BAB IV RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR - DOCRPIJM 2f3ce7c6d3 BAB IVBAB 4 (RPII) Infrastruktur

BAB IV RENCANA PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun di pedesaan pada

  hakekatnya, adalah untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan perdesaan yang layak huni (livable), aman, nyaman, damai, dan sejahtera, serta berkelanjutan.

  Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pemerintah wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial.

  Pengembangan Permukiman, adalah rangkaian kegiatan yang bersifat multisektor, meliputi kegiatan pengembangan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman lama baik di perkotaan (kecil, sedang, besar dan metropolitan), di perdesaan (termasuk daerah-daerah tertinggal dan terpencil) maupun kawasan-kawasan tertentu (perbatasan, pulau-pulau kecil/ terluar). Adapun sasaran dari pengembangan permukiman, adalah: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar permukiman.

  2. Tersedianya perumahan tipe RSH dan RUSUNAWA.

  3. Terarahnya pertumbuhan wilayah.

  4. Terdorongnya kegiatan ekonomi melalui kegiatan pembangunan permukiman. Selanjutnya, output dari analisis investasi pengembangan permukiman, adalah: 1. Tersedianya lahan siap bangun dan kawasan permukiman yang sehat.

  2. Tersedianya prasarana dan sarana (jalan lingkungan, drainase, jaringan air bersih) kawasan sebagai bagian dari program pembangunan unit perumahan.

  3. Tersedianya RSH dan RUSUNAWA siap huni (disesuaikan dengan karakteristik wilayah).

  4. Tersedianya perumahan untuk mendukung terselenggaranya gerak perekonomian yang dinamis.

  5. Tersedianya kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap melalui penciptaan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman dan mengintegrasikan secara terpadu dengan lingkungan permukiman yang telah ada di sekitarnya. Asumsi dari pengembangan permukiman, adalah:

  1. Kelompok sasaran masyarakat untuk RSH dan RUSUNAWA, diutamakan masyarakat berpenghasilan rendah.

  2. Mengacu pada UU No. 4/1992 tentang perumahan dan peraturan perundangan terkait.

4.1. Rencana Pengembangan Permukiman

  a. Analisis Permasalahan Pembangunan Permukiman

  Salah satu aspek penting dari pengembangan permukiman di Kabupaten Kotawaringin Timur, adalah masalah kebutuhan (need) dan ketersediaan (supply). Pada laporan ini, fokus analisis, adalah pada upaya pemenuhan kebutuhan sebagai langkah awal pertimbangan penyediaan unit rumah. Pertanyaan mendasar dari kondisi tersebut, adalah seberapa besar kebutuhan masyarakat di Lokasi Perencanaan RPIJM Bidang PU Cipta pada ketersediaan unit rumah?. Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, di bawah ini akan dijabarkan proses analisis kebutuhan rumah atau yang dikenal dengan istilah backlog.

  Analisis kebutuhan rumah (backlog) memiliki variabel penting yang mendasarinya, yaitu jumlah penduduk, jumlah rumah, dan jumlah rumah tangga. Pada aspek jumlah penduduk, perlu ditinjau bagaimana kondisi perkembangan jumlah penduduk. Melalui analisis kependudukan tersebut, maka dapat diprediksi jumlah rumah dan jumlah rumah tangga pada suatu wilayah. Lebih lanjut, dasar dari proyeksi kebutuhan akan perumahan, adalah perkembangan jumlah penduduk dan sebarannya. Karena pada dasarnya, pemenuhan akan perumahan merupakan pemenuhan akan kebutuhan penduduk pada hunian yang tersedia dan layak. Pada tabel berikut, akan dideskripsikan hasil analisis proyeksi perkembangan jumlah penduduk.

  b. Analisis Investasi Pembangunan Permukiman

  Pada konteks RPIJM, pembangunan permukiman pada dasarnya berbasis non-

  

profit. Konsep ini dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari konsep nirlaba untuk

  pemenuhan kebutuhan perumahan atas backlog yang terjadi. Terlepas dari wacana non-

  

profit tersebut, pada konteks pembangunan fisik, maka tetap harus dilakukan analisis

  biaya investasi. Proses analisis biaya investasi pembangunan unit perumahan di lokasi perencanaan RPIJM Bidang PU Cipta Karya Tahap I Kabupaten Kotawaringin Timur, dilakukan dengan pendekatan asumsi. Maksudnya, adalah dengan mengalikan harga tanah dengan ukuran tipe yang menempati luasan kavling tertentu tersebut. Pada deskripsi analisis, data backlog akan ditampilkan sebagai dasar perhitungan. Adapun data

  

backlog yang digunakan menggunakan dasar perhitungan Tahun 2011 dengan sasaran

pemenuhan pada Tahun 2009 - 2014. Untuk lebih jelasnya, seperti pada Tabel 4.2.

  Rencana beberapa kegiatan 2014 meliputi : 1. Peningkatan Infrastruktur Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan Eks.

  Kebakaran Baamang.

  2. Penyediaan Infrastruktur Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan dan Pengawasan di Kec. MB Ketapang.

  3. Pembangunan PSD Minapolitan di Kota Sampit.

  4. Pembangunan PSD Agropolitan di Kota Sampit.

4.2. Rencana Investasi Penataan Bangunan Lingkungan

  Penyusunan RPIJM Kabupaten Kotawaringin Timur Tahap I ini, menggunakan dana dari APBD Tahun Anggaran 2014. Pekerjaan ditempuh hingga Bulan November; dimana menyesuaikan jadwal kerja fasilitator Provinsi. Dapat dijelaskan, pada usulan pembangunan permukiman di laporan ini, penggunaan dana APBD Kabupaten pada tahun 2014 merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam merespons kebutuhan masyarakat. Kondisi inilah yang sangat diharapkan mendapatkan tanggapan dari pemerintah pusat melalui APBN untuk mendukung anggaran pembangunan permukiman di Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2012

  • – 2016 nantinya. Adapun usulan dalam indikasi program nantinya, dibagi menjadi 2 (dua) kategori:

  1. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten. Usulan program adalah pada: Penyusunan Masterplan, Sosialisasi Persiapan KASIBA – LASIBA, dan pembangunan infrastruktur dasar (PSD) permukiman.

