tersebut akan benar -benar terwujud jika para guru mendapat peluang yang seluas-luasnya untuk memberdayakan diri.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai upaya untuk meningkatkan profesionalitas guru, antara lain melalui pemberdayaan KKG/MGMP. Namun, belum ada penelitian yang mengevaluasi program-program KKG/MGMP dalam rangka peningkatan profesionalisme guru tersebut.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Mengajar Guru MI Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942013013 BAB I

0 1 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Mengajar Guru MI Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942013013 BAB II

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Mengajar Guru MI Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942013013 BAB IV

1 7 55

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Mengajar Guru MI Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942013013 BAB V

0 1 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942010038 BAB I

0 1 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942010038 BAB IV

0 2 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga T2 942010038 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pengembangan Profesionalisme Guru Melalui KKG di Gugus Imam Bonjol Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga

0 0 2