  2. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten dan dukungan APBN.

  Adapun spesifikasinya, adalah sebagai berikut:

  a. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 sebesar 10% dengan menggunakan pendanaan dari APBD Kabupaten.

  b. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 - 2016 sebesar 90% dengan menggunakan pendanaan dari APBN yang diusulkan kepada Dirjen PU Cipta Karya.

a. Sasaran Penataan Bangunan Gedung dan Lingkungan

  Sasaran menjelaskan target yang harus dicapai dalam pembangunan permukiman, yang terdiri dari target nasional dan terwujudnya pembangunan Kabupaten

  1. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten. Usulan program adalah pada: Penyusunan Masterplan, Sosialisasi Persiapan KASIBA – LASIBA, dan pembangunan infrastruktur dasar (PSD) permukiman.

  2. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten dan dukungan APBN.

  Adapun spesifikasinya, adalah sebagai berikut:

  c. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2013 sebesar 10% dengan menggunakan pendanaan dari APBD Kabupaten.

  d. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2013 - 2017 sebesar 90% dengan menggunakan pendanaan dari APBN yang diusulkan kepada Dirjen PU/ Cipta Karya.

Tabel 4.1 Sasaran Pembangunan Permukiman dan PSD Permukiman untuk Kabupaten

  

Kotawaringin Timur Tahun 2013 – 2017

No. Variabel Sasaran

  1. Target Nasional Terfasilitasinya prasarana dan sarana permukiman yang dalam layak huni dan terjangkau sebanyak 1,3 juta unit Pembangunan dengan dukungan Rusunawa 60 ribu unit dan Rusunami Permukiman 65 ribu unit serta meningkatkan permukiman perdesaan di 665 kawasan, juga terentaskannya kemiskinan 6 ribu

  KK.

  (Renstra PU 2009-2011)

  3. Rencana Strategi Terwujudnya perumahan dan permukiman yang Pembangunan berkualitas dengan menempatkan masyarakat sebagai Permukiman pelaku, pemrakarsa, sekaligus pengelola pembangunan Kabupaten dalam mewujudkan manusia berkelanjutan

  (RP4D – Kabupaten Kotawaringin Timur, Tahun 2011)

  4. Besaran Permasalahan prasarana sarana dasar permukiman Permasalahan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) tahap/ proses perbaikan, (2) mengalami kerusakan dan belum diperbaiki.

  Sumber: Referensi Terkait dan Hasil Observasi (Primer), 2012 .

b. Usulan Program

  Penyusunan Review Dokumen RPIJM Kabupaten Kotawaringin Timur ini, menggunakan dana dari APBD Tahun Anggaran 2013. Pekerjaan ditempuh hingga Bulan Juni 2013 dimana menyesuaikan jadwal pengumpulan Dokumen Review ke Provinsi pada September 2012 . Dapat dijelaskan, pada usulan pembangunan permukiman di laporan ini, penggunaan dana APBD Kabupaten pada tahun 2013 merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam merespon kebutuhan masyarakat. Kondisi inilah yang sangat diharapkan mendapatkan tanggapan dari pemerintah pusat melalui APBN untuk mendukung anggaran pembangunan permukiman di Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2013 – 2016 nantinya. Adapun usulan dalam indikasi program nantinya, dibagi menjadi 2 (dua) kategori:

  1. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten. Usulan program adalah pada: Penyusunan Masterplan, Sosialisasi Persiapan KASIBA – LASIBA, dan pembangunan infrastruktur dasar (PSD) permukiman.

  2. Pembangunan menggunakan dana APBD Kabupaten dan dukungan APBN. Adapun spesifikasinya, adalah sebagai berikut:

  c. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 sebesar 10% dengan menggunakan pendanaan dari APBD Kabupaten.

  d. Investasi Pembangunan Permukiman Tahun 2012 - 2016 sebesar 90% dengan menggunakan pendanaan dari APBN yang diusulkan kepada Dirjen PU/ Cipta Karya. Beberapa Program yang berpotensi di danai APBN pada tahun anggaran 2014 adalah:

  1. Bangunan Gedung dan Fasilitasnya (aksesibilitas Bangunan Gedung dan Lingkungan

  2. Sarana dan Prasarana Lingkungan Permukiman (Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

  • Pembangunan PSD Penataan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) Kws Bundaran Perdamaian Kota sampit.
  • Penataan Bundaran KM 3,2 Jl. Jend. Sudirman.
  • Pembangunan Dermaga Wisata Ujung Pandaran - Pembangunan RTH Dermaga Wisata Ujung Pandaran - Pembangunan RTH Bundaran Kepiting Udang - Pembangunan Bundaran Dekat Rumah Betang - Pembangunan RTH Bundaran Dekat Rumah Betang - Penataan Wisata Religi Kubah Makam Sungai Lenggana

  Penataan RTH Kubah Makam Sungai Lenggana - Pembangunan PSD RTH Kawasan Taman Pelajar Jl. Jend. Sudirman - Km. 4,5 Sampit.

  Penataan RTH Komp. Pameran GOR Eks. THR - - Rehab dan Pembangunan Komp. Permanen GOR Eks. THR. Penyusunan RTH Kws Taman Pelajar Jl. Sudirman km. 5 Sampit - Penyusunan RTH Kws Buper Ujung Pandaran -

4.3. Rencana Investasi Sub Bidang Air Limbah

  Substansi penyusunan studi sub bidang air limbah untuk wilayah pedesaan dan perkotaan, memiliki lingkup materi yang berbeda. Pada wilayah pedesaan, konteks air limbah dominan berbicara pada limbah domestik dan pengaruhnya pada kualitas air baku yang digunakan. Berbeda dengan wilayah perkotaan dengan aktivitas sosial ekonomi yang lebih kompleks. Pertanyaannya, konteks apa yang tepat untuk dibahas di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur? Berdasarkan hasil pengamatan, Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan wilayah dengan aktivitas sosial ekonomi yang berdekatan dengan sungai. Pada sub bidang air limbah, maka konteks yang tepat untuk dideskripsikan adalah persoalan mandi-cuci-kakus (MCK) yang selama ini dominan memanfaatkan fungsi keberadaan sungai. Persoalan tersebut difokuskan dengan merujuk pada konteks sanitasi On-Site. Lebih jelasnya berikut penjabaran secara terstruktur berdasarkan outline studi penyusunan RPIJM Bidang PU/ Cipta Karya.

a. Kondisi Sistem Sarana dan Prasarana Pengelolaan Air Limbah Aspek Teknis

  Pada wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, dengan sosio kultural masyarakat yang linier pada sempadan sungai, menjadikan peran MCK sangat terkait dengan kualitas air Sungai Mentaya. Secara umum, masyarakat masih menggunakan fungsi sungai untuk berbagai kegiatan, diantaranya MCK.

  Berdasarkan hasil observasi dan diskusi dengan stakeholders di Kabupaten Kotawaringin Timur, kuantitas penggunaan MCK di sungai (jamban/on-site) mulai berkurang, yaitu diasumsikan tinggal 10 % dari total penduduk. Dapat diasumsikan sudah 90 % masyarakat Kabupaten Kotawaringin Timur yang menggunakan MCK pada rumah tangga masing-masing. Hanya saja, dari angka 90 % MCK pada rumah tangga masing- masing tersebut, belum ada yang terhubung dengan sarana pembuangan limbah, yaitu tangki septik (septic tank). Artinya, meskipun hampir sebagian besar rumah tangga memiliki akses ke toilet, tetapi tidak seluruhnya memiliki akses ke tangki septik (septic

  

tank off-site system). Kondisi ini menggambarkan masyarakat masih menggunakan

  lubang kotoran sederhana (cubluk). Banyak dari masyarakat belum memahami perbedaan tanki septik (septic tank) dengan lubang kotoran sederhana. Untuk membersihkan tanki septik, sebagian besar rumah tangga menggunakan jasa perusahaan penguras endapan kotoran, serta ada pula yang membersihkan sendiri atau menyewa tenaga kerja lokal. Kondisi tersebut, menjelaskan mekanisme yang dilakukan tidak efisien dan tidak produktif. Menyikapi kondisi tersebut, maka perlu digagas pembiayaan pembangunan unit sanitasi (MCK) yang sehat bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan fungsinya. Pertanyaannya; seberapa besar tingkat pelayanan prasarana dan sarana air limbah?

  Dengan menggunakan data jumlah rumah tangga dan penentuan berbasis asumsi (10% jamban terapung; 90% jamban keluarga); maka dapat ditentukan jumlah penggunaan PS Sanitasi On-Site System untuk variabel pengumpulan dan pengolahan.

  1. Belum ada unit keluarga yang menggunakan tangki septik standar.

  2. Jumlah penggunaan jamban keluarga sama besar dengan penggunaan cubluk. Jamban keluarga disini diartikan jamban yang dimiliki oleh masing- masing rumah tangga dengan lokasi bukan terapung seperti di sungai. Maka, sudah dipastikan setiap keluarga menggunakan unit cubluk untuk pengolahan pembuangan dari jamban keluarga.

  Aspek Pendanaan

  Berdasarkan asumsi di atas, saat ini penggunaan jamban keluarga di rumah tangga masing-masing diasumsikan sekitar 90 %. Adapun yang 10 %, masih menggunakan jamban terapung yang berada di tepian Sungai Mentaya dan anak sungai (sub DAS) lainnya. Keberadaan PS air limbah tersebut, hingga saat ini dominan diupayakan oleh masyarakat secara individu. Artinya, aspek pendanaan menjadi swadaya masyarakat tersebut.

  Aspek Kelembagaan Pelayanan Air Limbah

  Kelembagaan pelayanan air limbah di Kabupaten Kotawaringin Timur, hingga saat ini belum terbentuk. Secara administrasi merupakan tugas dan tanggung jawab dari Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya. Yang mana, dapat ditindaklanjuti dengan sosialisasi kelembagaan pada masyarakat untuk bagaimana memanfaatkan nilai ekonomis limbah.

b. Permasalahan Yang Dihadapi

1. Sasaran Pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) Air Limbah

a) Sasaran Pengelolaan Sanitasi dalam Lingkup Global

  Sasaran utama TSI adalah mengembalikan komunitas global pada jalur yang sebenarnya untuk mencapai target sanitasi MDGs. Sanitasi adalah dasar dari kesehatan, kebanggaan, dan pembangunan. Meningkatkan akses sanitasi khusus-nya bagi penduduk miskin adalah dasar utama pencapaian semua target MDGs. Sasaran TSI secara terinci adalah:

  1. Meningkatkan kepedulian dan komitmen dari beragam pelaku pada semua tingkatan terhadap pentingnya pencapaian target sanitasi MDGs, termasuk kesehatan, kesetaraan gender, isu ekonomi dan lingkungan, melalui komunikasi, pemantauan data, dan bukti nyata.

  2. Memobilisasi pemerintah (dari nasional sampai daerah), lembaga keuangan, swasta, dan institusi PBB melalui kesepakatan kerjasama tentang bagaimana dan siapa yang akan melakukan langkah yang diperlukan.

  3. Menjamin komitmen nyata untuk meninjau (review), membangun dan melaksanakan rencana untuk mereplikasi program sanitasi dan memperkuat kebijakan sanitasi melalui pembagian tanggung jawab yang jelas agar rencana tersebut dapat terlaksana baik di tingkat nasional maupun internasional.

  4. Mendorong “demand driven”, keberlanjutan dan solusi tradisional, dan pilihan yang diinformasikan (informed choices) dengan mengenali pentingnya bekerja dari bawah dengan praktisi dan komunitas.

  5. Menjamin peningkatan alokasi dana untuk memulai dan mempertahankan kemajuan pembangunan sanitasi melalui komitmen anggaran nasional dan pengembangan alokasi kemitraan.

  6. Mengembangkan dan memperkuat institusi dan kapasitas manusia melalui pemahaman pada semua tingkatan bahwa kemajuan pencapaian target sanitasi MDGs melibatkan beragam program baik higinitas, fasilitas rumah tangga dan pengolahan air limbah. Mobilisasi komunitas, pengakuan peran wanita, bersama dengan pemaduan intervensi perangkat keras dan lunak merupakan hal mendasar.

  7. Memperkuat keberlanjutan dan keefektifan solusi sanitasi yang tersedia, untuk memperkuat dampak kesehatan, penerimaan secara budaya dan sosial, kesesuaian teknologi dan institusi, dan perlindungan lingkungan dan sumber daya alam.

  8. Mempromosikan dan mendokumentasikan hasil pembelajaran untuk memperkuat pengetahuan dan contoh sukses sanitasi yang berkontribusi besar pada advokasi dan meningkatkan investasi sektor.

b) Sasaran Pengelolaan Sanitasi dalam Lingkup Kotawaringin Timur

  Sasaran terkait pengelolaan sanitasi dalam lingkup Kotawaringin Timur, adalah pencapaian Kotawaringin Timur Sehat Tahun 2015. Sehat dalam arti:

  1. Terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk pada akses pelayanan air limbah sehat.

  2. Upaya penyehatan sumberdaya air (air baku) baik air permukaan maupun air tanah yang berkelanjutan.

  3. Strategi pengembangan dan optimalitas nilai produktif air limbah bagi pembangunan ekonomi masyarakat serta menunjang kegiatan kawasan dan sektor unggulan.

2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi perencanaan RPIJM 2012 Kabupaten Kotawaringin Timur, maka dihasilkan rumusan masalah:

  1. Keberadaan jamban terapung di tepian sungai masih dianggap wajar keberadaannya oleh sebagian masyarakat, khususnya yang berdomisili di sekitar sempadan sungai.

  2. Kurangnya pemahaman masyarakat pada MCK sehat, dimana pengertian pada tangki septik (septic tank) masih dianggap sama dengan lubang pembuangan kotoran sederhana (cubluk). Secara substansi, tangki septik memiliki nilai produktivitas bila dikelola secara baik. Berbeda dengan lubang pembuangan sederhana (cubluk), dimana tinja yang ada harus melalui instrumen jasa penyedotan, sehingga tidak bernilai efisien.

  3. Instalasi pengelolaan lumpur tinja belum tersedia.

c. Analisis Kebutuhan

  Berbasis pada peningkatan akses pelayanan PS pengelolaan air limbah, berikut akan dijabarkan kebutuhan pengembangan pengelolaan; dengan mendasarkan pada kondisi tahun ini (2012) dan target akhir tahun perencanaan (2016).

Tabel 4.3 Kebutuhan Pengembangan Pengelolaan Sistem PS Air Limbah Aspek Pengelolaan Air Kondisi Saat ini Target Kondisi Akhir No.

  

Limbah TA. 2012 TA. 2016

  A. KELEMBAGAAN

  • 1. Bentuk institusi

  1. Kelembagaan berbasis pengelolaan ekonomi produktif Air Limbah

  2. Kelembagaan berbasis kontrol pemerintah

  2. Dasar Hukum - Berdasarkan ketentuan dan koordinasi antara pusat – propinsi – kabupaten/ kota.

  3. SDM - Deferensiasi antara fungsi regulator dan operator, sehingga efektif dan tidak terjadi dualisme tupoksi.

  B. TEKNIS OPERASIONAL

  1. Sanitasi Sistem On-Site MCK Tangki Septik -

  Pengembangan dan Pembangunan Off- Jamban Keluarga - Sederhana/

  Site System

  Cubluk

  • Tangki Septik Komunal Pada area publik Efektivitas nilai ekonomi produktif

  Limbah Komunal Sanitasi Berbasis -

  • Masyarakat (Sanimas) berbasis Off-Site System Truk Tinja Kepemilikan -

  Pemerintah Daerah mengontrol kinerja Swasta operator swasta

  • IPLT -

  Pembangunan IPLT berbasis ekonomi produktif

  • 2. Sanitasi Sistem Off-Site

  Sambungan rumah -

  • Sistem - jaringan pengumpul
  • IPAL -

  Off – Site System Sanitation for

  • Sistem Sanitasi Berbasis Productivity Economic -

  Masyarakat (Sanimas) Sistem Sanitasi di -

  • Kawasan RSH

4.4. Rencana Investasi Sub Sektor Sampah

  Untuk mencapai kondisi masyarakat yang hidup sehat dan sejahtera di masa yang akan datang, baik yang tinggal di daerah perkotaan maupun perdesaan, akan sangat diperlukan adanya lingkungan permukiman yang sehat. Dari aspek persampahan, maka kata sehat akan berarti sebagai kondisi yang akan dapat dicapai bila sampah dapat dikelola secara baik sehingga bersih dari lingkungan permukiman di mana manusia beraktivitas di dalamnya. Secara umum, daerah perkotaan atau perdesaan yang mendapatkan pelayanan persampahan yang baik akan dapat ditunjukkan melalui kondisi, sebagai berikut:

  1. Seluruh masyarakat, baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan memiliki akses untuk penanganan sampah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari, baik di lingkungan perumahan, perdagangan, perkantoran, maupun tempat-tempat umum lainnya.

  2. Masyarakat memiliki lingkungan permukiman yan bersih, karena sampah yang dihasilkan dapat ditangani secara baik.

  3. Masyarakat mampu memelihara kesehatannya, karena tidak terdapat sampah yang berpotensi menjadi bahan penularan penyakit seperti diarhea, thypus,

  disentri, dan lain-lain; serta gangguan lingkungan baik berupa pencemaran udara, air, maupun tanah.

  4. Masyarakat dan dunia usaha/swasta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan persampahan sehingga memperoleh manfaat bagi kesejahteraannya.

  5. Kondisi tersebut di atas, akan dapat dicapai bila visi pengembangan sistem pengelolaan persampahan dapat dicapai, yaitu:

  

Permukiman sehat yang bersih dari sampah

  Terkait visi tersebut, Sub Bidang Persampahan pada Bidang Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum memiliki program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai masyarakat hidup sehat dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih dari sampah. Program tersebut diawali dengan studi investasi melalui penyusunan RPIJM Bidang PU Cipta Karya.

  Suatu pendekatan atau paradigma baru yang penting untuk dipahami, bahwa sampah dapat dikurangi, digunakan kembali, dan atau di daur ulang; yang sering dikenal dengan istilah 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Pola 3 R ini, merupakan mekanisme pengurangan sampah dari sumbernya. Melalui mekanisme pengurangan sampah sejak di sumbernya, maka beban pengelolaan akan dapat dikurangi dan anggaran serta fasilitas akan dapat semakin efisien dimanfaatkan. Beban pencemaran dapat dikurangi dan lebih jauh lagi dapat turut menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

  Sasaran global dari kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan mengacu pada sasaran terukur yang tertuang dalam RPJMN 2013-2017. Adapun sasaran yang tertuang dalam RPJMN 2013-2017, adalah: (1) meningkatkan jumlah sampah terangkut; (2) meningkatnya kinerja pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang.

  Memperhatikan sasaran dalam RPJMN 2004 – 2009 tersebut, maka ditetapkan beberapa sasaran utama yang hendak dicapai, yaitu:

  1. Tercapainya kondisi kota dan lingkungan yang bersih, termasuk saluran drainase dari beban sampah.

  2. Pencapaian pengurangan kuantitas sampah sebesar 20%.

  3. Pencapaian sasaran cakupan pelayanan 60% penduduk.

  4. Tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi sanitary Iandfill untuk kota metropolitan dan besar serta controlled landfill untuk kota sedang dan kecil serta tidak dioperasikannya TPA secara open dumping lagi.

a. Kondisi Umum Sistem Pengelolaan Persampahan Saat ini

  Kredit poin pengelolaan persampahan di Indonesia cenderung terus menurun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sebagai kilas balik kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia pada akhir-akhir ini, pertama adalah munculnya berbagai kasus yang tidak saja telah mencemari lingkungan namun sudah pada tahap membahayakan keselamatan manusia, seperti tragedi TPA Leuwigajah dan TPA Bantar Gebang. Kedua, adanya fenomena ketidak seriusan pengelolaan sampah yang dilakukan di sebagian besar kota di Indonesia yang ditunjukkan oleh rendahnya prioritas pembangunan bidang persampahan, tidak jelasnya mekanisme pengawasan, minimnya sarana dan prasarana persampahan termasuk pengoperasian TPA yang cenderung dioperasikan secara open dumping, lemahnya penerapan hukum atau penerapan sanksi bagi para pelanggar dan lain-lain.

  

Ketiga, adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah dari yang semula sampah

  hanya dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke TPA menjadi sampah dimanfaatkan sebagai sumber daya melalui program 3 R dan hanya residu saja yang dibuang ke TPA masih mengalami berbagai kendala di lapangan.

  Menurunnya kinerja pengelolaan persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini tidak lepas dari dampak perubahan tatanan pemerintahan di Indonesia dalam era reformasi, otonomi daerah serta krisis ekonomi yang telah melanda seluruh wilayah di Indonesia. Adanya perubahan kebijakan arah pembangunan infrastruktur perkotaan, menguatnya ego otonomi, menurunnya kapasitas pembiayaan daerah, menurunnya daya beli dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan merupakan pemicu terjadinya degradasi kualitas lingkungan perkotaan termasuk masalah kebersihan kota. Penurunan kinerja tersebut ditunjukkan oleh berbagai hal seperti menurunnya kapasitas SDM, tidak jelasnya organisasi pengelola sampah karena adanya perubahan kebijakan pola maksimal dan pola minimal suatu Dinas, menurunnya alokasi APBD bagi pengelolaan sampah, menurunnya penerimaan retribusi (secara nasional hanya dicapai 22 %), menurunnya tingkat pelayanan (tingkat pelayanan dari data BPS tahun 2000 hanya 32 % yang sebelumnya pernah mencapai 50 %), menurunnya kualitas TPA yang sebagian besar menjadi open dumping dan timbulnya friksi antar daerah/ sosial, bahkan korban jiwa dalam kasus longsornya TPA Leuwigajah dan TPA Leuwigajah, tidak adanya penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan lain-lain. Secara rinci, berikut catatan gambaran umum pengelolaan persampahan di Indonesia:

  1. Makin Besarnya Timbulan Sampah

  Produksi sampah akan meningkat sesuai peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, demikian juga dengan komposisinya, dimana jenis anorganik (plastik, kertas, kaleng) cenderung meningkat volume dan variasi jenisnya. Pada konteks wilayah perkotaan, peningkatan laju timbulan sampah diperkirakan 2 – 4%/ tahun, dimana tidak diikuti dengan ketersediaan prasarana dan sarana persampahan yang memadai, dan berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir >> baca: pengertian keliru).

  2. Rendahnya Kualitas dan Tingkat Pengelolaan Persampahan

  Berdasarkan data BPS Tahun 2000, tingkat pelayanan sampah secara nasional saat ini hanya mencapai kurang lebih 40%, dengan kualitas pelayanan yang belum memadai. Kondisi ini masih jauh dari standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan, yaitu 60% dengan pelayanan pengumpulan/pengangkutan minimal 2 kali dalam 1 pekan. Pertanyaannya, bagaimana dengan penduduk yang tidak mendapatkan pelayanan?. Penduduk yang tidak mendapatkan akses pelayanan serta tidak cukup memiliki lahan untuk proses pengolahan setempat, cenderung membuang sampahnya di sembarang tempat dan melakukan pembakaran sampah secara terbuka.

  3. Kemampuan Kelembagaan

  Selain kualitas pelayanan, kelembagaan juga menjadi faktor penting dalam pengelolaan persampahan. Variabel penting dari kelembagaan, adalah lembaga atau institusi yang mengelola sampah tersebut. Lembaga atau institusi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu kota atau wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manajemen pengelolaan persampahan. Kapasitas dan kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan yang mekanismenya tidak sederhana bahkan cenderung cukup rumit. Berdasarkan PP 8/2003, tentang dinas daerah; dalam rangka efisiensi sumberdaya telah dilakukan pembatasan jumlah dinas yang ada di Kabupaten/Kota. Pengelola yang semula umumnya telah berbentuk Dinas Kebersihan, kemudian terpaksa digabung dengan berbagai dinas lainnya yang pemilihannya ditentukan oleh Kota/Kabupaten sendiri sejalan dengan misi otonomi. Akibatnya, saat ini tidak ada keseragaman bentuk lembaga pengelola persampahan sehingga menyulitkan pembinaannya. Kapasitas unit kebersihan juga mengalami penurunan kewenangan karena merupakan bagian dari Dinas Induknya, sehingga semakin sulit untuk membuat rencana pengembangan.

  Pelayanan persampahan di lapangan, juga dilaksanakan langsung oleh Dinas. Dalam hal ini, Dinas yang berfungsi sebagai regulator sekaligus menjalankan kegiatan sebagai operator. Akibatnya sulit dilaksanakan pengawasan yang obyektif sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak terjamin. Ketimpangan tersebut masih belum didukung oleh SDM yang memadai, terutama ditinjau dari kuantitas maupun kualitas. Pada beberapa masa, telah dilakukan kegiatan peningkatan kualitas SDM, tetapi belum terjadi

  

follow up yang optimal; biasanya personil bersangkutan telah menempati tugas di luar

sektor persampahan.

4. Kemampuan Pembiayaan Perhatian terhadap pengelolaan persampahan hingga saat ini masih belum memadai.

  Khususnya dari aspek pembiayaan. Secara umum alokasi pembiayaan untuk sektor persampahan masih di bawah 5% dari total anggaran APBD. Rendahnya alokasi anggaran tersebut, pada umumnya karena pengelolaan persampahan masih belum menjadi prioritas dan menggunakan pola penanganan sampah yang ala kadarnya, tanpa memperhitungkan faktor keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Demikian juga dengan rendahnya dana penarikan retribusi (secara nasional hanya mencapai 22%), sehingga biaya pengelolaan sampah masih menjadi beban APBD.

b. Sasaran Kebijakan Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan

  Sasaran yang ingin dicapai, adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dengan indikator sasaran cakupan layanan sampah Kota 60%, Desa 25%. Rasio sampah terangkut terhadap produksi sampah (85%).

  Kebijakan pengelolaan persampahan Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya pada lokasi RPIJM Bidang PU CK Tahap I masih terbatas pada wilayah Kota Sampit, yaitu Kecamatan Baamang dan MB. Ketapang. Untuk kebijakan pengelolaan persampahan Kota Sampit, secara umum telah tertuang di dalam RDTR Kawasan Pusat Kota Sampit Tahun 2006 – 2016, Peraturan Daerah Kota Sampit tentang Penunjukan Institusi UPTD Kebersihan dan Pertamanan sebagai pengelola persampahan di Kota Sampit, Peraturan Daerah Kota Sampit Nomor : 13 tahun 2001 tentang retribusi pelayanan/kebersihan Kota Sampit dan Rencana Teknis Manajemen dan DED Bidang persampahan Kota Sampit tahun 2006. Kota Sampit belum mempunyai produk tata ruang sehingga perencanaan persampahan Kota Sampit belum terencana dalam skala kota, sehingga belum mempunyai payung perencanaan persampahan di masa mendatang khususnya bagi dinas PU UPTD kebersihan dan pertamanan Kota Sampit. Sedangkan beberapa produk sektoral lainnya seperti perda dan peraturan lainnya yang secara detail dapat menjadi acuan pengelolaan persampahan di Kota Sampit adalah Perda tentang retribusi pelayanan/kebersihan Kota Sampit sedangkan peraturan lain yang membahas tentang pengelolaan persampahan dan ketentuan sanksi belum ada. Dengan demikian sebagai payung perencanaan persampahan Kota Sampit maka perlu disusun Masterplan persampahan ini. Karena produk tata ruang sebagai payung perencanaan secara umum belum ada di Kota Sampit maka produk Masterplan persampahan disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi kota Sampit saat ini. Hasil dari Masterplan dapat digunakan sebagai materi dalam penyusunan rencana tata ruang yang ada sehingga memiliki kekuatan hukum dalam rencana tata ruang kota. Untuk mendukung pelaksanaan program dalam Masterplan persampahan maka diperlukan penyusunan peraturan daerah yang lebih rinci mengenai pengelolaan persampahan di Kota Sampit dan penyusunan Produk Rencana Tata Ruang Kota Sampit.

  c. Permasalahan Yang Dihadapi

  Berdasarkan hasil observasi (primer dan sekunder), maka dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi, yaitu:

   Peningkatan jumlah timbulan sampah.

   Kualitas dan kapasitas SDM masih belum optimal.

   Sarana dan prasarana belum berfungsi secara maksimal.

   Kesadaran masyarakat masih rendah, dimana masih menganggap sampah adalah sampah.

  d. Analisis Tingkat Produksi Sampah

  Untuk mengetahui besar timbulan sampah yang terjadi, mekanisme yang dapat digunakan adalah dengan menghitung tingkat produksi sampah. Secara subtansi, tingkat produksi sampah yang dihasilkan pada dasarnya berbasis jumlah penduduk. Adapun rumus dan standar nasional untuk menghitung tingkat produksi sampah, adalah sebagai berikut:

  Rumus: Qq x p k

  Dimana :

  Q = Tingkat Produksi Sampah yang dihasilkan k q = Koefisien Kuantitas Sampah p = Jumlah Penduduk Standar: q = 1,686 liter/orang/hari : untuk ekonomi rendah. q = 1,803 liter/orang/hari : untuk ekonomi sedang. q = 1,873 liter/orang/hari : untuk ekonomi tinggi.

  Akan tetapi, angka tersebut menjadikan analisis menjadi semakin kompleks,

  karena harus ada data tingkat ekonomi masyarakat yang valid. Maka dari itu, untuk menyikapinya perlu menggunakan pendekatan koefisien, yaitu dengan standar kilogram. Standar ini lebih sederhana dan sesuai untuk kawasan dengan aktivitas sosial ekonomi yang belum kompleks. Lebih jelasnya, adalah sebagai berikut:

  q = 2,5 kg/org/hr : untuk daerah dalam kota. q = 0,5 kg/org/hr : untuk daerah pinggiran kota (hinterland atau kec. luar kota).

  Dengan menggunakan standar nasional dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2008, diperoleh tingkat timbulan sampah yang dihasilkan di lokasi perencanaan RPIJM bidang PU/ CK Tahap I. timbulan sampah terbesar, adalah di Kecamatan MB. Ketapang, yaitu sebesar 165.315 kg/hari. Selanjutnya, disusul oleh Kecamatan Baamang, yaitu 100.880 kg/ hari. Selain kedua kecamatan ini, kecamatan yang juga memiliki produksi sampah cenderung besar berbanding skala wilayah, adalah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, yaitu sebesar 10.954 kg/ hari. Selain dengan menggunakan data penduduk proyeksi eksisting di atas, timbulan sampah juga dapat diproyeksikan berdasarkan proyeksi jumlah penduduk hingga akhir tahun perencanaan.

e. Usulan Kegiatan

1. Kebutuhan Pengembangan

  Kebutuhan pengembangan pada dasarnya terkait dengan kebutuhan daerah dan keseriusan pemerintah daerah dalam meningkatkan kinerja pengelolaan persampahan yang dihasilkan dari aktivitas di wilayahnya. Berdasarkan kebutuhan daerah, dengan menggunakan pendanaan APBD, pemerintah daerah merespon kebutuhan pengembangan pengelolaan persampahan pada tahun 2012 – 2016, dimana dimulai dengan keseriusan untuk mengeluarkan dana daerah secara mandiri dari APBD. Lebih jelasnya mengenai program yang dicanangkan pemerintah daerah Kabupaten Kotawaringin Timur pada tahun 2009 untuk membuktikan keseriusan menanggapi RPIJM sebagai jalur proposal pengembangan dan pembangunan infrastruktur (salah satunya sub bidang persampahan).

2. Usulan dan Prioritas Program Pengelolan Persampahan, serta Pembiayaan

  Pengelolaan

  Berdasarkan analisis akar masalah dengan mengambil sampel Kota Sampit, yang digeneralkan dalam skala luas minimal lokasi perencanaan RPIJM Bidang PU/ Cipta Karya Tahap I Kabupaten Kotawaringin Timur, maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan:

  1. Ketersediaan sarana dan prasarana Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana yang menunjang kinerja operasional pengelolaan persampahan, meliputi bak sampah komunal, gerobak sampah, Armada Dump Truck, Armada Arm Roll, Container, dan

  Transfer Depo. Lebih lanjut, kondisi sarana prasarana juga kurang

  memadai ditinjau dari usia peralatan pengelolaan persampahan yang rata- rata > 5 tahun dan dalam kondisi sering rusak.

  2. Permasalahan Kinerja Operasional Pengelolaan Persampahan

  a. Perwadahan :

   Belum semuanya wilayah pelayanan sampah terdapat pewadahan dan semakin banyak masyarakat yang keberatan di wilayahnya berdekatan dengan tempat pembuangan sampah.

   Sampah yang sering meluber ke luar bak sampah komunal dapat mengganggu keindahan kota dan lalu lintas.

   Pewadahan sebagian besar tidak dilengkapi dengan penutup untuk menghindari pencemaran lingkungan sekitar.

   Adanya potensi pencemaran lingkungan di sekitar pewadahan.

   Sebagian besar kondisi bak sampah komunal rusak (banyak bak sampah komunal yang sudah tidak dilengkapi dengan pintu) b. Pengumpulan

   Penyapuan jalan hanya dilakukan pada segmen jalan tertentu saja.

   Panjang jalan yang disapu hanya berkisar 1 km per orang petugas.

   Penyapuan jalan yang dilakukan pada saat aktivitas masyarakat berlangsung dapat mengakibakan gangguan kesehatan dan kecelakaan lalu lintas.

   Terbatasnya Gerobak sampah yang ada sehingga tidak dapat melayani 100 % timbulan sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kota Sampit.

   Terbatasnya jumlah pekerja pengangkutan sehingga sebagian sampah tidak terangkut.

   Peletakkan kontainer hanya di kawasan perdagangan dan hanya sebagian kecil terdapat di kawasan permukiman.

   Kondisi kontainer sebagian rusak.

   Tidak semua kontainer mempunyai landasan. Sehingga dapat merusak bahu jalan setiap arm roll melakukan manuver.

  c. Pengangkutan/pemindahan

   Adanya beberapa dump truck yang tidak memiliki jaring penutup sampah pada saat pengangkutan sampah.

   Adanya Armada truk sampah yang ada sering rusak akibat umur armada truk yang relatif tua, sedangkan pemakaian non stop tanpa henti setiap hari, sehingga mengakibatkan terlambatnya pengangkutan, membutuhkan biaya perawatan dan perbaikan yang cukup tinggi.

   Pengumpulan sampah yang terlalu siang dapat mengganggu aktivitas lalu lintas.

   Pada kondisi tertentu pengangkutan hanya dapat dilakukan satu rit akibat dari banyaknya sampah yang tidak dibuang pada tempat yang ditentukan.

   Rotasi pemindahan hanya 1 kali sehari sehingga kurang sisa sampah tidak dapat terangkut ke TPA d. Pengolahan

   Tidak dan belum berjalannya prosedur 3 R (reduction = pengurangan, reuse = pakai ulang, dan recycle = daur ulang).

   Belum dilakukan proses pemilahan sampah secara kontinyu mulai dari sumber oleh masyarakat.

   Pengelolaan sampah kurang memperhatikan faktor non teknis seperti partisipasi masyarakat dan penyuluhan mengenai pentingnya kebersihan dan keutamaan dalam mengolah sampah.

   Sistem pengelolaan sampah belum dilakukan secara optimal dengan memperhatikan standar pengelolaan sampah sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara, tanah dan air serta dapat menurunkan estetika lingkungan (mulai dari pewadahan sampai pengolahan).

   Pola pengolahan sampah di TPA masih menggunakan metode Open Dumping.

   Tidak dimanfaatkannya kolam pengolahan lindi sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan.

   Belum adanya pagar keliling dan bangunan pendukung pengolahan di TPA.

   Belum adanya alat berat yang mendukung pelaksanaan sanitary

  landfill, sehingga dapat mengakibatkan penggunaan lahan yang

  tidak efektif artinya tidak dapat menampung sampah yang lebih besar.

  3. Manajemen Pengelolaan dan Kelembagaan a. Belum adanya data base perkembangan persampahan Kota Sampit.

  b. Belum adanya pendataan yang kontinyu terhadap potensi sampah kota yaitu pendataan terhadap volume sampah yang masuk ke TPA, yang terolah dan tidak terolah di TPA dan yang berpotensi untuk diolah.

  c. Terbatasnya personil UPTD Kebersihan dan Pertanaman Kota Sampit.

  d. Tidak memadainya dana operasional dan pemeliharaan.

  e. Masih minimnya kemampuan pengelola untuk mengelola sampah dengan prinsip 3 R.

  f. Tidak dan belum melibatkan stakeholder lain (swasta/masyarakat) dalam pengelolaan sampah dan kebersihan

  4. Anggaran/pembiayaan Pembiayaan dan dana yang terbatas, karena pengelolaan sampah hanya dikelola oleh dinas teknis terkait (UPTD) sedangkan biaya operasional pengelolaan dan konstruksi persampahan meningkat.

  5. Hukum/Peraturan

  a. Tidak dan belum tersedianya peraturan-peraturan (aspek legal) guna mendukung program kebersihan lingkungan.

  b. Tidak/belum berjalannya sistem penegakan hukum tentang kebersihan.

  c. Tidak adanya peraturan/Perda yang mengatur tentang sistem pengelolaan persampahan.

  6. Peran Serta masyarakat

  a. Rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan memelihara kebersihan lingkungan.

  b. Relatif kurangnya kesadaran masyarakat terhadap permasalahan sampah.

  c. Adanya masyarakat yang tidak setuju dengan adanya iuran retribusi sampah secara komunal.

  d. Sebagian masyarakat masih memandang sampah sebagai bahan yang menjijikkan, sehingga enggan untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.

  7. Teknologi Tidak/belum berjalannya prosedur 3 R pada pengelolaan sampah.

  Berdasarkan penjabaran permasalahan di atas, maka diusulkan beberapa aspek untuk mendukung peningkatan pengelolaan persampahan pada tahun 2014 yaitu:

  • Pembangunan dan Pengawasan TPA Kab. Kotawaringin Timur.
  • Pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (3R)

f. Usulan Pembiayaan

  Pembiayaan persampahan di Kabupaten Kotawaringin Timur saat ini hanya meliputi penganggaran untuk biaya operasional dan pemeliharaan saja. Itupun, masih difokuskan untuk menangani permasalahan persampahan di Kota Sampit, sehingga tidak memadai untuk standar pelayananan minimal. Dalam kebijakan pembiayaan, harus mencakup keputusan penganggaran secara memadai dan mencakup pembiayaan sistem, keputusan tarif jasa pelayanan dan orientasi pembiayaan cost recovery.

  Berbicara Kota Sampit, sampai dengan tahun 2012 penerimaan daerah dari penarikan retribusi pelayanan sampah di Kota Sampit sebesar Rp. 1.780.000.000/tahun atau Rp. 148.333.333/bulan. Anggaran biaya tambahan sebesar Rp. 120.000.000 dari PAD, sehingga biaya operasional pengelolaan persampahan di Kota Sampit adalah Rp. 1.900.000.000/tahun. Biaya operasional tersebut digunakan untuk biaya pegawai sebesar

  • Rp. 1.200.000.000 dan biaya pemeliharaan serta biaya bahan/material operasional kebersihan seperti BBM, bengkel dan perbaikan armada, alat/wadah persampahan dll sebesar Rp. 700.000.000/tahun.